Share

Bab 2

Mahira tak lagi bisa menahan rasa mualnya. Kebetulan pertemuan untuk membicarakan pertunangan Leoni sudah selesai, jadi perempuan itu pun bergegas meninggalkan gedung hotel. Berniat pulang duluan, tetapi ia kesulitan menemukan taksi.

Berjongkok di tepian jalan, perut  Mahira kembali bergejolak. Perempuan itu memuntahkan air dan liur untuk yang kesekian kalinya hari ini.

Hari ini untuk pertama kalinya keluarganya bertemu orangtua Riga. Sebulan setelah Mahira meminta kejelasan dari calon adik iparnya. Alih-alih lega karena akhirnya mendapat kejelasan soal asal usul Riga, Mahira malah gusar atas keadaannya. Ia mulai memperkirakan apa kiranya penyebab dirinya terus didera keadaan seperti sekarang.

Mahira merasa mual selama tiga minggu belakangan. Perempuan itu juga terlambat datang bulan. Prasangka dan firasatnya buruk soal ini, tetapi tak ingin gegabah mengambil kesimpulan.

Menyeka mulutnya, berusaha mengendalikan mual dan sedikit pusing, Mahira bangkit berdiri. Saat itu matanya mendapati sebuah mobil berhenti di hadapan.

Pintu mobil itu terbuka. Mahira melihat Riga di dalam sana. Pria itu tersenyum. Sinis.

"Kau butuh tumpangan, Mahira? Masuklah."

Mahira sebenarnya enggan menerima tawaran itu. Namun, menengok situasi yang ada, rasanya menolak tumpangan yang Riga berikan adalah pilihan tidak bijak.

Perempuan itu pun masuk ke mobil. Sempat terdiam sesaat akibat hidung yang mendadak dipenuhi aroma parfum yang kemungkinan berasal dari Riga.

"Kenapa kau pergi duluan?" tanya Riga sembari menatap gadis di kursi penumpang. "Bukankah kau bisa pulang bersama yang lain?"

Si gadis menggeleng. Bisa buruk kalau orangtuanya melihat kondisinya sekarang. Kemarin saja, Rianti hampir membawa Mahira ke dokter karena kedapatan mual sewaktu sarapan.

"Kau?" Mahira menoleh pada Riga. "Kenapa kau pulang sendiri? Leoni di mana?"

Riga menarik salah satu sudut bibir, tetapi bukan tersenyum. "Leoni bilang dia lelah. Jadi, aku bisa apa?"

Lelaki itu menatap lekat pada wajah pucat Mahira. "Kau mau ke mana, Mahira?" tanyanya penuh selidik.

Berpikir sejenak, Mahira menyebut nama sebuah hotel. Perempuan itu minta diantar ke sana.

Mengangguk satu kali, Riga menginjak gas dan mulai menjalankan mobilnya. Sambil menatap lurus ke depan, pria itu bertanya, "Kenapa kau perlu ke sana, Mahira?"

Mahira mengerutkan alis pada Riga. Jujur saja, selama ini ia kurang nyaman tiap kali mendengar Riga menyebut namanya. Terlebih saat bertanya begini. Rasanya seperti lelaki itu tengah menginterogasinya.

Kali ini pun sama. Pertanyaan Riga barusan seolah ingin mengorek informasi darinya. Dan Mahira merasa terganggu dengan itu.

"Ada urusan," jawab Mahira seadanya. Perempuan itu memalingkan wajah ke arah jendela.

Hening beberapa saat menyelimuti mobil. Riga adalah yang pertama buka suara.

"Kau tidak mau mencari Alex, Mahira?"

Mahira meremas jemari di pangkuan. Siapa bilang ia tak mau mencari Alex? Ia sangat ingin melakukan itu. Namun, Mahira merasa itu hanya akan berakhir sia-sia.

Untuk apa ia meminta pertanggungjawaban pada pria berengsek seperti Alex? Pria itu jelas adalah orang yang jahat. Hanya akan buang-buang tenaga, pun bakal menghabiskan banyak uang.

"Kau tidak mau menuntut Alex, Mahira?"

Mahira menatap Riga penuh tanya. Menuntut kata lelaki itu? Soal apa? Seingat Mahira, ia tak ceritakan apa-apa pada siapa pun soal musibah di kamar hotel itu.

"Menuntut dia soal apa, Riga?" Mahira berusaha terlihat tidak gugup.

Riga menarik senyum sinis. Pandangannya ke depan, tetapi sorot mata lelaki itu penuh cemooh. "Alex sudah memberitahuku, Mahira. Dia menceritakan apa yang terjadi hari itu."

Malu, marah, sedih. Mahira mengepalkan kedua tangan. "Hentikan mobilnya," perintah gadis itu dengan suara bergetar.

Riga menurut. Ia tepikan mobil. Tak menoleh pada Mahira, tetapi menunggu gadis itu dengan perasaan tak sabar.

"Alex memberitahumu semua?" tanya Mahira untuk memastikan. Melihat Riga mengangguk, ia melanjutkan, "Apa? Apa sebenarnya yang terjadi di hari itu? Tolong ceritakan padaku."

Amarah menguasai Mahira. Alex ternyata benar-benar laki-laki busuk. Pria itu menceritakan kejahatannya pada si sepupu, tetapi tak punya niat untuk meminta maaf pada Mahira?

"Aku?" Riga menghadapkan wajah pada Mahira. "Kau memintaku menceritakan kejadian hari itu?"

Mahira mengangguk. Sudut bibirnya berkedut karena kemarahan. "Ceritakan apa yang dia ceritakan padamu. Sebab ... meski aku yang di sana bersamanya, aku tak ingat sedikit pun soal hari itu."

Mahira tak membual. Sampai detik ini, perihal Alex sungguh-sungguh menyentuhnya atau tidak, belumlah jelas. Memang, Mahira merasakan pun melihat tanda-tanda bila tubuhnya sudah dijamah di hari itu. Namun, tetap saja. Rasanya sulit percaya.

"Baik." Riga mengangkat bahu. Ia menautkan alis, seolah sedang mengingat. Namun, tatapan matanya memancarkan sirat sinis dan penuh cemooh.

Riga mulai bercerita. Menurutnya, Alex mengaku sudah mencampurkan obat tidur ke air yang Mahira minum. Setelah Mahira tak sadarkan diri, lalu Alex mengerjai si gadis.

Mendengar cerita Riga, air mata Mahira berderai. Namun, itu bukan semata karena rasa sedih. Mahira menangis sebab ia terlalu marah.

"Apa bajingan itu mengatakan alasannya sampai melakukan itu padaku?"

Riga menarik senyum miring. "Dia bilang kau cantik. Dan dia benar-benar tidak menyangka jika ternyata kau ...." Lelaki itu menjeda ucapan. Tatapannya menjadi lebih dalam.

"Ternyata aku apa?" kejar Mahira.

"Dia benar-benar sangat tidak menyangka jika ternyata kau sungguh membuatnya puas."

Tangan Mahira sudah terangkat. Hampir ia menampar Riga. Beruntung perempuan itu lebih dulu tersadar jika Riga bukan Alex. Riga hanya menyampaikan apa yang ia dengar dari Alex.

Senyum miring yang sejak tadi Riga tunjukkan raib seketika. Pria itu mengubah mimiknya menjadi datar kembali.

"Aku membolehkanmu menamparku, Mahira," katanya dengan suara rendah.

Mahira menarik napas. Menyeka air mata, kemudian menggeleng. "Bukan kau yang harusnya aku tampar."

"Jadi, apa kau berubah pikiran? Kau mau mencari Alex dan meminta pertanggungjawabannya atas keadaanmu sekarang?"

Mahira tersenyum getir. "Apa yang bisa diharapkan dari manusia bajingan seperti itu? Lagipula, memangnya aku kenapa hingga butuh pertanggungjawabannya?"

"Kau hamil," tutur Riga dengan nada santai.

Kepala Mahira langsung menoleh pada Riga. Perempuan itu semakin pucat. Hamil kata Riga? Bahkan Mahira sendiri belum begitu yakin atas kondisinya. Mengapa lelaki itu bisa menyimpulkan semua secepat ini?

"Tidak," elak Mahira. "Aku tidak hamil."

"Kau hamil," kukuh Riga. "Kau tampak berbeda. Selama pertemuan tadi, kau terus menahan mual."

Mata Mahira berkedip cepat-cepat. Perempuan itu menatap lurus dengan perasaan bingung. Benarkah dirinya terlihat berbeda, hingga Riga yang jarang bertemu saja bisa menyadari?

"Mau bertaruh denganku, Mahira?" Riga memanjangkan lengan. Mengambil sesuatu dari laci dasboard. Ia berikan itu pada Mahira. "Mari kita lihat tebakanku benar atau tidak."

Tangan Mahira gemetar memegangi alas tes kehamilan yang Riga berikan. Perempuan itu benar-benar bingung dan takut. Jika benar dirinya sedang mengandung, itu pastilah benih dari Alex. Mahira tak bersama siapa pun selama ini, kecuali si berengsek itu.

Dan pertanyaan utama yang membuat kepala Mahira luar biasa sakit adalah ...  jika benar hamil, maka apa yang akan Mahira lakukan?

....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status