Share

Mimpi Buruk Eri

Eri terbangun dari tidurnya. AC di kamarnya harus segera diperbaiki. Meksipun suhu AC diatur sampai 16 derajat, masih ada bulir keringat yang mengalir di kepala Eri. Gelap gulita di kamar. Lampu tidurnya juga tak menyala. Hanya ada dirinya dan suara rintik hujan di luar kamar yang menemani Eri tidur.

Ternyata bukan AC rusak, tapi listriknya mati. Pikir Eri setelah memencet sakelar lampu kamar yang tak juga menyala. Ponselnya dinyalakan, masih jam 2 dini hari. Lalu terdengar suara duk di ruang tengah. Kamar Eri  dekat dengan ruang keluarga. Langkah kaki yang terkesan berhati-hati, membuat kewaspadaan Eri meningkat.

Siapa di luar?  Jantung Eri berdegup kencang. Keringat dingin mulai membanjir mengikuti respons alami Eri tiap kali serangan panik itu muncul. Suasana malam yang sama, rintik gerimis yang juga mengiringi malam yang serupa, lampu padam yang tidak mau menyala meski Eri berulangkali menekan sekelar. Bedanya, waktu itu Eri langsung keluar kamar karena kepanasan dan juga haus. Ia memanggil nama asisten rumah tangganya yang sering terbangun tengah malam untuk mengambil wudu dan salat malam.

“Kalau merasa tidak aman, sebaiknya kamu berjaga-jaga dengan membawa senjata atau alat yang bisa dipakai melindungi diri. Lebih baik lagi kalau bisa kabur lewat jendela,” kata Bu Wiwin, psikiater Eri yang selama ini menjadi tempatnya curhat sekaligus mendiagnosis diri.

PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder) yang dialami Eri tidak diketahui baik Arumi ataupun Erwin. Mereka sempat memeriksakan Eri dan waktu itu dokter yang menangani Eri tidak menemukan gejala gangguan kesehatan mental setelah kasus percobaan perampokan di rumah. Semuanya terjadi justru setelah kedua orang tuanya resmi berpisah. Eri mulai gelisah tiap kali ada yang berteriak padanya walaupun ia sangat suka menonton film action. Ketika menonton adegan perkelahian di bioskop, Eri tidak merasa terganggu.

“Usiamu belum 17 tahun, Dik. Seharusnya kamu kemari dengan orang tuamu.” Itulah kata asisten Bu Wiwin yang menolak kunjungan Eri pertama kali.

Eri tidak datang membuat janji. “Tolong katakan ke Bu Wiwin, Erika Chandra datang, yang dulu sempat ditangani setelah rumahnya hampir dirampok. Orang tuanya cerai,” kata Eri masih bersikukuh tidak mau pulang.

Klinik milik dr Wiwin Ciptaningrum, SpKj tidak sulit dicari. Eri lebih suka memanggil dr Wiwin dengan sebutan Bu Wiwin.

“Kamu boleh ke sini tanpa orang tuamu tapi saya tidak akan memberi diskon,” ujar Bu Wiwin. “Dan turuti semua saran saya agar rasa panikmu bisa berkurang. Sekali saja kamu berbohong, akan saya laporkan ke orang tuamu.”

Obat dari Bu Wiwin tidak mempan malam ini. Di saat Eri ingin terlelap karena ia sibuk belajar sampai sulit mengantuk, ia malah terbangun dengan suasana mirip kejadian mencekam dulu.

Srek srek, langkah kaki itu mendekat, kali ini berhenti di depan pintu kamar Eri. Eri mengecek kunci kamarnya. Sial, aku lupa mengunci, batinnya. Tongkat baseball ia pegang erat-erat. Genggaman tangan Eri berkeringat, ia bertekad akan melawan segigih mungkin.

Ketika pintu terbuka, Eri memukul sosok yang masuk ke kamarnya. Meleset, tongkat baseball mengenai tembok.

“Erii! Ini bunda!” pekik Arumi yang msih mengenakan pakaian kerja. Ia jatuh terduduk ketika melihat Eri menyerang. Untung saja tongkat baseball itu tak mengenainya.

Eri jatuh terduduk, jantungnya serasa hampir meledak. Untuk sesaat ia pikir akan kehilangan kesadaran. Untungnya lampu menyala lagi. Kini wajah bundanya terlihat jelas, tak lagi samar-samar.

“Sayang, kamu nggak apa-apa? Ini bunda, bukannya penjahat.” Arumi menangis ketakutan melihat wajah Eri pucat pasi. Setelah memperoleh kesadaran secara penuh, Eri membuat matanya. Pipinya dibasah air mata Arumi.

“Nggak apa-apa, Bun. Tadi aku kelewat kaget aja. Udah nggak apa-apa. Soalnya lampunya mati, aku nggak bisa lihat apa-apa,” kata Eri. Suaranya lemah.

Dengan dibantu Arumi, Eri berusaha bangun. Ia mengerjap-ngerjapkan mata untuk memfokuskan pandangannya. Eri kembali ke atas ranjangnya lalu meminum air putih yang disodorkan Arumi.

“Bunda kenapa pulang sampai jam segini? Kerjaan Bunda banyak banget?”

“Tadi setelah lembur di kantor, ada acara ulang tahun teman kantor Bunda sekaligus acara kumpul sama atasan yang akan dimutasi. Maaf ya kalau pulangnya kemaleman. Tadi sudah beli capcai yang Bunda pesenin?”

Eri mengangguk. Lembur dan juga kehidupan pribadi kini menjadi prioritas bundanya. “Aku lupa kalau di depan rumah udah ada satpam komplek yang rajin patroli, aku masih parno aja kayanya...” Dan aslinya aku pengin Bunda lebih sering pulang tepat waktu. Apa rumah ini punya kenangan sama Ayah terlalu banyak sampai Bunda malas lama-lama di sini?

Arumi meminta maaf. Janji setelah akhir bulan ia akan lebih sering pulang tepat waktu kembali diutarakan. Eri memilih untuk tidak terlalu berharap kali ini. Menjelang akhir bulan dan awal bulan adalah kesibukan gila di kantor ibunya. Lama tidak kambuh, Eri kira jika ia telah jauh lebih baik. Rupanya mimpi buruk itu masih saja bercokol di dasar pikirannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status