Share

Part 7

Ibu Mertuaku di Status Wa Sahabatku (7)

**

Aku mulai memejamkan mataku tatkala pesawat yang aku tumpangi mulai lepas landas. Banyak pranugari dan pramugara memberikan arahan pada penumpang agar tetap tenang dan berpeganggan sebelum semua stabil.

Mungkin aku akan sangat bosan di sini membayangkan jarang tempuh yang begitu jauh, jadi aku memutuskan untuk tidur saja.

***

Aku menggembuskan napasku gusar tatkala kakiku berdiri tepat di atas trotoar jalanan kota jakarta.

Aku sudah menghabiskan waktu kurang lebih 27 jam dan akhinya tiba di sini. Sebenarnya perjalananku tidak sampai di sini saja. Aku harus kembali naik taksi dalam 5 jam kedepan untuk bisa pulang ke kampungku.

Walaupun tubuh ini sudah terasa pegal-pegal, akan tetapi aku harus tetap menempuh perjalan tersebut agar semua kebenaran bisa kuungkapkan.

Ya, tujuan utamaku adalah rumah kedua orang tuaku, mengapa aku tidak ke rumahku saja? Jawannya karena aku ingin melihat langsung bagaimana kehidupan orang tuaku di kampung.

Karena selama ini aku sudah menyuruh Mas Riski untuk merenovasi rumah kedua orang tuaku dan meberikan uang yang cukup untuk keduanya hingga tidak perlu bekerja.

Selama merantau aku memang jarang berbicara dengan ibu atau bapak, dikarenakan mereka tinggal di desa terpencil yang kesulitan mendapatkan sinyal untuk telepon.

Aku lebih sering menanyakan kabar mereka melalui Mas Riski.

Sudah pernah memaksa ibu dan bapak untuk pindah dan tinggal bersama keluarga Mas Riski, akan tetapi mereka menolak karena alasannya lebih nyaman tinggal di rumah sendiri, jadi aku tidak memaksa.

Setelah mendapatkan taksi, Aku langsung masuk dan mengatakan alamat agar supir mengantarku ke tempat tujuan.

Sudah menggabaikan ponselku cukup lama, sekarang aku memutuskan untuk melihat apakah ada pesan atau notifikasi yang aku abaikan.

Seketika mataku membulat sempurna.

Kebanyakan pesan dari Mas Riski yang terus saja membahas perihal liburan. Ah, dasar menyebalkan. Apakah dia pikir aku mau mengizinkannya untuk menghabiskan uangku hanya demi liburannya yang sama sekali tidak menguntungkan? Ah, tidak! Sudah cukup aku dibohongi.

Sekarang jam 11 siang. Kemungkinan aku akan tiba di kampung sekitar jam 3 kurang atau lebih.

Untuk makan siang. Aku tidak terlalu memikirkan itu dikarenakan tadi di bandara aku sudah mengisi perutku.

[Sayang kok diread doang?] Pesan susulan dari suamiku yang menanyakan mengapa aku hanya melihat dan membaca pesannya saja tanpa berniat membalas.

[Apakah aku dan ibu melakukan kesalahanan? Sejak tadi kamu tidak membalas pesanku dan pesan ibu, ayolah sayang. Jika kau punya masalah maka ceritakan padaku. Jangan begini, aku tidak suka.]

Aku diam beberapa saat tatkala selesai membaca pesan itu. Mas Riski bahkan tidak sama sekali menyadari kesalahannya. Ia bertanya begitu seolah-olah aku lah yang salah karena telah mengabaikannya. Dasar pria aneh.

Kesalahan terbesarku adalah mengenalnya.

[Aku sedang sibuk mengungkap sebuah masalah, tolong jangan janggu aku dulu Mas dan untuk liburan, sebaiknya kau tunda saja, aku tidak punya banyak uang untuk dihambur-hamburkan pada hal yang tidak berguna seperti itu.] Setelah membalas pesan Mas Riski aku langsung menyimpan kembali ponselku dan menyandarkan kepalaku.

Sebelah tangan ini memijiti kepalaku yang terasa sedikit berdenyut, mungkin karena tidurku kurang teratur dan mungkin juga karena efek lelah seharian berada di dalam pesawat. Di tambah lagi sekarang aku harus duduk diam di dalam taksi. Ah, punggung dan bokongku terasa begitu pegal.

[Sepertinya kamu pulang dari suatu tempat yang jauh, ya?" tanya supir taski memecahkan keheningan di antara kami.

Pria setengah baya itu melirikku sebentar kemudian tersenyum ramah.

"Iya pak."

"Pulang dari mana memangnya?" tanya pria itu lagi.

"Saya TKW luar negri Pak, sekarang saya kembali ke kampung halaman," sahutku cepat dan pria itu hanya manggut-manggut sambil fokus menyetir dan kedua bola mata menatap jalanan yang begitu ramai.

"Belum nikah, ya?" tanya pria itu lagi.

"Udah, Pak," sahutku cepat membuat pria itu kembali menoleh tidka percaya.

Saat menyadari perubahan raut wajahku pria setengah baya itu terdiam sambil meminta maaf dengan nada suara terdengar tidak enakan.

Kemudian sepanjang perjalanan aku asik berbincang-bincang dengannya, ya, hitung-hitung untuk membunuh rasa jenuh. Beliau bercerita banyak padaku tentang kehidupannya yang ternyata lebih sulit dariku. Akan tetapi saat menceritakan satu persatu kata, ia terus saja terkekeh seolah-olah kesusahan itu sudah menjadi makanannya sehari-hari.

Dari beliau aku belajar banyak. Aku benar-benar kagum pada sosok kepala rumah tangga sepertinya.

Saking asiknya berbincang-bincang sampai-sampai aku tidak menyadari bahwa 4 jam di dalam taksi aku lalui tanpa aku sadari.

Taksi yang aku tumpangi berhenti di sebuah gang kecil membuat aku sontak menegakkan tubuhku.

Aku mulai mengucapkan terimakasih pada pria itu dan menyerahkan 4 lembar uang 100 ribu rupiah yang sempat aku tukar tadi di salah satu bank dekat Bandara.

Pria itu langsung pergi meninggalkan aku yang masih berdiri mematung di tempat.

***

Saat kakiku berdiri di depan rumah, dadaku berdenyut-denyut dengan sakit, bahkan tidak ada perubahan sedikit pun pada rumah orang tuaku. Semua masih sama seperti sebelum aku merantau bahkan terlihat jauh lebih rusak.

Aku tidak mendapati siapa pun di rumah, akan tetapi tiba-tiba aku dikejutkan dengan tepukan singkat baruku pelan.

"Karin?" tanya wanita yang kira-kira berusia 37 tahun itu.

"Mbak Rita! Ibu dan bapak di mana? Mengapa rumah masih seperti ini? Padahal aku sudah begitu banyak mengirim uang untuk renovasi rumah?" tanyaku pada wanita itu.

Dia adalah tetangga yang sudah begitu dekat dengan keluargaku.

Wanita itu diam sambil menundukkan kepalanya seperti tidak berani mengatakan sepatah katapun.

"Apakah semua ulah Mas Riski dan Ibu mertuaku?"

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status