Share

Chapter 2 - Separate

“Pangeran Gabriel!”

Seorang pemuda yang berpenampilan formal menghampiri sang pangeran yang sedang bermesraan dengan kekasihnya tiba-tiba, spontan embusan napas kasar dikeluarkan dari rongga mulutnya dengan penuh geram.

“Aish, kenapa kau malahan menghampiriku di saat aku bermesraan dengan tunanganku!” gerutu Gabriel melipat kedua tangannya di depan dada.

“Ada urusan penting yang Anda harus selesaikan sekarang.”

“Aduh, kenapa kau selalu berbicara formal di hadapanku! Sebaiknya kau bicara santai saja supaya aku merasa nyaman setiap kali berbicara denganmu.”

“Tapi Yang Mulia—”

“Tidak ada kata ’tapi’! Kau dilarang menentang perintah dari seorang pangeran!” ketus Gabriel, bibirnya mengerucut.

“Baik aku mengerti!” patuh pemuda tersebut menundukkan kepala hormat.

Sementara Charlotte hanya bisa tertawa kikuk sambil menutup mulutnya dengan anggun.

“Kenapa kau tertawa, Charlotte? Apakah ada yang lucu?” tanya Gabriel bingung.

“Tidak apa-apa. Kau terlihat lucu saja bagiku,” lontar Charlotte santai.

“Lebih baik kau tertawa begini di hadapanku dibandingkan bersikap kaku.” Gabriel tertawa girang sambil mengelus kepala kekasihnya.

Sementara pemuda yang dikenal sebagai sekretaris pribadi Pangeran Gabriel berdiam diri saja bagaikan seekor nyamuk yang beterbangan di antara sepasang kekasih sedang bermesraan. Ia mengurungkan niatnya untuk berdehem di hadapan mereka karena perlakuan tersebut tidak sepantasnya dilakukan di hadapan keluarga kerajaan maupun bangsawan.

Gabriel yang menyadari sekretarisnya berdiri mematung, membuatnya menggelengkan kepala sambil menepuk pundaknya pelan.

“Kenapa kau berdiam diri saja, Lucas?” tanya Gabriel.

“Maaf, aku tidak ingin mengganggu kemesraan kalian,” jawab Lucas malu.

“Oh iya, tadi kau bilang ada urusan apa yang penting? Sepertinya sesuatu yang serius diperbincangkan.”

“Aku mendapatkan informasi bahwa kau harus mengunjungi kediaman Tuan Alexander besok siang.”

“Apa?”

Mata Gabriel terbelalak mendengar informasi dari Lucas, membuat napas lesuhnya dihembuskan dari mulutnya. Lengan kekarnya spontan merangkul tunangannya erat bagaikan lem.

“Gabriel, kenapa kau tiba-tiba seperti ini?” bisik Charlotte pelan.

“Aku tidak ingin mengunjunginya,” tolak Gabriel langsung tanpa berpikir panjang.

“Tapi Pangeran Gabriel, ada sesuatu yang ingin dibicarakannya padamu secara darurat,” elak Lucas berusaha membujuknya.

“Sekarang bukan masalah itu. Aku baru saja berbaikan dengan tunanganku, aku tidak akan meninggalkannya sendirian di sini.”

“Gabriel…”

“Charlotte, aku masih ingin menghabiskan waktu bersamamu sebelum hari pernikahan kita. Aku tidak ingin berpisah denganmu, atas apa yang telah kuperbuat padamu waktu itu.”

Charlotte menggeleng pelan sambil menyentuh tangan Gabriel lembut, mengulum senyuman santainya.

“Pekerjaan lebih penting daripadaku. Kau harus bisa membedakan perasaan pribadimu dengan urusan penting lainnya.”

“Tapi Charlotte—”

“Sudahlah, daripada kita membuang waktu perbincangkan urusan itu, bagaimana kalau kita menggunakan kesempatan ini sebaik-baiknya sebelum kita berpisah besok?” tawar Charlotte tersenyum cerdas.

“Baiklah, kalau begitu kita lanjutkan jalan santainya. Kau boleh tinggalkan kami, Lucas,” lontar Gabriel sambil menatap Lucas.

“Aku akan tinggalkan kalian. Aku permisi dulu, Pangeran Gabriel dan Nona Charlotte.”

Dengan sigap, Lucas meninggalkan sepasang kekasih di taman istana. Sekarang kembali lagi mereka melanjutkan momen kemesraan mereka yang sempat terpotong tadi.

“Mari kita lanjutkan lagi!” ajak Gabriel.

Sambil berjalan santai bersama, raut wajah Charlotte sedikit terlihat lesuh seperti bisa merasakan sesuatu yang buruk akan menimpa dalam waktu dekat ini, yang berdampak pada banyak orang.

Terutama mimpi buruk yang dialaminya, memandangi kekasihnya terbunuh hingga meninggal tepat di hadapannya, membuatnya sedikit ketakutan sekarang. Takut mimpi buruk menjadi kenyataan, apalagi sebelum hari pernikahan.

Hatinya merasa semakin tidak enak, membuat Gabriel mencemaskannya.

“Charlotte, ada apa denganmu lagi?” tanya Gabriel.

“Tidak apa-apa.”

“Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?”

“Tidak.”

“Apa mungkin karena besok aku harus meninggalkanmu sendirian di sini?”

“Bukan karena itu juga.”

“Sebaiknya kau tidak perlu membohongiku. Wajahmu terlihat sangat sedih karena tidak ingin berpisah denganku. Apalagi besok seharusnya kita mempersiapkan pernikahan kita, malahan aku harus mengunjungi kediaman orang lain.”

Bingung ingin berkata apa padanya. Tidak tega juga Charlotte terus menyembunyikan rahasianya dalam hatinya, menyangkut nyawa juga bukanlah sesuatu hal yang ringan.

Terpaksa Charlotte membuka mulutnya mendesah lesuh, menceritakan mimpi buruknya pada Gabriel.

“Walaupun besok kau hanya mengunjunginya sebentar, tapi entah kenapa rasanya aku tidak ingin melepaskanmu dengan mudah, Gabriel.”

Secara spontan, Gabriel memeluknya dengan erat hingga kesulitan bernapas.

“Gabriel, ini terlalu kuat,” ujar Charlotte dengan napas sedikit tersengal-sengal.

“Aku juga tidak akan melepaskanmu sama seperti apa yang telah kuperbuat padamu sekarang.”

“Tapi…”

“Tapi kenapa?”

“Aku bisa merasakan sesuatu buruk yang akan datang tiba-tiba. Sebenarnya aku mengalami mimpi buruk mengenaimu.”

“Memangnya aku kenapa?”

“Kau mati terbunuh di mataku. Aku takut mimpiku jadi kenyataan suatu hari nanti. Rasanya aku jadi takut kehilanganmu. Sebentar lagi kita menikah, aku ingin pernikahan kita berjalan lancar,” jelas Charlotte sedikit panik.

“Tidak akan terjadi sesuatu yang buruk pada kita. Apakah kau lupa? Aku adalah seorang pangeran dari kerajaan ini, tidak ada yang akan bisa menghancurkan kehidupan kita. Lagipula walaupun ada angin kencang yang menerpa hubungan kita, tetap saja hubungan kita akan terlihat utuh sampai selamanya. Mimpi buruk itu sebaiknya kau lupakan.” Gabriel melontarkannya santai sambil memasukkan helaian rambut Charlotte ke belakang telinga.

“Benar juga sih perkataanmu barusan. Mungkin aku terlalu banyak halusinasi jadinya memikirkan hal yang aneh.”

“Bagaimana kalau kita masuk ke dalam istana saja? Udara di sini semakin dingin, kau bisa terserang flu.”

“Baiklah kita masuk ke dalam saja.”

Ketika mereka berdua sedang berjalan memasuki istana, orang misterius ternyata mendengar perbincangan mereka sejak awal sambil mengukir senyuman liciknya.

Sementara di sisi lain, Perdana Menteri yang dikenal selalu keras kepala dan tegas sedang berada di ruang kerjanya sambil memandangi ponselnya yang berisi foto-foto kebersamaannya dengan Pangeran Gabriel. Lalu, tiba-tiba asisten pribadinya memasuki ruangan tersebut sambil menyeduh secangkir the hangat.

“Perdana Menteri Agnes, apakah Anda baik-baik saja?” tanya asisten itu sangat cemas.

“Kau sendiri bisa lihat, kan, wajah saya seperti apa sekarang,” jawab Agnes datar.

“Maaf, saya tidak bermaksud membuat Anda tersinggung. Tapi karena saya sudah membawakan teh hangat, bagaimana kalau Anda minum teh terlebih dahulu untuk menenangkan pikiran Anda.” Asisten Agnes memberikan cangkir the untuknya.

Dengan sigap Agnes menyesap tehnya, menikmatinya perlahan sambil menghembuskan napasnya lesuh.

“Saya tidak menyangka pernikahannya akan cepat datang.”

“Apakah Anda ingin menyerah begitu saja? Bukankah Pangeran Gabriel adalah cinta pertama Anda?”

Mendengar lontaran asistennya barusan, Agnes menajamkan tatapan matanya sambil mencengkeram cangkirnya erat.

“Jaga ucapan Anda barusan! Saya tidak mungkin merebut Pangeran Gabriel begitu saja!”

“Maaf, Perdana Menteri Agnes, atas kelancangan saya barusan,” sesal asisten itu lalu berlutut di hadapannya.

“Walaupun saya dikenal sebagai wanita yang arogan dan selalu mendekati Pangeran, tapi saya bukan tipe wanita yang berani merebut milik orang lain!”

Malam harinya, ketika Charlotte melangkahkan kakinya anggun menuju pagar istana, sontak Pangeran Gabriel berlari menghampirinya, melingkarkan kedua tangan pada perut tunangannya langsing dari belakang.

“Charlotte, besok pagi kau sungguh bisa melihatku sebelum berangkat?”

“Tentu saja bisa. Besok aku memiliki banyak waktu luang, lagipula aku memang ingin mengantarkanmu.”

“Syukurlah, kalau begitu besok aku akan berpenampilan tampan supaya kau semakin sayang padaku,” Gabriel melepas pelukannya mengeluarkan jurus gombal andalannya sambil mengedipkan mata kanannya genit.

“Ah kau bisa saja berkata seperti itu.”

“Aku ingin mengantarkanmu pulang sebenarnya.”

“Tapi sopir pribadiku sudah menungguku dari tadi. Sudahlah tidak apa-apa, aku bisa pulang sendiri.”

“Kau harus selalu hati-hati,” pesan Gabriel lembut.

“Iya tenang saja, sopirku pandai membela diri, dia bisa diandalkan sejak dulu.”

“Aku sedikit tenang mendengarnya.”

“Kalau begitu aku permisi dulu, sampai bertemu besok, Gabriel.” Charlotte mendaratkan ciumannya pada pipi kiri Gabriel sekilas.

“Sampai bertemu, Charlotte.”

Keesokan harinya, Gabriel bersama Lucas menaikki pesawat jet pribadi kerajaan untuk mengunjungi kediaman Tuan Alexander. Biasanya saat Gabriel dan Lucas bepergian ke tempat yang jauh, mereka selalu menaikki pesawat jet. Sebelum pesawatnya lepas landas, Gabriel berpamitan dengan tunangannya terlebih dahulu sebelum berpisah.

“Aku akan pulang cepat nanti, tunggulah aku.”

“Jangan pergi terlalu lama, aku bisa merindukanmu.”

“Entah kenapa aku ingin memainkan piano untukmu nanti.”

“Benar juga! Sudah lama kita tidak bermain piano bersama,” seru Charlotte membulatkan matanya sempurna.

“Kalau begitu, nanti kita memainkannya bersama untuk merayakan pernikahan kita besok.”

Sontak pada saat yang bersamaan, Lucas menghampiri mereka berdua, menundukkan kepala dengan hormat.

“Maaf, Pangeran Gabriel, ini sudah waktunya kita berangkat sekarang.”

“Sebelum itu aku harus melakukan sesuatu padanya dulu.”

Gabriel menyentuh pelipis tunangannya dengan kedua tangannya, mendaratkan bibirnya pada bibir Charlotte berciuman mesra sambil meraba punggungnya lambat laun, tanpa memedulikan orang di sekitarnya menyaksikannya. Tidak ada jeda satu detik, Charlotte membalasnya dengan memainkan bibirnya mempererat pelukannya menikmati aksi ciuman yang mereka lakukan dalam durasi cukup lama. Usai puas melakukannya, Gabriel melepas ciumannya mengakhirinya dengan mencium kening Charlotte penuh cinta.

“Aku akan pergi sekarang, sampai bertemu nanti, Charlotte,” pamit Gabriel melambaikan tangannya.

“Sampai bertemu, Gabriel. Kau harus selalu berhati-hati di sana.”

Gabriel melangkahkan kakinya pelan didampingi Lucas memasuki pesawat jet sambil memandangi kekasihnya dari kejauhan, seperti tidak rela berpisah dengannya.

Beberapa saat kemudian, setelah kepergian sang Pangeran, Charlotte menunggu kepulangannya di kediamannya sendiri sambil bersantai di ruang tamu. Ketika ia ingin menyesap secangkir teh hangat, tanpa sengaja ia menjatuhkan cangkir hingga beling-beling kaca berserakan di lantai. Seperti merasakan terjadi sesuatu buruk menimpanya secara tidak langsung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status