Seorang wanita di dalam kamar hotel yang terbilang mewah. Terlihat dari dalam gedung menjulang tinggi itu tengah mematri dirinya saat berada di depan kaca yang cukup besar. Kaca tersebut mampu memperlihatkan seluruh tubuhnya yang di baluti gaun putih nan cantik.
Riasan make up yang di poles pada wajahnya, terkesan natural. Menambah ke anggunan pada wanita itu. Bak ratu yang akan bersanding dengan sang pangeran.
Venna mencoba memutar tubuhnya di depan cermin di selingi senyuman yang begitu mengembang diraut wajah. Bagaimana tidak, setiap orang pasti bahagia pada hari pernikahannya. Apalagi lelaki itu orang yang di cintai dan mencintainya.
Ceklek...
Terdengar suara pintu di buka oleh gadis sebaya Venna. Yang tidak lain ialah Gina-Sahabat dekatnya. Tempat ia berbagi keluh kesah.
Dari sorotan mata Gina dapat dibaca. Jika dia sebagai sahabat ikut larut dalam kebahagiaan Venna. Gina berdecak kagum atas apa yang di lihat oleh matanya.
Ia mengayunkan langkah mendekati Venna. Sambil melebarkan tangan untuk mendekap Venna kedalam pelukan hangatnya.
"Kau cantik sekali, Venna! Benar-benar cantik." Gina mengendurkan pelukan mereka. Seiring kepala yang menggeleng pelan.
"Ah...bisa saja kau ini," timpal Venna. Ia pun terkekeh.
"Apa kau tidak lihat?" Gina memutar tubuh Venna dan berhenti saat tatapan Venna tepat di depan kaca besar di hadapannya."Lihatlah bagaimana gaun ini membaluti tubuhmu. Begitu pas dan cantik. Warna putihnya sebagai lambang dari cinta suci kalian."
"Aku turut bahagia." Tambah Gina.
"Terima kasih..kau selalu mendukung apa yang aku pilih, Gina." Ujar Venna.
"Aku akan selalu mendukungmu. Jika itu membuat kau bahagia." Gina menghelus lembut punggung Venna."Ah... aku sampai lupa. Apa kau sudah siap? semua orang telah menanti mu diluar sana."
"Hemm..Sudah!" Venna mengangguk.
"Mari, kita keluar." Ajak Gina.
Merekapun keluar dari kamar pengantin. Melangkah menuju tempat ijab kabul. Semua orang yang dilewati Venna dan Gina, mereka terpana akan kecantikan pengantin yang berjalan. Gaun yang panjang bagian belakangnya menyentuh karpet merah yang dilewati Venna. Senyum diraut wajah Venna tidak sama sekali memudar. Seolah menyapa semua tamu undangan yang berdecak kagum atas kecantikannya.
Di tambah seorang pengantin lelaki di depan sana tidak hentinya menatap Venna. Cinta yang bersambut indah dan langit yang begitu cerah sungguh membuat pernikahan mereka begitu bahagia. Tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.
Saat kaki Venna hendak menapaki satu anak tangga menuju kursi yang khusus untuk dia duduki bersama pengantin pria dan kursi lainnya untuk wali, lalu kursi untuk dua orang saksi di sana sudah tersusun rapi.
Dan tangan pengantin pria hendak menyambut tangan Venna. Tiba-tiba--
Keriiinggg...keringg...
Bunyi dering ponsel begitu jelas terdengar. Menghentak gendang telinga Venna begitu jelas. Wajah yang di benamkan ke bantal empuk, seedikit bergeser. Saat tangannya mencoba meraih benda pipih miliknya dia atas nakas.
Mata yang tampak terpejam, seketika menyeringit saat sinar matahari menyentuh kedua matanya. Terasa perih. Tentu saja, tidur terlalu larut malam membuat dia masih di hinggapi rasa kantuk.
Entah siapa yang berani mengganggu dia dari mimpi indah dalam lelapnya, yang pasti membuat dia begitu kesal di pagi hari ini.
Dengan malas, Venna menempelkan ponsel itu di daun telinganya. Masih dengan mata yang tertutup rapat. Sama sekali gadis itu tidak penasaran dengan sipemanggil tersebut.
"Hallo.." suara serak Venna bangun tidur begitu jelas oleh lawan bicaranya.
"Cepatan ke cafe. Lagi banyak pengunjung. Jam segini masih saja tidur!"
"Mengganggu mimipi indah ku saja...Ah!!" sunggut Venna.
Venna yang mendengar suara ocehan dari lawan bicaranya hanya berdecit. Tanpa menanggapi ocehan itu, ia mematikan sambungan panggilan tersebut. Meletakan kembali gawai pipih di atas nakas kembali.
Tidak lagi ingin berada diatas tempat tidur, ia menjauhkan selimut dari tubuhnya. Belum tentu mimpi indah itu terulang lagi. Dari pada membuang waktu ia langsung menuju kamar mandi.
Ada hal yang harus ia lakukan. Menuruti perintah sahabat yang memintanya segera berada di sana.
Venna wanita berusia 23 tahun memiliki rambut pirang lurus, bermanik mata cokelat, kulit putih bersih itu memiliki sebuah cafe. Cukup terdengar di kalangan penikmatnya, itu bagian yang ia punya. Tanpa mengganggu kehidupan baru sang papa tercinta. Yang telah menikah setelah meninggalnya mama.
Venna memilih hidup mandiri. Papanya yang menikah tanpa meminta restu, membuat Venna meradang amarah. Terlebih papa yang lebih mempercayai ibu sambungnya itu. Sifat munafik sang ibu sambung membuat dia setengah mati membenci wanita tersebut.
Papanya-Venna tetap menyayangi dia. Bahkan meminta dia untuk tinggal bersamanya. Mama sambung yang tidak memiliki hati baik, membuat Venna enggan di antara mereka.
Venna lebih memilih tinggal di Appartemen yang ia tempati saat ini, itu salah satu peninggalan dari mamanya. Tempat ia berteduh dari guyuran hujan, panasnya terik matahari, dan berpulang dari lelahnya berkerja.
Tempat ternyaman baginya. Tidak ada yang akan mengusik dia. Tidak akan ada tatapan sinis dari mama tiri. Atau dia yang akan di marahi oleh papanya. Karena ulah mama tiri yang suka ambil muka. Baik di depan, busuk di belakang. Mendingan seperti buah pisang! busuk dari luar, tetapi isinya bagus dan masih enak di makan.
Setelah berada setengah jam di dalam sana. Ia bergegas mendekati meja rias. Sedikit memoleskan make up tipis di wajah cantiknya itu.
Saat bola matanya memandangi dirinya sendiri dari pantulan cermin, Venna menghentikan gerakannya seketika. Mimpi yang begitu indah masih terngiang jelas di dalam pikirannya. Seulet gaun yang ia kenakan begitu indah.
"Hemmmm...andaikan itu kenyataan, pasti aku orang yang paling bahagia di sunia ini. Tapi..entah kapan!" desah Venna.
Mengingat kekasihnya masih berjuang keras menggeluti pekerjaannya sebagai karyawan dari salah satu perusahan. Membuat dia harus bisa bersbar.
Sebenarnya, Venna tidak mempermasalahkan posisinya di kantor tersebut. Dia merasa posisi sebagai sekretaris itu cukup baik dari pada Cleaning Servis.
Lagian dia tidak menuntut harta yang lebih. Dan juga tidak meminta yang mempersulit kekasihnya itu. Tidak harus pernikahan yang mewah, Mas kawin berupa berlian.
Sesanggupnya saja bagi Venna. Tetapi kekasihnya-lah ingin membuat pesta mewah. Berdalih ingin membuat Venna bahagia. Sebab pernikahan itu sekali seumur hidup.
Membuat gadis itu lebih sabar menunggu lama lagi. Cinta yang ia rasakan membuat dia menginginkan hidup berdampingan dengan lelaki yang dicintai dan mencintainya. Lelaki yang telah meluluhkan hatinya. Perhatiannya selama ini, cukup membuat Venna merasa nyamana.
Drrrtttt...drrrtttt...
Satu panggilan masuk kembali di ponselnya. Ponsel itu tidak lagi mengeluarkan nada bunyi yang nyaring. Sebab sang pemilik ponsel telah mengantinya dengan nada getaran.
Tersenyum manis di bibirnya. Saat Venna melihat nama yang tertera dilayar ponsel tersebut. "Love" nama alay itu terbaca oleh Venna. Nama yang ia tulis sebagai sebutan dari nomor kekasihnya itu.
"Ekhemm...." Venna memberi deheman. Sambungan itu telah tersambung dengan baik. Namun orang diseberang sana masih asyik dengan pembicaraannya.
Semakin Venna mendengarkan pembicaraan mereka, semakin ia kesal. Entah di sengaja atau tidak menghubunginya. Membuat Venna langsung mematikan panggilan tersebut.
"Sangat menyebalkan!!" Gerutu Venna.
Venna beranjak dari meja riasnya saat ia rasa telah selesi berdandan cantik. Tujuan utamanya saat ini yaitu cafe. Gina-sahabatnya meminta dia segera berada disana.
Mungkin dia sedikit kerepotan dalam melayani pelanggan. Bunyi High Heels yang berbenturan di lantai terdengar saat ia melangkahkan kakinya keluar Apartemen menuju parkiran.
Bersambung..
Dalam hati yang begitu hancur, tangan Venna menggusar rambutnya. Membenamkan wajah pada kedua lututnya. Hati yang remuk redam membuat Venna tidak dalam pikiran jernih lagi. Selang infus yang tersemat di tangan, Venna mencabut dengan paksa. Kakinya bergegas turun dari tangga. Langkah yang terseok-seok, ia mencoba untuk keluar dari ruang rawat itu. Setelah berada diluar, Venna mencoba menelisik sekitar sana. Melihat keadaan sepi tanpa seorangpun yang lalu lalang, ia bergegas menjauh dari ruang rawatnya tersebut. Sangat berhati-hati, akhirnya Venna dapat juga keluar dari rumah sakit. Tidak tahu arah dan kemana tujuan Venna, ia hanya terus berlari di pinggir trotoar. Tubuh gemetar yang di rasakan Venna, membuat ia berhenti sejenak. Ia yang berada ditengah masyarakat tengah lalu lalang, Venna tidak memperdulikan tatapan penuh tanya dari orang lain yang tertuju untuknya. "Aku harus menemui Xandro. Aku yakin dia pasti masih sangat mencintaiku."
Suara pendeteksi detak jantung dengan konstan berbunyi di ruangan sunyi, senyap. Dari bunyian mesin, menandakan jika di ruangan itu terdapat makhluk hidup sedang bernapas, berdetak. namun, matanya terpejam rapat. Ya, dia adalah Venna Marlinda.Venna belum sadarkan diri. Setelah dia ditemukan semalam, tergeletak di jalanan. Gina yang belum melihat tanda-tanda Venna pulang, ia mencemaskan sahabatnya itu. Ketika ia menghubungi Venna, namun teleponnya tidak ada jawaban. Begitu pula dengan nomer ponsel Xandro. Gina pun mencari keluar menggunakan taksi.Tidak jauh dari apartemennya, Gina melihat seorang wanita tergeletak di jalanan. Dari pakaian yang terlihat oleh Gina, tentu saja ia tahu kalau itu adalah sahabatnya.Gina membawa Venna langsung dengan taksi yang ia tumpangi tadi menuju rumah sakit terdekat.Gina terbangun saat bunyi pintu terbuka. Di balik pintu itu menampakan Papa Zainal. Sebelumnya, ia menghubungi Papa Zainal. Mengabari keadaan wanita i
Tidak dalam sepenuhnya sadar dari rasa kantuk semenjak tadi menggelayut manja di mata Venna, ia mencoba membalikkan badan. Nanar matanya, menangkap manik mata Xandro. Lelaki itu masih sama terdiam semenjak ucapannya mengudara.Udara yang mulai terasa dingin pada malam hari yang di taburi bintang di atas sana, sangat bercahaya terang. Sesuai dengan apa yang di rasakan oleh Venna. Perasaan yang sempat di buat bahagia oleh Xandro dan bagaikan di atas awan. Seketika terhenyak, jatuh serta remuk menahan sakit.Venna berharap dan meminta apa yang di dengar olehnya, tidak sebuah kenyataan. Mungkin saja ia salah, bisa jadi juga efek dari rasa kantuk yang ia rasa. Ingin sekali ia meminta tuli saat ini juga. Tapi, ia lebih baik memastikan dulu ucapan itu benar atau tidaknya."Boleh aku mendengarnya sekali lagi? Ah, tadi aku kurang menangkap ucapanmu sayang. Takutnya aku salah dengar." Tidak, ucapan Xandro tentu jelas terngiang di telinga Venna. Ia hanya beralasan se
Mobil yang di jalankan Xandro membelah jalanan. Ada hal yang berbeda dari suasana di mobil kali ini. Xandro lebih banyak diam. Menampakan garis-garis halus di sela-sela alis yang di kerutkan itu. Tatapannya lurus ke depan. Namun, penuh sendu. Seperti banyak beban yang ia pikul.Venna sungguh di buat heran atas sikap kekasihnya itu. Baru seminggu ini dia tidak bertemu, sudah membuat Venna tidak mengenali sifat Xandro yang ia lihat hari ini."Sayang, kau kenapa?" Venna tidak bisa berdiam diri menanyakan keadaan lelaki itu.Tetapi seruan Venna, tidak membuat Xandro tersadar dari diamnya. Venna memegoyangkan bahu Xandro."Sayang ..."Xandro terjingkrak dari lamunannya. Hingga membuat bahunya ikut terangkat. Lalu menoleh pada Venna yang tengah menatapnya penuh rasa kekhawatiran.Xandro menggeleng samar. Ia mencoba menerbitkan senyuman di balik rasa gelagapan."Ti-tidak, A-aku tidak apa.""Kau yakin tidak apa?!" selidik Venna. Merasa kurang pe
Genap sudah satu minggu Xandro di rumah. Sekarang ia telah masuk kembali ke kantor, tanpa pengetahuan Gresya. Wanita itu tengah berada di luar kota. Semenjak kedatangannya ke rumah Xandro beberapa hari lalu.Sama-sama sibuk dengan pekerjaan masing-masing membuat hubungan Xandro dan Venna hanya komunikasi lewat pesan singkat. Selama itu juga Venna tidak mengetahui Xandro tidak bekerja.Drrrt...drrrt...Getaran ponsel terdengar riuh di atas meja kerja Xandro. Ia menoleh pada benda pipih yang menyala itu."Hallo," seru Xandro datar."Hay, sayang, maaf ya aku baru bisa menghubungimu. Aku rindu!" ucap Venna. Bibir yang cemberut dan wajah yang tiba-tiba sendu menggambarkan isi hatinya yang tengah memendam kerinduan mendalam pada sang kekasih."Kau tidak sibukkan hari ini? Gimana kalau kita jalan? Aku kebetulan lagi gak banyak pengunjung."Xandro mendengar, tapi raut wajahnya tidak menanggapi wanita itu. Sorotan matanya kosong memandang ke dep
Hari demi hari terus berganti. Dan hari ini, sudah hari ketiga Xandro tidak masuk kerja. Menghabiskan waktu di rumah. Berdiam diri seraya mempulihkan kembali kesehatan. Istrirahatkan diri dari pekerjaan sementara waktu. Ya, itu yang di harapkan oleh Xandro. Tapi sayang, tubuhnya semakin terasa lelah. Darah yang mengalir di hidungnya masih saja keluar.Bahkan, kini berpengaruh pada nafsu makannya. Seharian ini, hanya tiga suap yang bisa ia telan. Bersyukur Pak Tio bisa masak. Dia yang membuat bubur untuk Xandro.Sudah tiga hari ini juga, Venna hanya bisa mengirimkan pesan pada Xandro. Dewi Fortuna tengah berpihak padanya. Cafe-Venna, sedang di padati pengunjung. Sehingga dia ikut langsung turun tangan melayani pengunjung.Tetapi, semua itu malah di syukuri oleh Xandro. Setidaknya ia tidak perlu berbohong pada Venna. Dia hanya istirahat yang cukup, serta minum obat yang di berikan Dokter Jino. Lelaki itu sebagai Dokter langganannya, meradang amarah. Ia sudah
Pulang dari kantor, Xandro melajukan mobilnya menuju cafe Venna. Ia telah berjanji membawa wanita itu untuk nonton di sebuah bioskop.Sesampainya di cafe, wanita itu melempar senyuman pada Xandro. Kaki jenjang Venna mulai mengayun mendekati mobil lelaki itu."Maaf, lama membuatmu menunggu!" titah Xandro."Tidak apa! ayo kita berangkat, sayang!"Mobil pun kembali di lajukan oleh Xandro pada jalan beraspal itu. Sepanjang perjalanan, Venna mengikuti alunan lagu yang di putar. Sekali-kali ia melirik Venna dari kaca spion. Xandro ikut menerbitkan senyuman di raut wajahnya.Senyuman begitu mekar, perlahan menyurut. Perasaan gundah itu kembali menyentak dalam ingatan Xandro. Ia bahagia, bahagia melihat wanita yang dia cintai itu begitu nyaman di dekatnya.Apa bisa dia akan membuat kekasihnya selalu bahagia? Mengingat... Ah, rasanya tidak sanggup untuk membayangkan semua ini. Setidaknya, dia sebisa mungkin tidak akan melukai hati wanita
Siang hari di kantor, Gresya melangkah lebar masuk dari parkiran menuju kantor. Setelah selesai meeting dengan klien di sebuah restauran. Melewati setiap karyawan yang ia lalui.Ia mengetahui bahwa Xandro masuk kerja hari ini. Setelah kemaren kesehatannya terganggu sampai harus di bawa kerumah sakit. Seharusnya lelaki itu di rumah, sampai ia benar-benar sehat. Dan itu membuat Gresya tidak menyangka, bahwa Xandro memaksakan diri untuk kembali bekerja.Rambut yang diikat ekor kuda itu, berayun mengikuti gerak tubuhnya. Berjalan bak model. High Heels yang ia kenakan saling berbenturan di lantai marmer.Setiap mata yang melihat wanita itu, menunduk seraya memberi hormat pada atasan. Begitu juga dengan Alex. Namun, pria itu tidak mengalihkan pandangannya. Dia terus mematri pergerakan wanita itu. Hingga hilang di balik pintu ruang Xandro yang di buka olehnya.Sesampainya Gresya di dalam ruangan Xandro, raut wajah lelaki itu tampak tegang
Alex telah sampai di rumah sakit yang di sebutkan oleh Gresya lewat pesan itu. Memakirkan mobil di basement. Langkah lebar Alex kini memasuki rumah sakit. Ia langsung menuju meja resepsionis. Untuk menanyakan ruang dimana lelaki itu dirawat. Wanita itu tidak memberitahu di ruang mana lelaki itu berada."Permisi! Maaf, Nona, pasien atas nama Xandro julius diruang berapa, ya?" tanya Xandro kepada seorang wanita di meja resepsionis. Dengan seragam khas rumah sakit itu."Tunggu, sebentar!" wanita itu langsung mengecek daftar nama pasien yang masuk hari ini.Alex mengangguk tegas. Matanya masih mematri wanita cantik itu. Dengan wajah oval, mata bulat, hidung tinggi minimalis. Ah...dia benar-benar cantik."Tuan, pasien berada di lantai sembilan no 28," ucap wanita itu. Dahinya di buat mengerut melihat lelaki dihadapannya tidak berhenti tersenyum."Tuan..." Wanita dengan seragam rumah sakit itu melambaikan tangan di wajah Alex."Tuan, apa Anda baik-b