Masuk“Philippe! Pamela! Tolong aku!” teriak Fleur sambil memukuli punggung suaminya.
Namun kedua kakaknya hanya tertawa, menikmati pemandangan yang menggelikan di tengah ketegangan itu. Anshel terus melangkah pergi, membawa Fleur seperti karung beras. Setiba di rumah, Fleur langsung menuju kamar, tapi Anshel mengikutinya dari belakang. Saat ia hendak menutup pintu, Anshel menahannya dengan tangan. “Aku ingin bicara denganmu,” katanya datar. Fleur menolak, tapi ia mendorong pintu lebih keras dan tiduran di ranjang. “Fleur… aku akan tidur di sini,” ucapnya. Fleur menautkan alisnya. “Benarkah? Kau yakin?” Anshel mengangguk dan tersenyum manis. Fleur membalas senyumannya. “Silakan saja. Tapi aku akan tidur di kamar sebelah.” Anshel tertawa kecil, seolah meledeknya, lalu duduk tegap di tepi ranjang. “Fleur, ini perintahku, bukan tawaran. Berhentilah bekerja di perusahaan ayahmu dan bekerjalah di tempatku.” “Sayang sekali,” Fleur menatapnya tenang, “aku tidak bisa mengikuti perintahmu.” Ia mengangguk pelan dan berdiri. Saat hendak meninggalkan kamar, ia sempat berbalik. “Tidurlah. Sudah malam. Aku harap kau betah di sini.” Fleur menatap punggung Anshel sebentar lalu mendorongnya keluar. Tapi tiba-tiba, ia mendengar bunyi klik. Fleur terkunci dari dalam. Ia berusaha memanggil Anshel dan meminta kunci, tapi suaminya menolak. Malam itu Fleur tak bisa tidur. Bahkan setelah semua lampu mati, pikirannya masih dipenuhi rasa kesal pada Anshel. Keesokan paginya, ketukan pintu membangunkannya. Emma sudah berdiri di sana, membawa nampan sarapan. “Nyonya sudah bangun?” ujarnya lembut sambil menata makanan. “Kalau membutuhkan apa pun, panggil saya saja.” “Baik, Emma. Terima kasih,” ujar Fleur sambil tersenyum mengantuk. Ia duduk di meja rias, mengikat rambutnya. Fleur mandi terlebih dahulu, lalu menikmati sarapannya. “Wah, lezat sekali,” gumamnya pelan. “Tidak biasanya pelayanku membawa sarapan ke kamar… kecuali kalau aku sedang sakit, atau Anshel sudah menyesali perbuatannya padaku?” Setelah makan, ia memanggil Emma lewat interkom. Tak lama kemudian, pelayannya datang, ia mengeluarkan Piring kotor, dan ia mengunci pintu kamar majikannya kembali dari luar. Fleur tertegun. Ia berlari ke pintu, memanggil Emma berulang kali, tapi tidak ada jawaban. “Emma! Teganya kau mengurungku di sini!” Suara Emma terdengar samar lewat interkom. “Saya minta maaf, Nyonya. Ini perintah Tuan Anshel agar memastikan Anda tetap di dalam.” “Anshel benar-benar membuatku terkurung di dalam sangkarnya,” geramnya. Fleur menelpon suaminya dengan nada tinggi. “Anshel!” Pria itu menjauhkan ponselnya karena volume suara Fleur membuat telinganya berdenging. “Ada apa, sayang?” “Tolong perintahkan Emma membuka pintu kamarku!” “Akan kulakukan. Tapi…” suara Anshel terdengar ringan, “…apa kau sudah bersedia bekerja di perusahaanku?” “Sampai kapan pun aku akan bekerja di perusahaanku sendiri!” “Baiklah,” jawab Anshel tenang. “Kalau begitu, biasakanlah tinggal di kamarmu tanpa melihat matahari.” Sambungan telepon terputus. Fleur menatap layar ponselnya dengan amarah memuncak. Ia mencoba menelpon Pamela, tapi sambungan terputus di tengah kalimat. “Pamela, tolong aku dikunci di da—” kakaknya langsung mematikan panggilan. Ternyata Pamela sedang rapat bersama Philip dan staf lain. “Aaaargh!” jeritnya frustasi. Sementara itu di dapur, Emma yang mendengar teriakan majikannya hanya menunduk. “Tuan Anshel bisa memulangkanku kapan saja kalau aku tidak patuh,” bisiknya pada Barack, sopir Fleur yang sedang mencuci piring. “Emma, sampai kapan Nyonya dikurung? tidak lucu kan kalau aku dibayar tanpa bekerja,” ujarnya sambil tertawa Emma mengangkat bahu, lalu menyodorkan pisau dan sayuran. “Bantu aku masak saja. Tuan Brodie, tak suka kalau kita ikut campur urusan atasan.” Anshel sedang berada di Noblechrest system, salah satu perusahaannya, ia baru selesai rapat ketika ponselnya berdering. “Pangeran Anshel,” suara Ratu Calinda di seberang terdengar lembut. “Yang mulia… aku bukan pangeran lagi. Panggil saja aku Anshel,” ujarnya sambil tersenyum kecil. Neneknya tertawa pelan. “Datanglah ke istana. Akhir-akhir ini ada hal yang tidak ingin kudengar, tapi sepertinya sedang terjadi.” Anshel terdiam sesaat. “Maksud nenek?” “Datang saja kesini, ajak istrimu sekalian! Usai menutup telepon, Anshel berpikir lama. Ia lalu memanggil manajernya, Benjamin. “Ben, siapkan satu ruangan. Istriku akan bekerja di sini mulai minggu depan.” Benjamin mengangguk, mencatat semua instruksi. Saat itu sebuah pesan masuk, foto Anshel bersama Ava Grace di sebuah tempat. Ia mengerutkan dahi. Namun saat ia mencoba menelponnya, nomor pengirim itu sudah tidak aktif. “Siapa yang mengirim ini?” gumamnya kesal. Sore harinya, Anshel menemui Ava Grace di rumahnya. Saat mereka berciuman, bayangan Fleur tiba-tiba melintas di benaknya, senyum dingin yang membuatnya menahan diri. Ava Grace mendekat, suaranya berbisik lembut. “Sayang, aku sudah sering menerima baju dan perhiasan darimu. Sekarang… aku ingin hadiah lain.” Ia duduk di pangkuan Anshel, jarinya menyusuri wajah pria itu. Anshel menatapnya lama, tapi pikirannya tak lagi di sana. “Maaf, Grace. Jangan sekarang. Aku tidak bisa.” Ava menatap kecewa. “Kau selalu menjauh saat aku menginginkanmu.” Anshel menarik napas berat dan menggenggam tangannya. “Sudah kubilang, aku hanya ingin bicara denganmu.” “Baiklah, bicaralah,” jawab Ava, melingkarkan tangannya di leher Anshel. “Untuk beberapa bulan ini, aku tidak bisa menemuimu. Nenekku mulai mencurigai kita.” Ava mengerutkan alis. “Jadi kau lebih memilih keluargamu daripada aku?” Anshel membujuknya dengan sabar hingga akhirnya Grace menuruti. Namun tatapan kecewa itu tetap tinggal di mata perempuan itu. Malam menjelang. Fleur pasrah, menghabiskan waktu membaca novel di kamar hingga tertidur. Saat pintu kamarnya terbuka, Anshel sudah pulang. Ia menghampiri istrinya, mengambil buku di tangan Fleur dan meletakkannya di meja. Lalu ia menaruh bantal di bawah kepala istrinya dengan hati-hati. Fleur membuka mata dan terkejut. Anshel? Kenapa dia di sini? Jangan-jangan dia mau menyentuhku! Refleks, ia meninju suaminya. “Argh!” Anshel meringis, memegangi mata kanannya. Fleur tersenyum puas. “Rasakan itu! Berani-beraninya kau menyentuhku.” Anshel menahan tawa di balik rasa sakit. “Fleur, aku hanya ingin memberikanmu bantal.” “Apa?” Fleur melotot tak percaya. “Pukulanmu keras sekali. Cepat panggil Emma, suruh bawa kompres es.” “Ah, kau ini,” gumam Fleur, “pria seperti dirimu mana mungkin selemah itu.” Namun ia tetap memanggil Emma. Tak lama kemudian, pelayan itu datang membawa kompres. Fleur membantu mengompres mata suaminya, lalu tertawa kecil. “Kenapa kau tertawa?” tanya Anshel. Badan besar, tapi kalah oleh kepalan tanganku, batinnya geli. Fleur menggeleng dan mengambil salep memar. Saat ia akan mengoleskannya, matanya menangkap sesuatu di leher Anshel, bekas merah samar. Darahnya mendidih. Ia menepis tangan Anshel. “Obati sendiri,” ujarnya dingin. Ketika Fleur hendak pergi, Anshel menarik pinggang Fleur hingga ia terduduk di pangkuannya. “Fleur, kau yang melukaiku. Sekarang kau harus bertanggung jawab.” “Kau punya tangan, dan banyak cermin di rumah ini. Gunakan saja sendiri. Atau panggil pacarmu. Bukankah kalian baru selesai bercumbu? Sampai meninggalkan bekas gigitan di lehermu?” Anshel sempat terdiam, lalu menatap cermin di sisi ranjang. “Oh ya? Apakah leherku benar-benar merah?” Fleur berusaha berdiri, tapi Anshel menahannya kembali. Tatapan mereka bertemu. “Fleur,” bisiknya pelan, “apa kau cemburu?” Fleur menatapnya tajam, tapi diam. Diam yang lebih bising dari teriakan mana pun. Bersambung.Anshel mengeluarkan handphone dan menunjukkan sebuah berita. Fleur membacanya. “Kenapa beritanya menjelek-jelekanku? Harusnya mereka memberitakanmu, dengan simpananmu.” Diduga rumah tangga Anshel Robinson Noble dan istrinya, Princetta Fleur Ruthven, sudah tidak harmonis. Mereka jarang terlihat bersama di depan publik, dan dari beberapa foto yang beredar, Fleur tampak sangat dingin terhadap suaminya. Fleur mendengus. Tatapan Anshel langsung mengeras. Ia menarik Fleur ke ranjang, memaksa wajah mereka begitu dekat. Fleur refleks mengalihkan pandangan, tapi Anshel menahan dagunya dengan kuat. “Jangan memancing kemarahanku, Fleur,” desisnya. “Ini ulahmu yang keras kepala. Seharusnya kau tetap di sisiku, ke mana pun aku pergi.” Anshel mendekat ke telinganya. Fleur bisa merasakan napasnya sebelum giginya menyentuh kulit itu. “…termasuk di tempat tidur, bukan?”
Fleur menahan napas di balik rak server, menunggu suara langkah itu menjauh. Setelah yakin area aman, ia keluar perlahan, namun baru beberapa langkah, sebuah tangan kuat mencengkeram lengannya dan membantingnya ke dinding. Dingin logam pistol menempel di pelipisnya. “Siapa kau?!” Suara itu dalam, tenang, terlalu tenang untuk orang yang panik. Jantung Fleur berdetak hebat karena terkejut, lalu ia mulai menenangkan diri. “Aku—” “Jangan bergerak. Ini zona terbatas. Bagaimana kau bisa masuk?” Fleur bisa merasakan kesigapan militer dari caranya menahan posisi. Tidak gemetar. Tidak ragu. “Hanz, tahan!” seru Benjamin dari pintu. “Ini istri Tuan Anshel!” Serentak, ia me
Fleur dan Anshel sedang bertengkar di kantor Noblecrest Systems. Fleur menutup telinganya, mencoba menahan kebosanan sekaligus amarah, tapi setiap kata yang diucapkan Anshel tentang masa lalunya membuat dadanya semakin sesak. Air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. “Aku akan mengembalikan semua uang itu padamu,” katanya dengan suara bergetar tapi tegas. “Aku menyetujui kesepakatan awal, dan seharusnya kita segera mengakhiri pernikahan sialan ini, Tuan Anshel.” Anshel menatapnya lama, senyum tipisnya seperti pisau. “Oh ya?” bisiknya. “Sayangnya, Ayahmu sudah memberimu padaku sepenuhnya, Fleur.” Fleur menatapnya dengan mata membara. Rasa marah bercampur kecewa, membakar dari dalam. Tanpa sadar ia melangkah mendekat dan menarik kerah suaminya. Bibirnya bergetar saat bicara.
Fleur sedang mengobati mata Anshel yang kesakitan karena kena tinjunya. Tapi ia melihat samar merah di lehernya, ia meyakini kalau Anshel telah bercumbu dengan kekasihnya, hingga membuatnya tersulut amarah. Ia menyuruh Anshel mengobatinya sendiri. Ketika Fleur hendak pergi, Anshel menarik pinggang Fleur hingga ia terduduk di pangkuannya. Anshel juga sempat melihat lehernya yang merah di cermin dan ia tidak membiarkan Fleur pergi saat mencoba membebaskan diri. “Fleur, apa kau cemburu?” Fleur menyipitkan matanya. “Kau tahu kau itu menjijikan, kau punya istri tapi masih tidur dengan wanita lain?” Anshel menyeringai. “Jadi kau mau melayaniku?” Fleur panik, dan gugup. “Bu.. Bukan seperti itu maksudku?” desisnya. Anshel berdiri sambil me
“Philippe! Pamela! Tolong aku!” teriak Fleur sambil memukuli punggung suaminya.Namun kedua kakaknya hanya tertawa, menikmati pemandangan yang menggelikan di tengah ketegangan itu.Anshel terus melangkah pergi, membawa Fleur seperti karung beras.Setiba di rumah, Fleur langsung menuju kamar, tapi Anshel mengikutinya dari belakang. Saat ia hendak menutup pintu, Anshel menahannya dengan tangan.“Aku ingin bicara denganmu,” katanya datar.Fleur menolak, tapi ia mendorong pintu lebih keras dan tiduran di ranjang.“Fleur… aku akan tidur di sini,” ucapnya.Fleur menautkan alisnya. “Benarkah? Kau yakin?”Anshel mengangguk dan tersenyum manis.Fleur membalas senyumannya. “Silakan saja. Tapi aku akan tidur di kamar sebelah.”Anshel tertawa kecil, seolah meledeknya, lalu duduk tegap di tepi ranjang.“Fleur, ini perintahku, bukan tawaran. Berhentilah bekerja di perusahaan ayahmu dan bekerjalah di
Baru saja tiba di Ruthven Wine, Anshel langsung meminta Philippe memberhentikan istrinya dari jabatannya. “Philippe, jangan dengarkan dia!” seru Fleur dengan nada tinggi. Philippe menatap keduanya bergantian lalu tertawa kecil. “Baiklah, anggap saja ini hanya lelucon.” Namun Anshel menatapnya serius. “Aku tidak sedang bercanda. Aku ingin istriku bekerja bersamaku.” Nada Philippe berubah. “Baiklah, kita bicarakan di dalam.” “Maaf, ini sudah siang. Aku ada rapat lain. Lain kali saja kita lanjutkan.” Anshel mengalihkan pandangan pada istrinya. “Fleur, aku sudah menyampaikan yang ingin kukatakan. Tolong pikirkan permintaanku.”Tanpa di duga Anshel mencium bibir Fleur di depan mereka, membuat Fleur terdiam tak berdaya.Philippe dan Pamela menutup mulut, terkejut melihat aksi adik iparnya, sementara Smith hanya bisa ternganga.“Aku berangkat dulu ke kantor, sayang.”Anshel pun pergi, diam-diam tersenyum puas karena berhasil mencuri ciuman dari istrinya.Fleur menggertakk







