Share

FREL.
FREL.
Penulis: malapalas

1. Bertemu Cogan (Cowok Ganteng)

Kalian pernah berpikir nggak, setiap pasangan kekasih di dunia ini kadang nggak adil buat kita.

 

Ganteng sama cantik, gagah sama seksi, kaya sama kaya. Atau begini, cowok ganteng miskin sama cewek jelek, tapi kaya. Atau sebaliknya, cewek cantik miskin sama cowok jelek, tapi kaya.

 

Nah, loh?

 

Sampai di sini kalian bisa mikir nggak, ada kejanggalan yang sangat kentara dari ciri pasangan yang aku sebutkan?

 

Kalau kalian masih belum mengerti, coba kalian lihat di salah satu tempat yang sangat terlihat jelas.

 

Mall! Ya, Mall!!

 

Di mall, kalian bisa lihat ratusan pasangan yang berjalan beriringan dan bergandengan tangan. Dari sekian banyak pasangan coba kalian perhatikan, yang memiliki tingkat kepercayaan diri tinggi itu siapa?

 

Oke, karena pandangan setiap orang berbeda, mungkin aku sendiri yang akan menjawab.

 

Jawabanku adalah ORANG KAYA DAN FISIK YANG SEMPURNA.

 

Hey, aku menjawab itu bukan tanpa alasan. Aku bisa cerita sedikit tentangku.

 

Saat sekolahku memasuki liburan panjang, aku pernah beberapa kali bekerja di mall sebagai SPG di sebuah toko pakaian. Toko punya orangtua temanku, pastinya. Kalau nggak, mana ada anak sekolah sepertiku bisa lulus seleksi dengan mudah.

 

Di sana aku sering menemukan pasangan yang benar-benar membuat iri, gondok, dan nelangsa secara bersamaan.

 

Si cowoknya nih sangaaat tampan, begitupun sebaliknya, ceweknya juga nggak kalah super duper cantik dan seksi. Mereka berjalan beriringan, bergandeng tangan, saling tukar cerita, dan dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi, mereka bisa ketawa ngakak. Nggak peduli sama orang yang ada di sekelilingnya.

 

Dari gaya bicaranya aja aku bisa jamin, kalau mereka memang sengaja agar bisa jadi pusat perhatian kami.

 

Ya, ya, ya ... sudah tahu kok kalian pasangan serasi, nggak usah lebay, deh. Nggak usah bikin baper akut. Tapi, kalau memang benar itu alasannya, mereka menang telak. Karena apa? Karena waktu itu aku benar-benar dibikin mupeng sama mereka berdua. Iri tapi tak mampu. Hiks, hiks....

 

Oke, sekarang fokus!

 

Aku juga pernah lihat pasangan yang sangat mencolok, dari segi fisik atau apa ya? Ah, lupakan.

 

Jadi begini, pasangan yang cowok itu perawakannya kurus, tinggi, hitam, rambut keriting, dan giginya? ASTAGA ... agak kelebihan, gitu. Di belakangnya tak lupa ada beberapa bodyguard yang selalu mengikuti apa perintah si cowok, sedangkan si ceweknya nih, berbanding terbalik 180 derajat. Ya, Tuhan ... sangat kontras sekali! Kulit putih, rambut panjang lurus, langsing, cantik banget malah. Tapi nih cewek lengket terus sama si cowok. Mungkin karena ada maunya kali ya.

 

Kayak gini, "Sayang, aku mau ini, ya? Sayang, aku cantik pakai gaun ini? Bagus nggak? Tambah ini, boleh?"

 

Sekali kedipan mata, apalagi ditambah pakai cium pipi, si cowok langsung bilang, "Boleh, sayang. Apa sih yang nggak buat ayang." Huek ... prett!

 

Dari contoh tersebut bisa kita lihat, seumpama nih kalau cantik berpasangan sama tampan, cantik berpasangan sama yang kaya meskipun jelek kayak tadi, terus yang jelek sama siapa? Yang miskin sama siapa, coba?

 

Atau harus begini, yang jelek bagusnya sama jelek? Dan miskin harus dengan orang miskin, begitu?

 

Mau nasib kalian seperti itu? Kalau aku sih, OGAH.

 

Nah, karena besok hari pertamaku mengikuti MOS di SMA Bakti Airlangga, aku harus bersiap-siap mulai dari sekarang. Aku harus buktikan, nggak cuma cewek cantik dan kaya aja yang bisa punya pacar tampan dan terkenal.

 

Siapa lagi coba yang bisa mengubah nasib kita jika bukan kita sendiri. Termasuk nasib cinta kita.

 

SEMANGAT, SEMANGAT, SEMANGAAAT!!!

***

 

Namaku Frela Lidiana Putri. Cukup panggil nama depanku aja, Frel, tanpa A.

 

Sejak setengah jam yang lalu aku mematut diri di depan kaca. Kuputar beberapa kali tubuhku ke kanan dan kiri, melihat penampilanku dari bawah ke atas.

 

Sepatu hitam polos dan bertali, kaos kaki 15cm dari mata kaki, ikat pinggang, kuku tidak panjang, tidak membawa HP dan perhiasan. Tas dari karung terigu berbentuk ransel, tali tas terbuat dari sumbu kompor yang dililit rafia hijau dan ungu, diberi identitas nama serta kelas pada tutup tas. Rambut dikuncir pakai pita warna emas sebanyak urutan kelas masing-masing.

 

Nah, kalau soal rambut, ini nih yang paling kusuka. Karena aku berada di kelas X-1, otomatis kunciran rambutku cuma 1. Kelas X ada 10 ruangan. Bayangin aja mereka yang berada di ruangan paling ujung sana, kunciran mereka pastinya bertebaran di semua sisi kepalanya. Biar nyaho, hahaha.

 

Selanjutnya, kalung tali rafia biru pakai bandul 4 kerupuk uyel putih, rok 5cm di bawah lutut. Kulirik rok seragamku, 3cm di atas lutut. Aku meringis, nggak sanggup bayangin hukuman apa yang menantiku nanti.

 

Ah, bodo amat!

 

Setelah beberapa kali melihat perlengkapan lainnya, aku langsung berangkat ke sekolah baruku, setelah sarapan pagi dan pamit sama kakek-nenek, tentunya.

 

***

 

Aku berlari secepat yang aku bisa. Aku nggak mau terlambat di awal kegiatan MOS. Tapi apa daya, meskipun aku berubah jadi supergirl, terbang dengan kecepatan super, nggak akan mengubah kenyataan bahwa hari ini pasti telat. Karena posisi sekarang memang sudah telat lima menit.

 

Sial!

 

Ini gara-gara si sopir angkot kampret. Angkotnya mogok di tengah jalan. Bilangnya apa tadi? Semalam sudah dicek?

 

Ah, alesan!

 

Mana ada malem-malem ngecek mesin angkot? Tante kunti, kali.

 

Padahal jarak tinggal 200m lagi, eh, kena macet beruntun. Alhasil, ini kaki terpaksa kuajak lari tunggang langgang.

 

Napasku ngos-ngosan.

 

Jam tujuh lewat dua puluh menit aku tepat di depan gerbang SMA Bakti Airlangga. Aku berhenti dengan badan membungkuk dan kedua tangan bertumpu di lutut. Kuseka keringat yang beberapa kali jatuh dari pelipis dengan rasa gusar.

 

Tapi tahu-tahu ada 4 kaki, eh, 1, 2, 3, 4, 5 ... 6 kaki! Kuhitung sekali lagi, eh, salah, maksudku 3 pasang sepatu berada tepat di depanku.

 

Sekilas kudengar ada yang hampir ketawa, mungkin melihat tingkah konyolku yang lemot saat menghitung itu sepatu, tapi ditahannya mati-matian.

 

Aku mendongak, mataku membulat saat melihat siapa yang ada di depan.

 

Wowww!

 

Ada satu cowok ganteng dan super keren berdiri bersama dua cowok di depanku. Kulirik name tag cowok paling ganteng, tanpa nama hanya bertuliskan gelar "Ketua OSIS". Cowok di bagian tengah "Wakil Ketua OSIS", dan terakhir bertuliskan "Sekretaris".

 

Sedetik kemudian, "Hai, Kaaak." Aku cengengesan sambil menyapa mereka dengan ceria.

 

"Ehm!" Suara dehaman seseorang yang berada di tengah, wajahnya terlihat lebih garang dari kedua cowok lainnya.

 

Mati aku!

 

"Kak, boleh ya, saya masuk? Boleh ya, ya, ya?" Rayuan kedua meluncur sambil memasang wajah termelas. Niru adegan Upin Ipin saat merayu Opa.

 

Ketua OSIS di sebelah kanannya tersenyum. Satu lagi senyumnya itu loh, cuit, cuit ...  teh manis buatan Pak Mamat—warung kopi 24 jam di sebelah rumahku—yang masang banner segede layar tancep, itu sih lewaaat.

 

Tapi tiba-tiba cowok garang itu menggeser badan ke kanan menutupi cogan.

 

Yaah, gagal lagi!

 

Nih cowok kayaknya memang sengaja menutupi cogan deh, biar nggak kena rayuan melasku.

 

Aku melotot ke arahnya.

 

"Jam berapa sekarang?" tanya si cowok garang yang tak lain adalah Wakil Ketua OSIS sembari menunjuk jam di pergelangan tangannya.

 

Nyaliku menciut setelah menyadari kesalahanku. Sempat kudengar tawa tertahan lagi. Terdengar seperti bunyi mengi. Kemudian kulirik ke arah suara yang sedari tadi mengusik pendengaranku.

 

Tepat di sebelah kiri cowok garang ada cowok berpenampilan kalem, lumayan manis, menjabat sebagai "Sekretaris", menahan tawa sekuat tenaga sampai-sampai wajahnya berubah jadi tomat.

 

Oh, kasihan banget nih, cowok. Perlu dikasih pertolongan!

 

"Kak, menahan tawa itu dapat mengakibatkan penyakit Gelotophobia loh, Kak. Jadi, ungkapan tertawalah sebelum kamu ditertawakan itu salah banget. Yang benar nih, ya, Kak, tertawalah kamu sebelum penyakitan," ucapku polos, tanpa berniat mengesampingkan pertanyaan si cowok garang.

 

"Bwahahahahaha!" Tawanya meledak keras. Bahunya terguncang-guncang, dipegangi perut sambil sesekali membungkuk. Terlihat juga cogan tersenyum geli dan menggelengkan kepalanya, sedangkan cowok garang matanya melotot seakan mau keluar.

 

Aku melongo.

 

Nah, loh? Ditolongin biar nggak kena penyakit kok malah ketawa, sih. Tahu kan apa itu penyakit Gelotophobia? Penyakit yang takut akan ketawa. Kalian pikir nggak ada penyakit kayak gitu? Ada!

 

Aku pernah membaca dari internet, tapi aku lupa sebenarnya ini artikel siapa penulis aslinya, karena yang kuingat banyak sekali yang menulis kutipan ini dengan kalimat yang hampir sama tetapi para penulisnya berbeda-beda.

 

Artikelnya kalau tidak salah seperti ini, "Dalam sebuah studi, peneliti dari University of Zurich, Swiss, sudah melakukan survei kepada orang-orang dari berbagai negara. Mereka menemukan bahwa tidak sedikit orang yang mempunyai penyakit malu atau takut tertawa. Menurut seorang psikolog dari Autonomous University of Madrid, Spanyol, alasan orang takut atau malu tertawa disebabkan ketakutan akan respons dan reaksi yang muncul terhadap lingkungan sosialnya. Sehingga ia lebih memilih menahan ketawanya daripada nanti ia dapat malu."

 

Lihat, berarti nggak ada yang salah dong sama ucapanku, terus kenapa mereka tertawa, coba!

 

"Kamu bisa masuk sekarang," ucap cogan, lembut. Masih tersisa sedikit senyum di bibirnya.

 

"Saya, Kak?" tanyaku sembari menunjuk diriku sendiri.

 

"Ya, kamu. Siapa lagi?" jawabnya lembut lagi.

 

Hampir aja aku pingsan tiap kali dengar nada bicaranya. Suaranya dalam dan empuk.

 

Hmm ... ini suara apa roti bantal, ya?

 

Dan mata itu tiba-tiba menghipnotisku. Aku termangu dan terus menatapnya.

 

"Kok malah bengong?"

 

"Eh? I-iya, Kak." Aku tergagap dan segera berlari menjauh. Kubalikkan lagi badanku ke arah belakang. Kali ini terlihat si cowok garang itu tertawa terpingkal-pingkal. 

 

Samar-samar kudengar cowok garang berkata, "Itu cewek tadi ngomong apa? Tertawalah kamu sebelum penyakitan? Bahahahahaha...."

 

Kupicingkan mataku, cowok garang itu benar-benar sialan. Tadi sok cool, sok galak, sekarang apa nih? Lebay! Ketawa aja sampai mukul-mukul pohon.

 

"Apa dia nggak tau, lo kan sengaja nahan tawa buat jaga image, bukannya penyakitan."

 

Ih, lagi-lagi tawanya makin kencang. Apa? Jaga image? Jadi, tadi cuma akting?

 

Double sialan!

 

***

 

Aku berjalan ke arah sekumpulan Kakak OSIS, sengaja kuperlambat guna mencari alasan yang tepat supaya nggak terdengar berlebihan.

 

"Tau kesalahan kamu apa?" tanya cewek yang dandanannya kayak artis lagi nungguin panggilan manggung.

 

"Selamat pagi, Kak ..., salam dulu ya, Kak," ucapku, tersenyum ala Dian Sastro.

 

"Pagi. Sekarang jawab!" balasnya geregetan sambil melotot ke arahku.

 

"Datang terlambat, Kak," jawabku polos.

 

"Menurut kamu cuma itu?" Waduh, pelototannya makin lebar aja. "Kamu bisa liat kenapa yang lain keliling lapangan?!" lanjutnya.

 

Ya, iyalah, tau. Orang yang dihukum cewek semua, mencolok banget lagi penyebabnya apa. Akan tetapi aku menggeleng pelan dengan mempertahankan wajah polosku.

 

"Liat lagi cewek pendek!!"

 

Apa? Pendek? Ugh! Dari SMP julukan itu sudah melekat kayak lem. Biasanya ada yang menyebut pendek, mungil, anak kecil, anak bayi, anak belum baligh, dan macam-macam sebutannya. Itu semua gara-gara tinggiku yang hanya 150cm. Kupikir di sekolah baru, julukan itu akan segera kutanggalkan. Siapa tahu pertumbuhanku berkembang pesat saat memasuki masa SMA. Oh, nyatanya, harapan tinggal harapan.

 

Tawa membahana dari belakang mengagetkanku.

 

Brengsek!

 

Aku tahu siapa pelakunya. Siapa lagi kalau bukan cowok sableng yang pernah satu sekolah di SMP-ku dulu. Dasar Tomi, brengsek! Sekolah di sini nggak bilang-bilang?

 

Kualihkan pandanganku ke tempat lain, tempat di mana ketiga anggota OSIS yang mencegatku di depan gerbang tadi.

 

Sudah kembali rupanya!

 

Sekretaris itu tertawa cekikikan yang disamarkan menjadi batuk. Aku mendengus. Saat detik ini juga, harapanku untuk menanggalkan julukan itu pupus seketika.

 

"Semua harap diam!" teriak salah satu kakak pembina yang ada di samping cewek artis dadakan tadi. "Silakan dilanjut!" ungkapnya tegas.

 

Hening. Kenapa serasa seperti di pengadilan, ya?

 

Aku menarik napas kuat-kuat. "Rok di atas lutut, Kak." Kujawab aja penyebab yang sesungguhnya. Toh bakalan percuma jika berlagak bego.

 

"Bagus. Ayo, lari 25 putaran!"

 

Lamunanku buyar selepas mendengar kata 25 putaran. Busyet, dah! Siapa coba yang sanggup keliling lapangan segitu banyaknya?

 

Woy ... Ini kaki, bukan mesin!

 

***

 

Putaran terakhir selesai. Napasku senin kamis, keringat bercucuran dan kaki ini rasanya mau patah. Kulihat artis jadi-jadian itu tersenyum iblis dan segera meninggalkanku sendirian di tengah lapangan.

 

Lihat aja,  kubalas nanti!

 

Oh, lihat, baju seragamku basah semua. Berasa mandi keringat. Badanku rasanya remuk. Bahkan jantungku dari tadi rasanya mau copot. Aku nggak kuat jalan sama sekali, akhirnya tubuhku ambruk. Bukan pingsan. Cuma, ini tubuh perlu kuistirahatkan sementara. Yang lain cuma dikasih hukuman lima putaran, sedangkan aku? Kalian tahu sendirilah tadi.

 

Di tengah lapangan aku terlentang bagaikan ikan dikeringkan. Aku berusaha mengatur napasku. Pada putaran ketigaku, artis palsu itu sudah minta seluruh murid baru masuk kelas dan cuma tinggal dia, yang sengaja mengawasiku berlari. Sial!

 

Pelan-pelan mataku mulai menutup, tapi aku tersentak setelah merasa di atas dahiku seperti berada di kutub selatan.

 

"Maaf, kaget ya?"

 

Apa aku sedang bermimpi? Hebat! Baru aja tutup mata sudah disambut mimpi ketemu pangeran.

 

"Kenapa? Kamu sakit?" Pertanyaan itu membuatku semakin melayang. Wajah cemasnya menjadi hiburan buatku.

 

"Ahh, indahnya kalo mimpi kayak gini terus." Aku masih senyam-senyum sendiri. Tapi kemudian....

 

PLETAK!

 

"Auww!" Sepatu melayang di kepalaku.

 

"Mimpi pala lo peyang!" sembur si kampret Tomi yang tiba-tiba datang, entah dari mana.

 

"Tega banget sih lo. Ini kepala. Sakit, tau." Aku meringis sembari mengusap-usap kepalaku.

 

"Yang bilang batu siapa?!" jawab Tomi santai.

 

Dasar kampret nggak berperikemanusiaan!

 

Aku langsung menoleh ke samping begitu mendengar ada kekehan seseorang.

 

"Maaf, ya, bikin kaget. Ini."

 

Kukerjapkan mataku, lalu minta bantuan Tomi mencubit pipiku untuk memastikan sesuatu.

 

"Auw, auww, sakit, Tom. Lep-lepas. Kekencengan, bego!" teriakku kesal. Sedangkan Tomi hanya menyeringai puas. 

 

Tenyata bukan mimpi! Aku berusaha bersikap normal dan fokus.

 

"Ini apa, Kak?" tanyaku pura-pura bloon. Mumpung ada kesempatan emas, nih.

 

Segera kupelototi Tomi sebelum membuka suaranya. Nih anak dari dulu memang hobi banget merusak rencanaku.

 

"Buat kamu. Oh, ya, maaf soal tadi. Harusnya hukumannya nggak sebanyak itu." Ini kalimat terpanjang yang aku dengar dari cogan. Oh, rasanya seperti air pegunungan. Bikin tenang.

 

Usai terima air dingin pemberiannya, aku berpikir cepat. "Emm ... kata maafnya bisa nggak ditambah tanda tangan, Kak?" Hehehe ... ngelunjak sedikit nggak apa-apa, kan? 

 

Tadi sebelum semua murid dibubarkan, aku sempat mendengar bahwa tiap jam istirahat diwajibkan meminta tanda tangan seluruh anggota OSIS. Katanya sih agar saling mengenal. Preet.

 

Ini namanya bukan saling mengenal, tapi pemaksaan. Buktinya cuma kita doang yang disuruh ngejar minta tanda tangan mereka!

 

Cogan tersenyum manis. "Boleh."

 

Yeayy ... aku bersorak girang, sedangkan Tomi memutar bola matanya malas. Biarin!

 

Langsung aja kupeluk manja tangan Tomi, sementara tangan kananku menengadah ke arahnya. Aku yakin pasti Tomi sudah bawakan lembaran tanda tangan itu tanpa kuminta. Tomi hanya bisa pasrah seperti biasa dan segera meletakkan lembaran itu padaku. Lembaran itu memang sudah disediakan dari sekolah, tapi harus ambil sendiri di ruangan OSIS.

 

"Makasih, Kak, buat tanda tangannya," balasku sembari tersenyum manis.

 

KEVAN ADITYA SAPUTRA. Itu namanya. Nama yang keren seperti orangnya.

 

"Sama-sama, e ... maaf?" ucap Kak Kevan bingung manggil namaku, karena tulisan nama di papan yang aku kalungkan di leher sengaja aku balik.

 

"Panggil aja Frel, Kak," jawabku cengengesan sembari membalik papan nama dengan benar.

 

Kedua alis Kak Kevan berkerut samar. "Oh, oke. Kalo gitu saya balik dulu."

 

"Daah, Kak Kevan...." Aku melambai-lambaikan tangan antusias saking semangatnya, meskipun bayangan Kak Kevan sudah nggak kelihatan lagi.

 

Kubalik tubuhku. Loh, kok? Mana nih, si Tomi? Aku celangak-celinguk sendirian.

 

Dasar kutu kupret sialan, setan alas, bedebah! Awas aja nanti ketemu, kubuat botak kepalanya.

 

Aku berlari ke sana kemari mencari keberadaan Tomi. Karena terlalu lelah, aku menyerah. Kuseret kakiku ke kelas.

 

Duh, aku lupa. Ketepuk jidatku. 

 

Ada beberapa keunikan sekolah di SMA ini. Salah satunya saat istirahat setiap ruang kelas akan dikunci sampai jam istirahat selesai. Akhirnya kuputar tubuhku ke arah kantin belakang sekolah. Aku butuh istirahat. Apes banget hari ini.

 

Capek. Itu yang sedari pagi aku rasakan. Kuteliti daftar makanan dan minuman. Mataku membulat begitu mengetahui harga yang nggak masuk akal.

 

Huft ... sudah kuduga akan seperti ini.

 

Akhirnya, aku batal memesan makanan, hanya sepotong roti dan teh hangat.

 

Kutelungkupkan kepala di atas meja sambil menunggu pesanan datang. Suara tawa dari arah belakang menggangguku. Awalnya suara cekikikan dan berubah menjadi tawa yang cukup keras. Aku mendengus, sudah bisa menebak siapa dalangnya.

 

Ada suara beberapa orang mendekat. "Woy ... ngapain di sini?" Aku menghela napas, malas sebenarnya mau jawab pertanyaan nggak penting dari si garang.

 

"Lagi main kartu, Kak," jawabku judes, masih dalam posisi menunduk.

 

"Ikutan dong. Emang ada ya, main kartu sambil nunduk gitu?" Kalau ini pasti pertanyaan dari si kalem.

 

"Wangsitnya ada di kolong meja, Kak. Udah gitu, dia lari diambil kucing bunting." Ngomongnya asal aja biar mereka puas. Sementara itu, tawa mereka berdua makin keras.

Sabar ... sabar ....

"Lo kenapa? Capek?"

 

"Lo pusing?"

 

"Lo hamil?"

 

"Lo salah minum obat?"

 

Pertanyan beruntun dan nggak jelas itu membuat kepalaku mau pecah. Terpaksa kudongakkan kepalaku. "Ya, Kak, saya salah minum obat. Karena siapa? Karena artis jadi-jadian yang ngasih hukuman nggak ngaca dulu. Nggak liat apa, rok dia juga di atas lutut, hah!" teriakku, dalam satu tarikan napas.

 

"Artis jadi-jadian?" Mereka saling tatap, kemudian tawa mereka menggelegar kemana-mana. Sedangkan aku? Karena sudah mulai terbiasa sama mereka, aku sih santai aja, mending minum teh pesananku yang baru datang, daripada keburu dingin.

 

Dengan ekor mataku sempat kulirik dua cowok lain di kantin. Kak Kevan yang berada tak jauh dari kami bertiga, tersenyum manis kadang terkekeh geli mendengar aku jadi bahan lelucon. Sedangkan cowok satunya lagi, dari tadi diam dan cuek di sudut kantin.

 

"Lagian nih ya, Kak, mana ada rok SMP udah dipakai selama tiga tahun bisa tetep sama kayak dulu. Ya ... nggak mungkinlah," lanjutku.

 

"Emang dulu di bawah lutut?" Ngajak perang nih, si garang.

 

"Ya, iyalah, Kak. Kan hidup itu harus makin tinggi," jawabku bangga.

 

"Oh, ya? Wah, hebat. Tapi ..., sekarang aja tinggi lo segini, kira-kira waktu SMP tinggi lo seberapa, ya?" Nih orang, niat muji atau ngejek sih?

 

Skak Mat!

 

"Eee, i-itu, Kak, sebenarnya ... sejak kelas 2 SMP tinggiku udah nggak nambah lagi," jawabku malu-maluin.

 

"APAA??" tanya mereka barengan. Bisa bayangin sendiri kan gimana reaksi mereka berdua sesudah itu

 

"Hahaha ... wkwkwk ... bwahahahaa...."

Sarap! Ketawa aja sampai terjungkal dari kursi.

 

Aku sudah nggak sanggup jadi bahan ketawaan mereka lagi. Setelah membayar pesananku, aku melenggang pergi dari sana, pergi sejauh-jauhnya asal nggak ketemu sama dua Kakak OSIS sarap seperti mereka.

 

........................***..............................

 

 

 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
MawarPutih99
Ini kaka yg di aps orange itu ga si? Ampun keren banget, dulu pas aku sma baca karya kaka
goodnovel comment avatar
Tami Andriani
baru baca... mssya Allah.. ngakak ......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status