"Aku ingin pindah rumah." kata Shaka saat mereka semua sedang menyantap makan malam.
Deg.Semua mata menatap ke arah Shaka, pria itu dengan santainya melahap makanan yang ada di piringnya sebelum kembali berbicara."Aku ingin hidup berdua bersama Dasta di rumah kami, ku pikir itu hal yang baik bagi pernikahan kami berdua."Vito merasa tersindir dengan kalimat Shaka yang mengatakan 'ku pikir itu hal yang baik.'Sudah seminggu semenjak insiden salah paham itu terjadi, Rasty mengatakan pada kedua orang tuanya jika mereka bertengkar hebat.Namun mereka menganggap hal itu sebagai rasa amarah Shaka yang terlampau cemburu. Dan selama seminggu itu pula Dasta tak banyak bicara, wanita itu terlihat lebih banyak menyendiri di kamar ataupun mengurung dirinya satu harian, dan akan berkumpul saat makan malam saja, itu pun jika Dasta ingin.Sekarang Dasta tak akan malu lagi untuk menunjukkan sikap kurang ajarnya, bukankah hal itu yang memang ingin di lakukannPagi-pagi sekali Shaka sudah rapih dan bersih memakai setelan pakaian kantornya. Pria itu melangkah keluar membuka pintu kamarnya lalu menutup pintunya kembali.Saat akan melangkah menuruni tangga, mata Shaka melirik sekilas ke arah kamar Dasta. Kaki Shaka gatal ingin melangkah mendekati kamar itu, tangannya juga gatal ingin mengetuk pintu kamar Dasta. Tapi, akal sehatnya melarangnya melakukan itu.Jadilah Shaka lebih memilih menuruni tangga ke lantai bawah. Mengejutkan, saat sampai di ruang makan yang gabung menjadi satu dengan dapur. Shaka mendapati makanan yang tersedia di meja.Keningnya mengekerut dalam, siapa yang telah melakukan semua ini? Jangan bilang jika makanan ini Dasta yang membuatnya.Jika ya, maka akan sangat sia-sia saja. Sebab Shaka tak akan pernah sudi untuk menyentuhnya. Mendengkus sebal seraya membuka pintu utama rumahnya dan keluar, tanpa berpamitan pada Dasta terlebih dulu Shaka sudah me
Seseorang mencekal lengan Dasta ketika ia akan melangkahkan kakinya naik ke lantai atas dimana kamarnya berada. Dasta terpekik kaget dan langsung melihat orang yang dengan lancang mencekal lengannya.Seringaian licik terukir disudut bibir pria tampan yang kini mencekal lengan Dasta. Aroma bau alkohol begitu terasa sekali menguar ketika pria itu membuka mulutnya tertawa kecil."Siapa wanita ini!!" teriaknya menunjuk Dasta pada semua orang yang ada disitu.Shaka menoleh ke arah dimana suara teman prianya yang berteriak itu. Tatapan tajam menusuk begitu sangat terasa sekali saat tak sengaja Dasta melirik ke arah mereka semua.Tatapan Dasta berhenti terpaku pada tatapan Shaka yang tak sengaja juga ikut menatapnya. Hanya sebentar, karena Dasta tersadar dan langsung membuang muka ke arah lain. Tak sudi rasanya menatap wajah pria iblis itu."Hei, Shaka, siapa wanita ini. Kenapa dia ada di rumah, jangan bilang kalau dia ini istrimu?" ucap pria itu yang penasara
PRAAANGGG.Gelas yang Shaka pegang jatuh begitu saja membuat semua orang terpekik kaget. Shaka menatap pecahan kaca yang berserakan di lantai."Ada apa bro? Kenapa sampai bisa gelasnya jatuh?" tanya Leo menepuk bahu Shaka.Shaka menggeleng seraya berlari menaiki tangga, entah kenapa firasatnya tak enak. Batin Shaka menyuruh dirinya untuk menemui Dasta, seakan seperti ada sesuatu hal buruk yang terjadi.Shaka memutar kenop pintu kamar Dasta, tapi tak bisa di buka karena pintu yang dikunci Dasta dari dalam. "Shitttt!" Shaka mengumpat kesal seraya menggedor-gedori pintu kamar Dasta kuat."Dasta, buka pintunya!" suara Shaka berteriak memanggil nama Dasta."Dasta!!!" teriaknya lagi nyaring.Leo dan rombongan temannya naik ke atas menyusul Shaka, mereka terdiam melihat Shaka yang terus menggedor pintu dan semakin berteriak kencang memanggil nama Dasta.Melihat tak ada tanda-tanda Dasta merespon teriakannya atau membuka pintu kamarnya. Dugaan
Shaka berlari kencang dengan Dasta dalam gendongannya, setelah mobilnya sampai di rumah sakit terdekat, Shaka langsung menghambur keluar dan berlari secepatnya agar Dasta cepat di tangani dokter.Para suster pun ikutan panik sembari menarik ranjang dorong, tubuh Dasta di letakkan diatas brankar."Tolong selamatkan dia, wanita ini mencoba melakukan upaya bunuh diri dengan menyayat nadinya." beber Shaka memberitahu para suster.Para suster itu melirik penuh pada Shaka yang tampak kacau, bahkan kemeja putih yang pria itu pakai kini juga bercampur noda merah dari darah Dasta.Dengan cepat mereka membawa tubuh tak berdaya Dasta masuk ke dalam ruangan IGD. Shaka dilarang masuk, dan hanya boleh menunggu diluar.Shaka menyandarkan tubuhnya di sandaran tembok rumah sakit, wajah dan penampilannya berantakan serta kusut. Sama sekali tak terlihat seperti Shaka yang biasanya, keren dan berwibawa.
Dasta mengerjapkan kedua matanya dengan sangat perlahan, menyesuaikan penglihatannya menatap ruangan bernuansa serba putih. Hampir dua minggu tak sadarkan diri membuat Dasta jadi bingung.Apakah aku sudah berada di surga? batin Dasta bertanya-tanya.Dasta melirik dengan sangat pelan ke segala arah, bau obat-obatan tercium jelas oleh indera penciumannya. Dasta berusaha bangkit dari rebahannya namun gagal. rasa pusing di kepalanya begitu terasa saat ia menggerakkan tubuhnya yang juga sangat terasa pegal dan kebas. Terutama di bagian lengan kirinya, Dasta melihat tangannya yang di pasang infus.Sedetik kemudian ia menyadari jika saat ini dirinya sedang berada di rumah sakit. Ia masih hidup, dan saat itulah Dasta mendesah kecewa.Kenapa Tuhan masih tetap membiarkannya hidup? Kenapa Tuhan tak mengambil nyawanya juga.Dasta jadi bertanya-tanya, siapakah orang yang telah menyelamatkannya? Membawanya ke rumah sakit setelah ia berhasil menyayat pergelanga
Shaka menatap bingung wajah mamanya yang kini menatap tajam dirinya. Sebisa mungkin Shaka menampilkan senyumnya yang tampak sangat terpaksa. Kondisi Dasta benar-benar menguras rasa kepanikan dan perhatiannya.Barusan saja bu Marwa menarik tubuh Shaka ke tempat yang agak sepi di rumah sakit ini. Sebut saja mereka berdua kini tengah berada di taman belakang rumah sakit."Ada apa ma?" tanya Shaka polos."Apa yang telah kau lakukan pada Dasta?!" tanya bu Marwa sembari melototkan kedua matanya.Wajah Shaka menegang dengan air muka yang sudah sangat pucat pasih. Kenapa dengan sangat tiba-tiba ibunya bertanya seperti ini."Katakan pada mama nak, apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang telah kau perbuat pada Dasta sehingga wanita itu meminta cerai darimu.""Apa? Cerai?" ulang Shaka mendelikkan matanya mendengar kalimat terakhir bu Marwa."Apakah Dasta sudah sadar?" bu M
Dasta tak mau melihat ke arah Shaka yang kini tengah menatapnya, Dasta lebih memilih memejamkan matanya. Pura-pura seolah ia tengah tertidur lelap."Sampai kapan kau tetap berpura-pura tidur seperti itu?" tanya Shaka sengit.Dasta tak bergeming, tak mempedulikan pertanyaan menyindir dari Shaka untuknya.Shaka yang geram melihat Dasta pun perlahan berjalan mendekati ranjangnya. Ketika sudah mendekat Shaka merundukkan badannya lebih condong ke wajah Dasta. Mengamati wajah istrinya seksama, kedua bola mata Dasta sesekali bergerak menandakan jika wanita itu tak benar-benar tertidur."Akting yang buruk." ejek Shaka tertawa meremehkan."Buka matamu! Aku tahu kau sedang tidak tertidur saat ini." Mau tak mau Dasta membuka perlahan kelopak matanya hingga terbuka sempurna. Wajah Shaka lah yang pertama kali ia lihat begitu dekat dengannya, Shaka langsung menegakkan tubuhnya kembali."Apa saja yang sudah kau katakan pada mama?" tanya Shaka langsung."C
Bu Marwa saling menautkan kedua tangannya yang tampak gemetaran, saat ini ia tengah berhadapan dengan dokter yang memeriksa kondisi Dasta dua minggu yang lalu saat Dasta hampir merenggang nyawa.Dokter paruh baya dengan usia kisaran sama seperti usianya, dokter itu menatap bu Marwa sebentar sebelum berbicara."Ibu dari pasien yang mencoba melakukan upaya bunuh diri dua minggu yang lalu?" tanya dokter itu yang langsung di angguki bu Marwa."Saya ibu mertuanya," dokter itu pun mengangguk.Bu Marwa melirik name tag dokter tersebut, ternyata dokter itu bernama Faisal. "Syukurlah menantu ibu segera di bawa ke rumah sakit, karena jika terlambat sedikit saja kemungkinan pasien akan langsung meninggal." "Ya, terima kasih dokter." "Jangan berterima kasih pada saya bu,berterima kasihlah pada Tuhan karena menantu ibu masih hidup dan berhasil melewati masa kritisnya." Bu Marwa mengangguk lesuh, dokter Faisal tampak memperhatikan tiap raut waja