Share

Bab 7 Niat Lily dan Ingatan Baskara

Niat Lily dan Ingatan Baskara

Baskara kembali memejamkan matanya. Obat yang baru saja ia minum mulai bereaksi. Pikirannya masih terbayang-bayang gadis yang tadi ia lihat di samping kakaknya. Lily, gumamnya lirih. Lupakah gadis itu padanya, tanyanya dalam hati. Diantara bayang-bayang Lily, Baskara akhirnya tertidur.

Satu jam kemudian, Baskara terbangun dari tidurnya. Sakit kepala yang di deritanya mulai berangsur hilang, badannya kini lebih enteng dibanding sebelumnya. Pakaiannya basah karena keringat yang berhasil keluar dari pelipis dan sekujur tubuhnya. Baskara lantas bangun dari tidurnya secara perlahan. Ia berjalan ke kamar mandi, membasuh wajahnya dan bersikat gigi. Hari sudah subuh, ia bergegas menunaikan kewajibannya sebelum matahari meninggi, lalu keluar dari kamarnya.

-0-

Lily mengambil mushaf Alquran yang ada di lemari buku yang letaknya paling tinggi. Setelah sahur, ia menyegerakan diri untuk bersiap menunaikan sholat subuh, bukan di masjid, namun sendiri di kamarnya. Juna tidak mengijinkannya untuk ikut sholat berjamaah di masjid saat subuh. Cukup dirinya saja, sedang istrinya sholat di rumah. 

Lily tidak begitu kecewa, karena ia sendiri sedikit tidak tahan dengan dinginnya udara pagi. Adanya larangan Juna kali ini, tidak begitu menimbulkan amarah baginya seperti sebelum-sebelumnya karena ia justru nyaman dengan keputusan Juna itu. 

Ia kemudian mulai membaca alqur'an dengan mengucap bacaan ta'awudz lebih dahulu. Selama 30 menit Lily melantunkan ayat-ayat suci Alqur'an, hingga kedatangan Juna tidak ia sadari. 

Seperti biasa, Juna memilih duduk di sofa yang menempel di dinding yang menghadap ke tempat tidur, hingga ia hanya bisa menatap punggung sang istri. 

Ia membuka aplikasi membaca alqur'an online dan diam-diam ikut menyimak bacaan Lily.

Ketika Lily mengakhiri bacaannya, Juna langsung memejamkan matanya, pura-pura tertidur. Jangan sampai si aneh itu tahu jika ia ikut menyimak bacaannya, bisa besar kepala dia, batin Juna gengsi. 

Lily menggeliatkan tubuhnya, meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku karena duduk dengan posisi yang sama selama setengah jam. 

Aaahhhhgh, teriak Lily agak keras bersamaan dengan bunyi krek krek, suara  khas yang terdengar bila tubuh ditarik untuk melemaskan otot dan sendi-sendi yang kaku. 

Jam dinding menunjukkan pukul 5 pagi. Lily mengembalikan mushaf alqur'an yang tadi ia baca ke tempat semula. Hari ini dirinya masih libur. Besok baru mulai masuk kerja lagi. 

Lily sudah tidak sabar untuk menjahit lagi. Bukan mesin jahitnya yang ia rindukan, tapi desain-desain baju  yang sudah menanti di meja jahitnya. Lily adalah lulusan diploma desain, jadi tidak heran bila ia juga paham sedikit-sedikit tentang baju pesta atau pengantin yang dibuat oleh bosnya. 

Ia sudah ditawari kedua orangtuanya modal untuk membuka butik sendiri, namun Lily bersikeras ingin mencari pengalaman lebih dulu. Bila dirasanya sudah cukup, maka ia akan membuka butik sendiri dengan modal yang ia kumpulkan dari hasil kerjanya sebagai penjahit.

Ehm, tampaknya ia harus membicarakan soal pekerjaannya di butik dengan Juna. Ketimbang nanti salah lagi, mending ngomong dulu. Lily membulatkan tekad untuk berbicara dengan Juna, berusaha mengusir jauh rasa enggannya beradu kata dengan sang suami. Ya, demi karirnya.

Ia lantas berjalan pelan ke arah sofa tempat Juna duduk. Meski ia melihat Juna sedang merem, tapi ia pura-pura tidak tahu. Lily kemudian mencolek-colek lengan Juna. Ia bingung, harus memanggil Juna apa. Mas? Idih, ia merasa geli sendiri.  Juna saja, ya Juna saja, tapi nanti  ia diceramahi lagi. Sayang? Astaghfirullah, lancang nian dia memanggil semesra itu. Lily menggeleng-gelengkan kepalanya.

Juna membuka sedikit matanya, melihat tingkah Lily yang bingung sendiri. 

"Kalau mau senam 88, di halaman sana, jangan di sini. Ganti baju, pake kaos panjang celana training, bukan piyama gini. Jangan lupa pakai sepatu."

Nah, nah, nah... Benarkan. Baru begini aja sudah di skak,  gimana lagi kalau sudah ngomong masalah inti. Nyali Lily mendadak menciut. What should I do?  What should I do? Teriaknya dalam hati.

"Ada apa?" tanya Juna akhirnya. Tidak tahan juga melihat ekspresi bingung di wajah gadis itu. 

"Ehm, hari ini cuti terakhir kerja. Besok saya masih boleh kerja kan?" tanya Lily tanpa melihat ke arah Juna, melainkan menundukkan pandangannya.

"Adab berbicara itu melihat ke arah orang yang diajak berbicara," sindir Juna.

Kena lagi, batin Lily sebal. Bukannya tanpa alasan dirinya memilih menundukkan pandangannya saat berbicara dengan sang suami. Dia hanya mencegah kemungkinan terburuk bila ia melihat Juna saat berbicara dan mereka terlibat perdebatan, yang ujungnya akan berakhir dengan mendaratnya cubitan maut Lily di tubuh Juna. Bisa-bisa ia kena pasal KDRT pada suaminya. 

"Lihat saya!" perintah Juna tegas.

Lily keder juga mendengar suara Juna yang agak keras dibanding biasanya. Dengan terpaksa, ia mengangkat kepalanya dengan mata yang masih terpejam rapat. Kemudian lamat-lamat, dibukanya indera penglihatannya itu.

Aaah! Teriaknya kaget. Jarak antara dia dan Juna sangatlah dekat, hanya satu kilan saja. Dadanya berdegup kencang. Ya Allah, andai pria di depannya ini tidak menyebalkan sama sekali, ia pasti akan dengan sukarela mendaratkan kecupan sayang layaknya istri kepada suami.  

Lain halnya dengan Juna. Ia menatap lekat gadis di depannya. Memindai satu per satu semua yang ada di wajah gadis itu. Semua tercetak sempurna dan terlihat begitu cantik di matanya. Ah, andai ini bukan bulan puasa, batinnya mengerem keinginan yang tiba-tiba datang tak diundang.  Juna langsung menjauhkan wajahnya dari Lily. Mencegah lebih banyak desiran yang tiba-tiba muncul di dadanya. 

"Lakukan semaumu. Tapi ingat, tetap harus seijinku bila hendak pergi kemanapun atau melakukan apapun," jawab Juna ketus seperti biasanya.

Lily membeliakkan matanya lebar. Binar bahagia tercetak jelas di wajahnya. Senyum manisnya terkembang sempurna. Semua itu tidak lepas dari pandangan Juna. Kembali Juna menjadi salah tingkah sendiri.

"Masukkan no hp mu ke sini!" perintah Juna seraya memberikan ponselnya kepada Lily.

"Siap. Siap komandan!" jawab Lily semangat.

-0-

Baskara melangkah ke taman menghirup udara pagi. Ia merasa lebih segar dan tidak lagi lemas seperti kemarin. Ia terus mengingat kejadian kemarin. Ditengah kesibukannya menggali memorinya, suara dehaman dari sang papa mengagetkannya.

"Papa."

"Ehm, bagaimana keadaanmu? Sudah lebih baik?" tanya Rahman melangkah mendekat ke samping kursi yang kosong, yang berada di sebelah kanan Baskara.

"Sudah lebih baik dari kemarin, Pa," jawab Baskara dengan tersenyum tipis.

"Baguslah. Bas, Papa hendak menanyakan sesuatu padamu?"

"Apa, Pa?"

"Apakah kamu ingat apa yang kemarin kamu ucapkan?"

"Hmm, ucapan yang mana, Pa? Baskara sedikit lupa," jawab Baskara.

"Betul kamu lupa akan pertanyaanmu kemarin?"

Baskara mengangguk dan terus menyimak perkataan sang papa.

"Kemarin kamu menanyakan hal yang membuat semua orang terkejut dan berpikir bila kamu sedang berhalusinasi," kata Ridwan.

Baskara masih terdiam, terus mendengar perkataan papanya.

"Apakah pernikahan kalian bisa dibatalkan sekarang?" Rahman mengulang perkataan Baskara kemarin.

Baskara tercenung. Ia samar teringat bila telah mengatakan sesuatu yang mampu membuat semua orang yang berada di kamar tamu, yang ia tempati saat ini. Potongan-potongan kejadian kemarin, sedikit demi sedikit menyeruak keluar dari memori otaknya, yang akhirnya sampai pada saat ketika ia mengatakan sesuatu, yang saat ini ternyata melekat erat di otaknya.

"Iya, Pa. Sekarang, Baskara ingat." Baskara akhirnya mengatakan keadaan sebenarnya.

"Kamu sadar dengan apa yang kamu sampaikan kemarin?"

"Sadar, Pa.." jawab Baskara mantap.

Rahman terkejut, menatap tidak percaya pada putra keduanya itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status