Share

Bab 6 - Siapa Pria Itu?

Siapa Pria Itu?

Semua yang berada di kamar itu terkejut. Terlebih Lily, ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Juna mengepalkan kedua tangannya. Ingin ia melayangkan bogem mentahnya ke wajah Baskara saat itu bila ia tidak ingat adiknya itu baru saja sadar dari pingsannya dan wajah itu masih terlihat lemah dan pucat.

Mama Amelia yang tidak kalah terkejut dengan pertanyaan Baskara, berjalan mendekati Baskara dan duduk di pinggir kasur empuk itu.

"Apakah kepalamu masih pusing? Belum makan sejak pagi?" Baskara terus di berondong Amelia terkait pertanyaan yang dianggap halusinasi Baskara sesaat karena dirinya baru saja sadar dari pingsannya. 

Pak Broto menghela nafas kasar. Ia tahu bahwa cucunya itu sedang menahan kecewa karena telah salah memilih langkah. Penyesalan selalu datang terlambat kan? Pak Broto langsung mengajak Pak Yono untuk mengantarkannya kembali beristirahat di kamarnya, tidak tega melihat wajah penuh kecewa dan penyesalan Baskara.

Juna sendiri dengan kasar menarik tangan Lily untuk meninggalkan kamar itu. Lily mengikuti langkah Juna dengan tertatih mengimbangi langkah Juna yang lebar dan panjang. 

Kini hanya tersisa Ridwan dan Amelia di kamar itu. Amelia memandang sedih Baskara, sedangkan Ridwan duduk di kursi yang berseberangan dengan kasur pembaringan Baskara.

"Makanlah ini lalu minum obat. Lanjutkan istirahatmu. Besok kita akan bicarakan lagi maksud perkataanmu tadi." Perintah Ridwan berjalan mendekati pembaringan Baskara seraya membawa sepiring bubur ayam yang baru saja diantar oleh asisten rumah tangga mereka.

-0-

Lily kali ini memang harus belajar menabung begitu banyak kesabaran. Bukan kali ini, tapi mungkin selamanya, selama ia hidup bersama Juna. Ia yang terbiasa dituruti semua kehendak dan kemauannya oleh kedua orang tuanya, kini, setelah menikah dengan Juna, sang perfeksionis yang sangat idealis, harus benar-benar belajar untuk bersabar.

Tampan tapi menyebalkan, batin Lily. Enak dilihat tapi nggak enak buat dinikmati. Dinikmati what?! Lawong mendekat saja,uugghh, juteknya ampun-ampun, batinnya lagi, berulangkali membuatnya mengucap bacaan istighfar, yang kemudian  menjadi kebiasaan barunya sekarang selain  mengurut dada, menenangkan emosinya sendiri. Ini semua berkat Juna.

Juna memang sudah berhasil merubah Lily. Lily menjadi lebih sabar tapi hanya pada saat menghadapi Juna, diluar itu ia menjadi lebih galak. Lily yang biasanya kalem, sekarang sering mengomel-omel sendiri apalagi setelah bertemu dengan sang suami.

Akibat perkataan Juna kemarin, yang menyindir dirinya karena ia lupa bahwa ia sudah menikah, dan harus meminta ijin dulu kepada Juna, sang  suami, membuat Lily malas untuk mengikuti  sholat tarawih di masjid seberang rumah ini. Bukan masalah minta ijinnya itu yang Lily permasalahkan, tapi ia sudah  merasa ilfill duluan bila harus terlibat percakapan dengan Juna.

Semua ini gara-gara laki-laki tua itu. Oh iya, di mana laki-laki tua itu, batin Lily  yang tiba-tiba teringat laki-laki yang mengancam akan harakiri saat itu juga bila Lily tidak mau menikah dengan cucu laki-lakinya. Kakek tua penyebab kelam masa depannya. Karena kakek itu, Lily terdampar dan terpaksa menghabiskan sisa hidupnya dengan pria menyebalkan bernama Juna, umpat Lily dalam hati. 

Lily masih setia dengan posisinya yang saat ini sedang duduk di pinggir tempat tidurnya. Bahasa tubuhnya yang berubah-ubah  ternyata menyita perhatian Juna yang baru saja tiba dari kantornya.

Juna tidak langsung masuk ke kamarnya. Ia membuka pintu kamar yang sebelumnya terbuka sedikit. Ia melihat Lily yang berbicara sendiri, yang terkadang berdiri, lalu menepuk keningnya sendiri, dan sesekali menarik-narik  mukena yang ada di dekatnya. Ia semakin tertarik memperhatikan istrinya itu. Gadis aneh. Kakek menemukan gadis ini  dimana sih tanya nya dalam hati sembari melanjutkan langkahnya memasuki kamarnya yang tadi sempat terhenti. 

"Ehheemmm." Juna berdeham.

Gubrak. Lily seketika terlonjak kaget hingga ia jatuh dari tempatnya duduk.  Wajahnya mendadak pias, tangannya dingin, jantungnya berdetak kencang.

Sial! Kenapa dia sudah pulang, umpat Lily dalam hati, sambil berdiri agak sempoyongan karena kaget akan kehadiran Juna yang tiba-tiba. Ia meletakkan mukena dan sajadah yang tadi ia gunakan untuk sholat ashar, masih dengan tangan bergetar karena terkejut.

Ia kemudian bergegas menyisir rambutnya saat Juna masuk ke kamar mandi dan kembali menggunakan hijabnya dan melangkah keluar dari kamar itu hendak membantu mama Juna menyiapkan menu untuk berbuka puasa.

Juna yang kini sudah selesai mencuci tangan dan kakinya, keluar dari kamar mandi mengambil baju gantinya dan kembali masuk ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya dari bau keringat yang melekat. Kemana gadis aneh itu pergi, Juna mengedarkan pandangannya mencari sosok Lily sebelum dirinya masuk kembali ke dalam kamar mandi.

Tiga puluh menit berlalu. Juna kini sudah berganti pakaian. Saat ini ia sudah mengenakan baju koko, dan tengah menyemprotkan eau de cologne ke baju nya. 

Lily datang mengetuk pintu kamar yang masih tertutup dari dalam. Tiga kali ketukan tanpa jawaban Ehm, paling sedang mandi, gumam Lily. Dirinya lantas  membalikkan badannya hendak beranjak dari depan kamar yang ia tempati bersama Juna. Namun, langkah kakinya yang baru dapat beberapa langkah terhenti karena teguran seseorang yang tadi hendak ia panggil.

"Kalau mengetuk pintu kamar atau rumah itu jangan hanya mengetuk tapi juga  mengucap salam?"

Lily tertegun dalam diam. Meredam kesal yang tiba-tiba membuncah. Ah, betapa ia sangat ingin menganiaya orang yang barusan menegurnya. Menjambak rambutnya, mencubit lengannya sesakit yang ia bisa, dan memukulnya sekuat-kuatnya.  

Juna melangkah ringan melewati Lily yang berdiri dalam diam, yang  tengah meredam emosinya. Entah. Tanpa Juna  sadari, ia semakin hari semakin senang menggoda Lily, menjadikan Lily, pereda kepenatan otaknya dan penghilang lelah raganya. Perasaannya menjadi lebih bahagia setelah melihat semua tingkah Lily yang menahan kesal akibat ucapan dan tingkah yang ia perbuat.

Tapi meski demikian, Juna dengan tegas tidak menyimpan rasa apapun tentang Lily. Ia hanya ingin menjalani pernikahan aneh ini sekedarnya saja, terlebih lagi setelah ia mendengar pertanyaan halu Baskara yang meminta pernikahannya dengan gadis itu dibatalkan. Ia hanya menganggap pernikahan ini sebagai hiburan bukan sesuatu yang penting karena ia sama sekali tidak melibatkan perasaannya. Ia menganggap pernikahan yang terjadi di antaranya dan Lily adalah sebuah pernikahan palsu, bukan kenyataan yang harus dianggap penting.

Lily menghirup udara sebanyak-banyaknya dan dengan perlahan menghembuskannya sambil merapal kata sabar berulang kali. Sabar, nantikan saja saat dimana aku bisa lepas dari pernikahan palsu ini. Aku akan membuat perhitungan denganmu, ucap gadis itu dalam hati.

Sabar-sabar. Bulan puasa. Jangan sampai terpancing amarah. Anggap saja ada setan yang berhasil lepas dari neraka dan sedang mencari tempat bersembunyi di dunia. Lily terus menenangkan dirinya. Sabar.

Disela kesibukan meredam amarahnya terhadap Juna, Lily teringat sosok pria yang datang di sela-sela perdebatannya dengan Juna. Pria berkulit putih itu melontarkan pertanyaan yang tidak masuk akal. Siapa pria itu? Tampaknya dia terlihat lebih ramah dari Juna. Kenapa bukan dia saja yang menjadi suaminya? Lily mulai mengkhayal yang tidak-tidak. Sikap Juna yang menyebalkan membuatnya lelah.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status