Share

Falling for Dangerous Man
Falling for Dangerous Man
Author: Sinda

Bab 1

Bukan rumah, tempat yang Mahira datangi adalah sebuah kamar hotel. Si perempuan maklum, sebab setahunya  Riga memang tidak berasal dari kota ini. Pria itu datang tiga hari lalu untuk menemui keluarga Mahira, dan nantinya akan pergi lagi.

Menekan bel kamar itu, Mahira disambut seorang lelaki yang baru pertama kali dilihat.

"Saya mencari Riga. Benar dia menginap di sini?" tanya Mahira sopan.

Si lelaki berambut coklat tersenyum ramah. "Benar. Tapi, dia sedang tidak ada."

Pria itu membuka pintu lebih lebar. "Masuk saja, aku akan hubungi dia."

Tawaran itu membuat Mahira ragu untuk sesaat. Haruskah ia masuk? Bagaimana juga, tempat itu asing. Pun, ia tak kenal pria berambut coklat tadi. Namun, bukankah Hira punya sesuatu yang penting untuk dibicarakan dengan Riga?

Lagipula, menurut Leoni, yang memberikan alamat ini adalah Riga sendiri kemarin. Tidak mungkin salah, 'kan?

"Baiklah," putus gadis itu pada akhirnya. Ia melangkah masuk ke kamar. "Tolong beritahu Riga."

Mahira dipersilakan duduk. Ia disuguhi segelas air putih. Orang di kamar itu memperkenalkan diri usai menelepon Riga.

"Aku Alex," katanya sembari mengulurkan tangan.

Mahira menjabat tangan Alex. "Mahira. Kakaknya Leoni."

Mata Alex tampak melebar. "Ah, kakaknya Leoni? Leoni calon istrinya Riga?"

Mahira mengangguk. Perasaannya sedikit tenang. Alex tahu soal Leoni, itu artinya pria itu cukup dekat dengan Riga.

"Kau mau sesuatu yang lain? Aku pikir tadi kau orang lain, karena itu hanya kuberikan air putih."

Pengakuan yang terasa jujur itu membuat Mahira mengulas senyum. Gadis itu menggeleng. "Ini saja cukup."

Mahira meraih gelas itu. Meneguk isinya hingga tersisa setengah. Tanpa tahu kalau beningnya air tadi menyembunyikan sebuah muslihat dari Alex.

***

Mahira terbangun dengan kepala yang terasa berputar dan sakit. Perempuan itu butuh beberapa menit untuk mengumpulkan tenaga dan kesadaran, hingga akhirnya bisa menguasai keadaan sekitar.

Perempuan itu tersentak dengan perasaan hampa dan kalah. Menyadari tubuhnya yang polos di bawah selimut, Mahira menggigil marah dan takut. Sesuatu sudah dicuri darinya.

Ia mendudukkan tubuh yang terasa sakit. Mengedarkan pandang ke sekeliling. Mahira masih di kamar hotel. Kamar hotel Riga.

Mahira mencoba mengingat kejadian sebelum ini. Mulanya samar, perlahan semua menjadi jelas. Tadi, sehabis minum air yang Alex suguhkan, ia merasa luar biasa mengantuk.

"Mari bersenang-senang, Sayang."

Kalimat itu dilontarkan oleh Alex. Kemudian Mahira tak tahu apa yang terjadi, hingga akhirnya ia bisa berada di keadaan sekarang.

Berusaha tenang, Mahira mulai mengenakan pakaiannya kembali. Rasa perih dan tak nyaman di antara kaki membuatnya bersumpah akan melenyapkan Alex setelah ini.

Mahira sungguh menyesal. Harusnya ia tak percaya begitu saja pada Alex. Sekali pun ada kemungkinan pria itu kerabat dekat Riga. Sial sekali.

Niat Mahira datang ke sini adalah demi memastikan ia dan keluarga tidak tertipu. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Hira dikibuli habis-habisan oleh Alex.

Usai berpakaian, Mahira memeriksa waktu. Sudah pukul sembilan malam. Sial, berapa lama ia terjebak bersama si bajingan Alex?

Memeriksa kamar itu, Mahira benar-benar tak menemukan siapa-siapa. Ia sempat berprasangka kalau Alex bersembunyi di dalam kamar mandi. Namun, kamar itu benar-benar hanya dihuni olehnya.

Mahira sudah akan pergi dari sana, saat pintu terbuka dan sosok Riga muncul. Si perempuan bisa melihat raut penuh tanya di wajah calon adik iparnya.

"Mahira? Kau di sini?"

Sial. Mahira mengusapi wajah sembari mengumpati Alex dalam hati. Jadi, tadi itu Alex hanya berpura-pura menghubungi Riga? 

"Kau kenal Alex?" tanya Mahira cepat.

"Alex? Tadi pagi aku meninggalkannya di sini. Kau sendirian di sini?"

"Apa hubunganmu dengan Alex?" Mahira memalingkan wajah saat mendapati Riga menatap penuh selidk pada ruam merah di tulang selangkanya.

"Dia sepupuku," balas Riga dengan kerutan di dahi. "Apa terjadi sesuatu, Mahira?"

"Di mana dia sekarang?" kejar Mahira mulai terbawa emosi.

"Sudah kembali ke rumahnya."

"Di mana rumahnya?"

Saat Riga menyebutkan nama negara dan bukannya salah satu kota yang Mahira tahu, gadis itu seketika tergamam. Ia terduduk lemas di sofa. Menatap kosong pada Riga, kemudian mulai menerka-nerka akan seperti apa nasibnya setelah ini.

Mahira tak pernah menyangka jika hal sekonyol ini akan terjadi padanya. Pertama kalinya ia tidur dengan seorang laki-laki, tetapi nahas lelaki tersebut bukan seseorang yang dikehendaki atau bahkan dikenal. Ia merasa benar-benar marah, tetapi juga sedikit sedih.

"Terjadi sesuatu, Mahira?" ulang Riga dengan raut wajah penuh selidik.

Berusaha fokus, mengesampingkan musibah yang baru saja dialami, Mahira menggeleng pada Riga.

"Ada yang ingin kutanyakan padamu," ucapnya dengan nada serius.

Riga menaikkan satu alis. Pria itu duduk di sofa yang bersebrangan dengan Mahira. "Ada apa?"

"Sungguh kau ingin menikahi Leoni?"

Riga berdeham, mengiyakan. Mata pria itu tak lepas dari wajah Mahira. Sorotnya menelusuri mimik di sana lama-lamat, seolah ingin mencari sesuatu.

"Lalu, kapan tepatnya itu?"

Si lelaki tersenyum sekilas. Nyaris tak terlihat. "Secepatnya."

"Kau masih punya orangtua?" Mahira sedikit tak nyaman karena ekspresi tak terbaca lelaki di depannya. "Begini, aku mendengar dari Leoni kalau kau tak ingin mengundang orangtuamu saat pernikahan nanti. Boleh aku tahu kenapa?"

"Kau keberatan dengan itu?"

"Aneh. Mencurigakan," pungkas Mahira terus terang.

Ada jeda beberapa menit yang diisi keheningan. Mahira masih berusaha menyelami sorot mata Riga, sementara pria itu setia dengan mimik datarnya.

"Dengar." Mahira berusaha membuat jelas situasi. "Yang memperkenalkanmu pada Leoni adalah aku. Jadi, aku merasa bertanggungjawab atas kesejahteraan adikku kelak. Terlebih, kalian bilang kalian akan menikah. Jadi, kuharap kau mau jujur. Apa ada sesuatu yang kau tutupi?"

Mahira yang menunjukkan foto Riga pada Leoni. Saat itu, ia bertemu si lelaki di kafe, kafe yang adalah milik Riga. Entah kenapa, Mahira langsung terpikirkan untuk mengenalkan pria itu pada sang adik.

Setelah memastikan Riga lajang, langsung dari mulut pria itu, barulah Mahira meminta adiknya datang ke kafe dan berkenalan dengan Riga. Mahira senang perkembangan hubungan adiknya berjalan baik. Bagus malah jika segera ke jenjang lebih serius, seperti pernikahan.

Namun, pernyataan Riga soal orangtuanya yang akan absen di pernikahan, membuat Mahira tak tenang. Ia merasa itu aneh. Jika memang sudah meninggal, bisa dimaklumi. Masih hidup dan tidak diundang, rasanya aneh, bukan?

Karena itulah Mahira sampai harus meminta si calon adik ipar bertemu hari ini. Mengingat, menurut Leoni, besok Riga akan kembali ke kota asalnya.

Di depan Mahira, Riga tersenyum miring. "Kau sendiri? Apa ada sesuatu yang kau tutupi? Melihat kau begitu tenang setelah semua yang terjadi, apa aku salah jika menyebutmu juga mencurigakan?"

Mahira mengerutkan dahi. Perempuan itu menatap acak sekitar beberapa saat, kemudian bertanya, "Maksudmu?"

Riga mencondongkan tubuh. Menumpu sikunya di atas lutut. "Terjadi sesuatu di sini sebelum aku datang, 'kan?"

Mata pria itu bergulir ke arah ranjang yang posisinya tepat di belakang sofa Mahira. Pandangannya berkeliaran di sana beberapa saat.

"Apa yang terjadi sebelum aku datang, Mahira?"

"Bukan apa-apa. Ha--"

Riga melempar sorot tajam pada Mahira, menyela ucapan gadis itu. Kemudian, ia tersenyum miring, sembari kembali bertanya.

"Apa yang kau lakukan di ranjangku, Mahira?"

....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status