Aku memasukkan pakaian ke tas, juga sertifikat rumah. Sudah kuputuskan meninggalkan kampung dan rumah yang penuh kenangan. Bukan menyerah, hanya menjaga kewarasan. Semua tetangga rutin menggunjing, tidak ada warung yang mengizinkan aku masuk. Selama dua hari tinggal di rumah telur busuk juga rutin dikirim. Bahkan tadi pagi kotoran manusia dioleskan pada tiang rumah.
Esok hari aku baru pergi. Hari ini aku akan ke makam Bapak dan Ibu, lantas membeli tiket bus.
Selesai mengepak pakaian, aku keluar kamar. Memandangi tiap sudut rumah yang bertahun-tahun aku tinggali. Mataku terpaku pada layar televisi yang menyala. Ada acara yang meliput Angkasa tengah meresmikan toserba.
Hati ini bergelenyar aneh melihatnya tersenyum. Wartawan yang meliput menanyakan kondisi papanya yang dirawat di rumah sakit luar negeri.
Aku pun teringat ucapan Burhan, bahwa Angkasa akan tinggal lama untuk menemani papanya. Tetapi, pada kenyataannya Angkasa sudah pulang. Apa Burhan berbohong padaku?
"Ah, sudahlah ...." Aku menghela napas, tidak perlu memikirkan yang sudah berlalu. Aku mematikan televisi.
Melihat kalender di atas televisi, aku bergeming pada lingkaran spidol merah di tanggal. Pikiranku dijajah dengan pertanyaan. Seharusnya seminggu yang lalu aku sudah mendapatkan tamu bulanan. Mungkin aku hanya kecapekan dan berusaha menepis asumsi lain.
Gegas aku menyambar tas, dengan tudung jaket aku menutup kepala, berjalan ke arah pinggiran kampung. Melintasi kebun cengkeh, mendung membuat jalanan terbingkai sedikit gelap.
Suasana terasa sendu saat kaki memasuki area pemakaman. Aku duduk bersimpuh di depan dua makam. Meletakkan segenggam bunga melati--yang kupetik di pekarangan rumah.
"Pak, Bu ...." Aku memejamkan mata. "Kara pamit. Kara harus pergi untuk sementara. Suatu hari nanti Kara akan kembali. Membersihkan nama ...." Aku tergugu.
"Dan, membungkam keluarga Andreas, mereka akan membayar tiap luka, tiap air mata ... tiap tetes darah ...."
Sesak sekali dada ini. Air mata tak terbendung lagi. Sungguh sakit, menangis menjadi pelepas nyeri yang tak berkesudahan.
"Kara pasti kembali," lirihku seraya bangkit dari duduk. Memandangi dua makam untuk kali terakhir.
Aku akan kembali.
***
Dari agen bus, aku mampir ke ATM. Jumlah tabungan tidak mencapai dua juta, setidaknya bisa untuk bertahan hidup sampai mendapatkan pekerjaan baru. Keluar dari bilik ATM, aku melihat apotek di seberang jalan.
Jemari tanganku menggenggam erat tali tas, ingin sekali mengenyahkan kecurigaan yang melingkar di kepala. Akhirnya aku menyeberangi jalan, masuk apotek. Dengan ragu dan malu, aku membeli dua alat tes kehamilan.
Sambil melangkah keluar apotek aku menyimpan testpack di dalam tas. Menarik napas gelisah. Semoga tidak terjadi sesuatu.
Di dalam angkutan umum, justru perasaanku semakin tidak menentu. Tepat di depanku, duduk seorang ibu yang sedang hamil tua, bersandar manja pada suaminya. Dari obrolan yang kudengar, mereka membicarakan nama dan semua printilan perlengkapan bayi.
Aku memandang ke luar jendela, pada sawah yang terhampar hijau. Menekan kepanikan yang timbul.
"Wah, baru pulang kerja, ya, Kara?" tanya Bu Jumi saat kami berpapasan di jalan kampung. "Siang-siang gini, kok, ya main ...."
"Nggak tahu malu," timpal Bu Tuti.
"Main siang penuh sensasi, lho, ibu-ibu. Coba dipraktekkan dengan suami di rumah." Aku tersenyum kecil, mendapati wajah dua perempuan separuh baya di depanku berubah kecut.
"Woo, kamu itu memang gadis m*r*han!" geram Bu Tuti.
Aku melanjutkan langkah, tidak henti-henti para tetangga menghujatku. Tidak bisa menyalahkan mereka yang termakan berita tidak benar mengenai diriku. Aku memang murahan dan menjijikkan, tapi bukan atas keinginan sendiri.
Sampai di rumah tepat pukul dua siang. Aku mengenyakkan tubuh ke atas tempat tidur. Tidak sabar menunggu hari esok. Tidak sabar menunggu siang berubah malam lalu pagi. Dan, selamat tinggal rumahku.
Aku hampir terlelap ketika suara ketukan pintu terdengar. Melihat Pak Lurah, Pak RT, dan empat orang warga di luar rumah, membuatku tergagap kaget.
"Ada apa ini, Pak?" tanyaku.
"Boleh kami masuk?" Pak Lurah balik bertanya.
"Silakan." Sebenarnya ada perasaan takut menjalar.
"Begini, Kara. Warga sudah resah dengan kendaraanmu," ucap Pak Lurah. "Warga ingin kamu pergi dari kampung ini, karena pekerjaanmu bisa mempengaruhi para gadis desa."
Aku mengambil tiket bus di kamar, kemudian menunjukkan tiket bus pada mereka--yang duduk di ruang tamu.
"Besok pagi saya akan meninggalkan kampung ini, saya sudah memesan tiket," ucapku. "Jadi, jangan khawatir. Sampah yang bau ini akan pergi."
"Jangan-jangan itu tiket palsu,"tuduh seorang warga.
"Untuk apa memalsukan tiket bus? Konyol sekali." Suaraku meninggi. "Lihat tas di sudut sana, semua sudah siap."
"Baiklah, Kara. Kami pegang omonganmu. Kami permisi." Pak Lurah keluar diikuti warga.
Sementara Pak RT berhenti di ambang pintu, dia berbalik. "Kara, apa benar yang kamu ucapkan?"
"Benar, besok pagi saya pergi," sahutku.
"Bukan itu ... maksudku yang kamu sampaikan pada istriku, tentang Andreas dan Bu Zunaira." Pak RT meralat.
"Iya, seperti yang Pak RT dengar dari Bu Retno. Saya dijual Andreas dan sekarang difitnah."
Pak RT mengangguk-angguk. "Keputusan pergi dari kampung sudah tepat, Kara. Aku sedikit tahu sepak terjang Bu Zunaira, dia tidak akan berhenti sebelum musuhnya tumbang."
"Jadi, Pak RT tahu?"
"Aku kenal kedua orang tuamu, aku kenal kamu sedari kecil, aku percaya padamu, Kara. Berhati-hatilah." Pak RT tidak menjawab pertanyaanku. "Aku permisi dulu."
Pak RT yang sudah berjalan tiga langkah, berbalik. "Semoga di tempat baru, kamu bahagia, Kara. Maaf aku tidak bisa membantumu."
Lelaki tua itu berjalan cepat melewati pekarangan rumah.
Aku menutup pintu. Seandainya aku bertahan di sini, sama saja aku menggali kubur sendiri.
Saat menyimpan kembali tiket ke tas, mata ini melihat bungkusan kecil berisi alat tes kehamilan.
"Baiklah, mari kita lihat." Aku berbicara sendiri sembari melangkah ke kamar mandi.
Biar tidak berasumsi terus, aku harus melakukannya. Aku mengeluarkan alat tes kehamilan dari kotaknya. Dengan perasaan campur aduk aku membaca petunjuknya.
"Oh, ya, Tuhan ...." lirihku.
Semoga firasatku salah. Semoga hasilnya negatif. Semoga, semoga, semoga.
Setelah menunggu tiga puluh detik. Aku juga belum berani melihat hasilnya, mata ini terpejam rapat. Lihat sekarang atau tidak samasekali. Detak jantungku nyaris berhenti saat garis kedua muncul berlahan-lahan.
Positif.
Aku keluar kamar mandi dengan pikiran yang menyesaki otak. Apa yang akan terjadi denganku? Apa yang akan kulakukan? Aku tidak pernah membayangkan bahwa diriku akan hamil.
Dan, Angkasa, bagaimana reaksinya jika aku memberitahunya?
Apa ini tepat? Namun, aku sudah berdiri di depan gerbang rumah Angkasa selama lima menit. Sementara, hari mengalami proses peralihan. Bercak-bercak warna jingga makin lama makin menyusut, berbaur, berubah gelap.Klakson mobil membuat jantungku melompat. Degup-degupnya melesat cepat."Hei, minggir!"Perlahan aku menepi, mobil sedan hitam itu hendak melewati gerbang. Aku tidak bisa melihat siapa yang berada di dalam mobil.Ketika pintu gerbang terbuka lebar, mobil itu malah berhenti. Sosok bertubuh tinggi turun. Dia Angkasa."Kau ingin bertemu dengan siapa?" tanyanya, sangat dingin."Aku ... ingin bertemu denganmu. Aku ingin memberitahu sesuatu." Aku menjawab, berusaha tenang."Aku tidak punya waktu untukmu, Kara," tolak Angkasa."Aku tidak meminta waktu seumur hidupmu, hanya sebentar saja.""Baiklah. Kita bicara di dalam,"
"Ayo, sarapan, Kara," ajak Bu Retno saat aku keluar kamar, perempuan yang memakai sweter kebesaran itu menaruh sepiring nasi goreng.Sementara Pak Danar mengisi kulkas dengan sayuran dan telur."Kami sebentar lagi harus segera pulang, Kara," ucap Bu Retno. "Tadi subuh suamiku sempat berbelanja di pasar. Untuk tiga hari ke depan persediaan makan untukmu cukup.""Terima kasih atas bantuannya." Aku menarik kursi. "Sudah merepotkan kalian berdua.""Kara ...." Bu Retno duduk di sebelahku. "Apa benar kamu hamil?" tanyanya kemudian, hati-hati.Aku mengangguk. "Iya.""Kamu tidak mual dan muntah?""Tidak, Bu Retno."Tangan Bu Retno tiba-tiba mengusap perutku. "Ah, anak hebat kamu. Tidak mau menyusahkan Mama, ya? Bagus, karena mamamu sudah banyak menderita."Mataku menghangat, aku tidak pusing, mual, dan muntah. Benarkah si bayi men
Aku menuang air hangat ke dalam gelas, mengaduk-aduk susu rasa cokelat dengan pikiran gentayangan ke Angkasa. Semalam bertemu di hotel, pagi ini bertemu di perumahan. Duduk termangu, melihat tagihan listrik, air, dan biaya perawatan apartemen. Tabunganku yang sedikit sudah habis. Nanti sore ada jadwal kontrol kandungan ke bidan. Ketukan pintu membuat lamunan buyar, aku mengelap sisa susu di sudut bibir dengan tisu. Kemudian membuka pintu. "Mbak Kara, temenku ingin membeli ... ng ... lihat baju-baju buatan Mbak Kara. Hehehe, kalo cocok baru beli. Gitu." Miranda, tetangga di ujung koridor datang dengan seorang temannya. "Mari, mari masuk. Maaf tempatnya berantakan." Aku mempersilakan mereka masuk. Keduanya memilih-milih blus pada tempat gantungan. Kira-kira ada lima belas blus. Keduanya berbisik-bisik entah apa. "Mbak Kara, kasih diskon, ya? Kami akan beli dua, seratus
Aku buru-buru keluar apartemen. Aku hampir saja lupa ada janji dengan Nyonya Aurora. Dia memintaku datang ke rumahnya, dia memintaku membuatkan baju atau gaun atau apalah untuk pesta kebun. Di antara puluhan bahkan mungkin ratusan desainer top--dengan jam terbang tinggi dan penghargaan sana sini--Nyonya Aurora memilihku. Seorang penjahit biasa yang hanya belajar desain secara otodidak."Hei, selamat siang, Kara." Pram menyapa, senyum kecil mengembang di kedua sudut bibirnya. Sementara, tangan kirinya memegang kantong plastik hitam."Mau ke mana?" tanyaku, basa-basi."Buang sampah."Kami berjalan beriringan menuju lift. Tidak sengaja beriringan, karena tujuan kami sama. Turun menggunakan lift."Oughh.""Ada apa, Kara?"Aku menyengir. "Tidak apa-apa, bayiku menendang cukup keras.""Boleh aku menyentuh perutmu?""Heh?" Aku me
Pram perlahan menurunkan tubuhku. Keringat membasahi kening. Napasnya terdengar berat dan putus-putus. Aku sepertinya telah menyiksa Pram, tapi aku tidak menyuruhnya untuk membantuku."Terima kasih, Pram.""Sama-sama, Kara." Pram mengusap peluh dengan punggung tangannya."Aku beli roti bakar." Aku terdiam sejenak. "Untuk membalas kebaikanmu, aku ingin membuatkan segelas es teh. Mari masuk," ajakku."Oh, baiklah." Pram terlihat antusias.Aku mendorong pintu apartemen. Area yang bersih hanya di sekitar sofa. Aku akhir-akhir ini sering dilanda rasa malas.Pram memperhatikan tiap sudut apartemen yang penuh kain. Dia duduk di sofa sambil bertanya, "Kenapa tidak berhenti mengantar susu? Kenapa tidak fokus membuat baju saja?"Tanganku berhenti mengaduk gula di gelas. "Dari mana kamu tahu aku mengantar susu?""Aku pernah melihatmu mengantar susu s
"Tidak mungkin Kara pemiliknya. Dia tidak pernah kuliah atau ...." Perkataan Bu Zunaira berjeda. "Sekolah fashion. Dia hanya buruh pabrik." "Iya, Ma. Tidak mungkin," timpal Nita bersungut-sungut. "Sebaiknya kita pergi saja, cari butik lain." "Aku tidak mau, sudah jauh-jauh ke sini. Satu jam perjalanan. Melelahkan. Sebenarnya kalian ada masalah apa dengan pemilik butik?" Perempuan berambut lurus itu menolak. "Mbak Rosana, kami--" Nita sepertinya kesulitan menjelaskan situasi yang pernah terjadi. Aku menikmati kebingungan yang tampak terlihat di wajah Bu Zunaira dan Nita. Sementara Pram meletakkan sikunya dimeja, menopang dagunya dengan tangan, dia juga mengamati tiga perempuan di hadapan kami. "Aku tetap ingin beli baju buatan Miss Kara." Rosana ngeyel. Aku hampir tertawa mendengar sebutan Miss. "Andreas tidak akan suka, Ros. Suamimu bisa ma
"Maaf, ya, Dora, Hesti. Kalian pulang terlambat," ucapku. Dua hari lagi aku ikut event fashion show terbesar. Untuk meningkatkan omset penjualan dan merupakan media yang efektif bagi labelku. Jadi, memerlukan persiapan yang matang."Saya permisi. Aku duluan, ya, Dora." Hesti keluar butik sementara Dora masih membereskan berkas-berkas.Aku kemudian mengecek Langit lewat panggilan video--yang dalam pengasuhan Bu Hayu. Perempuan itu menjaga Langit ketika aku bekerja pada siang hari. Kadang aku membawa Langit ke butik. Bayi berusia dua bulan itu membuat hatiku berbunga tiap hari."Langit sedang tidur." Bu Hayu memberitahu. Dia mengarahkan ponsel pada boks bayi. Terlihat Langit terlelap."Baiklah." Aku menutup panggilan video."Pak Pram datang, Mbak Kara," ujar Dora.Aku mendongak, dari kaca jendela butik aku melihat Pram turun dari taksi. Dia menyandang tas gitar pada bahu. Me
Aku memandangi korek lalu pada Pram. "Ba-bagaimana kalau ada orang di dalam rumah Andreas? Aku tidak ingin membunuh orang, Pram."Walaupun aku ingin sekali Andreas mati, namun tangan ini tidak ingin berlumuran darah. Ada Langit yang telah menjadi muara hidup.Akan tetapi aku akan membuat mereka menderita. Sangat menderita."Tidak ada orang di dalam rumah," sahut Pram sembari memasukkan kedua tangannya di saku jaket. "Semua cctv sudah dirusak."Seorang lelaki berseragam satpam, muncul dari balik pagar rumah. "Pak Pram, sudah aman. Dua orang pembantu sudah saya suruh keluar tadi sore," ucapnya."Datanglah kalian ke alamat yang aku kirim lewat pesan. Kalian bisa mendapatkan pekerjaan di sana," kata Pram. "Dan kamu, jika tidak bisa tutup mulut. Kamu tahu akibatnya, kan?""Saya tahu, Pak Pram. Saya tidak mungkin mengkhianati Anda." Lelaki itu kemudian berlalu pergi dengan motor."Semenjak menikah Andreas tinggal di rumah istrinya. Ay