Share

Bab 6

Saat ini kami sedang berjalan menuju aula, mungkin ada beberapa pengumuman yang akan di sampaikan oleh pihak sekolah mengenai perayaan ulang tahun sekolah. 

Aku meminjam kamera milik Rani, ia memang sengaja membawanya karena tahu bahwa  para guru dan siswa hari ini akan sibuk mempersiapkan perayaan ulang tahun sekolah, jadi otomatis hari ini tidak belajar. Bahkan, Alan tidak menanggapi pesanku yang menanyakan menu apa yang dia inginkan hari ini, dia pasti sibuk.

Sambil memegang kamera, aku membidik beberapa tempat dan memotretnya. Aku menyadari bahwa tingkat pemotretan ku telah meningkat pesat, Rani bahkan memujiku karena hasil fotonya yang bagus "Hasil potretanmu semakin bagus, aku tidak tahu kamu bisa memotret dengan baik" ujarnya dengan senyum menyanjung." Kau baru tahu" kataku dengan nada pamer. Aku dan Rani tertawa, les kosong benar-benar saat yang menyenangkan.

"Kalian sedang apa disana?" Tanya Siska yang berjalan didepan. "Kita di suruh ke aula, cepat!" akhirnya aku dan Rani mempercepat langkah kami

Ketika tiba di aula, banyak siswa-siswi yang telah sampai duluan. Siska telah memilih tempat duduk barisan depan untuk kami. Aku baru saja duduk ketika tanpa sengaja mendengar nama yang familiar dari percakapan dua gadis yang di belakang kami. Mungkin karena nama tersebut cukup familiar ditelinga ku akhir-akhir ini.

"Kenapa kamu di sini? bukannya tadi kamu berada di UKS?"

"Aku datang untuk melihat seseorang, kau tahukan Alan Pratama akan berpidato nanti, jadi aku datang untuk melihatnya" aku bisa merasakan kegembiraan dari suaranya. "Aku bisa dekat dan melihatnya secara langsung, aku sangat bersemangat!"

"Tapi beberapa hari yang lalu aku mendengar bahwa dia itu adalah gay"

"Itu hanya rumor! aku tidak tahu orang bodoh mana yang menuduh idolaku begitu, jika aku tahu siapa yang melakukannya, aku akan mencabik-cabiknya!" ucapnya dengan penuh dendam.

Mereka pasti penggemar fanatik Alan, aku tidak tahu dia punya banyak penggemar. Aku pura-pura tidak mendengar, jika dia mereka tahu itu aku...

Aku langsung bergidik membayangkannya.

Perlahan-lahan suara bising mulai menghilang. Seperti apa yang dikatakan oleh kedua perempuan itu, Alan maju kedepan, dia memakai kemeja Osis, rambutnya disisir kebelakang, dia kelihatan sangat rapi saat ini.

Lampu sorot tertuju padanya. Ia mulai berbicara, orang-orang memfokuskan pandangan kepadanya. Inilah tempat yang cocok untuk orang seperti Alan, di atas panggung. Aku terlalu terlena dalam lamunanku, Rani menyenggol ku, "kenapa kamu?"

"Hah?" balasku linglung, "tidak kenapa-kenapa..." kataku cepat.

Aku dan Rani kembali fokus kedepan, 

"... Karena besok ada beberapa kegiatan yang akan diselenggarakan, nama-nama yang telah di pilih diharapkan datang tepat waktu. Selain itu, sekolah juga mengundang sekolah lain yang mungkin  akan berpartisipasi dalam kegiatan..."

Aku tidak terlalu memerhatikan apa yang dia katakan selanjutnya, mungkin karena efek lampu sorot, dia  kelihatan lebih tampan daripada biasanya, aku berpikir untuk mendokumentasikan pemandangan ini. 

Tanpa sadar aku mengangkat kamera ditangan ku, aku membidik posisi yang paling pas untuk memotret dan...

Cekrek

suara kamera yang di sertai lampu blitz.

Ruangan yang tadinya sunyi semakin sunyi sekarang, Alan bahkan sudah menghentikan pidatonya. Semua pandangan mengarah padaku sekarang.

Aku baru sadar apa yang telah aku lakukan barusan, wajahku terasa panas, rasanya aku ingin sekali menghilangdari muka bumi ini. 

•••

Aku tidak ingat bagaimana aku bisa keluar dari situasi yang memalukan tersebut. Dan jangan tanya aku, aku tidak ingin mengingatnya lagi...

Sekarang kami sedang berada di rumah Rani. Rani dan Siska sedang tertawa terbahak-bahak, mereka sudah seperti itu sejak tadi.

"Stop!" kataku meninggikan nada suara. Bukannya berhenti, tawa mereka malah semakin kuat. "Behenti!" ucapku geram.

"Oke-oke," balas Rani sambil menghapus air di sudut matanya.

"Mmpff" Siska masih tertawa kecil, "aku tidak tahu kalau kamu bisa malu-maluin begini" sambungnya.

"Mungkin jiwa seni Ella sedang keluar tadi...hahaha" balas Rani meledek. 

Aku menutupi wajahku dengan batal sambil menendang-nendang selimut, "Aaaaa, malu banget sumpah! mau mati saja rasanya" kataku hampir menangis.

Pintu tiba-tiba terbuka "Rani, Ella, Siska, turun untuk makan malam. Tante sudah buat sarapan" kata Tante Mala, mamanya Rani. "Mama kalian tadi sudah Tante telpon, lain kali kalau ingin nginap, bilang-bilang sama orang rumah dulu ya..." lanjut Tante Mala menasehati.

Aku dan Siska serempak mengangguk, kemudian tante Mala keluar dan menutup pintu. Kami berencana menginap malam ini.

Kejadian tadi masih terbayang di benakku, aku berencana untuk tidak datang ke sekolah besok. Aku masih memikirkannya ketika sebuah pesan masuk di ponselku

Alan Pratama

Datang tepat waktu besok, kamu masih harus hadir dan mengantri untuk sarapanku, ingat, kartu makanku ada pada mu.

Aku semakin yakin dia memang keturunan cenayang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status