"Kapan kamu mau kembali bekerja, Ras?" tanya Winda sedang sibuk mengunyah keripik pisang buatan ibu."Mungkin lusa, Win. Aku juga rindu suasana kantor. Apalagi sejak aku menikah dengan Mas Haris, aku belum pernah ke kantor lagi."Aku terdiam sejenak, kembali teringat bagaimana pertama kali aku bisa mengenal Mas Haris. Kami bertemu saat aku masih bekerja, Mas Haris sedang ada pekerjaan dengan perusahaan ayah.Saat pertemuan pertama kami, aku tidak begitu tertarik dengan Mas Haris. Aku hanya melihatnya sama seperti lelaki lainnya. Tapi seiring berjalannya waktu, dan karena orangtua kami, akhirnya aku mulai melihat Mas Haris dengan pandangan lain.Aku kagum dengan kelembutan sikap Mas Haris, dia selalu bisa membuatku nyaman. Akhirnya aku pun aku jatuh hati padanya. Kenangan-kenangan saat aku masih bersama Mas Haris kembali terlintas di benakku."Ras ... Ras ... Laras...."Aku tersentak, tersadar dari lamunanku. Aku langsung menoleh ke arah Winda yang masih duduk di sofa dengan toples di
"Bagaimana kabarmu, Ras?" "Baik, Ma. Walau kemarin aku sempat dapat masalah karena seseorang," jawabku sembari melirik Indra yang duduk di samping Risa. Dia nampak membuang muka saat aku meliriknya."Dasar pengecut," umpatku dalam hati.Kami sedang duduk di ruang tamu, dengan posisi mama di sampingku, ayah duduk di hadapanku, sedangkan Indra dan Risa duduk di sebelah kanan mama.Sementara Winda sedang di dapur membantu ibu membuatkan minum untuk kami. Dari tadi Winda uring-uringan setelah melihat Indra, bahkan sejak tadi Winda terus saja menyindir Indra terang-terangan.Aku pun langsung menyuruh Winda membantu ibu menyiapkan minuman dan makanan kecil. Aku merasa tidak enak hati pada mama, jika kelakuan Indra sampai ketahuan.Aku tidak pernah mengira Indra berani datang ke rumahku, bertatapan muka denganku. Aku pikir dia tidak akan berani menampakkan batang hidungnya di depanku, ketika aku kembali pulang.Walaupun dia tidak berani menatap mataku sama sekali, Indra cukup punya nyali un
"Kamu yakin hari ini akan kembali bekerja, Ras?" tanya ibu sembari menuangkan teh di cangkirku."Iya, Bu." Aku mengangguk sembari terus mengunyah sarapan pagiku. Sementara ayah juga sibuk dengan sarapannya. Sejak kemarin ayah belum bicara padaku. Aku pun juga masih menunggu waktu untuk jujur pada ayah."Kamu berangkat dengan ayah saja, Ras. Ibu khawatir jika kamu naik mobil sendiri.""Nggak, Bu. Nanti Winda sekalian mampir menjemputku, aku berangkat dengan Winda saja."Ayah melirikku sekilas, aku belum bisa untuk bercerita pada ayah, jika kami berangkat bersama, tentu aku harus menceritakan yang sejujurnya padanya.Bukan aku tidak mau jujur dan menceritakan semua pada ayah, tetapi aku cuma tidak mau ayah mendatangi Indra dan murka padanya. Aku sangat tahu sekali ayah seperti apa, beliau tidak mau salah satu keluarganya diganggu hingga mendapat masalah.***"Wajahmu kenapa sih, Ras? Dari tadi ditekuk melulu," tanya Winda.Aku seketika menoleh ke arah Winda yang sedang berada di belakan
"Bu Laras ...." Suara Winda membuatku tersentak."Iya," sahutku salah tingkah, tidak biasanya aku tercengang sedemikian rupa bertemu dengan seseorang.Winda menatapku dengan pandangan penuh tanya, dia pasti heran dengan sikapku. Tapi aku tidak bisa mengontrol ekspresi wajahku yang terkejut dengan fakta bahwa Pandu adalah manager baru yang menggantikan Pak Hadi."Ah, maaf. Selamat bergabung Pak Pandu, semoga betah bekerja di tempat ini," ucapku mengulurkan tangan ke arah Pandu.Pandu hanya menggangguk tak membalas uluran tanganku dan malah menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada, "Terima kasih, Bu. Saya akan berusaha semaksimal mungkin melakukan tugas saya dengan sangat baik."Aku langsung menarik tanganku mendapat respon seperti itu, "Baiklah, silahkan kembali ke ruangan anda Pak Pandu. Jika ada yang perlu ditanyakan silahkan menghubungi Ibu Winda.""Baik, Bu. Terima kasih banyak. Kalau begitu saya permisi." Pandu langsung membalikkan badan dan melangkah pergi dari ruang ke
Hari sudah menjelang malam, gerimis yang turun kecil, tapi kini mulai semakin turun dengan deras. Air hujan semakin turun membasahi bumi.Aku mendesah karena lupa tidak membawa payung, kini aku tidak bisa berjalan membelah hujan untuk sampai di mobilku yang terparkir di depan restoran.Aku bisa basah kuyup jika nekat membelah hujan. Padahal aku orang yang tidak bisa terkena air hujan, aku bisa langsung demam jika sampai hujan-hujan walau cuma hanya sebentar saja.Aku baru saja mampir ke sebuah restoran kecil, karena aku tiba-tiba ingin makan di restoran tersebut. Semenjak hamil, kadang-kadang membuatku tiba-tiba ingin memakan sesuatu. Bahkan keinginan itu terkadang menyusahkanku. Kata Winda, itu bawaan bayi yang ada di dalam kandunganku, dan sebagian besar ibu hamil selalu mengalaminya.Kata Winda hal itu disebut ngidam, dan aku harus mengikuti apa yang tiba-tiba aku inginkan itu, jika tidak kau anakku nanti ileran jika sudah lahir.Membayangkan anakku ileran membuatku takut, aku pun
"Baik-baik di rumah, Ras. Sebelum malam kami pasti akan sampai di rumah. Bila kamu kesepian, ajak Winda ke sini untuk menemanimu," ucap ibu sembari menenteng tas yang berisi makanan. Sementara ayah sedang memeriksa mobil, karena mereka akan menempuh perjalanan yang cukup jauh.Mereka akan pergi ke rumah saudara ayah satu-satunya, semalam ayah dapat kabar kalau Tante Mia tiba-tiba pingsan dan dilarikan ke rumah sakit.Rencananya mereka ingin menjenguk Tante Mia, sudah lama juga ayah dan ibu tidak mengunjungi Tante Mia karena kesibukan ayah. Jika saja aku tidak dalam keadaan hamil, tentu saja aku akan ikut dengan mereka. Tapi aku tidak diperbolehkan ikut, ayah dan ibu khawatir jika aku akan kecapekan menempuh perjalanan yang cukup jauh. Dan akan berdampak buruk pada kesehatan janinku."Iya, Bu. Tidak usah khawatir padaku, aku akan menelfon Winda nanti," sahutku."Baiklah, sekarang ayah dan ibu berangkat dulu.""Iya, Bu." Aku meraih tangan ibu dan mencium punggung tangannya.Setelahnya,
"Terkejut dengan kedatanganku, Mbak?" tanya Indra dengan senyum menyeringai.Aku secara tidak sadar memundurkan langkah, menatap ngeri ke arah Indra yang semakin melebarkan senyumnya yang mengerikan. Dengan cepat pula Indra menerobos masuk ke dalam rumahku saat aku belum sepenuhnya tersadar dari keterkejutanku."Apa yang kamu lakukan? Keluar dari rumahku! Aku tidak mengijinkanmu masuk ke rumahku!" seruku dengan suara yang meninggi."Jangan berteriak, Mbak. Aku hanya ingin bertamu, apa di rumah ini tamu tidak diperbolehkan masuk?" tanya Indra dengan senyumnya yang memuakkan.Aku melirik jam yang menggantung di dinding, waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. "Kenapa ayah dan ibu belum juga pulang?" batinku.Padahal tadi ibu memberitahuku bahwa mereka akan pulang sebelum malam hari, tapi nyatanya jam segini ayah dan ibu belum tiba, padahal hari sudah beranjak malam."Tidak mau mempersilahkan aku duduk, Mbak? Atau Mbak Laras ingin berbicara sambil berdiri begini?" tanya Indra menaik
"Ayo kita bernegosiasi, Mbak. Aku jamin kedekatanmu dengan lelaki itu tidak akan ada yang tahu. Aku akan menyembunyikannya untukmu.""Apa maumu?" tanyaku pada Indra, jujur aku sudah muak berhadapan dengan Indra. Tapi aku tidak punya pilihan lain. Akan aku coba untuk mendengarkan apa yang dia inginkan.Indra melangkah mendekat padaku, tangannya terulur hendak menyentuh wajahku. Tapi buru-buru aku menepis tangannya dengan kasar, sebelum menyentuh wajahku. Aku tidak akan membiarkan tangan kotornya menyentuh wajahku."Jangan galak-galak, Mbak. Mbak Laras akan menyesal jika aku sudah marah," ucap Indra mengelus tangannya yang aku tepis.Aku bergeming, menatap nyalang ke arah Indra yang menatapku dengan tatapan yang menjijikkan. Andai aku tidak dalam keadaan hamil, tentu aku sudah berlari menghindar dari Indra. Aku tidak mungkin membahayakan janin yang ada dalam kandunganku.Aku harus bisa menghadapi Indra dengan tenang, sembari menunggu ayah dan ibu pulang ke rumah. Indra akan pergi sendir