Bab 2
Tunggu dulu, apa aku tidak salah lihat? Kontak yang bernama Andi mengirim pesan seperti ini pada suamiku?
Aku terdiam sejenak, berusaha mencerna maksud dari semua ini.
Apa ini ada hubungannya dengan foto bayi itu? Apa mungkin itu anaknya Mas Bayu dengan wanita lain?
Tidak mungkin Mas Bayu mengkhianatiku, apalagi sampai memiliki anak dengan wanita itu. Aku tahu, Mas Bayu tidak mungkin tega melakukan itu padaku. Suamiku sangat mencintaiku.
Akhirnya pertahananku runtuh juga, kaca-kaca bening mengalir begitu saja dari sudut netra. Aku tidak yakin jika orang yang sangat kucintai, ternyata tega mengkhianatiku.
Kupandangi wajah lelaki yang sudah enam tahun ini mendampingiku, ia sudah
terlelap dalam damai. Hanya dengkuran halus yang terdengar.
Apa benar kamu telah mengkhianatiku, Mas?
Apa benar kamu telah mengkhianati janji suci pernikahan kita, yang berjanji sehidup semati sampai maut memisahkan?
Apa benar kalau kamu telah memiliki anak dengan wanita lain?
Sayangnya semua pertanyaan itu hanya tercekat di tenggorokan, tidak mampu untuk kuucapkan.
Hatiku tidak percaya, tapi bukti berkata lain.
Mungkin lebih baik aku mencari tahu sendiri. Karena jika ditanyakan langsung, pasti Mas Bayu akan menyangkal. Apalagi sampai di dengar oleh ibu mertua. Bisa-bisa aku lagi yang disalahkan.
***
"Mbak, minta uang dong! Hari ini aku ulang tahun. Aku ingin mentraktir teman-temanku. Yah, dirayain kecil-kecilan gitu!"
Hana menengadahkan tangannya, seperti biasa, ia selalu saja minta uang padaku. Membuat selera makanku mendadak hilang. Padahal Mas Bayu sudah memberikan uang jajan untuknya. Tapi tetap saja ia merasa kurang dan minta lagi padaku.
"Mbak lagi enggak punya uang," jawabku cuek.
Aku masih ingat, tempo hari Mas Bayu sudah memberikan uang jajan untuk jatah satu bulan. Masa sudah habis!
"Pelit bangat sih, Mbak! Enggak banyak kok, satu juta cukup lah buat mentraktir teman-teman makan di cafe," ucapnya dengan santai, seolah aku ini pabrik uang yang bisa memberi uang berapapun yang ia minta.
"Enggak ada," ucapku lagi.
"Hey, Mona. Pelit bangat sih sama adik ipar sendiri. Hana ini bukan orang lain loh! Apa susahnya sih, mengabulkan permintaannya? Uang satu juta itu kan enggak banyak. Pasti kamu punya simpanan. Apalagi kamu kan baru gajian?"
Wajah Ibu terlihat memerah, ia marah padaku karena tidak menuruti permintaan anak kesayangannya itu.
Aku memang baru gajian, tapi aku tidak lagi sepolos yang dulu. Kini uang gajiku sengaja kusimpan di Bank. Diam-diam aku menabung tanpa sepengetahuan suami dan ibu mertuaku. Jika tidak, semua uang milikku akan diambil, sehingga aku tidak dapat apa-apa.
"Iya, Mona memang sudag gajian, Bu. Tapi uangnya kan udah habis buat bayar air, listrik, buat beli kebutuhan sehari-hari dan lain-lain, Bu!"
"Memang dasar pelit! Terus gaji Mas Bayu mana, Mbak? Masa sudah habis, sih? Mbak simpan di mana?" Gadis berambut panjang sebahu itu menatapku dengan tatapan tajam, sungguh ia tidak mempunyai rasa hormat padaku. Padahal, aku ini adalah kakak iparnya, istri dari abangnya sendiri.
"Hana, kamu kan tahu sendiri kalau belakangan ini tokonya Mas Bayu sedang sepi. Jadi otomatis jatah bulanan yang diberikan pada Mbak juga berkurang. Jadi Mbak harus bisa mengelolanya dengan baik. Belum lagi harus bayar cicilan mobil Mas Bayu dan motor kamu setiap bulannya." Aku masih berusaha sabar menghadapi sikap adik iparku yang tidak punya sopan santun ini.
Ya, mobil yang dipakai Mas Bayu dan juga motor yang dipakai Hana masih nyicil alias belum lunas. Untungnya rumah ini dibeli cash. Jadi hanya perlu memikirkan uang untuk membayar cicilan mobil dan motor saja.
"Ya udah, gini aja. Kamu ambil dulu duit yang buat bayar cicilan motor Hana, nanti kamu ganti," ucap Ibu dengan entengnya, seolah tanpa beban. Enak saja, darimana aku mendapatkan uang untuk menggantinya?
Ibu sama anak sama saja, tidak memikirkan hari esok.
"Yasudah, Mona bisa kasih uang buat Hana. Tapi siap-siap saja motornya bakalan ditarik oleh pihak leasing, karena Mona sendiri enggak tahu harus cari uang ke mana lagi!"
"Dasar kakak ipar pelit!" Hana menghentakkan kakinya ke lantai, kemudian berlalu meninggalkan aku dan Ibu yang masih berada di ruang makan.
"Lihat tuh, gara-gara kamu, Hana jadi ngambek begitu!"
Tuh kan, ibu mertua malah menyalahkanku.
Secepatnya kusudahi sarapanku, setelah itu aku masuk ke kamar, bersiap-siap hendak berangkat kerja.
"Dek, semalam kamu buka-buka ponsel Mas ya, setelah Mas tidur?" tanya Mas Bayu begitu aku masuk ke kamar kami. Wajahnya terlihat gusar, mungkin ia takut jika aku mengetahui rahasianya.
"Enggak!"
Aku terpaksa berbohong, semoga Allah tidak mencatat satu dosa dalam kebohonganku kali ini.
Astaghfirullah … semoga Allah mengampuni dosaku.
"Memangnya ada apa di ponselmu, Mas? Apa di dalamnya ada rahasia?" Aku sengaja menanyakan hal itu, ingin melihat bagaimana reaksinya.
"Enggak, kok," sangkalnya, padahal aku tahu kalau suamiku telah berbohong.
"Mas buru-buru. Pagi ini ada pelanggan yang pesan bahan bangunan dan harus secepatnya diantar. Mas duluan, ya!" Mas Bayu kemudian mendekapku ke dalam pelukannya, lalu mengecup keningku.
"Dadah, Sayang!" Mas Bayu melambaikan tangannya.
Jika saja pagi ini aku tidak sedang terburu-buru, maka akan ku ikuti kemana Mas Bayu pergi. Aku curiga, jangan-jangan Mas Bayu akan menemui orang yang mengirimkan pesan ke ponselnya semalam. Tapi karena tuntutan pekerjaan, aku harus bersabar untuk sementara waktu.
Saat sedang memoles bedak di wajahku, tiba-tiba terdengar bunyi ponsel. Ternyata ponsel Mas Bayu ketinggian.
Aku pun langsung mengambil ponsel yang terletak di atas kasur tersebut.
Sebuah pesan masuk dari BR*-NOTIF
Trx Rek.17070xxxxxxxxxxx : PENARIKAN TUNAI ATM Rp. 2.000.000 19/06/21 07:35:26
Apa? Mas Bayu baru saja menarik uang di ATM? Bukannya ia bilang sedang buru-buru karena mau mengantar barang pesanan pelanggan?
Ya Allah … apa lagi ini?
Untuk apa ia menarik uang sebanyak itu? Apa Mas Bayu akan memberikan uang itu untuk Hana? Tidak mungkin, pasti Hana tidak akan berani memintanya kepada Mas Bayu karena seminggu yang lalu Mas Bayu telah memberikan uang jajan untuk jatah sebulan buat Hana. Lantas, untuk siapa? Apa jangan-jangan, Mas Bayu akan memberikan uang itu untuk kontak bernama Andi yang mengirimkan pesan semalam?
Aku penasaran, siapa sebenarnya orang yang bernama Andi itu.
Jika kecurigaanku terbukti benar, maka aku tidak akan tinggal diam.
Bersambung ….
Bab 3Baru saja aku hendak meletakkan kembali ponsel tersebut, tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka."Dek! Ponsel Mas ketinggalan," ucap Mas Bayu begitu tiba di kamar."Iya, baru saja ada pesan masuk dari BRI NOTIF. Mas baru narik uang ya?"Raut wajah Mas Bayu mendadak berubah, terlihat sekali kalau suamiku ini sedang menyembunyikan sesuatu."Untuk apa, Mas?" tanyaku lagi."Ini, Dek. Mas perlu uang untuk membayar barang pesanan di toko. Kamu kan tahu sendiri kalau Mas beli barang pakai modal sendiri, Dek. Makanya Mas narik uang di ATM barusan.""Bukannya kalau mau beli
Bab 4Setelah keluar dari kawasan toko material, aku memutuskan untuk beristirahat sejenak di sebuah warung bakso di pinggir jalan. Warung bakso ini letaknya berhadapan dengan tokonya Mas Bayu. Aku sengaja memilih tempat ini agar bisa memantau Mas Bayu."Ini pesanannya, Mbak, silakan dinikmati," ucap pelayan warung dengan ramah."Terimakasih, Pak," balasku sambil menyunggingkan senyum.Aku segera menikmati bakso tersebut, tidak lupa menambahkan kecap, saos serta cabai agar rasanya lebih nikmat.Sambil menikmati semangkuk bakso, aku terus memantau dari warung ini. Sampai detik ini, Mas Bayu belum juga datang ke toko. Kemana kira-kira mas Bayu?I
Bab 5"Mona, buka pintunya. Kamu belum masak, Mona! Kita mau makan apa malam ini?" Ibu mertua berteriak sambil menggedor-gedor pintu kamar. Tapi aku tidak menghiraukannya karena sudah tahu bahwa mereka hanya memanfaatkan kebaikanku.Aku tulus menyayanginya dan menganggapnya seperti Ibu kandungku sendiri. Tapi apa balasannya bagiku? Hanya hinaan dan cacian yang selalu kudengar tiap hari dari mulutnya.***"Dek, bangun!"Aku merasakan seseorang menepuk pelan pipiku. Mas Bayu, ternyata ia sudah pulang.Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ternyata sudah malam, entah jam berapa sekarang, aku ketiduran.
Bab 6"Nasi uduknya satu ya, Mpok, minumnya teh manis hangat," ucapku pada Mpok Leni, penjual nasi uduk di pinggir jalan dekat komplek."Baik, Neng! Tunggu sebentar ya, Neng!"Aku memilih untuk sarapan di warung tenda pinggir jalan yang tidak jauh dari gang rumahku. Sengaja aku memilih tempat ini karena Mas Bayu biasanya melewati jalan ini. Mumpung lagi libur kerja, hari aku akan membuntutinya untuk menjawab semua kecurigaanku."Ini pesanannya, Neng, silakan dinikmati." Pelayan warung tersebut meletakkan pesananku di atas meja. Satu piring nasi uduk yang yang dihiasi dengan irisan telur dadar yang diiris tipis-tipis, serta satu gelas teh manis yang masih mengepulkan asap telah terhidang di atas meja.
Bab 7Aku melepas helm, memberikannya kepada supir ojek itu, kemudian masuk ke dalam klinik. Harus ku ungkap semuanya sekarang juga!Sesampainya di dalam klinik, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan mencari-cari keberadaan Mas Bayu. Ternyata ia dan wanita itu sedang duduk di kursi, di depan resepsionis. Klinik ini tidak terlalu luas, jadi mudah sekali mencari keberadaan mereka.Sementara Mas Bayu dan wanita itu sedang fokus memperhatikan bayi itu, aku langsung berjalan di depan mereka dengan santai. Tanpa ragu, aku ikut duduk diantara ibu-ibu yang sedang mengantri.Aku sengaja memakai masker dan juga kaca mata hitam, semoga saja Mas Bayu tidak melihat keberadaanku di sini. Kalaupun iya, yasudah lah. Malah lebih bagus karena kebohongannya akan
Bab 8Deg!Jantungku seolah berhenti berdetak saat melihat ibu mertua memegang buku tabungan yang selama ini aku sembunyikan dari mereka.Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan?"Ternyata Mbak Mona diam-diam memiliki tabungan ya, Bu. Coba aja kita tau dari dulu ya, Bu," ucap Hana kepada ibunya."Iya, memang dasar kakak iparmu itu orangnya pelit. Ibu sih dari dulu sampai sekarang nggak pernah suka sama dia." Ibu mertua membenarkan ucapan anak bungsunya itu.Astaghfirullah … ternyata ibu tidak pernah suka sama aku. Ya Allah … kenapa rasanya sakit sekali mengetahui kenyataan ini.
Bab 9"Mona, kamu siapin makan siang ya, Ibu dan juga Hana belum makan. Buruan! Nggak pake lama!"Setelah mengucapkan kata-kata itu, mereka berdua pun meninggalkan kamarku.Siapa juga yang mau disuruh-suruh seperti itu? Memangnya aku ini pembantu, apa? Mulai sekarang, jangan harap aku mau menuruti kemauan kalian.Aku merebahkan tubuh di atas ranjang setelah mengunci pintu terlebih dahulu. Hari ini sungguh melelahkan. Aku ingin beristirahat dan tidak ingin diganggu oleh siapapun.Baru beberapa menit mata ini terpejam, Ibu sudah menggedor-gedor pintu dan berteriak memanggil namaku."Mona … makan siangnya mana?"
Bab 10Mereka bertiga pun meminum teh manis hangat yang sudah dicampur dengan obat tidur tersebut. Mari kita lihat, kalian akan berangkat ke acara akikahan itu atau …"Ayo, Bu, Hana, nanti kita telat," ucap Mas Bayu sambil merapikan kemejanya."Tunggu, Ibu kok mendadak jadi pusing gini, ya? Bentar, Ibu ke kamar dulu." Ibu pun masuk ke kamarnya, disusul juga oleh Hana. Sepertinya obat tidur itu sudah mulai bereaksi. Bagus!"Dek, kok Ibu sama Hana belum keluar juga dari kamar?" tanya Mas Bayu, ia terlihat gelisah, mondar-mandir kesana-kemari."Nggak tau tuh, Mas. Coba Mas lihat ke kamar!"Karena sudah tidak sabar, Mas Bayu segera m