Share

Bab 5 A Little Thing Called ....

Aku memasukkan pakaian ke tas, juga sertifikat rumah. Sudah kuputuskan meninggalkan kampung dan rumah yang penuh kenangan. Bukan menyerah, hanya menjaga kewarasan. Semua tetangga rutin menggunjing, tidak ada warung yang mengizinkan aku masuk. Selama dua hari tinggal di rumah telur busuk juga rutin dikirim. Bahkan tadi pagi kotoran manusia dioleskan pada tiang rumah.

Esok hari aku baru pergi. Hari ini aku akan ke makam Bapak dan Ibu, lantas membeli tiket bus.

Selesai mengepak pakaian, aku keluar kamar. Memandangi tiap sudut rumah yang bertahun-tahun aku tinggali. Mataku terpaku pada layar televisi yang menyala. Ada acara yang meliput Angkasa tengah meresmikan toserba.

Hati ini bergelenyar aneh melihatnya tersenyum. Wartawan yang meliput menanyakan kondisi papanya yang dirawat di rumah sakit luar negeri.

Aku pun teringat ucapan Burhan, bahwa Angkasa akan tinggal lama untuk menemani papanya. Tetapi, pada kenyataannya Angkasa sudah pulang. Apa Burhan berbohong padaku?

"Ah, sudahlah ...." Aku menghela napas, tidak perlu memikirkan yang sudah berlalu. Aku mematikan televisi.

Melihat kalender di atas televisi, aku bergeming pada lingkaran spidol merah di tanggal. Pikiranku dijajah dengan pertanyaan. Seharusnya seminggu yang lalu aku sudah mendapatkan tamu bulanan. Mungkin aku hanya kecapekan dan berusaha menepis asumsi lain.

Gegas aku menyambar tas, dengan tudung jaket aku menutup kepala, berjalan ke arah pinggiran kampung. Melintasi kebun cengkeh, mendung membuat jalanan terbingkai sedikit gelap.

Suasana terasa sendu saat kaki memasuki area pemakaman. Aku duduk bersimpuh di depan dua makam. Meletakkan segenggam bunga melati--yang kupetik di pekarangan rumah.

"Pak, Bu ...." Aku memejamkan mata. "Kara pamit. Kara harus pergi untuk sementara. Suatu hari nanti Kara akan kembali. Membersihkan nama ...." Aku tergugu.

"Dan, membungkam keluarga Andreas, mereka akan membayar tiap luka, tiap air mata ... tiap tetes darah ...."

Sesak sekali dada ini. Air mata tak terbendung lagi. Sungguh sakit, menangis menjadi pelepas nyeri yang tak berkesudahan.

"Kara pasti kembali," lirihku seraya bangkit dari duduk. Memandangi dua makam untuk kali terakhir.

Aku akan kembali.

***

Dari agen bus, aku mampir ke ATM. Jumlah tabungan tidak mencapai dua juta, setidaknya bisa untuk bertahan hidup sampai mendapatkan pekerjaan baru. Keluar dari bilik ATM, aku melihat apotek di seberang jalan.

Jemari tanganku menggenggam erat tali tas, ingin sekali mengenyahkan kecurigaan yang melingkar di kepala. Akhirnya aku menyeberangi jalan, masuk apotek. Dengan ragu dan malu, aku membeli dua alat tes kehamilan.

Sambil melangkah keluar apotek aku menyimpan testpack di dalam tas. Menarik napas gelisah. Semoga tidak terjadi sesuatu.

Di dalam angkutan umum, justru perasaanku semakin tidak menentu. Tepat di depanku, duduk seorang ibu yang sedang hamil tua, bersandar manja pada suaminya. Dari obrolan yang kudengar, mereka membicarakan nama dan semua printilan perlengkapan bayi.

Aku memandang ke luar jendela, pada sawah yang terhampar hijau. Menekan kepanikan yang timbul.

"Wah, baru pulang kerja, ya, Kara?" tanya Bu Jumi saat kami berpapasan di jalan kampung. "Siang-siang gini, kok, ya main ...."

"Nggak tahu malu," timpal Bu Tuti.

"Main siang penuh sensasi, lho, ibu-ibu. Coba dipraktekkan dengan suami di rumah." Aku tersenyum kecil, mendapati wajah dua perempuan separuh baya di depanku berubah kecut.

"Woo, kamu itu memang gadis m*r*han!" geram Bu Tuti.

Aku melanjutkan langkah, tidak henti-henti para tetangga menghujatku. Tidak bisa menyalahkan mereka yang termakan berita tidak benar mengenai diriku. Aku memang murahan dan menjijikkan, tapi bukan atas keinginan sendiri.

Sampai di rumah tepat pukul dua siang. Aku mengenyakkan tubuh ke atas tempat tidur. Tidak sabar menunggu hari esok. Tidak sabar menunggu siang berubah malam lalu pagi. Dan, selamat tinggal rumahku.

Aku hampir terlelap ketika suara ketukan pintu terdengar. Melihat Pak Lurah, Pak RT, dan empat orang warga di luar rumah, membuatku tergagap kaget.

"Ada apa ini, Pak?" tanyaku.

"Boleh kami masuk?" Pak Lurah balik bertanya.

"Silakan." Sebenarnya ada perasaan takut menjalar.

"Begini, Kara. Warga sudah resah dengan kendaraanmu," ucap Pak Lurah. "Warga ingin kamu pergi dari kampung ini, karena pekerjaanmu bisa mempengaruhi para gadis desa."

Aku mengambil tiket bus di kamar, kemudian menunjukkan tiket bus pada mereka--yang duduk di ruang tamu.

"Besok pagi saya akan meninggalkan kampung ini, saya sudah memesan tiket," ucapku. "Jadi, jangan khawatir. Sampah yang bau ini akan pergi."

"Jangan-jangan itu tiket palsu,"tuduh seorang warga.

"Untuk apa memalsukan tiket bus? Konyol sekali." Suaraku meninggi. "Lihat tas di sudut sana, semua sudah siap."

"Baiklah, Kara. Kami pegang omonganmu. Kami permisi." Pak Lurah keluar diikuti warga.

Sementara Pak RT berhenti di ambang pintu, dia berbalik. "Kara, apa benar yang kamu ucapkan?"

"Benar, besok pagi saya pergi," sahutku.

"Bukan itu ... maksudku yang kamu sampaikan pada istriku, tentang Andreas dan Bu Zunaira." Pak RT meralat.

"Iya, seperti yang Pak RT dengar dari Bu Retno. Saya dijual Andreas dan sekarang difitnah."

Pak RT mengangguk-angguk. "Keputusan pergi dari kampung sudah tepat, Kara. Aku sedikit tahu sepak terjang Bu Zunaira, dia tidak akan berhenti sebelum musuhnya tumbang."

"Jadi, Pak RT tahu?"

"Aku kenal kedua orang tuamu, aku kenal kamu sedari kecil, aku percaya padamu, Kara. Berhati-hatilah." Pak RT tidak menjawab pertanyaanku. "Aku permisi dulu."

Pak RT yang sudah berjalan tiga langkah, berbalik. "Semoga di tempat baru, kamu bahagia, Kara. Maaf aku tidak bisa membantumu."

Lelaki tua itu berjalan cepat melewati pekarangan rumah.

Aku menutup pintu. Seandainya aku bertahan di sini, sama saja aku menggali kubur sendiri.

Saat menyimpan kembali tiket ke tas, mata ini melihat bungkusan kecil berisi alat tes kehamilan.

"Baiklah, mari kita lihat." Aku berbicara sendiri sembari melangkah ke kamar mandi.

Biar tidak berasumsi terus, aku harus melakukannya. Aku mengeluarkan alat tes kehamilan dari kotaknya. Dengan perasaan campur aduk aku membaca petunjuknya.

"Oh, ya, Tuhan ...." lirihku.

Semoga firasatku salah. Semoga hasilnya negatif. Semoga, semoga, semoga.

Setelah menunggu tiga puluh detik. Aku juga belum berani melihat hasilnya, mata ini terpejam rapat. Lihat sekarang atau tidak samasekali. Detak jantungku nyaris berhenti saat garis kedua muncul berlahan-lahan.

Positif.

Aku keluar kamar mandi dengan pikiran yang menyesaki otak. Apa yang akan terjadi denganku? Apa yang akan kulakukan? Aku tidak pernah membayangkan bahwa diriku akan hamil.

Dan, Angkasa, bagaimana reaksinya jika aku memberitahunya?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yuni Iswoyo
mgkn akn mmbwa kbaikan nntinya kara
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status