Nadya mengulum senyum. “Aku bercanda,” ucapnya menatap Annisa sekilas, “jadi apa aku boleh menginap di sini?” “Tentu. Masuklah.” Meski terpaksa, Annisa menarik bibirnya dan mengangguk. Ali meraih dan membawa koper milik Nadya masuk, menuntun wanita itu menuju kamar atas. Kamar Ali. Tiba di depan kamar, Ali memutar knop pintu, mempersilakan wanita dengan selarik senyum ayu di bibirnya untuk masuk. Nadya memandang Ali sesaat, lalu mengedar pandang ke penjuru ruangan yang dulu pernah begitu dia dambakan bisa masuk ke dalamnya dan menjadi bagian dari hidup laki-laki yang dicintainya. Ruangan itu tampak luas dan rapi, persis seperti pribadi pemiliknya. Beberapa desain ciptaan Ali tertempel di dinding depan meja kerja yang berada di sudut ruangan tepat di tepi jendela. Lurus dari pintu, Nadya melangkah ke arah balkon dan menatap kejauhan, lalu menoleh pada Ali di detik berikutnya dengan senyum mengembang seakan dia baru saja mendapatkan hadiah besar. “Kenapa?” tanya Ali penasaran. D
Annisa belum menjawab dan justru memalingkan muka. Ali memindai wanita di depan pintu dengan tatapan tak mengerti. “Kenapa tidak menjawab? Katamu mau memberi hadiah perpisahan?” “Apa arti kecupan kemarin?” Alih-alih menjawab, Annisa justru bertanya. Kedua mata itu menatap tajam laki-laki di depannya. Seiring degup jantung yang kian kencang. Dia merasa jarak antara kehilangan harga diri hanya sepanjang jawaban yang akan diucapkan Ali atas pertanyaannya. “Apa?” Tampak kerutan di dahi Ali. “Mas memandangku lekat, dan nyaris mengecup bibirku. Apa arti semua itu kalau akhirnya Mas tetap kembali ke dia?” Ali memalingkan muka, dan menunduk. Dia pun sebenarnya tidak tahu kenapa. Melihat Nadya di depan rumah dengan wajah berseri dan senyum ayunya, juga koper di sampingnya, Ali merasa impian untuk memilikinya semakin dekat. Impian untuk memeluk wanita yang dicintai ke dalam hidup. “Pelarian?” tebak Annisa dengan air mata yang mulai menggenang. “Persinggahan? Pelampiasan? Atau apa?” Ali ke
Beberapa jam sebelumnya, di hari yang sama di rumah tuan Aji. Sesuai janji, Pramono membawa Tasya ke rumah sang Ayah. Namun keputusan itu harus disesalinya karena akhirnya dia harus memberi jawaban atas permintaan sang ayah untuk menikahi Ratna. Pramono menoleh ke arah wanita yang kini sibuk bermain dengan sang putri, tak jauh dari tempatnya duduk berbincang dengan sang ayah. “Pram tidak mencintai dia, ayah. Adilkah bagi Ratna dinikahi dan digauli tanpa rasa cinta?” ucap Pramono berharap sang ayah mempertimbangkan poin itu, meski sebenarnya itu wujud keengganannya menuruti keinginan sang ayah. Sayangnya Tuan Aji selalu punya cara untuk menyanggah pendapat sang putra. Dia tertawa sarkastik seolah pendapat itu terlalu klise. “Laki-laki bahkan tidak tahu apa itu cinta, Pram. Kenapa harus mempermasalahkan itu?” Tidak demikian bagi Pramono. Jika dia hanya tahu nafsu tanpa mengerti apa itu mencintai, kenapa dikhianati terasa begitu menyakitkan? Bahkan rasanya bagai sesuatu tengah mengir
Dalam foto itu, wanita bergaun pastel tengah menatap sendu laki-laki di depannya. Di belakangnya Ratna melihat bangunan rumah sakit berlantai dua.Pada foto di sampingnya, sebuah mobil terparkir di halaman rumah Pramono. Dari pelat nomornya, dan sepertinya si pengambil gambar memang fokus ke identitas mobil itu—Ratna tahu itu bukan milik sang kakak. Lagi pula Pramono tidak di rumah selama sebulan terakhir.Di foto berikutnya, seorang lelaki berdiri di depan rumah dengan bersandar pada pintu mobil menatap ke balkon rumah Pramono dengan satu tangan terangkat seperti memegangi ponsel di telinga.Foto di bawahnya masih menampilkan gambar yang sama, bedanya kali ini lebih jauh. Di kiri atas foto itu, Nadya tengah berdiri dengan posisi tangan yang sama. Ratna menerka mereka saling bicara dengan telepon, dan gambar itu diambil dari dalam mobil—atau kamera mobil.Foto terakhir, lebih memuakkan. Dan Ratna akhirnya tahu, sang ayah adalah seseorang dengan kuasa melebihi siapa pun melihat dari ba
Waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Dari teras belakang, tepat setelah selesai bicara dengan Ratna, Pramono melangkah panjang menuju ruang kerja sang ayah. Dia tahu benar sang ayah masih di sana. Hampir separuh hidupnya dia habiskan hanya di ruang kerja. Bahkan dia yakin, waktunya untuk sang istri tak lebih banyak daripada waktu untuk pekerjaan. Brak! Suara keras pintu terbuka terdengar ketika Pramono mendorong kasar pintu ruang kerja tuan Aji hingga daun pintunya membentur dinding. Pandangannya mengedar lalu berhenti tepat di depan jendela. Di sana sang ayah duduk termangu di atas kursi roda, menatap keluar jendela. Seolah telah memprediksi apa yang akan terjadi, Tuan Aji sama sekali tak terkejut dengan kehadiran Pramono. Dia masih memandang ke luar jendela seakan ada hal lebih menarik yang enggan dia lewatkan. “Ayah tahu apa yang Nadya lakukan, kenapa diam saja? Sejak kapan ayah tahu?” Tuan Aji menoleh ke arah Pramono. “Maksudmu perselingkuhan istrimu?” Tak ingin memperjel
“Mas Pram?” Lalu suara itu muncul kembali. Suara yang begitu merdu dan terasa bagai candu namun berubah menjadi begitu menyakitkan, kini, berdengung dan bersahut-sahutan di tempurung kepalanya. Pramono mengabaikannya, dan kembali mengisap rokok itu entah untuk ke berapa kalinya. “Mas Pram ...?” panggil suara itu lagi. Lalu bayangan wanita bergaun merah dengan belahan dada rendah mengikutinya di belakang, muncul bagai slide film lama. Wanita itu menatap curiga sesampainya di hadapan Pramono. “Mas, kok bau rokok? Mas merokok?” Nadya bertanya lagi. “Oya?” Laki-laki itu menjatuhkan diri di sofa. “Iya.” “Coba tebak?” Pramono mendekatkan wajah agar sang istri bisa memastikannya. Setengahnya untuk mencuri aroma harum yang sudah tersaji dari wanita yang selalu menaati perintahnya: tampil ayu saat menyambut suami pulang kerja. Nadya menatap curiga wajah itu sesaat, seakan tahu niat dalam hati suaminya. Dia mendekatkan penciuman ke wajah suaminya, mengendus. Tapi bukan Pramono namanya j
“Telepon dari siapa?” Nadya bertanya tepat setelah Ali menurunkan ponsel dari samping telinga, separuhnya karena melihat raut di wajah itu berubah masam.“Pramono,” jawab laki-laki itu, masih memandang ke arah Nadya seakan ingin melihat bagaimana reaksinya saat mendengar nama laki-laki itu disebut.Sebaliknya, Nadya tersenyum samar, menampakkan kesan tak peduli di hadapan Ali. “Lalu kenapa wajah Mas berubah?”Ali memandang wanita itu beberapa detik sebelum menjawab, seolah tengah memperkirakan bagaimana reaksinya andai Nadya tahu apa yang terjadi pada putrinya. “Tasya sakit. Dia dirawat sekarang.”Ali tahu, tidak ada ibu yang benar-benar tega pada putrinya, sebejat apa perbuatannya. Mendengar kabar dari Ali, wajah Nadya berubah pias. Dia sempat tertegun sebelum menunduk, menyembunyikannya dari Ali.“O—oh ... “Terlihat dari bagaimana wanita itu mengepalkan tangan yang gemetar. Ali tahu Nadya tidak baik-baik saja, dan sedang berusaha menguatkan hatinya.Nadya bangkit. “Sebaiknya ki—kit
“Saya terima nikahnya Nadya Arfianti dengan mas kawin seperangkat alat salat, tiga puluh gram emas, buku, dan satu unit rumah beserta isinya, dibayar tunai.” “Sah?” “Sah.” Dengan tubuh gemetar Pramono menengadahkan tangan mengamini setiap doa yang dilantunkan penghulu. Ucapan “Aamiin” bersahut-sahutan terdengar dari para tamu. Bagai isi dunia tergenggam di tangan, ada bahagia yang nyaris meledak di dada Pramono hingga membobol pertahanan diri dengan tetes demi tetes air mata di pipi. Dia mengusap cepat lalu diam-diam melirik gadis di sebelah kirinya yang juga terisak-isak. Pramono menenggelamkan wajah di lengan sofa tempatnya terbaring, karena detik ini dia menyadari tangisan Nadya itu bukan wujud dari air mata bahagia, melainkan sebuah keterpaksaan. *** Malamnya, di hari yang sama saat mereka menikah. Di rumah orang tua Pramono yang megah, Nadya duduk menepi di sudut ruangan dengan kedua kaki terlipat. Menatap keluar jendela seakan ada hal menarik di luar sana yang membuat gad