Usai dari warung, Mak Saroh pamit pergi ke ladang untuk memetik cabai. Sengaja Salwa tak ikut sebab ia akan ke kampung mati menemui Randa.Ia segera menyiapkan beberapa baju lengkap dan ia masukkan kedalam kantong kresek kemudian membawanya pergi menuju kampung mati. Sebelum pergi, ia sempatkan memberitahu Rodiya.Kali ini Salwa hanya memasang beberapa tanda saja, tidak seperti biasanya ia memasang tanda dalam jarak yang tak terlalu jauh.Ia terus melangkah menuju rumah Randa. Di persimpangan ia melihat sekelebat bayangan seorang wanita melintasi belakang rumah mendiang Ratna.Ia abaikan bayangan itu dan terus melajukan langkahnya, ia sudah sangat hafal akan kondisi kampung ini. Setiap kali ia menginjakkan kaki di kampung ini ia selalu di sambut dengan sekelebat bayangan, entah itu wanita, anak kecil bahkan ketika terakhir ia ke kampung ini ia diikuti oleh sesosok laki-laki tanpa lengan dengan wajah hancur, sampai perbatasan jembatan.Tak sampai 10 menit ia kini berdiri di depan rumah
Pagi ini pondok pesantren Al-Darrul Huda begitu riuh akan suara-suara merdu para santri yang turut berdzikir membantu Wahyu dalam usahanya memutus ajian Tali jiwo dalam dirinya.Para Santri dengan senang hati berdzikir, mengaji, berwiridan secara bergantian agar supaya doa mereka tak putus."Alhamdulillah, wa syukurillah! Atas ijin Allah, nak Wahyu sebentar lagi pasti kembali." ucap Pak Kyai kepada keluarga Wahyu."Apa itu artinya Wahyu berhasil, Pak Kyai?" tanya Hasnah."Insya Allah!"Kini mereka duduk melingkar di rumah Pak Kyai, usai sarapan bersama. "Tapi jika nak Wahyu berhasil melepaskan diri, tentu akan ada hal lain yang dilakukan Garmo nanti! Dia tidak akan menerima kekalahannya begitu saja." peringat Pak Kyai."Baiknya kita bersiap pergi ke kampung itu, perjalanan memakan waktu lebih dari 8 jam. Jangan sampai kita terlambat sampai di sana." lanjut Pak Kyai."Apa tidak menunggu Wahyu sadarkan diri lebih dulu, Pak Kyai?" usul Pak Haji Nurman."Kunci dari semua masalah ini ada
Hari ini adalah hari yang sudah Mak Saroh tunggu selama 16 tahun, hari dimana bulan purnama penuh. Sedari pagi Mak Saroh disibukkan dengan berbagai sesajian untuk melakukan ritual nanti malam.Berbanding terbalik dengan sang cucu, Salwa. Ia tengah diliputi kegundahan dan ketakutan luar biasa, sekuat apapun ia menahan air mata tetap mengalir juga dari kedua netranya."Apakah ritual ini akan berhasil menghidupkan Ibu kembali? Lantas bagaimana denganku dan bayi dalam kandunganku?" batinnya dalam hati.Air matanya kian deras membasahi pipi mulusnya. Berkali-kali sesak itu menghampiri mengingat hari ini adalah penentuan hidup dan matinya.Aroma dupa dan kembang tujuh rupa menyeruak indera penciumannya. Kepulan asap memenuhi setiap penjuru ruangan sempit ini.Dalam kondisi lemah tak berdaya Salwa menatap jasad sang Ibu yang terbujur kaku terbaring di sampingnya pada meja yang berbeda. Air mata kian deras mengucur mengingat begitu kejamnya sang nenek yang selama ini ia anggap keluarganya."B
"Salwa! Nak, bangun Salwa!"Randa membopong tubuh Salwa dan segera berjalan menuju pintu hendak keluar. Tapi, lagi mereka terpental ke belakang, tak bisa melewati pintu yang terbuka lebar itu."Arrrggghhhh!!Ber*ngs*k!" umpatnya frustasi. Ia terpaksa kembali merebahkan tubuh kecil Salwa pada meja sebelumnya, memastikan bahwa Salwa masih bernafas."Oh, syukurlah!" gumamnya setelah memastikan Salwa masih bernafas."Oh, Tuhan! Apa yang harus aku lakukan?" ucapnya dalam hati."Yah, sakit!" rintih Salwa setelah sadarkan diri."Kenapa, Nak? Mana yang sakit?" tanyanya panik.Salwa mengerang dengan memegang perutnya, ia meringis kesakitan sedangkan keringat dengan cepat membasahi wajahnya."Permisiii!! Assalamualaikum!!"Randa dan Salwa saling bersitatap keheranan. Sayup mereka mendengar suara orang di luar sana."Permisiiii!!!" "Ayah dengar suara itu?" tanya Salwa."Iya, Ayah dengar. Siapa itu ya?" gumam Randa. Lantas ia bergerak menuju jendela dan melongokkan kepalanya keluar, tapi tetap
"Masih jauh lagi kah, Mbok? Sudah hampir maghrib loh ini?" tanya Murni semakin cemas."Masih lumayan, Bu. Kita lewat jalur barat jadi memang agak memutar, karena cuma di jalur itu mobil bisa sampai ke kampung. Itupun hanya sampai di kampung Bunga Jati, harus jalan kaki sekitar 15 menit lagi untuk sampai ke kampung Mak Saroh." jelas mbok Satiyem."Ya Allah, Mas tambah kecepatannya lagi!" perintah Murni pada Tri."Gak bisa, Dek. Lha wong jalannya begini, untung ini gak hujan kalau hujan malah kita gak mungkin bisa lewat." jelas Tri tanpa mengalihkan pandangannya pada jalanan yang ia rasa begitu sulit dilalui."Ya Allah, perasaanku gak enak ini." gumamnya sambil beberapa kali menghubungi nomor Harun namun tak dapat tersambung. Akhirnya ia putuskan untuk mengirim pesan saja.[Pak Harun, kami lewat jalur barat kata mbok Yem, ini belum sampai]Pesan ia kirimkan ke nomor Harun, dan masih belum terbaca oleh Harun."Duh, signal aja susahnya ampun, deh!" gerutunya sembari melihat layar ponsel.
"Sudah cukup main-mainnya, Garmo!"Pak Haji Nurman berdiri dengan gagahnya di ambang pintu. Mbah Garmo berdesis sembari memegangi dadanya."Jangan ikut campur kau, Nurman!" hardiknya sembari bangkit berdiri."Tentu! Aku tidak akan ikut campur jika kau juga tak mengusik keluargaku!" ucap Pak Haji tenang."Keluargamu? Yang benar saja!" Mbah Garmo tertawa sumbang.Sedangkan di luar rumah, Murni, Tri dan Pak Kyai, tengah membantu Harun yang terkapar tak sadarkan diri."Mahardika Mahendra itu keponakanku! Dan kau berani menyentuhnya!" ucap Pak Haji lagi.Salwa dan Rodiya kompak menoleh ke arah Dika yang masih tak sadarkan diri."Jangan salahkan aku, karena bocah ingusan itu yang masuk lebih dulu!" jawab Mbah Garmo."Apa yang kau cari Garmo?" ucap Pak Kyai yang muncul dari balik tubuh Pak Haji Nurman, diikuti Murni dan Tri yang memapah Harun.Rodiya segera berlari menyongsong tubuh suaminya dan segera membantu Tri membaringkan Harun di tepi lantai sebelah kanan, sedangkan Pak Haji dan Pak K
"Kami selaku perwakilan pemerintahan kelurahan Senyerang, mengucapkan banyak terimakasih untuk Pak Kyai Ahmad dan rombongan. Yang sudah berkenan membebaskan salah satu kampung kami yang selama lima tahun terakhir ini hilang dari pandangan mata manusia kami.Insya Allah, dalam waktu dekat kami akan segera membangun kampung mati yang sejatinya bernama kampung Belah ini. Kami akan segera mengajukan untuk penyaluran aliran listrik dan juga pembangunan jalan penghubung, supaya kampung Belah ini tak lagi terisolir.Kami juga akan mencari data pemilik lahan di kampung ini, siapa tahu mereka berkenan kembali menghidupkan kampung Belah ini."Ujar Pak Kades panjang lebar di hadapan para warga dan perangkat desa lainnya.Kejadian malam tadi menarik perhatian orang nomor satu di kelurahan Senyerang ini, lantas mendatangi lokasi beserta para stafnya.Pak Kyai Ahmad menjelaskan secara detail mengenai apa yang terjadi di kampung mati atau kampung Belah ini.Kepala desa dan jajarannya dibuat terkejut
Perjalanan panjang yang melelahkan jiwa dan raga, namun ada hasil yang melegakan.Hidup kami mulai berjalan normal kembali. Tak ada rintihan kesakitan suamiku, tak ada lagi kejadian-kejadian di luar akal sehat manusiawiku.Hari ini, tepat satu minggu dari kejadian terakhir di kampung waktu itu. Aku mengadakan pengajian syukur untuk kesembuhan suamiku, sekaligus acara syukuran empat bulanan kehamilan ke tiga yang Allah percayakan padaku.Haru, bahagia, lega dan bersyukur akan nikmat Allah yang begitu luar biasa dalam kehidupanku. Aku mengundang 100 anak yatim piatu dari panti asuhan dan juga mengundang seluruh keluarga besarku dan suamiku.Alhamdulillah semuanya datang menghadiri acara syukuran ini, terkecuali Salwa. Ya, Mbak Murni sudah menceritakan semuanya pada kami.Sejatinya kami, terkhususnya aku sendiri tak ada dendam dalam hati untuknya. Karena memang semua yang terjadi diluar kehendaknya sendiri, tapi dia sudah membuat keputusan yang terbaik dalam hidupnya dan kami harus meng