ログインBaru saja tiba di Ruthven Wine, Anshel langsung meminta Philippe memberhentikan istrinya dari jabatannya.
“Philippe, jangan dengarkan dia!” seru Fleur dengan nada tinggi. Philippe menatap keduanya bergantian lalu tertawa kecil. “Baiklah, anggap saja ini hanya lelucon.” Namun Anshel menatapnya serius. “Aku tidak sedang bercanda. Aku ingin istriku bekerja bersamaku.” Nada Philippe berubah. “Baiklah, kita bicarakan di dalam.” “Maaf, ini sudah siang. Aku ada rapat lain. Lain kali saja kita lanjutkan.” Anshel mengalihkan pandangan pada istrinya. “Fleur, aku sudah menyampaikan yang ingin kukatakan. Tolong pikirkan permintaanku.” Tanpa di duga Anshel mencium bibir Fleur di depan mereka, membuat Fleur terdiam tak berdaya. Philippe dan Pamela menutup mulut, terkejut melihat aksi adik iparnya, sementara Smith hanya bisa ternganga. “Aku berangkat dulu ke kantor, sayang.” Anshel pun pergi, diam-diam tersenyum puas karena berhasil mencuri ciuman dari istrinya. Fleur menggertakkan giginya, dadanya berdebar tak karuan. Sentuhan Anshel masih terasa di kulitnya, membuatnya terhenti sejenak, sadar betapa dekat mereka tadi. Ia menatap bayangan suaminya yang menjauh, tubuhnya seolah menuntut lebih meski akal menolak. Ruthven bersaudara kembali bekerja, namun Fleur tak mampu fokus. Ia akhirnya masuk ke ruang Philippe. “Philippe, apa kau akan mengabulkan permintaannya?” Philippe menutup berkas di tangannya dan menatap adiknya. “Aku tidak akan keluar dari perusahaan kita,” kata Fleur tegas. Philippe menggenggam tangannya di atas meja. “Tidak. Aku akan memenuhi keinginannya.” “Philippe!” seru Fleur, suaranya meninggi. Kakaknya tetap tenang, tapi tajam. “Untuk sementara, aku ingin kau bekerja di perusahaan suamimu.” Fleur berdiri, menatapnya kecewa, lalu menutup pintu dengan agak keras. Di ruangannya, ia mencoba menelpon Anshel, namun tidak diangkat. Sementara itu, Anshel tengah memimpin rapat di Noblecrest Global, kerajaan bisnis milik keluarga Noble, perusahaan raksasa yang mengendalikan kekuatan finansial, teknologi, dan logistik di banyak negara. Dari luar tampak megah, namun di baliknya mengalir rahasia dan ambisi yang bisa menelan siapa pun. Pamela masuk ke ruangan Fleur dengan wajah penasaran. “Aku cukup kaget dengan permintaan suamimu pagi ini,” katanya sambil duduk di depan meja. Fleur cemberut. “Aku juga.” “Pamela, aku ingin bercerai dengannya dan fokus di perusahaan Ayah,” ucap Fleur pelan tapi pasti. Pamela mengangguk ringan. “Aku setuju kau tetap di sini. Aku ingin selalu dekat denganmu. Tapi… aku tidak akan membiarkan kalian bercerai.” “Pamela!” protes Fleur kesal. Pamela tersenyum kecil. “Tapi bukankah dulu kau sendiri yang bilang ingin bekerja di perusahaan teknologi?” Fleur menunduk, memberi alasan bahwa bekerja di Ruthven Wine juga membuatnya bisa menyalurkan ilmunya. Tak lama, Smith mengetuk pintu dan masuk. “Kalian membicarakan apa?” Pamela menyeringai. “Kau, tentu saja. Smith, apakah kau tidak pernah jatuh cinta padanya?” “Kau ini! Kami ini sahabat baik. Mana mungkin aku jatuh cinta padanya?” jawab Smith tergelak. Fleur menatapnya setengah menggoda. “Smith, seharusnya kau yang menikahiku.” Smith terkekeh. “Tanpa cinta?” “Aku juga menikah dengannya tanpa melibatkan perasaan,” gumam Fleur sambil merengut. Pamela menepuk meja pelan. “Sudahlah. Ayo kembali bekerja!” Ketiganya tertawa kecil sebelum beranjak ke ruangan masing-masing. Tiga minggu berlalu. Fleur belum juga pulang ke rumah Anshel. Malam itu, Anshel meneleponnya. “Fleur, apa aku harus menyeretmu agar pulang?” “Tidak perlu. Jangan memperdulikanku lagi. Aku ingin kita berpisah,” jawab Fleur dingin. Anshel mendengus, lalu menyingkap tirai, menatap kota dari balik kaca. “Baiklah. Ini belum terlalu larut. Aku akan menjemputmu.” “Kalau kau memaksaku, aku akan bunuh diri!” Anshel tertawa kecil. “Silakan, Fleur. Media akan memberitakan: Putri bungsu keluarga Ruthven nekad menghilangkan nyawanya sendiri karena Depresi setelah kehilangan ayahnya.” “Anshel!” Fleur menjerit, lalu mematikan ponselnya. Ia berlari mengunci kamar, memeriksa jendela, lalu menutup mata dengan penutup tidur. Sementara itu, Philippe berbicara dengan Dokter Leander di ruang kerja almarhum ayahnya. Ruang kerja Wesley Ruthven masih berbau anggur dan kayu tua. Philippe berdiri di dekat jendela saat Dokter Leander datang membawa map cokelat di tangannya. “Sesuai hasil uji laboratorium, kematian ayahmu disebabkan oleh racun Thallium,” ujar Leander perlahan. Philippe memejamkan mata. Ia sudah menduga, tapi mendengar kata itu keluar dari mulut sang dokter terasa seperti hantaman batu. “Beberapa hari lalu aku memeriksa CCTV. Tak ada yang mencurigakan,” katanya pelan. Leander menatap kertas itu, lalu bergumam, “Tapi… ini bukan Wine yang produksi perusahaan kalian.” “Apa?” Philippe spontan menoleh. Leander mengangguk, suaranya menurun. “Kita perlu tahu dari mana botol itu berasal. Bisa jadi seseorang sengaja menaruh racun di dalamnya. Bisa kau panggil Clement?” Philippe menekan interkom, meminta Emma memanggil sang sopir. Tak lama Clement masuk, wajahnya tegang. “Dokter Leander menanyakan botol sisa wine waktu itu,” kata Philippe. Flashback: Pagi itu setelah Dokter Leander memastikan Tuan Wesley sudah meninggal, ia langsung mengenakan sarung tangan, memasukkan botol wine ke plastik bening, dan mengambil sampel dari gelas serta sehelai rambut korban. Clement melangkah. Ia menunduk lalu membuka lemari bawah meja kerja majikannya dan mengeluarkan botol yang terbungkus rapi, kemudian menyerahkannya pada sang dokter. “Terima kasih, Clement. Kau boleh pergi.” Begitu pintu tertutup, Philippe menatap botol itu lama. “Apakah Ayah mendapatkannya dari partner bisnis?” gumamnya lirih. Leander menggeleng. “Tugasmu sekarang mencari tahu dari mana botol ini berasal.” Saat hendak pergi, Philippe sempat bertanya, “Apakah hanya kita berdua yang tahu soal ini?” “Tidak. Clement tahu aku mengambil sampel dari gelas, tapi tidak tahu hasilnya. Tenang saja, ia bisa dipercaya. Lagipula publik sudah menerima kabar resmi kalau ayahmu meninggal karena serangan jantung.” Philippe menatap ke arah potret besar ayahnya di dinding, memandangi nya dengan iba. “Aku akan menyelidikinya diam-diam,” ujarnya datar. Leander menatapnya sejenak. “Aku akan segera menyerahkan bukti ini ke pihak berwajib. Tapi kau tahu, Philippe... racun ini bukan hal yang bisa ditemukan sembarangan.” Philippe mengepalkan tangan. “Aku akan menemukan siapa yang membunuh Ayahku.” Dokter itu menepuk pundaknya lalu pergi. Beberapa hari kemudian, Anshel datang ke kediaman mereka di Estate Ruthven. Mereka berempat mengobrol di ruang keluarga. “Philippe, bagaimana keputusanmu?” Philippe menarik napas panjang. “Aku tidak keberatan. Kau suaminya. Tapi aku tidak ingin memaksanya, Fleur kau boleh pindah jika itu keinginanmu.” “Keputusanku sama. Aku menolak,” kata Fleur tegas. Anshel tertawa kecil. “Fleur, bukankah kau suka mengutak-atik komputerku? Bagaimana kalau kau bergabung di Noblecrest Systems?” Pamela dan Philippe saling pandang, terkejut, karena adiknya seusil itu. “Tuan Anshel, sebaiknya Anda pulang saja,” kata Philippe menahan nada tegas. “Kau sudah lama meninggalkan rumah, Fleur. Apa kau ingin kalau sampai Nenek tahu?” Anshel mendekat. “Sudah lama juga kau tak menjenguk Ayahmu. Mari kita ke sana.” “Anshel, aku tidak mau!” Anshel menarik napas panjang. “Baiklah Tuan Putri,” Lalu ia berdiri dan melangkah mendekati istrinya. “Philippe, Pamela, maaf. Aku tak punya pilihan lain. Aku merindukannya.” Dan tanpa memberi waktu, Anshel mengangkat tubuh Fleur begitu saja di pundaknya. “Philippe! Pamela! Tolong aku!” teriak Fleur, memukuli punggung suaminya. Namun kedua kakaknya hanya tertawa, melihat adegan menggelikan itu di tengah ketegangan. Anshel terus melangkah pergi, membawa Fleur seperti karung beras. Bersambung...Baru saja tiba di Ruthven Wine, Anshel langsung meminta Philippe memberhentikan istrinya dari jabatannya. “Philippe, jangan dengarkan dia!” seru Fleur dengan nada tinggi. Philippe menatap keduanya bergantian lalu tertawa kecil. “Baiklah, anggap saja ini hanya lelucon.” Namun Anshel menatapnya serius. “Aku tidak sedang bercanda. Aku ingin istriku bekerja bersamaku.” Nada Philippe berubah. “Baiklah, kita bicarakan di dalam.” “Maaf, ini sudah siang. Aku ada rapat lain. Lain kali saja kita lanjutkan.” Anshel mengalihkan pandangan pada istrinya. “Fleur, aku sudah menyampaikan yang ingin kukatakan. Tolong pikirkan permintaanku.”Tanpa di duga Anshel mencium bibir Fleur di depan mereka, membuat Fleur terdiam tak berdaya.Philippe dan Pamela menutup mulut, terkejut melihat aksi adik iparnya, sementara Smith hanya bisa ternganga.“Aku berangkat dulu ke kantor, sayang.”Anshel pun pergi, diam-diam tersenyum puas karena berhasil mencuri ciuman dari istrinya.Fleur menggertakk
Ruthven bersaudara baru menyadari kehadiran Anshel. “Kalian terlalu sibuk bermain, hingga tidak menyadari kehadiranku.” Philippe langsung naik dan mengajak adik iparnya masuk ke dalam, ia juga menyuruh pelayannya menyiapkan sarapan untuk mereka. Anshel sempat menoleh ke belakang menatap istrinya, yang terlihat lebih ceria dari kemarin. Kemudian Philippe izin mandi dulu dan akan segera kembali untuk mengobrol dengannya. Anshel memperhatikan ruangan itu. Kediaman Ruthven memancarkan keanggunan klasik, lantai kayu gelap berkilau, lampu kristal yang memantulkan cahaya lembut di cermin besar, dan tirai beludru emas yang menahan sinar pagi. Mata Anshel tertuju pada rak buku di sudut ruangan laku mengambil sebuah buku dan membacanya. Fleur dan Pamela pun langsung masuk kamar masing-masing untuk membersihkan diri. Anshel merasa bosan ia lalu berjalan-jalan. Fleur pun mandi dengan tenang. Air hangat melesap di kulitnya, Ia menggosok tubuhnya dengan spons berbusa, aroma mawar y
Baru saja melangkah masuk ke kantornya, Anshel menerima kabar yang membuat darahnya berhenti mengalir. “Apa, Tuan Wesley meninggal?” Anshel langsung mengecek panggilan dari Fleur dan dari kediaman Ayahnya. Flashback Saat Fleur baru tiba di kantor, ia menerima telepon dari Philippe, kakak laki-lakinya. “Fleur, jangan banyak tanya. Cepat pulang ayah kritis?” Fleur langsung meminta supirnya pergi ke Estate Rivershade, kediaman mereka. Saat tiba disana orang-orang sudah berkumpul kamar Tuan Wesley. Dokter pribadi mereka memberitahu bahwa ayahnya sudah tiada. Fleur disambar petir di siang bolong, ia menangis sesenggukan, memeluk jenazahnya, ia terus mencoba membangunkan dari lelap tidurnya, lalu berdiri dan marah kepada kakaknya. “Philippe… kau bilang ayah kritis, ternyata… beliau sudah meninggal, kenapa kau membohongiku?” ucapnya sambil memukul dada kakaknya. Philippe langsung memeluk Fleur sambil meminta maaf, tapi ia Melepaskan Pelukannya. Lalu menatap beberapa p
“Kalau kau belum bercerai juga, aku akan membunuhmu, atau… Ayahmu dulu yang harus aku lenyapkan, Fleur!”Fleur menatap layar itu lama. Di bawah teks, terlampir foto lama ayahnya di sebuah acara politik, dengan tanggal dan nama perusahaan keluarga di pojok bawah.Alisnya berkerut pelan. Foto ini tak seharusnya bisa keluar dari arsip keluarga.Ia menarik napas panjang, mencoba menekan debar di dadanya.“Siapa yang kirim ini…?” gumamnya lirih. Fleur tersenyum sinis. Ia tak membalas, hanya membaca sekilas pesan itu sambil bergumam lirih di dalam hatinya. Sepertinya ini dari Ava Grace. Berani-beraninya dia mengancam istri sahnya. Smith datang membawa kopi untuk mereka. Tuan Weasley dan Fleur pun mengucapkan terima kasih. Sahabatnya itu duduk di samping ayahnya. “Fleur, bagaimana kalau besok kita berkuda?” tanya pria yang memiliki rambut coklat dan ikal itu Fleur meletakkan cangkir kopinya dengan tenang. Ia duduk tegap, menyilangkan kaki, lalu menatapnya sambil tersenyum. “
Kehidupan rumah tanggaku seperti sebuah papan catur, aku hanya pion yang bergerak di antara dua raja.“Nyonya saya mohon, jangan masuk. Tuan Anshel sedang ada tamu.”Fleur tidak mempedulikannya dan terus melangkah. Wanita berusia tiga puluh tahun itu terus membujuk dan mencoba menghalang Fleur kembali. “Nyonya Fleur, tolong… tunggu dulu di ruangan sebelah, Tuan Anshel bisa marah!”Suara sekretaris terdengar gugup. Namun Fleur terus melangkah di koridor panjang dengan langkah mantap, gaun krimnya bermotif bunga lili bergoyang mengikuti irama tumit yang beradu dengan lantai marmer, parfumnya yang beraroma bunga manis dan mewah langsung menyebar.Saat tiba di depan ruangan, ia mendengar suara samar dari dalam. Fleur memegang gagang pintu itu dan langsung membantingnya dengan keras. Fleur melenggang memasuki kantor suaminya, Anshel Robinson, cucu Raja Robinson II. Ayahnya, Arthur Robinson, meninggalkan istana untuk mengejar kekuasaan di dunia bisnis, meninggalkan tahta di belakangnya.







