"Mama sama papanya ada, Dek?" tanya Tania.
Anak itu mengangguk. "Ayah, ada tamu!" seru anak itu."Siapa, Bi?" Jantungku seperti mau meloncat saat mendengar bariton yang menyahut anak itu."Enggak tahu, Yah," jawab anak itu.Wajahku pasti sudah berubah merah saat ini. Terlebih saat lelaki yang sangat aku kenali muncul menemui kami. Seketika mata lelaki itu melotot melihat keberadaanku."Viona?""Ya, sedang apa kamu di sini?" Aku mengangkat wajah sembari menatap tajam pada Mas Ibram."E ... itu ... anu ...." Mas Ibram gagap. Tangan kanannya mengusap-usap tengkuknya."Anu apa? Siapa dia?" tanyaku lagi sembari menunjuk anak laki-laki di samping Mas Ibram dengan daguku.Belum juga Mas Ibram menjawab, terlihat seorang wanita menuntun balita--mungkin berusia dua tahunan-- berjalan menuju pintu tempat kami berdiri."Siapa, Mas?" tanya wanita dengan riasan cukup tebal sembari mendekati Mas Ibram. Suaranya mendayu membuat telingaku gatal.Kedua alisku bertaut melihat wajah wanita itu. Satu kata yang pas, kampungan!Alisnya sangat kentara buatan tangan tak profesional. Sangat hitam dan tebal seperti ulat bulu menempel di atas matanya. Dia juga menggunakan softlens warna cokelat. Kontras sekali dengan alisnya. Bulu matanya juga terlihat kaku. Kalaupun ia memasang bulu mata, tentu itu yang murahan. Kemudian bibirnya, bibir tebal itu berwarna pink magenta.Siapapun yang melihatnya, pasti akan menahan tawa.Tuhan, kenal dimana Mas Ibram dengan ondel-ondel seperti ini?Begitu memandangku, wajah wanita itu langsung berubah pias. Kepercayaan diri yang tadi memancar darinya sirna seketika. Kini wanita itu menunduk tampak salah tingkah. Apakah dia mengenalku?"Siapa mereka?" tanyaku pada Mas Ibram."Bi, kamu masuk dulu, ajak Sabrina juga, ya!" titah Mas Ibram pada bocah laki-laki yang tadi membukakan pintu.Anak itu mengangguk, kemudian mengambil alih tangan bocah perempuan yang tadi digandeng ondel-ondel itu. Sejurus kemudian anak itu melesat ke dalam."Ma, masuk dulu, yuk!" pinta Mas Ibram."Enggak perlu!" tolakku tegas. "Jelaskan saja, siapa mereka?""Mereka ... saudaraku, Ma," jelas Mas Ibram.Saudara? Apa Mas Ibram bercanda?"Saudara?" tanyaku sembari menyipitkan mata."I-iya, Ma. Tadinya ... mereka tinggal di Kalimantan. Tapi ... suami Rena meninggal, jadi ... aku ... bantu dia cari rumah di sini," jelasnya."Kamu pikir aku tuli?" sinisku."M-maksud kamu apa, Ma?" tanya Mas Ibram. Aku yakin dia tahu apa yang aku maksud."Heh! Saudara yang gimana, sampai panggil kamu ayah?" cibirku."Emh, itu ....""Apa?" bentakku. "Tolong jujur! Siapa mereka?" Kali ini aku tak bisa menahan diri lagi. Beraninya Mas Ibram berbohong kepadaku!"Aku ... memang meminta Fabian dan Sabrina untuk panggil aku ayah, Ma. Kasihan, ayah mereka sudah meninggal," jelasnya."Oh, ya? Benarkah kamu sebaik itu?" tanyaku tak percaya."Maksud Mama?" Mas Ibram tampak tersinggung dengan perkataanku."Ya, gitu. Emang dia saudaramu dari siapa? Kenapa aku enggak pernah lihat?" desakku."Sudah Papa bilang, Ma. Tadinya mereka di luar pulau. Dia ... sepupu Papa. Emh, anaknya adik ibu, tapi sejak dulu mereka di Kalimantan," jelas Mas Ibram.Benarkah? Namun, aku merasa tak bisa percaya begitu saja."I-iya, Mbak. Yang Mas Ibram bilang semua benar," timpal Rena si ondel-ondel. "Saya ... sepupu Mas Ibram," akunya.Aku hanya menaikkan kedua alis. Semoga yang mereka katakan benar. Kalau sampai ketahuan bohong, aku tidak segan untuk menendang Mas Ibram ke neraka."Terus, kenapa pindah ke sini?" tanyaku lagi. Aku masih tak puas dengan penjelasan mereka."Di Kalimantan, saya udah enggak punya siapa-siapa, Mbak. Orang tua saya sudah meninggal. Begitu juga suami saya," jelasnya."Kenapa enggak pindah ke kampung aja? Kenapa pilih di sini?" cecarku."Ma! Kamu berlebihan!" tegur Mas Ibram."Berlebihan?" tanyaku tak percaya. "Kamu bilang aku berlebihan? Kamu sendiri? Apa yang sudah kamu lakukan? Kamu minta anak orang buat panggil kamu ayah tanpa meminta persetujuanku? Atau jangan-jangan .... mereka memang anakmu?""Ma! Jangan sembarangan kalau ngomong!" bentak Mas Ibram. Tampak sekali laki-laki itu tersinggung dengan ucapanku. "Mereka itu baru saja kehilangan, Ma! Mereka baru kehilangan sosok ayah dan suami. Enggak bisakah kamu berempati?"Dadaku rasanya seperti terbakar. Mas Ibram menyalahkanku di depan orang lain? Lelaki yang selama ini sangat patuh padaku berani membentakku di depan sepupu dan sahabatku?"Kalau caramu enggak begini, aku enggak mungkin seperti ini juga! Kalau sampai kamu ketahuan bohong, aku enggak akan segan menendangmu ke neraka!" ancamku."Mbak! Tolong jangan salah paham!" pinta Rena mengiba. "Aku minta Mas Ibram carikan rumah di sini, karena di kampung, tanah orang tuaku sudah dijual. Makanya aku beli di sini. Aku juga mau buka usaha atau cari kerja. Dan itu sulit aku lakukan kalau di kampung."Oh, punya banyak uang rupanya wanita ini. Oke, kita lihat. Benarkah yang mereka katakan?Tania yang sejak tadi diam hanya menyaksikan, mengelus lembut lenganku. Dia pasti tahu, kalau aku sudah marah, aku bisa tak peduli apa-apa lagi. Tanganku cukup dingin untuk menyakiti orang lain."Terserah! Kalau sampai aku tahu kalian bohong, tunggu saja!" ancamku dengan menyipitkan mata.Tampak kedua manusia itu menelan salivanya dengan susah payah. Berkali-kali mata ondel-ondel itu mengerjap seperti orang ketakutan. "Mas, sudah! Tolong kamu segera pulang saja! Kami berterima kasih sekali sudah dibantu seperti ini!" ucap Rena pada Mas Ibram.Mas Ibram mengangguk, lalu memegang tangan Rena yang memegangi lengannya. "Ya, sudah. Aku pulang dulu. Sampaikan pada Fabian dan Sabrina!"Tanpa mempedulikanku, Mas Ibram pergi begitu saja ke mobilnya. Rasanya baru kali ini aku melihat Mas Ibram semarah ini. Apa aku benar-benar sudah keterlaluan? Namun, apa aku salah sudah curiga pada suamiku yang tertangkap basah sedang di rumah wanita lain?Ah, sial!Tanpa pamit pada Rena, aku dan Tania juga meninggalkan rumah itu. Dengan dada yang masih panas juga sesak atas sikap Mas Ibram, aku menuju rumah Tania."Menurutmu gimana, Tan?" tanyaku saat kami sampai di pagar rumah baru Tania. "Gimana, ya, Vi? Aku enggak mau bikin kamu tambah parno, tapi kalau emang mereka saudara Ibram dan mereka sedekat itu, kenapa Ibram enggak cerita sama kamu sebelumnya tentang kedatangan mereka?"Tania benar. Kalau begitu, siapa sebenarnya mereka? Kenapa Mas Ibram seolah berusaha menyembunyikannya dariku. "Tan, besok temani aku ke kampung halaman Ibram, ya!" Aku harus menyelidikinya.Lututku seketika melemas mendengar apa yang Fabian katakan. "Jambret itu Ibram?" gumamku.Suara teriakan, makian, hujatan, bahkan umpatan kotor seperti dengungan yang membuat pikiranku melayang-layang. Aku benar-benar tak menyangka, lelaki yang menjadi ayah dari ketiga anak yang kini berdiri di sisiku adalah jambret yang sedang dihajar massa.Apa Ibram tak berusaha memperbaiki hidupnya? Setidaknya berusaha untuk menjadi sosok Ayah yang bisa dibanggakan oleh anak-anaknya.Setelah keluar dari penjara, setidaknya bertaubat dan memperbaiki hidupnya. Bukan malah menjadi penjahat seperti ini.Kini satu per satu warga mulai mundur dari kerumunan. Entah siapa yang melerai mereka. Sosok tubuh Ibram yang sudah babak belur tampak dari kejauhan.Wajahnya sudah tak seperti wajah Ibram. Darah segar menghiasi wajahnya. Kaki dan tangannya tampak gemetar. Dadanya kembang kempis tak beraturan. Terdengar racauan tak jelas dari mulutnya.Beberapa pe
Cahaya tumbuh menjadi gadis yang ceria. Apalagi sejak masalah itu, aku memang memutuskan untuk kembali tinggal di rumah Papa. Jadi Cahaya tidak merasa kesepian karena sehari-hari ada nenek dan kakeknya.Rumahku dengan Ibram dulu, telah aku jual dan hasilnya aku sumbangkan ke panti asuhan tempat Fabian dan Sabrina dititipkan. Tiap bulan aku masih memberi mereka uang jajan. Bagaimanapun mereka hanyalah korban. Dan aku tidak tega jika anak-anak tak berdosa itu harus ikut menanggung dosa orang tuanya yang tidak mereka ketahui.Aku menikmati hari-hariku dengan menjalankan usaha yang Ibram tinggalkan. Kini mini marketku telah menjamur di berbagai daerah. Papa, orang yang dulu seperti tak percaya kepadaku, kini menjadi orang yang paling bangga atas pencapaianku. Aku bersyukur untuk itu. Kini aku bisa mengangkat dagu dengan percaya diri di depan Papa.Dua tahun setelah Rena ditahan, aku mendapat kabar kalau wanita itu mengalami gangguan mental. Aku
"Bagi seorang wanita, melihat orang yang dicintai mencintai wanita lain, sama saja membangunkan serigala dalam dirinya," ucap Tania dengan wajah datar. Sorot matanya tajam dan terlihat tidak ada keraguan sama sekali dalam ucapannya.Aku menggeleng tak percaya mendengar itu. Tania benar-benar tidak seperti Tania yang aku kenal selama ini.Aku memang menangkap sinyal-sinyal cinta dari Wildan, tetapi sampai saat ini aku masih berpikir untuk menjodohkan pengacara itu dengan Tania. Karena aku memang belum tertarik untuk memulai hubungan baru. Perceraianku dengan Ibram saja masih belum beres, bagaimana mungkin aku bisa memulai hubungan baru."Kamu bisa bayangin gimana rasanya jadi aku, Vi?" tanya Tania sembari tersenyum miris. "Bertahun-tahun aku memendam rasa ini. Lalu kamu pura-pura buta, dan di depan mataku seolah kamu ingin menunjukkan bahwa kamulah pemenangnya. Kamulah yang bisa mencairkan hati bekunya!" Terlihat ada luka dari kilat mata Tania. Ha
"Kita tunggu saja penyidikan polisi," ujar Wildan."Benar," sahut Papa. "Kita fokus ke sidang saja."Setelah sarapan dan membicarakan teknik-teknik untuk menghadapi persidangan nanti, pukul sembilan kami berangkat ke pengadilan negeri bersama. Wildan juga sudah mengonfirmasi orang KUA dan juga Rian. Mereka sudah bersiap juga.Pukul sepuluh, persidangan dimulai. Hakim memulai dengan membacakan agenda sidang hari ini dan menanyakan kehadiran pihak-pihak terkait. Ibram hadir dengan pengacaranya. Lelaki itu tampak mengibarkan bendera perang kepadaku.Kesaksian Papa, bisa dibantah oleh pihak Ibram, karena tidak didukung bukti. Namun, kesaksian orang KUA dan Rian, ditambah percakapan Ibram dengan Rena di ponsel Ibram, menjadi bukti tak terbantahkan. Sehingga pihak Ibram tidak bisa mengelak lagi. Sidang dilanjutkan dua minggu yang akan datang.Saat kami berjalan menuju tempat
"Ada apa, Vi?" tanya Papa.Sementara Wildan tak jadi memasuki mobilnya. Lelaki itu kembali ke teras rumah, kemudian memungut ponselku yang jatuh di lantai."Ada apa?" tanya Wildan sembari menyerahkan ponsel itu padaku.Aku masih mematung dengan tatapan kosong. Aku benar-benar shock. Di saat besok persidangan dengan agenda penting, hal besar terjadi kepada kami. Seolah, ini dirancang untuk membuyarkan konsentrasi kami ke persidangan."Ada apa?" tanya Papa lagi. Kali ini lelaki itu mengguncang sebelah bahuku.Aku pun menoleh padanya. "Mini market kita kebakaran, Pa.""Apa?" Mendengar itu, kedua bola mata Papa seperti hendak keluar dari kelopaknya.Mama pun tak kalah shock. Wajah wanita berusia senja itu terlihat sangat tegang."Gimana ini, Pa?" tanya Mama."Tenang, Tante!" Kali ini Wildan yang bicara. "Aku akan pastikan pelakunya tertangkap. Aku akan segera ke
"Aya di depan sama Nyonya, Bu," ucap Mbak Susi yang sedang membereskan kamar Cahaya. Padahal aku belum sempat bertanya kepadanya. Aku terlalu takut melihat Cahaya tidak ada di tempat yang seharusnya.Segera aku ke depan. Ternyata mereka masih bercengkrama dengan Rian. Lelaki itu bahkan melawak di depan Cahaya. Hal yang dulu sangat aku suka dari Rian. Dia lelaki yang pintar sekali mencairkan suasana. Dulu, aku tak bisa berlama-lama marah dengannya."Tuh, Vionanya datang," ucap Mama.Rian menatapku lekat. Kemudian berkata, "Maaf, ya, aku telat."Aku tersenyum simpul sembari duduk di sofa dekat Mama. Kemudian menjawab, "Enggak apa-apa. Aya sama papanya, kok.""Ya, udah. Silahkan kalian ngobrol dulu!" ucap Mama sembari beranjak dari duduknya. Kemudian wanita berdaster kelelawar itu masuk ke dalam bersama Cahaya."Tadi kamu sama pengacara itu?" tanya Rian."Ya," jawa