Hari menjelang malam ketika kami memasuki kawasan kota Jambi, kami memutuskan beristirahat kembali sembari melaksanakan shalat maghrib dan isya sekalian. Pak Haji membawa kami singgah di sebuah masjid besar dan terkenal yaitu masjid Laksamana Cheng Ho yang mirip seperti yang ada di kota Batam, katanya. Sebab aku sendiri belum pernah tahu ataupun sekedar dengar, apalagi menginjakkan kaki di tanah Batam. Masjid besar dengan banyak cerita sejarah berdiri kokoh dengan megahnya di hadapan kami. Aku takjub dengan keindahan bangunan ini, seumur hidup baru kali ini kakiku menginjakkan kaki di tanah Jambi.Usai melaksanakan shalat maghrib yang hampir batas akhir ini, kami tak keluar lagi dari masjid. Sekedar beristirahat sembari berwiridan menunggu waktu isya datang.Tak lama kumandang isya terdengar, para jamaah segera menempati shaf untuk melakukan kewajiban shalat. Banyak sekali yang mengikuti shalat jamaah di masjid ini, rata-rata adalah para warga yang tinggal di sekitaran masjid, ada j
Dalam rasa sakit yang luar biasa ini aku dikejutkan dengan sisi lain dari Ibu kandungku, sisi yang tak pernah sekalipun aku lihat selama 40 tahun hidupku di dunia ini.Aku menganga tak percaya, berulang kali aku mengucek kedua mataku melihat sosok yang berada di depanku saat ini.Ibu, kenapa bisa? Ya Allah, rahasia apa lagi ini? Atau memang sejatinya Ibu memiliki ilmu khusus? Ah, semua ini membuatku sukit percaya. Susah payah aku bangkit untuk duduk, bahkan Arini dan yang lainnya pun masih nampak terpana hingga tak menyadari jika aku sudah terduduk dengan susah payah."I-Ibuk," gumamku yang di sadari olehnya. Beliau menoleh dan menatapku sendu."Maafkan Ibu, Yu!" ucapnya masih dengan benda itu di tangan Ibu. Ah tidak, melayang lebih tepatnya karena ada jarak antara kulit tangan ibu dengan benda itu.Benda itu berupa keris berwarna coklat keemasan dan bercahaya. Ukurannya lebih besar dari ukuran sepatu, mungkin. Tapi darimana datangnya benda itu tadi? Ah, kenapa seolah aku melihat sos
"Astaghfirullah, Ayah!" pekik Arini terkejut sebab Wahyu tetiba terkulai lemas. Dengan sigap, ia merebahkan tubuh Wahyu yang bersandar di tubuhnya."Buk?" Arini melempar tatapan pada Hasnah."Tak apa, tenanglah! Wahyu sudah masuk ke dimensi lain, kita doakan dan terus bantu dzikir dari sini." jawab Hasnah tenang."Baiknya tolong bantu dibawa ke dalam saja!" titak Pak Kyai pada beberapa santri yang ikut bergabung dengan mereka.Dengan cekatan lima orang santri segera membopong tubuh Wahyu menuju guesshouse yang semalam mereka tempati dan segera merebahkan tubuhnya di atas ranjang."Albi, tolong minta para santri untuk bantu dzikir selama 3 hari kedepan. Semua kelas tolong di koordinir secara bergantian selama 24 jam penuh! Yusuf, tolong buatkan jadwalnya ya!" ucap Pak Kyai pada santrinya."Baik, Pak Kyai! Nanti akan saya kirimkan 10 santri setiap 1 jam bergantian." jawab salah satu santri dengan sopan. Setelah Pak Kyai mengangguk mereka lantas berlalu keluar."Hasnah, kita bantu dzikir
"Paman, Bibik, ini Salwa ada sedikit tabungan. Semoga dengan ini bisa sedikit meringankan beban Paman dan Bibik." ucap Salwa sembari menyodorkan amplop coklat yang berisi sejumlah uang yang ia ambil ke Bank tempo hari.Harun dan Rodiya masih bergeming belum bereaksi apapun menatap amplop itu."Maaf jika selama ini Paman harus hidup susah karena Ibu, dan maaf juga Paman jika cerita hidup Salwa di kota membuat Paman dan Bibik malu." lanjutnya menatap adik dari Ibu kandungnya itu berkaca-kaca."Salwa, awalnya memang Paman marah sekali pada Ratih. Tapi, setelah mendengar cerita kamu dan membuktikannya sendiri, justru kini Paman merasa bersalah padanya.Karena amarah, Paman mengabaikan Ratih yang sebenarnya butuh bantuan Paman. Paman menyesal sekali tidak bisa menolong Ratih." sesalnya mendalam."Paman, kita masih punya kesempatan untuk menolong Ibu.""Tapi bagaimana caranya?" tanya Harun sedikit putus asa."Salwa yakin, kita bisa Paman. Sekarang terima dulu ini sebagai penebus rasa bersal
Dua hari berlalu begitu cepatnya, kini Salwa tengah gelisah sebab dari beberapa hari lalu Randa tak ada kabar beritanya. Sedangkan hari yang dinantikan Mak Saroh tinggal 3 hari lagi."Duh, gimana kalau Ayah Randa gagal menemui mbah Garmo ya?" gumam Salwa kembali mengirim pesan pada Randa namun masih centang satu.Cukup lama ia berdiam diri menantikan kabar dari Randa, bebraoa saat kemudian ia kembali melihat ponselnya rupanya pesan yang ia kirim sudah centang biru, itu artinya telah di baca oleh Randa.[Tenanglah, Ayah berhasil menemui mbah Garmo. Dan dia berjanji akan melepaskanmu jika apa yang menjadi keinginannya sudah ia dapatkan. Besok dia akan berangkat kesana. Ini Ayah sudah dalam perjalanan pulang dan masih di pelabuhan Merak mau menyebrang]Balasan Randa membuatnya sedikit tenang. Kini tugasnya mengikuti Mak Saroh lagi kemanapun ia pergi."Nek! Nek!" panggilnya sembari mengetuk pintu kamar Mak Saroh. Tak ada sahutan dari dalam, Salwa kemudian membuka pintu kamarnya. Rupanya
Usai dari warung, Mak Saroh pamit pergi ke ladang untuk memetik cabai. Sengaja Salwa tak ikut sebab ia akan ke kampung mati menemui Randa.Ia segera menyiapkan beberapa baju lengkap dan ia masukkan kedalam kantong kresek kemudian membawanya pergi menuju kampung mati. Sebelum pergi, ia sempatkan memberitahu Rodiya.Kali ini Salwa hanya memasang beberapa tanda saja, tidak seperti biasanya ia memasang tanda dalam jarak yang tak terlalu jauh.Ia terus melangkah menuju rumah Randa. Di persimpangan ia melihat sekelebat bayangan seorang wanita melintasi belakang rumah mendiang Ratna.Ia abaikan bayangan itu dan terus melajukan langkahnya, ia sudah sangat hafal akan kondisi kampung ini. Setiap kali ia menginjakkan kaki di kampung ini ia selalu di sambut dengan sekelebat bayangan, entah itu wanita, anak kecil bahkan ketika terakhir ia ke kampung ini ia diikuti oleh sesosok laki-laki tanpa lengan dengan wajah hancur, sampai perbatasan jembatan.Tak sampai 10 menit ia kini berdiri di depan rumah
Pagi ini pondok pesantren Al-Darrul Huda begitu riuh akan suara-suara merdu para santri yang turut berdzikir membantu Wahyu dalam usahanya memutus ajian Tali jiwo dalam dirinya.Para Santri dengan senang hati berdzikir, mengaji, berwiridan secara bergantian agar supaya doa mereka tak putus."Alhamdulillah, wa syukurillah! Atas ijin Allah, nak Wahyu sebentar lagi pasti kembali." ucap Pak Kyai kepada keluarga Wahyu."Apa itu artinya Wahyu berhasil, Pak Kyai?" tanya Hasnah."Insya Allah!"Kini mereka duduk melingkar di rumah Pak Kyai, usai sarapan bersama. "Tapi jika nak Wahyu berhasil melepaskan diri, tentu akan ada hal lain yang dilakukan Garmo nanti! Dia tidak akan menerima kekalahannya begitu saja." peringat Pak Kyai."Baiknya kita bersiap pergi ke kampung itu, perjalanan memakan waktu lebih dari 8 jam. Jangan sampai kita terlambat sampai di sana." lanjut Pak Kyai."Apa tidak menunggu Wahyu sadarkan diri lebih dulu, Pak Kyai?" usul Pak Haji Nurman."Kunci dari semua masalah ini ada
Hari ini adalah hari yang sudah Mak Saroh tunggu selama 16 tahun, hari dimana bulan purnama penuh. Sedari pagi Mak Saroh disibukkan dengan berbagai sesajian untuk melakukan ritual nanti malam.Berbanding terbalik dengan sang cucu, Salwa. Ia tengah diliputi kegundahan dan ketakutan luar biasa, sekuat apapun ia menahan air mata tetap mengalir juga dari kedua netranya."Apakah ritual ini akan berhasil menghidupkan Ibu kembali? Lantas bagaimana denganku dan bayi dalam kandunganku?" batinnya dalam hati.Air matanya kian deras membasahi pipi mulusnya. Berkali-kali sesak itu menghampiri mengingat hari ini adalah penentuan hidup dan matinya.Aroma dupa dan kembang tujuh rupa menyeruak indera penciumannya. Kepulan asap memenuhi setiap penjuru ruangan sempit ini.Dalam kondisi lemah tak berdaya Salwa menatap jasad sang Ibu yang terbujur kaku terbaring di sampingnya pada meja yang berbeda. Air mata kian deras mengucur mengingat begitu kejamnya sang nenek yang selama ini ia anggap keluarganya."B