Share

04 || Angkat kaki

04 || Angkat kaki

Aku menatap tak percaya. Jam yang menunjukkan pukul setengah empat, membuat aku sujud syukur. Uang baru saja aku terima dari kampung dengan jumlah yang fantastis.

Satu milyar baru saja masuk kerekeningku, hasil penjualan beberapa hektar tanah di kampung, membuat aku seketika menjadi jutawan dalam semalam. Sebenarnya sudah lama aku menjualnya, tapi tidak ada yang menawar dengan harga sefantastis ini. Aku berulang kali mengucapkan syukur, mungkin dengan uang ini aku bisa pergi dari rumah ini, dan memulai usaha baru bersama mas Adam.

Aku juga tak rela, kalau setiap hari mas Adam dihina sama keluarganya karena tak kunjung dapat kerja. Apa lagi ibu mertua yang selalu menyindir mas Adam dengan berbagai dalih, kadang dari uang listrik, bahan dapur, dan banyak lagi lah. Mungkin pas sarapan saja aku bilang sama mas Adam nanti.

Tok .... Tok .... Tok ....

“NISA KELUAR KAMU! DASAR MENANTU KURANG AJAR!”

Aku yang terduduk, langsung berdiri. Jangan tanyakan bagaimana kondisi jantungku, aku terkejut bukan main. Suara ibu mertua juga membangunkan mas Adam sama Raka.

Aku buru-buru membuka pintu, sebelum suara ibu mertua membangunkan para tetangga. “Iya Bu ada apa?” Aku menatap ibu mertua dengan tatapan kebingungan, di belakangnya ada mbak Sri yang tersenyum tipis.

Plak

“Udah dikasih numpang hidup di rumah ini, malah gak tau diri. Seharusnya mikir kamu menantu sialan, kamu itu beban di sini.” Ibu mertua seketika cerocos saja, aku semakin kebingungan, apa yang sebenarnya terjadi. Aku juga merasakan panas sekaligus perih di pipi kananku.

“Ada apa ini, Ma?” Mas Adam berdiri tepat dibelakangku.

“ADA APA? ADA APA? KAMU TANYAKAN SAJA SAMA ISTRI SIALAN KAMU INI. UDAH BAIK AKU TAMPUNG, INI MALAH MENCURI.”

Aku menutup telinga, selain nada suaranya yang tinggi, suara ibu mertua juga melengking bukan main. Eh, aku paham apa yang sebenarnya terjadi, dan hal ini bakalan menjadi topik utama ibu-ibu kompleks sekitaran sini.

Astagfirullah, ya Allah fitnah apa lagi ini? Hamba hanya ingin hidup tenang sama suami dan anak Hamba. Aku enggak siap melihat tatapan kecewa suami Hamba.

“Ma, jangan asal menuduh, tidak mungkin Nisa mencuri. Kalau Mama asal nuduh, yang ada Mama dosa.” Mas Adam kembali membelaku, suaranya sangat lembut, namun tidak dengan tatapannya.

Aku menggeleng kala matanya tertuju padaku. Ia juga menghela napas pelan, lalu berusaha kembali berbicara. Namun sebelum mas Adam berbicara, ibu mertua sudah duluan cerocos nak kereta api.

“Oh, jadi kamu bela istri kamu yang jelas salah ini? Memang anak tidak tau diri! Rugi aku mengandung kamu sembilan bulan, kalau tau kamu jadi seperti ini, sudah aku gugurkan kamu,” ucap Ibu mertua dengan mata yang mendelik.

Mas Adam yang dikatain seperti itu, malah hatiku yang terasa sakit. Demi Allah, seorang ibu tidak pantas berkata seperti itu pada anaknya. Karena anak juga hadiah dari Allah, hadiah yang dinantikan semua pasangan suami istri. Tidak pantas orang tua mencelanya, apa lagi sampai berkata yang bukan-bukan.

“Bu, aku benaran enggak ada mencuri,” kataku dengan lirih.

“Alah, kalau maling ngaku, penuh penjara. Sri, cepat kamu ambil buktinya.”

Mbak Sri langsung masuk ke dalam kamarku, berjalan menuju lemari pakaian, dan menggeledah semuanya. Aku tak kuasa menahannya, semua energi pada tubuhku lenyap seketika. Ingin aku menangis, tapi tak mungkin hal itu aku lakukan. Kalau aku terusan terlihat lemah, mereka yang ada semakin menjadi-jadi, hal itu sudah aku rasakan selama menikah dengan mas Adam. Aku tak bisa menyalahkan siapa-siapa, aku lah yang salah, karena terlalu lemah dan tidak bisa membela diri.

Mungkin, hari ini aku akan pergi dari rumah rasa neraka ini. Akan aku bawa Raka saja, kalau mas Adam tidak mau. Aku berharap mas Adam mau ikut, dan mampu mengolah uang yang baru saja aku dapatkan. Batas kesabaranku sudah habis, tenagaku juga terkuras habis, menjadi pembantu cuma-cuma, tanpa mendapatkan sepeser uang pun.

“Lihat ini!” Mbak Sri datang-datang menodongku dengan kalung emas yang aku kenali.

“Kok seperti ….”

Belum lagi aku selesai berbicara, mbak Sri sudah memotongnya. “Dasar wanita miskin tidak tau diri, nggak ada uang, emasku pun jadi kamu curi. Udahlah Bu, usir aja dia!”

Hah? Kalung milik mbak Sri? Aku menatap mas Adam yang tampak kebingungan juga. Emas itu sangat aku kenali, karena itu hadiah di hari ulang tahun ibu mertua dua bulan yang lalu. Aku masih mengingat jelas, bagaimana bentuk dan berapa gram emas itu.

“Aku sudah tidak mau berbasa-basi lagi, aku juga tidak mau menampung benalu dalam rumahku. SEKARANG KELUAR KALIAN DARI RUMAH INI!”

Deg

Bagaikan disambar petir di siang bolong, tubuhku dan mas Adam mematung. Aku tak sedih, hanya terkejut. Tapi aku dapat melihat raut kesedihan dari wajah mas Adam.

“Baiklah, kalau itu yang Mama mau. Tapi ingat Ma, aku masih anakmu, kalau kamu kesusahan, datanglah kepada kami,  kami menerima kamu dengan lapang dada. Maafkan aku yang sudah lancang meminta uang itu kembali, Ma. Sekarang aku ikhlas dengan uang itu.”

“Kami pamit, Ma ....”

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status