Share

Chapter 8 - Mourning

Peristiwa menghilangnya Pangeran Gabriel dan sekretaris Lucas, masih saja menggemparkan seluruh negeri setelah berlangsung selama beberapa hari. Awal mulanya didatangkan kabar menggembirakan mengenai pernikahan Pangeran Gabriel, kini digantikan menjadi kabar duka yang melibatkan kemungkinan kematiannya. Untuk saat ini, pihak kepolisian kerajaan dan Badan Intelijen Nasional masih menginvestigasikan kasus ini lebih lanjut.

Terutama putri keluarga Viscount, kini berada di istana menemani sang Raja dan Ratu kerajaan yang sedang berkeluh kesah atas hilangnya putra mereka.

“Yang Mulia Raja dan Ratu, maafkan hamba,” sesal Charlotte sambil berlutut di hadapan Raja dan Ratu menundukkan kepalanya hormat.

“Kenapa Anda meminta maaf pada kami?” tanya Raja Arthur bingung.

“Seharusnya hamba mencegahnya pergi mengunjungi Tuan Alexander. Seandainya saja Pangeran Gabriel tidak pergi, maka dia sampai sekarang masih tetap berada di istana.”

“Angkat kepala Anda, Nona Charlotte,” titah Raja Arthur tegas.

Dengan sigap Charlotte mengangkat kepalanya tegak, sorot matanya berhadapan dengan Raja, namun ia tidak bisa menahan air matanya yang berlinang hingga membanjiri pipinya.

“Nona Charlotte, apakah Anda baru saja menangis?” tanya Ratu Evelyn.

“Sampai sekarang, hamba masih tidak rela melepas kepergian Pangeran Gabriel….Hamba masih sangat mencintainya sejak dulu.” Charlotte menangis terisak, hidungnya memerah.

“Kemarilah, Nona Charlotte.” Ratu Evelyn merentangkan kedua tangannya lebar, mengukir senyuman ramah pada wajahnya.

“Tapi hamba tidak berani melakukannya. Hamba hanyalah seorang gadis biasa,” balas Charlotte merendah, kepalanya menunduk.

“Tidak apa-apa. Saya tidak mungkin memenggal seorang wanita yang kelak akan menjadi wanita kerajaan,” tutur Ratu Evelyn lembut.

“Kalau begitu, maaf atas kelancangan hamba.”

Charlotte membangkitkan tubuhnya perlahan, melangkahkan kakinya anggun mendekati sang Ratu. Tubuh langsingnya dibiarkan dipeluk hangat dengan penuh kasih sayang oleh sang Ratu yang dikenal ramah di kalangan rakyat.

“Yang Mulia Ratu…” lirih Charlotte lesuh.

“Saya bermaksud untuk menghibur Anda. Saya tahu bahwa sejak insiden kecelakaan pesawat yang dialami Pangeran Gabriel, membuat dirimu menjadi lesuh seperti ini.”

Tangisan Charlotte semakin pecah sehingga Ratu Evelyn menunjukkan rasa empatinya dengan mengelus punggung Charlotte pelan.

“Kepergian putra kami juga membuat kami sangat tidak berdaya. Rasanya ingin memarahi diri sendiri juga tidak bisa, kami tidak mungkin memarahi Anda atau Tuan Alexander karena membuat putra kami mengalami kecelakaan tidak terduga,” tutur Raja Arthur panjang lebar juga ikut menenangkan Charlotte, walaupun matanya terlihat sedikit sembab.

“Yang terpenting sekarang kita harus tetap kuat menghadapinya. Apalagi wajah Anda terlihat sangat kurus sejak insiden ini,” tambah Ratu Evelyn menyentuh pipi Charlotte dengan tatapan sangat cemas seperti putri kandungnya sendiri.

“Anda tidak perlu menyalahkan diri Anda sendiri, Nona Charlotte. Kami tahu bahwa Anda merupakan satu-satunya wanita andalan bagi keluarga kerajaan,” lanjut Raja Arthur.

“Tapi hamba tidak melakukan banyak hal baik terhadap keluarga kerajaan,” sanggah Charlotte sopan.

“Pangeran Gabriel sangat mencintai Anda sampai akhir, ini membuktikan bahwa Anda adalah wanita sempurna di matanya. Lagipula wanita seperti Anda jarang sekali ditemukan dalam dunia ini. Putra kami memilih Anda sebagai pendamping hidupnya karena hanya Anda yang mampu menjaga hatinya sepanjang hidupnya,” tutur Ratu Evelyn panjang lebar memberikan pujian sekaligus memberi sedikit semangat.

“Terima kasih atas pujiannya, Yang Mulia Ratu,” ucap Charlotte mengukir senyuman hangatnya.

“Tapi Nona Charlotte, besok upacara penghormatan terakhir untuk Pangeran Gabriel, apakah Anda bersedia untuk mengikutinya?” tanya Raja Arthur sedikit ragu.

“Hamba siap mengikutinya, karena Pangeran Gabriel merupakan calon suami hamba. Tidak mungkin hamba tidak mengikuti upacaranya,” jawab Charlotte lesuh.

“Kalau Anda tidak bisa mengikutinya, sebaiknya jangan dipaksakan,” usul Ratu Evelyn.

“Hamba pasti bisa menghadapinya.”

“Baiklah, apa boleh buat kami juga tidak memiliki hak untuk mencegah Anda,” balas Raja Arthur mendesah pasrah.

Keesokan harinya, seluruh negeri ini menunjukkan rasa duka mereka dengan menghiasi sebuah pita berwarna putih pada pintu maupun pagar rumah mereka, untuk menunjukkan rasa duka mendalam terhadap hilangnya Pangeran Gabriel. Tidak semua orang bisa mengikuti upacara penghormatan terakhir untuk mendiang Pangeran Gabriel. Hanya keluarga kerajaan dan beberapa kerabat keluarga bangsawan yang mengikuti upacaranya.

Sementara Charlotte yang sedang memberikan penghormatan untuk calon suaminya, dengan pandangan kosong ia berlutut menghadap laut di suatu tebing. Tidak memakai riasan wajah sehingga wajahnya terlihat sangat pucat dibandingkan Perdana Menteri Agnes yang masih terlihat segar karena memakai riasan wajah.

Di tengah upacara penghormatan ini, sontak seorang pria tua memakai seragam kerajaan turut tunduk memberi penghormatan dengan tangisan tersedu-sedu.

“Bagaimana bisa keponakan kesayangan saya bisa berakhir seperti ini? Ini semua salah saya karena jarang sekali bertemu dengannya. Seharusnya saya tidak melakukan perjalanan jauh yang cukup lama, sehingga bisa menghabiskan waktu bersamanya lebih lama lagi.”

Secara spontan, Charlotte membangkitkan tubuhnya pelan menghampiri pria tua tersebut yang sudah tidak bertenaga sama sekali.

“Ini bukan salah Anda. Jangan menyalahkan diri Anda sendiri,” bujuk Charlotte sopan.

“Saya salut dengan Anda, Nona Charlotte. Anda masih bisa berdiri kokoh, walaupun calon suami Anda menghadapi bencana besar.” Pria tua itu mengulas senyumannya.

“Saya tidak mungkin terus bersedih, Pangeran Gabriel juga akan bersedih kalau saya menangis terus saat upacara penghormatan terakhirnya.”

Sementara pria yang terlihat berusia sekitar lima puluh tahun, berdiri sendirian sedikit menjauh dari segerombolan para keluarga kerajaan dan bangsawan lainnya yang sedang mengikuti upacara. Lalu, sontak seorang pemuda mendatanginya berdiri tepat di sebelahnya.

“Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang, Tuan Alexander?” tanya pemuda itu.

“Kita harus berbuat gimana lagi. Pangeran baru saja tiada, tidak ada yang bisa kita lakukan saat ini,” sahut Tuan Alexander menghela napasnya lesuh.

“Tapi bukankah ini sangat aneh? Biasanya walaupun cuaca buruk, pesawat jet kerajaan tetap berfungsi baik.” Pemuda tersebut menautkan kedua alisnya, berpikir sambil bertopang dagu.

“Yang pasti rencana kita untuk memberitahukan hal penting itu gagal karena kecelakaan ini. Peristiwa kecelakaan yang dialami Pangeran Gabriel, bukankah suatu kecelakaan biasa. Sepertinya ada seseorang yang sengaja merencanakan ini.”

“Saya sependapat dengan Tuan. Kemungkinan kecelakaan ini disengaja dengan orang dalam suatu motif tertentu.”

“Untuk saat ini, jangan membuat pergerakan mencurigakan. Nanti keluarga kerajaan bisa mencurigai kita.”

“Haruskah kita menyelidiki kasus ini lebih mendalam?”

Tuan Alexander menggeleng pelan, melangkahkan kakinya menghampiri segerombolan anggota keluarga kerajaan.

“Seperti biasa, kau selidiki secara diam-diam, lalu melaporkan sesuatu yang baru padaku.”

“Baik, Tuan.”

Usai melakukan upacara penghormatan terakhir Pangeran Gabriel, Charlotte kembali menetap di kediamannya, duduk merenung di ruang tamu sambil memandangi cincin lamaran yang terlihat berkilauan pada jari manisnya. Tatapan matanya semakin sendu, hidungnya mulai memerah, secara spontan sang ibu menduduki sofa sambil mendekapnya hangat.

“Ibu…” panggil Charlotte lesuh.

“Kuatkan dirimu, Putriku. Ibu tahu kau pasti masih memikirkannya sekarang.”

“Ibu, apa yang harus aku lakukan untuk kedepannya? Aku tidak mungkin mencari pria lain untuk menjadi pendamping hidupku, aku merasa bersalah kalau sampai aku mengkhianati Gabriel. Waktu itu dia melamarku dengan tulus dilihat dari tatapan matanya,” ujar Charlotte panjang lebar melampiaskan amarah dan kesedihan yang terpendam dalam hatinya.

“Kalau seandainya kau masih sangat mencintainya dan tidak ingin mencari pria lain, ibu tidak akan memaksamu. Ibu pasti sangat mendukung keputusanmu. Yang ibu inginkan hanyalah kau selalu hidup bahagia bersama pria yang kau cintai,” pesan Ibu Charlotte sambil mengelus kepala pelan.

“Terima kasih. Bu. Hatiku sedikit terhibur sekarang.” Charlotte mengulum senyuman tipis mempererat pelukannya.

Sepanjang hari, Charlotte terus merenung sendirian seperti kemarin, memikirkan kejadian yang menimpa calon suaminya tiba-tiba. Bahkan saat makan malam, Charlotte memasang raut wajah seriusnya sehingga membuat sang ibu kebingungan memandangi putrinya.

“Ada apa denganmu, Charlotte?”

“Tidak apa-apa, Bu,” sahut Charlotte lemas.

“Kau harus mengisi energi tubuhmu supaya tubuhmu selalu kuat.”

“Iya aku tahu itu. Ibu bisa lihat sendiri aku sedang makan sekarang.” Charlotte tersenyum paksa sambil menyantap makan malamnya dengan lesuh.

“Putriku, ibu berharap wajahmu kembali normal lagi. Sampai sekarang ibu sangat mencemaskan keadaanmu, terutama tubuhmu semakin kurus. Kalau penampilanmu seperti ini terlihat sangat tidak cantik.”

“Ibu bisa saja berpikir seperti itu di saat seperti ini.” Charlotte tertawa anggun.

“Ibu sengaja berkata begitu untuk menghibur hatimu yang sedang sedih.”

“Terima kasih telah menghiburku, Bu.”

Sebelum tertidur, Charlotte duduk bersandar lemas pada ranjang berukuran king size sambil mengelus cincin lamarannya dan memandangi foto Pangeran Gabriel yang terlihat sangat ceria bersamanya. Lagi-lagi Charlotte memikirkan kejadian tragis itu lagi sehingga pikirannya sangat kacau sekarang. Ia terus menggarukkan kepalanya kesal hingga rambutnya tidak beraturan.

“Seandainya saja Tuan Alexander tidak memintanya bertemu, kejadian ini tidak akan terjadi lagi,” gumamnya geram.

Namun tiba-tiba ada sesuatu yang terlintas dalam pikirannya berkaitan dengan insiden kecelakaan pesawat yang dialami Pangeran Gabriel.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status