Share

2. Tantangan

Hari ini aku sampai di sekolah satu jam lebih awal. Aku berjalan santai seraya berkeliling melihat-lihat. Aku berdecak kagum karena sekolah ini sungguh megah dan besar. Kelasku ada di lantai 3, sedangkan sekolah ini ada 7 lantai. Ada liftnya juga, lagi.

 

Wow kereeen....

 

Sesungguhnya sampai sekarang aku nggak pernah nyangka bisa masuk di sekolah elit ini. Karena hampir semuanya di sini dari kalangan atas. Dengar-dengar sih siapa yang menjadi donatur terbesar, maka ia akan berada di urutan kelas pertama. Ketika ditanya akan kebenarannya, pihak sekolah sering membantah dengan berbagai alasan, tapi kenyataan selalu berkata lain. Anehnya, sekolah ini tetap menjadi salah satu sekolah yang paling diinginkan semua siswa, karena selain besar dan megah layaknya istana, fasilitas sekolah di sini sangat lengkap, semua gurunya pun teruji kualitas dan kemampuannya. 

 

Ada yang bingung kenapa aku bisa masuk kelas X-1? Yup, betul. Aku adalah salah satu siswi yang beruntung bisa masuk lewat jalur beasiswa prestasi. Jadi bisa kita simpulkan tiap kelas urutan pertama adalah percampuran antara siswa-siswi terkaya dan terpintar.

 

Sekarang aku boleh bangga, kan? Ini cita-citaku dari dulu. Sejak SMP, aku belajar mati-matian agar bisa masuk SMA Bakti Airlangga.

 

Di sekolah ini pernah punya cerita. Dulu, ada sepasang kekasih yang saling mencintai dan harus dipisahkan oleh orangtuanya karena perbedaan status mereka. Aku nggak tahu kelanjutan ceritanya seperti apa, tapi aku juga nggak mau ikut larut dalam kisah itu. Aku ingin maju. Aku ingin merasakan dicintai dan mencintai. Aku ingin mempunyai kekasih yang tampan dan kaya. Mungkin terdengar materialistis, tapi di sini aku hanya ingin tahu bagaimana rasanya mempunyai pacar populer. Untuk urusan jodoh, aku pasrahkan semua pada Tuhan.

 

Kakek dan nenekku pernah bilang, "Habiskan masa mudamu, asal jangan bertentangan dengan hukum dan agama." Makasih kek, nek, aku sayang kalian.

 

Aku sekarang sudah di lantai 7, masih melayangkan pandang pada  ruangan yang aku lewati. Lucu juga sekolah ini, penataan ruang kelas dibuat acak. Ruang kelas XII ada di lantai 1 dan 2, kelas X ada dilantai 3 dan 4, kelas XI ada di lantai 5 sama 6, sedangkan lantai 7 dipakai untuk kantin. Sebenarnya di bagian bawah—tepatnya berada di belakang gedung—disediakan kantin juga sih. Jadi terserah mau makan di kantin mana. 

 

Aku kembali turun ke ruang kelasku. Kukira aku satu-satunya yang datang paling awal, ternyata salah. Mataku menangkap sosok cewek berdiri membelakangiku, menghadap luar jendela. Kupandangi dari ujung kaki sampai rambut. Terasa familier.

 

"Surprise!" ucapnya berbalik sambil merentangkan kedua tangan.

 

Segera kusambut tangan itu dan kuajak berputar-putar. Aku bahagia sekali, akhirnya kami bisa satu sekolah dan sekelas lagi.

 

Adara Salsabila, namanya. Sahabatku dari kecil.

 

"Kok nggak bilang sekolah di sini, Ra?"

 

"Namanya bukan surprise dong kalo dikasih tau dari awal. Rencananya kemarin gue sama Tomi mau ngasih tau lo. Tapi dasar Tomi, dia nggak pernah bisa nahan tawa kalo giliran lo yang kena ledekan," lanjutnya.

 

Aku langsung manyun. Tuh anak dari dulu memang senang banget lihat aku sengsara.

 

"Tapi kemarin lo ke mana? Abis istirahat gue nungguin di kelas, lo nggak muncul-muncul?"

 

"Sebenernya ... gue kemarin ketiduran di ruang UKS, Ra. Pas bangun sekolah udah sepi, tinggal Pak Satpam doang." Aku meringis sambil mainin kedua ujung jari telunjukku, kusatukan seperti magnet yang bisa tarik-menarik.

 

Kalian masih ingat kan waktu aku kabur dari kantin? Berhubung jam istirahat belum selesai, aku langsung menuju ruang UKS. Eh, malah ketiduran. Untung aja nggak ada yang kunciin dari luar.

 

"Ya, ampun, Frel. Lo bego banget, sih. Tau nggak, kemarin Tomi kalang kabut nyariin lo. Dikira lo di-bully Kak Farah sama gengnya."

 

"Kak Farah? Siapa?"

 

"Elo beneran nggak tau?" Aku menggeleng. "Yang ngasih hukuman lo lari, emang lo pikir siapa?"

 

"Oh, namanya Kak Farah.... " Aku mengangguk-anggukkan kepala santai. Lebih ke nggak peduli.

 

Selanjutnya, Dara bercerita tentang kejadian kemarin. Tentang hukuman apa aja yang diberikan supaya bisa mendapatkan tanda tangan para Kakak OSIS. Aku sampai terpingkal-pingkal saat Dara bercerita ada cowok gendut disuruh menari tarian jaepong, ia tersandung kakinya sendiri karena badannya terlalu gemuk. Tuh cowok jatuh sampai tengkurap di atas lantai, hahaha ... kasihan banget!

 

Ada yang disuruh bernyanyi, melompat seperti kodok, push-up, bahkan ada yang disuruh menirukan ayam berkokok sambil mengepakkan sayap. Tapi giliran Tomi, Kak Farah menyuruh untuk merayunya dengan membawa setangkai bunga mawar. Cewek-cewek pada teriak histeris, mupeng melihat wajah tampan Tomi dan gaya rayuannya, terlihat elegan dan natural.

 

Dasar playboy kelas kakap!

 

"Oh, kalian baru tau betapa besar pesona gue?" Tahu-tahu Tomi datang dan mengalungkan tangannya ke bahu kami. Sambil memiringkan kepala kearahku, Tomi berbisik, "Apa lo mulai jatuh cinta ke gue lagi, Frel?" Tanpa ba-bi-bu, kutarik sekuat tenaga rambutnya.

 

Kesalahan fatalku yaitu pernah menyukai cowok seperti Tomi. Aku sangat menyukainya, itu dulu, sebelum aku tahu siapa sebenarnya Tomi.

 

"Adow, sak-sakit Frel. Lepasin rambut gue, adoww!" teriak Tomi kesakitan. Sedangkan Dara ketawa ngakak sambil megangin perutnya.

 

"Nggak bakalan gue lepasin sebelum lo janji nggak bahas itu lagi."

 

"Kalo soal itu, gue nggak jan— adow, sakit!" Aku makin kencang menarik rambutnya. Nggak peduli meskipun penghuni kelas sudah mulai berdatangan dan para cewek yang sekarang mendadak menjadi fansnya, menatap horor ke arahku.

 

Biar botak sekalian, tuh kepala. Rasain, siapa suruh ucapin kata laknat itu lagi. Hitung-hitung balas dendam. Berani-beraninya ninggalin aku sendirian di lapangan.

 

"Gu-gue janji, Frel. Sekarang lepasin, please."

 

Seketika kulepas kedua tanganku, beberapa helai rambutnya rontok. Aku menyeringai puas melihat keadaan Tomi yang syok meratapi nasib rambutnya. Hahaha....

 

Tiba-tiba kelas menjadi hening bersamaan dengan datangnya cowok cuek tanpa melihat sekeliling. Bahkan Dara yang sedari tadi masih ketawa, mendadak diam dan kepalanya mengikuti arah cowok itu sampai berhenti di meja barisan nomor tiga. Memang khusus MOS, anggota OSIS yang menentukan tempat duduk kami dari awal.

 

Sontak dahiku berkerut bingung. Sayangnya, sebelum menuntut penjelasan Dara, terdengar suara dari pengeras suara yang ditujukan kepada semua murid untuk berkumpul di tengah lapangan.

 

Ketua OSIS—Kak Kevan—memulai pembukaan dengan memberikan detail acara untuk hari ini. Semua cewek nggak ada yang berisik. Diam menyimak, atau lebih tepatnya terpana dengan ketampanan dan karismanya, bahkan anggota OSIS cewek pun sama, tak terkecuali Kak Farah. Artis jadi-jadian sampai senyam-senyum nggak jelas. Kesambet setan alas nih, kayaknya.

 

Dara berbisik di sampingku, "Lo tau nggak, ada cewek kelas X-2 yang cantiknya ngalahin temen kita, si Sasha? Tuh anaknya tepat di samping gue, barisan sebelah. Namanya Cantika."

 

Aku mengikuti arah pandang Dara. Sasha itu salah satu primadona di SMP-ku. Cantiknya sudah buat aku iri dari dulu, salah satu mantannya Tomi juga.

 

"Kayaknya saingan lo kali ini bakalan lebih berat deh, Frel."

 

Jika melihat ekspresinya sih setuju banget apa kata Dara. Tuh, mandang Kak Kevan aja hampir netesin liurnya, gitu.

 

Huft ... kayaknya aku harus lebih agresif lagi, nih.

 

Sekarang yang berbicara bukan Kak Kevan lagi, melainkan wakilnya, si garang. Ini cowok kata Dara termasuk tampang playboy, katanya kemarin sudah ada beberapa teman kami yang kena gombalan sama rayuannya. Aku nggak habis pikir, gimana bisa cowok sarap kayak dia disebut Playboy? Astaga ... hancurlah dunia persilatan.

 

Acara diawali dengan senam di pagi hari dan dilanjutkan dengan  kegiatan penampilan yel-yel antar kelas. Berikutnya kami diminta mengeluarkan semua bekal sesuai daftar syarat wajib MOS yang tertulis di mading. Bukan bekal nasi, sih. Bekal aneh, tapi pasti ada sesuatu yang lucu nantinya.

 

Tuh kan, ada beberapa murid yang nggak sesuai dengan tebakan mereka.

 

Disuruh bawa permen 17 , harusnya kan permen kis, malah yang dibawa permen kopiko, termasuk Tomi. Disuruh bawa buah berurat, eh, malah bawanya apel bukannya jeruk. Minuman daerahku, harusnya kan mizone, Maya—cewek genit di kelasku—bawanya 2 jenis minuman. Coca cola sama fanta. Nih orang kaya yang dipikirin apaan, sih?

 

Giliran Dara, disuruh bawa jenis makanan yang berkode pocong Indonesia, dia malah bawa lontong. Emang, lontong ngikatnya ditali pocong, hahaha.

 

"Lo jangan ngetawain gue!"

 

Aku masih ketawa. "Lo sih lucu, pocong Indonesia itu mah sama aja sosis, bukan lontong. Lagian tumben lo nggak tanya gue dulu?"

 

"Kalo kemarin tanya, sama aja nggak bikin surprise dong," tutur Dara. Aku terkikik geli melihat Dara yang manyun 3cm.

 

Ada satu lagi yang bikin aku ngakak. Kodenya sih disuruh bawa bis tahan capek, bukannya membawa biskuat, eh, malah bawa BIS JERKY. Kalian tahu siapa yang bawa?

 

CANTIKA.

 

Itu bukan makanan manusia, tapi makanan anjing. Bwahahahahaha....

 

Semua yang ada di lapangan kontan tertawa. Di antara semuanya, aku yang tertawa paling keras di sini. Mumpung sama saingan sendiri. Apalagi di produknya terdapat foto anjing yang segede tong sampah! Ketawaku makin kencang, sampai air mataku tumpah ruah. Ini cewek, cantik-cantik kok oon.

 

Dari semua murid baru dengan jumlah lebih dari 200 anak, tebakan yang jawabannya benar 100 persen hanya 23 murid, termasuk aku dan cowok cuek yang entah siapa namanya.

 

Kak Kevan turun tangan dan meminta kami untuk diam. Karena yang salah menjawab jumlahnya lebih banyak, Kak Kevan memberikan hukuman kepada mereka untuk membuat makalah secara berkelompok.

 

Nah, ya, ini salah satu contoh pemimpin yang bijaksana. Hukuman itu nggak harus bentuk fisik atau bentakan, bukan? Tapi bisa dengan cara lain yang lebih mendidik. Cara Kak Kevan jauh lebih efektif dan sesuai dengan tujuan pendidikan daripada sebuah ajang kekerasan di dalam institusi sekolah maupun kampus.

 

Ahh, makin klepek-klepek nih sama Kak Kevan.

 

***

 

Bel berbunyi tanda untuk istirahat. Aku melihat sejenak lembaranku yang baru terisi satu tanda tangan Kak Kevan. Ingin rasanya hanya satu tanda tangan itu aja yang tertulis di lembaran putih ini. Tapi nggak mungkin boleh, kan?

 

Kemudian aku berpikir, mungkin enam atau tujuh tanda tangan lagi, hanya untuk formalitas aja. Toh, ujung-ujungnya nanti kena hukuman.

 

Aku mencari kakak kelas yang bergerombol. Lumayan, dapat satu hukuman, lima tanda tangan di genggaman. Aku bersiul sambil melihat sekeliling. Kali aja ada kakak kelas bergerombol lagi. Dari belakang aku melihat ada 3 Kakak OSIS yang sedang bercanda.

 

"Kak, boleh minta tanda tangannya?" tanyaku.

 

Setelah mereka berbalik, aku benar-benar terkejut. Sungguh. Apa boleh aku menghilang saat ini juga?

 

Aku buru-buru berbalik selepas melihat siapa tuh cowok.

 

"Woy ... kesini!"

 

Telat. Mampus!

 

Aaaaaaa ... gawat, gawat.

 

Lari nggak, ya? Kalau aku balik badan, si curut-curut itu bakalan mencincangku di depan Kak Kevan.

 

Oke, sekarang LARI!

 

"Eits, mau ke mana lo?"

 

Shit!

 

Cowok gila ini sudah duluan menghadangku sambil merentangkan kedua tangannya menghalangiku.

 

"Emang kakak pikir saya ayam!" ucapku galak sambil berkacak pinggang.

 

"Buat jaga-jaga siapa tau lo mau kabur." Ia menyengir lebar. "Ayo, kembali!"

 

Ia menggiringku balik badan, berjalan ke tempat mereka semula.

 

"Lo kenapa nunduk, gitu? Kayak cacing kepanasan, lagi."

 

Kampret!

 

Tuh mulut nggak pernah di sekolahin kali, ya. Mulut asal jeplak aja. Nggak tahu apa, nervous woy ... nervous! Ada cowok ganteng di depan.

 

"Suka-suka saya dong, Kak," jawabku sewot. "Haiii, Kak Kevan...." Mending nyapa Kak Kevan, hitung-hitung PDKT.

 

Kak Kevan tersenyum. "Hai, Frel. Mau minta tanda tangan?"

 

"Wuidih, yang disapa cuma Kevan aja, nih," sindir si kalem. Pura-pura nggak dengar aja, deh.

 

"Iya, Kak. Tanda tangannya Kak Kevan, boleh?"

 

Alis tebalnya berkerut bingung. "Bukannya kemarin udah tanda tangan?"

 

Aku meringis, mulai melancarkan aksiku. "Tanda tangannya bukan di kertas, Kak, tapi ... ee ... di ... eee ... di hatiku." Kugigit bibir bawahku.

 

Setelah aku sadar apa yang barusan aku ucapkan, seketika kututup wajahku dengan kedua tangan. Malu, super malu! Mau aku kemanain ini wajah kalau Kak Kevan nggak suka rayuanku malah jijik.

 

"Bwahahahahahahaha!!"

 

Aku sudah tahu pasti mereka berdua bakalan kayak gini. Ngetawain aku lagi. Aku sih sudah kebal, tapi yang aku khawatirkan bukan itu.

 

Kubuka tanganku perlahan, aku hanya ingin memastikan reaksi Kak Kevan.

 

Melongo? Reaksi apaan, tuh?!

 

Kak Kevan baru bereaksi ketika kedua temannya berdeham. Ia tiba-tiba batuk dan menggaruk kepalanya. Apa aku boleh nebak Kak Kevan salah tingkah? Ah, manis sekali.

 

"Ada yang salting tuh, Vin," celetuk si kalem.

 

"Eee ... Kak, saya minta tanda tangan kalian berdua juga, ya?" Aku mengalihkan pembicaraan, kasihan Kak Kevan wajahnya sampai merah, gitu.

 

"Boleh, tapi kami punya tantangan buat lo. Berani?" tantang si garang, sebelah alisnya terangkat meremehkan.

 

Wajahnya yang songong itu lama-lama pengen kugampar. "Udah gue duga, keberanian lo sama kayak tubuh lo. Pendek."

 

Mataku melotot. Apa? Dia bilang apa? PENDEK?

 

"Oke, saya terima tantangan kakak," jawabku tanpa pikir panjang. "Dengan satu syarat, JANGAN SEBUT AKU PENDEK LAGI!" Mereka tergelak bersama-sama. "Nggak ada yang lucu, Kak." Aku mengentakkan kaki dan berbalik pergi meninggalkan mereka.

 

"Oke, deal. Gitu aja marah. Sini, mana kertasnya."

 

Aku membalikkan lagi tubuhku dan menyerahkan kertas lembaran kepada mereka berdua.

 

ARI HAKIM HERLAMBANG. Nama dari cowok yang wajahnya kalem. Lumayan keren namanya.

 

Aku beralih membaca nama satunya lagi. ALVIN MANSYUR SUBAWANNUR. Aku membekap mulutku tak percaya. Sedetik kemudian, giliran aku yang terbahak-bahak.

 

"Hwahahahahahahaha...."

 

Sekarang aku jongkok memegangi perutku, tawa ini belum bisa kuhentikan, makin lama makin membahana. Beberapa siswa bahkan ada yang mulai berkumpul melihat kami.

 

Sebelum aku kasih tahu, kalian jangan mikir aku gila, ya. Kasih aku waktu mentertawakan si garang dengan puas.

 

Aku lihat mereka bertiga menatapku bingung. Apalagi si garang, sepertinya ia ingin menerkamku hidup-hidup.

 

"Heh, lo gila, ya?! Nggak ada yang lucu di nama gue."

 

Ide jailku muncul ke permukaan. "Yakin, Kak, nggak ada yang lucu?" Kedua alisku sengaja kunaikturunkan.

 

"Yakin seratus persen!"

 

"Saya harap setelah mengatakan ini, kakak nggak akan nangis gulung-gulung saat pulang sekolah nanti."

 

"Gue nggak takut, dan nggak bakal ngelakuin hal bodoh kayak gitu. Ayo, cepat!"

 

Bisa kutangkap ekspresinya yang sangat geram, tapi membuatku tertawa lagi. Benar-benar lucu. Matanya melotot tajam hingga urat-urat pada wajahnya terlihat.

 

"Oke, oke, akan saya katakan, Kak." Cukup sampai di sini aku menggodanya, aku nggak mau membangunkan singa yang sedang kelaparan. "Ehm, kakak tau kepanjangan nama penyanyi dangdut Mansyur S?" tanyaku sengaja mengecilkan suaraku agar tak terdengar siswa lain.

 

"Jadi cewek kayak lo suka dangdut beginian?" Ia tersenyum miring mengejekku.

 

"Enak aja, yang suka dangdut itu nenek. Tiap hari selalu nyanyi dangdut, apalagi dangdut zaman dulu. Termasuk lagunya MANSYUR S." Aku menekan kata nama terakhir supaya ia sadar maksudku.

 

Gleg!

 

Si garang menelan ludah dengan susah payah. Wajahnya seketika berubah pucat, sedangkan kedua temannya sudah menahan tawa dari tadi.

 

Aku maju dan berbisik tepat di telinganya, "Kak, mau tau nggak kepanjangan pedangdut Mansyur S?" Ia makin melotot, mungkin sebentar lagi bola matanya akan keluar dan menggelinding ke bawah. Aku tahu sebentar lagi riwayatku akan tamat. Aku mundur beberapa langkah lalu mengatakan, "Namanya adalah ... MANSYUR SUBAWANNUR!!" teriakku keras.

 

Tawa Kak Kevan dan Kak Ari menggelegar ke mana-mana. Aku senang menatap tawa Kak Kevan yang lepas. Baru kali ini aku melihatnya dan ternyata ia semakin tampan. Tapi aku segera tersadar setelah mendengar geraman dari si garang.

 

Mati aku! Kayaknya si garang siap mengeluarkan tanduk untuk menyerudukku. Aku benar-benar mendapat masalah besar.

 

Aku mundur pelan-pelan, segera berbalik dan mengambil langkah seribu.

 

"Woy, cewek pendek! Jangan kabur lo!"

 

***

Kupegangi bangku taman kuat-kuat. Napasku tersengal-sengal, persis seperti ikan gabus di sungai kering. Sesekali aku menengok ke belakang, siapa tahu cowok sableng yang lagi mengejarku tiba-tiba muncul layaknya pocong.

 

"Lo kenapa, Frel? Lari aja kayak orang dikejar setan," tanya Dara, yang lagi duduk di bangku taman sambil mengayun-ayunkan kakinya. Sesekali ia menjilati permen lolipop yang ia beli dari kantin sebelah.

 

"Lebih dari ... hosh ... hosh ... setan, Ra. Yang lagi ngejar ... hosh ... gue ini, banteng yang lagi ngamuk," jawabku, ngos-ngosan.

 

"Wah, enak dong. Berasa nonton matador dan banteng yang lagi beraksi," balas Dara, senang.

 

"Enak, kalau gue yang jadi matadornya, Ra. Nah ini, dia yang jadi bantengnya, tapi gue jadi kain merah yang harus siap diseruduk bantengnya," protesku, yang sudah mulai bisa mengatur napasku.

 

Dara makin ketawa, aku jadi semakin kesal.

 

Kampret! Teman menderita, bukannya iba, malah ketawa.

 

Kutengok lagi ke belakang.

 

Sial, sial, siaaaalll....

 

Tuh cowok, larinya cepat banget.

 

Aku kembali berlari dan melihat tong sampah gede di depanku. Aku sembunyi di baliknya.

 

"Mana tuh pendek, cepet banget ngilangnya."

 

Enak aja gue dibilang pendek, orang imut plus unyu gini! Hihihi.

 

"Lo apaan sih, Vin. Dari tadi nyebut Frel pendek terus. Kasihan dia."

 

Itu kan suara Kak Kevan? Betul itu Kak!

 

"Kalo nggak pendek, terus gue sebut apa, Kev? Kecebong?"

 

Dasar setan alas, tuyul buntung, pocong ngesot! Enak aja di—

 

"Aaaaaaaa ... ada kecoaak!!!" Aku melompat dari tempat persembunyian dan berteriak, "Dasar hewan jorok, sial, brengsek, bedebah, kolor ijo sialaan...!" teriakku, memaki kecoak yang tadi nemplok di kakiku.

 

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Kak Kevan menatapku dengan pandangan khawatir.

 

"Ng-nggak apa-apa kok, Kak. S-s-saya tadi cuma—"

 

"Cuma mengumpat nggak jelas sama kecoak kayak orang gila, gitu?"

 

Mendengar ia asal motong ucapanku, aku mendesis sebal dan menatap Kak Alvin tajam. Bukannya takut, ia malah semakin maju mendekatiku. Otomatis aku refleks mundur dan berniat kabur, tapi ia malah menarik kerah seragamku dari belakang.

 

"Mau kabur ke mana lagi, lo?"

 

"Ampun, Bang Mansyur. Lepasin saya ya, Bang." Mampus! Ledekanku nggak sesuai tempat, lagi.

 

Kak Ari ketawa ngakak. Nih cowok memang benar-benar sarap!

 

"Lo bilang apa? Mau mati, hah!"

 

"Ampun, Kak. Lepasin ya, ya...," ucapku melas.

 

Sebenarnya bukan masalah dilepasin apa nggak. Bukan masalah takut ancaman si Abang Mansyur.

 

Tapi ... MALUNYA itu loh.

 

Kak Alvin narik kerah seragam belakangku itu bukan kayak narik orang, tapi kayak narik tengkuk leher kucing yang baru lahir.

 

"Lo nggak pura-pura lupa sama tantangan itu, kan?"

 

"Iya, iya, ingat, Kak. Tapi lepasin dulu. Malu tau!" Kak Alvin menyengir lebar setelah melepas kerah seragamku. "Apa tantangannya?"

 

Aku cemas setengah hidup. Ini cowok pasti mau ngerjain aku lagi.

 

Kak Alvin menyeringai iblis. "Rayu dan ajak kencan Kevan di tengah lapangan. BESOK."

 

Krik, Krik.

 

Hellooo, ada orang di sini??

 

Kak Kevan kaget.

 

Kak Ari melongo.

 

Sedangkan aku?

 

SYOK DI TEMPAT, SAUDARA-SAUDARA!

 

***

 

 

 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Tami Andriani
good good... sukaa aaaa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status