Share

Mengapa Memilih Menyembunyikan Diri

Beberapa tahun sebelumnya.

Waktu itu Eri baru saja membeli majalah edisi terbaru untuk melihat update drakor terbaru. Ia ingin pamer karena ingin juga seperti teman-teman di kelas yang asyik membaca majalah favorit mereka sambil bertukar cerita. Eri baru saja hendak mengambil majalahnya saat istirahat siang ketika ia mendnegar suara ribut-ribut di barisan bangku paling belakang.

Sandra, gadis paling cantik sekaligus paling menakutkan di kelas Eri, sedang berdiri dengan pose mengancam. Beberapa teman segengnya sedang berdiri mengelilingi Davina, anak baru dari Jakarta.

“Kamu ini kan yang udah ngerebut Kak Andre? Kamu kan baru dua bulan di sekolah ini, jangan macem-macem deh! Mentang-mentang anak Jakarta. Kak Andre itu nggak pantes buat deket orang macem kamu!”

Soal cowok lagi? Nih anak beneran bikin enek. Eri menjadi penonton dari jarak jauh. Ia paling malas kalau melihat Sandra berulah lagi. Anak perempuan itu tidak kapok juga meskipun sering dipanggil ke ruang BK. Bisa dimaklumi sih karena dia adalah salah satu anak dari donatur terbesar di sekolah. Siapapun yang dianggap mengganggu, pasti akan mendapatkan labrakan Sandra. Dengan tubuh yang lebih tinggi dari teman-teman segengnya dan juga wajah paling eksotis, gadis remaja itu merasa berhak untuk merundung anak lain.

“Kamu salah paham kayanya, San. Aku nggak pernah nyoba deketin Kak Andre. Dia ternyata kenal sama kakak sepupuku. Kami sering ngobrol soalnya Kak Andre sering main ke rumah sepupuku, dia tinggal di sebelah rumahku.” Davina berusaha menjelaskan dengan sabar.

Sandra melirik ke arah tas ransel Davina yang terbuka. Ada majalah dengan kover seorang bintang Korsel yang sedang naik daun. Tanpa minta izin, tangan Sandra meraih majalah dari tas Davina.

“Oh jadi kamu suka sama cowok-cowok tampang plastik kaya gini? Terus kamu mau sok-sokan jadi cewek sok asyik yang deket sama Kak Andre? Seorang pecinta cowok plastik kaya kamu, mending cari cowok macem dia.” Sandra menunjuk kover majalah. “Laki kok mirip perempuan. Nggak bisa dibedain, ha ha ha!”

Telinga Eri panas. Idolanya ini memang seorang aktor pendatang baru yang sebelumnya debut sebagai seorang idol. Gayanya masih sangat kentara seperti seorang penyanyi. Padahal ketika berakting, penampilan si aktor luar biasa maskulin. Lagipula apa salahnya jika wajahnya imut? Toh itu tidak mengurangi bakatnya sebagai seorang entertainer.

“Banyak artis di sana yang hobinya operasi plastik. Kamu mau ngikutin jejak idolamu? Buruan sana gih, jadi nggak perlu lagi aku pusing lihat mukamu. Inget ya, ini terakhir kali aku ngingetin. Jangan sampai aku ngeliat kamu ngobrol deket sama Kak Andre. Titik!” Sandra lalu membentangkan majalah dengan mengangkat kedua tangannya di atas kepala. “Idolanya Davina ternyata cowok model gini loo. Kalau kalian mau deketin dia, syaratnya harus joget dulu sambil dandan.”

Mulut Eri terkunci. Tidak ada yang berani menyela Sandra. Tubuh Davina terlihat gemetar. Ia menunduk, tidak berani membalas tatapan teman-teman sekelasnya. Majalah yang dipegang Sandra, direbut paksa oleh Davina. Ia berlari ke luar kelas dan baru kembali ketika jam masuk kedua. Matanya merah, terlihat jika baru selesai menangis.

“Kamu tahu? Si Davina itu tipenya model cowok Korea. Jadi kalau kamu mau deketin, mending dandan yang nyentrik dulu kaya idolanya.” Rumor ini beredar dengan bumbu yang terlalu banyak.

“Dav, kamu mau kue brownisku?” Eri berbasa-basi sambil menyodorkan kotak kue yang sengaja ia beli sebelum pulang sekolah kemarin. “Enak lho, ini produk terbarunya Alanda Brownis.”

Davina melirik kotak kue milik Eri. Matanya penuh selidik. “Ngapain kamu mau ngasih kue? Mau nyari bahan buat ngejek aku di belakang juga? Mau nyari bahan semacam ‘Eh si Davina itu ternyata hobinya minta-minta’, gitu?”

Eri tidak siap dengan tuduhan itu. Selama ini tiap kali ada yang mengajaknya nimbrung untuk membicarakan Davina, ia akan mencari alasan untuk pindah tempat. Telinga Eri ikut sakit. Menghina kesukaan Davina sama dengan mengolok-olok idolanya sendiri.

“Bukan gitu. Aku tahu kamu boleh percaya atau nggak, aku selama ini males kalau ngomongin orang. Mending ngomongin pelajaran. Aku mau baikin kamu soalnya kamu kan jago Bahasa Jepang. Aku mau belajar. Jadi mau bandingin peta kekuatan supaya nilaiku nggak bisa kamu geser.”

Mata Davina mengernyit. Beberapa detik kemudian bibir merah mudanya menyemburkan tawa.

“Ya ampun, ternyata beneran ya, kalau kamu itu anak pinter yang nggak mau dikalahin. Ha ha ha. Sorry, ya. Aku cuman bersikap waspada aja. Capek tahu nggak sih, dengerin orang-orang ghibah soal apa yang kusuka.”

“Aku juga....” Eri tidak bisa melanjutkan omongannya. Ada beberapa siswa yang ada di kelas. “Ya lagian tiap orang kan berhak punya idola. Aku emang ga punya idola Korea, tapi buatku itu harusnya nggak jadi aib.”

“Kamu punya penyanyi atau aktor idola?” tanya Davina. “Aku minta brownisnya satu ya.”

Eri berpikir cepat. “Robert Pattinson. Suka banget sama dia.”

“Hmm enak banget brownisnya. Makasih ya. Oh kamu suka dia ya? Iya sosoknya cool gitu.”

Sorry aku bohong, Davina. Aku cuma ingin kamu nggak merasa sendirian. Aku nggak bisa bilang kalau aku juga suka artis Korea.

Davina dan Eri berteman cukup akrab sepanjang akhir semester sebelum akhirnya orang tua Davina pindah ke luar negeri. Pelajaran besar bagi Eri bahwa tidak semua orang mau menerima apa yang kita sukai, meskipun hanyalah sekadar bintang Korea.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status