Share

Mengamankan aset

Setelah mobil berlalu meninggalkan halaman rumah, aku keluar menemui ibuk yang duduk di sofa depan tv. 

"Nduk, ibu mau tanya sedikit!" ucapnya setelah aku ikut duduk di sampingnya.

"Apa, Buk?"

"Semua aset yang kalian miliki atas nama siapa?" 

"Atas nama kami berdua, Buk! Ada apa?" 

"Nduk, Arini! Kamu ini polos apa bodoh sih! Sekarang amankan semua sertifikat dari aset-aset kalian, cepat bawa kesini!" Ibuk geleng-geleng kepala mendengar jawabanku bahwa memang semua aset yang kami miliki diatasnamakan kami berdua, karena sedari awal memang kami berangkat membangun rumah tangga ini benar-benar hanya dari pakaian yang melekat di badan saja.

Hingga ditahun ke tiga kami berhasil membeli tanah yang akhirnya kami bangun runah ini, tahun berlalu kami mampu menambah sebidang tanah yang akhirnya kami buat untuk kiosku menjahit. Beberapa kendaraan termasuk tiga truk dan dua sepeda motor semua atas nama kami berdua. Hanya beberapa set perhiasan dan dua buku tabungan yang atas namaku sendiri.

Ibu mendorongku untuk cepat mengambil semua surat berharga yang kami punya. Meski aku belum tahu apa alasannya, aku bangkit juga dan mengambil semua surat yang memang aku yang menyimpannya.

"Buat apa sih, Buk?" tanyaku sembari menyodorkan map bening berisi semua surat berharga itu.

"Gini lho, Nduk! Kita tidak pernah tahu apa tujuan Salwa hadir dalam rumah tanggamu. Meskipun Salwa berasal dari keluarga kaya, tidak menutuo kemungkinan dia tetap mengincar aset-aset yang kalian miliki. 

Belum lagi Wahyu juga pasti akan mengicar ini semua, kelak jika uangnya sudah habis untuk menuruti gundiknya itu. Orang selingkuh itu perlu modal besar Arini, dan kalau Wahyu tidak lagi menghasilkan uang banyak untuk menyenangkan gundiknya itu, kemana lagi dia akan cari uang jika bukan dari aset-aset ini." jelas ibuk panjang lebar dan kini aku mengerti tujuan dari pertanyaan ibuk tadi.

Ya Allah, sebodoh itu aku hingga tak memikirkan sejauh itu. Ibuk benar, jika mas Wahyu terdesak keuangannya maka dia akan mencairkan aset-aset ini dan aku tak bisa berbuat apa-apa jika itu sampai terjadi. 

Aku benar tak berfikir sampai sana, kejadian ini terlalu cepat hingga otakku tak mampu berpikir ke arah sana. Meski rasa-rasanya mustahil jika Salwa menginginkan harta kami sebab dia sendiri berasal dari keluarga kaya, tapi apa salahnya berjaga-jaga bukan?

"Kamu harus secepatnya urus semua aset ini menjadi nama kamu, Nduk. Soal tanda tangan Wahyu itu akan jadi urusan Ibuk dan Erna. Yang penting jangan menunjukkan gelagat mencurigakan dulu sebelum Ibuk dapat tanda tangan Wahyu. Ini semua Ibuk lakukan untuk kamu dan cucu-cucu sholeh Ibuk."

Ingin rasanya menagis sejadi-jadinya oleh perhatian wanita yang telah melahirkan suamiku itu. Aku yang sedari kecil telah ditinggalkan ibu kandung untuk selamanya mendapatkan ganti seorang ibu yang luar biasa. 

Aku anak ke empat dari lima bersaudara, dan kesemua saudaraku adalah perempuan. Mbak Murni si sulung, mbak Yani kedua, mbak Fita ketiga, dan Irma si bungsu. Kami telah kehilangan ibu sejak aku dan Irma masih sekolah dasar, waktu itu ibu melahirkan calon adikku dan terjadi pendarahan hingga ia meninggal bersama calon anak ke enamnya.

Sejak ibu meninggal, kami yang hanya dari keluarga miskin berjuang melawan kerasnya kehidupan. Waktu itu kami bergantung pada uang gaji dari mbak Murni dan mbak Yani yang sudah bekerja selepas SMA, sementara mbak Fita masih SMA. 

Kami terbiasa bekeja usai pulang sekolah, demi bisa terus membeli buku, sepatu, tas dan perlengkapan sekolah lainnya. Sementara gaji mbak Murni dan mbak Yani hanya cukup untuk makan sehari-hari. Terlebih waktu Bapak mulai sakit-sakitan. Aku yang hendak melanjutkan SMP terpaksa di tunda karena uangnya kami pakai untuk biaya berobat Bapak. 

Namun dengan kegigihan dan kekompakan  kami kakak beradik, alhamdulillah kami semua dapat mengenyam pendidikan hingga bangku SMA. Mbak Murni dan mbak Yani bahkan tidak mau menikah sebelum aku dan Irma lulus SMP, mereka banyak berjasa untuk pendidikanku dan Irma.

Hingga Bapak pergi menyusul ibu di tahun terakhir aku dan Irma di bangku SMA. Meninggalkan kami lima orang anak perempuan yang belum satupun dari kami yang menikah. 

Usai aku SMA, mbak Murni dan mbak Yani menikah dengan pria pilihan mereka dan di boyong ke kota. Mbak Murni ke Jakarta dan mbak Yani ke Pangkal pinang. Kehidupan keduanya semakin baik dan terus membaik. Tahun ketiganya mbak Fita dipersunting anggota TNI dan di boyong ke Papua. Kehidupannya terbilang mapan sebagai istri abdi negara, kami hanya dapat berkomunikasi melalui  telepon saja. Hampir lima tahun tak bersua, mbak Fita pulang ke kampung membawa berita duka, suaminya meninggal di tanah Papua dalam aksi genjatan senjata antar suku disana. Meninggalkan Mbak Fita dan satu orang putra yang masih berusia dua tahun kala itu.

Tak berselang lama, Irma lebih dulu menemukan jodohnya. Namun Allah lebih menyayanginya, hingga ia harus berpulang saat hendak melahirkan anak pertamanya, sama seperti almarhumah ibu, Irma berpulang bersama calon anaknya. Kini  kabar yang kudengar, Hendri sudah menikah lagi dan sudah memiliki tiga orang anak.

Tepat di hari ke empat puluh Irma meninggal, aku bertemu dengan mas Wahyu yang kala itu singgah di rumah makan tempatku bekerja. Lima bulan setelah perkenalan, ia melamarku pada mbak Fita yang kala itu tinggal denganku. 

Pertemuan singkat itu akhirnya membuahkan keputusan tanggal pernikahan kami. Pernikahan kami digelar sangat sederhana, karena memang kami bukan keluarga berpunya. Pihak mas Wahyu hanya ada Ibu, Bapak, Erna dan dua orang adik Bapak yang merangkap sebagai saksi.

Satu minggu setelah pernikahan, mas Wahyu memboyongku ke Lampung meninggalkan mbak Fita dan Arsen, keponakanku di kampung halaman. Awal mula kehidupan kami dimulai dari Lampung selatan. Kami mengontrak rumah kecil di dekat terminal, mas Wahyu yang kala itu masih menjadi supir pocokan sering menganggur sedangkan kebutuhan kami semakin banyak.

Awalnya ibu mertua menawari untuk bergabung tinggal di kampungnya, namun karena sungkan dan alasan pekerjaan kami menolak niat baik mertua. Tahun pertama kami habiskan dengan bekerja serabutan, sekenanya saja. Mulai dari tukang parkir, buruh panjat kelapa, kuli panggul di pasar. Sedangkan aku,  pagi sekali menjual bubur tumpang, lepas itu terima cuci setrika milik tetangga kontrakan dan siang sampai malam ikut kerja di konveksi rumahan milik saudara sang pemilik kontrakan.

Rezeki kami selalu ada saja dan dari mana saja. Sedikit demi sedikit kami mengumpulkan uang untuk bisa membeli sebidang tanah. Rezeki kami semakin lancar kala aku hamil anak pertama, di usia kehamilan yang ke enam bulan mas Wahyu sudah memiliki pekerjaan tetap yaitu sebagai supir truk milik sepupu dari tetangga kontrakan kami. Beliau mempercayakan truknya untuk di jalankan oleh mas Wahyu, dengan muatan apa saja dan kemana saja. Hingga kami tak perlu khawatir dengan biaya persalinan yang kian dekat. Seiring berjalannya waktu, kami bisa membeli tanah yang kami bangun rumah ini.

Kami membeli dari pemilik sebelumnya dengan harga cukup murah karena rumahnya dulu bekas gudang yang kata orang sekitar pernah di pake bunuh diri, makanya di jual gak laku-laku. Tapi dengan bismillah kami membeli rumah dan tanahnya ini. Kami tidak langsung menempatinya, namun butuh sekitar empat tahun hingga berhasil merobohkan bangunan lamanya dan kami dirikan rumah ini perlahan. Setelah rumahnya jadi baru kami tempati dan alhamdulillah tidak ada kejadian apapun yang mengganggu kami.

Dengan kerja keras dan keuletan kami, sekarang kehidupan kami terbilang mapan. Tidak mudah untuk berada di titik sekarang ini. Namun perjuangan yang sudah sejauh ini kami lalui harus terancam dengan kehadiran orang ketiga yang merupakan keponakan dan masih memiliki ikatan darah denganku.

"Nduk! Kok bengong!" tepukan lembut di bahuku membuyarkan segala ingatan tentang perjuangan yang sudah kami lalui bersama.

"Mikir, apa?" mata sayu nan teduh itu menatapku heran.

"Arini gak nyangka perjalanan yang sudah kami tempuh sejauh ini harus dihadang dengan kerikil yang baru saja tumbuh, Buk!" ucapku menahan sesak.

"Ibuk percaya, kamu bisa melalui ini semua. Percayalah Allah gak akan memberi ujian pada umatNya melampaui batas kemampuannya. Berserah sama Allah, Nduk!"

"Apa rumah tangga Arini masih bisa di selamatkan, Buk?"

"Jawabannya ada padamu, Nduk! Jika kamu masih menerima Wahyu dengan segala kesalahannya, Ibuk sangat bersyukur. Tapi jika kamu tidak bisa memaafkan dan menerima Wahyu kembali, Ibuk juga gak ada hak melarang kamu mengambil keputusan untuk berpisah darinya." jawab ibuk bijak.

Aku menarik nafas dalam, mengisi rongga dada dengan oksigen sebanyak mungkin untuk menghalau sesak.

"Yang terpenting sekarang adalah selamatkan aset yang sudah kalian dapatkan lebih dulu. Selebihnya, keputusan ada padamu!" Ibuk tersenyum tulus. Aku kagum padanya, seorang ibu yang tidak berpihak pada anak kandungnya yang terbukti bersalah.

"Bagi Ibuk, Wahyu bisa kembali ke jalan yang benar saja sudah alhamdulillah. Mengingat, sejak dia kecil sampai sekarang belum pernah dia terjebak dosa zina seperti yang dia jalani sekarang. Entah firasat ibu mengatakan ada sesuatu yang tidak beres darinya." ungkapnya menatap lurus kedepan.

"Maksud Ibuk?" 

"Sudahlah, Nduk. Jika firasat Ibuk benar, maka nanti kamu akan tahu sendiri." jawabnya ambigu.

"Sekarang, simpan semua ini lebih dulu! Nanti Ibu akan pikirkan cara untuk mendapat tanda tangan Wahyu."

"Terimakasih ya, Buk! Ibuk sudah ada di pihak Arini!" ucapku sembari memeluk tubuh rentanya.

"Ibuk juga wanita, Nduk. Betapapun Ibuk menyayangi Wahyu tapi perbuatannya tetaplah tidak bisa dibenarkan apalagi harus di dukung. Ibuk tahu apa yang kamu rasakan, Arini!"

"Sebenarnya, Arini juga baru kemarin mengetahui soal ini, Buk!" ungkapku.

"Jika bukan karena Arini membuka ponsel mas Wahyu, mungkin Arini benar-benar tak akan tahu semuanya."

"Itu artinya Allah masih sayang padamu, Nak."

"Dan Allah kirimkan malaikat tanpa sayap ini untuk menolong Arini." ungkapku tulus sembari merangsek dalam pelukannya.

Kami larut dalam pelukan hangat, ibuk bukan lagi mertua bagiku tapi sudah serasa ibu kandung yang sangat menyayangiku. Aku sangat bersyukur Allah gantikan orang tuaku yang telah meninggal dengan kehadiran ibuk. 

Lepas dari itu, keputusan tentang masa depan rumah tanggaku belum aku putuskan. Aku tak ingin mengambil keputusan dalam keadaan marah yang nantinya akan membuatku menyesalinya. Biarlah aku tanyakan pada Tuhanku lebih dulu.

Perjuangan dan kerja keras untuk sampai di titik sekarang ini tidaklah mudah, maka dari itu aku tak mau gegabah mengambil keputusan. Biar bagaimanapun kami berjuang dari nol sama-sama, tentu banyak pertimbangan yang harus aku pikirkan kedepannya. 

Terlebih ini menyangkut anak-anak, biarlah nanti aku tanyakan apa yang terbaik menurut anak-anakku, aku ingin melibatkan mereka dalam keputusanku nanti. Si sulung sudah besar, jadi aku rasa ia sudah memiliki pendapat yang bijak mengenai persoalan ini.

🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Afrida Azizah
tapi sayang ceritanya hrs terkendala koin huhuhuhuhu hahahaha............
goodnovel comment avatar
Afrida Azizah
salut sama mb murni atas kesabarannya untungnya punya mertua dan ipar yg sangat menyayangi.. salut sm mb erna pemberani
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status