Share

Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku
Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku
Penulis: Srirama Adafi

Foto

Penulis: Srirama Adafi
last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-23 13:34:05

"Ma, ini di foto Papa gendong siapa, sih?" seru Cahaya, putriku. Anak enam tahun itu berlari ke arahku yang sedang memakai krim malam.

"Mana?" tanyaku santai tanpa mengalihkan pandangan dari cermin. Paling itu foto Mas Ibram menggendong Cahaya saat masih bayi. Bukankah anak seusia Cahaya sering tak mengenali foto dirinya saat masih bayi?

"Ini, loh, Ma!" Cahaya mengangsurkan selembar kertas foto kepadaku. Setelah menepuk lembut kedua pipiku, aku menerima foto yang diberikan Cahaya.

Dahiku mengernyit menatap foto itu. Foto itu tampak sudah cukup lama. Warnanya juga sudah agak pudar. Mas Ibram tampak menggendong anak kisaran usia tiga tahun. Aku bisa pastikan itu bukan foto Cahaya. Juga wanita yang berdiri di samping Mas Ibram bukan aku.

"Siapa, Ma?" tanya Cahaya masih sambil berdiri menunggu jawabanku. Karena biasanya dengan telaten aku menjelaskan apa saja kepadanya.

"Emh, mungkin ini keponakan papa di kampung, Ya," jelasku pada Cahaya. Sekaligus mensugesti pikiranku sendiri agar tak berpikir macam-macam.

Karena setahuku Mas Ibram itu dulunya memang duda. Namun, ia duda tanpa anak, karena istrinya meninggal saat melahirkan anak mereka. Itu sebabnya Mas Ibram merantau ke sini dan akhirnya menikah denganku delapan tahun lalu.

"Oh." Bibir mungil Cahaya membulat mendengar penjelasanku.

"Aya dapat foto itu dari mana?" selidikku.

"Di laci Papa," jawabnya.

"Laci?" ulangku sembari menautkan kedua alis.

"Iya, Ma. Aya mau pinjam pulpen Papa buat gambar ikan, terus cari di laci enggak ada. Malah nemu foto ini," jelasnya.

"Emang pulpen Aya kemana?"

"Pensil Aya patah," jawabnya.

"Ya, sudah. Ayo, temani Mama balikin foto ini!" ajakku.

Anak perempuan berpiama pink itu menurut. Kami bergandengan tangan menuju ruang kerja Mas Ibram. Anak itu tampak ceria, berbeda denganku yang sibuk dengan berbagai pikiran buruk.

Siapa wanita dan anak itu? Mungkinkah mereka anak istri Mas Ibram sebelumnya? Lalu kenapa Mas Ibram mengatakan kalau istrinya sudah meninggal sehingga ia duda tanpa anak?

Kalau itu benar, lalu siapa perempuan dan anak itu? Jika hanya sekedar saudara, tak mungkin Mas Ibram sampai menyimpannya.

"Di laci ini, Ma!" Cahaya menunjuk laci meja kerja Mas Ibram. "Aya dapat foto itu di sini."

Aku segera membuka laci tersebut. Selama ini aku terlalu percaya pada Mas Ibram, sehingga tak pernah mengecek ruang kerjanya. Di mataku selama ini ia sosok suami dan ayah yang lurus-lurus saja, tak pernah macam-macam.

"Di sini Aya nemunya?" tanyaku pada anak bermata bulat yang berdiri di sampingku.

"Iya, di bawah buku-buku itu, Ma," jelasnya.

"Ya, sudah. Kita balikin di sini, ya? Takut Papa nyariin," ucapku sembari meletakkan kembali foto itu di bawah buku sesuai dengan yang dikatakan Cahaya.

Anak itu mengangguk. Sejurus kemudian, ia menguap. "Aya ngantuk, Ma."

"Ya, sudah. Bobo sama Mbak Susi dulu, ya? Mama ada yang mau dikerjain."

Cahaya menurut. Anak itu melangkah keluar menuju kamar pengasuhnya, Mbak Susi.

Sementara aku mencari-cari hal lain di ruang kerja Mas Ibram. Aku ingin menemukan hal lain yang sekiranya bisa memberiku petunjuk tentang foto itu. Kalau tidak, mungkin ada hal lain yang Mas Ibram lakukan di belakangku.

Aku membuka buku yang menumpuk foto tadi. Itu hanya buku agenda. Tak ada tulisan yang aneh-aneh. Semua tampak biasa. Aku tak menemukan sesuatu yang ganjil di ruang kerja Mas Ibram selain foto tadi.

Kuputuskan mengambil foto itu dan akan kutanyakan nanti pada Mas Ibram langsung kalau dia pulang. Aku tak suka ada rahasia di antara kami. Apalagi selama ini, aku juga tak pernah menyimpan apapun dari dia.

Aku berjalan kembali ke kamar sembari memandangi foto itu. Kepalaku sibuk menerka, siapa wanita dan anak dalam foto bersama Mas Ibram itu. Mungkinkah lelaki yang selama ini tak banyak tingkah itu mengkhianatiku?

Saat aku duduk di bibir ranjang, ponsel di sampingku bergetar. Tampak Tania menelepon.

"Ya, Tan!" sapaku.

"Vi, lu lagi dimana?" tanyanya.

"Di rumah. Kenapa? Mau ajak kemana malam-malam gini?"

"Suamimu?" Bukannya menjawab, ia balik bertanya lagi.

"Di kantor paling. Biasa akhir bulan," jelasku percaya diri. Karena aku tahu kesibukan Mas Ibram saat akhir bulan.

"Aku punya tetangga baru," ucap Tania. Tidak nyambung dengan pertanyaan-pertanyaannya tadi.

"Terus?" tanyaku.

"Aku pikir dia saudara kamu, Vi," ucapnya.

"Kok, bisa?" tanyaku penasaran.

"Soalnya sejak pagi, suamimu sibuk bantu dia pindahan," jelas Tania.

"Masa, sih? Kamu ketemu Ibram?" tanyaku tak percaya.

"Ketemu langsung, sih, enggak. Tapi aku liatin mereka dari lantai dua. Kan, rumahnya persis di depan rumahku," jelasnya. "Tuh, mobil Ibram juga masih di situ."

"Yang benar, Tan?" kejarku. Dadaku tiba-tiba saja panas mendengar itu. Meski aku tak bertanya pada Mas Ibram keberadaanya, tetapi di pikiranku lelaki itu masih di kantor.

"Benar, Vi. Nanti aku fotoin."

"Enggak usah, aku ke tempat kamu sekarang aja!"

Bergegas aku mengganti pakaian, lalu menyambar kunci mobil dan melaju ke perumahan baru Tania, sahabatku. Perjalanan yang harusnya memakan waktu setengah jam, aku tempuh hanya dalam waktu 20 menit.

Mobil langsung aku parkir di depan pagar rumah Tania. Kemudian menelepon wanita itu mengabari kalau aku sudah di depan. Sejurus kemudian, Tania keluar.

"Itu, mobil suamimu masih di situ!" ujar Tania sembari menunjuk rumah yang berseberangan dengan rumah barunya itu menggunakan dagu.

"Kita langsung ke sana aja, ya!" pintaku.

Tania mengangguk setuju. Tanpa aba-aba kami memasuki pagar rumah yang tidak dikunci itu. Setelah melewati halaman yang tidak begitu luas, kami berdiri di depan pintu.

Setelah menghela napas, aku mengetuk pintu rumah itu. Aku dan Tania saling berpandangan saat mendengar suara kunci rumah diputar.

Sejurus kemudian tampak anak laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun dari balik pintu. Dia memandangiku dan Tania dengan tatapan bingung. Tentu saja karena kami memang tak saling mengenal.

"Mama sama papanya ada, Dek?" tanya Tania.

Anak itu mengangguk.

"Ayah, ada tamu!" seru anak itu

"Siapa, Bi?" Jantungku seperti mau meloncat saat mendengar bariton yang menyahut anak itu.

"Enggak tahu, Yah," jawab anak itu.

Wajahku pasti sudah berubah merah saat ini. Terlebih saat lelaki yang sangat aku kenali muncul menemui kami. Seketika mata lelaki itu melotot melihat keberadaanku.

"Viona?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Ending

    Lututku seketika melemas mendengar apa yang Fabian katakan. "Jambret itu Ibram?" gumamku.Suara teriakan, makian, hujatan, bahkan umpatan kotor seperti dengungan yang membuat pikiranku melayang-layang. Aku benar-benar tak menyangka, lelaki yang menjadi ayah dari ketiga anak yang kini berdiri di sisiku adalah jambret yang sedang dihajar massa.Apa Ibram tak berusaha memperbaiki hidupnya? Setidaknya berusaha untuk menjadi sosok Ayah yang bisa dibanggakan oleh anak-anaknya.Setelah keluar dari penjara, setidaknya bertaubat dan memperbaiki hidupnya. Bukan malah menjadi penjahat seperti ini.Kini satu per satu warga mulai mundur dari kerumunan. Entah siapa yang melerai mereka. Sosok tubuh Ibram yang sudah babak belur tampak dari kejauhan.Wajahnya sudah tak seperti wajah Ibram. Darah segar menghiasi wajahnya. Kaki dan tangannya tampak gemetar. Dadanya kembang kempis tak beraturan. Terdengar racauan tak jelas dari mulutnya.Beberapa pe

  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Jambret

    Cahaya tumbuh menjadi gadis yang ceria. Apalagi sejak masalah itu, aku memang memutuskan untuk kembali tinggal di rumah Papa. Jadi Cahaya tidak merasa kesepian karena sehari-hari ada nenek dan kakeknya.Rumahku dengan Ibram dulu, telah aku jual dan hasilnya aku sumbangkan ke panti asuhan tempat Fabian dan Sabrina dititipkan. Tiap bulan aku masih memberi mereka uang jajan. Bagaimanapun mereka hanyalah korban. Dan aku tidak tega jika anak-anak tak berdosa itu harus ikut menanggung dosa orang tuanya yang tidak mereka ketahui.Aku menikmati hari-hariku dengan menjalankan usaha yang Ibram tinggalkan. Kini mini marketku telah menjamur di berbagai daerah. Papa, orang yang dulu seperti tak percaya kepadaku, kini menjadi orang yang paling bangga atas pencapaianku. Aku bersyukur untuk itu. Kini aku bisa mengangkat dagu dengan percaya diri di depan Papa.Dua tahun setelah Rena ditahan, aku mendapat kabar kalau wanita itu mengalami gangguan mental. Aku

  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Hasil Persidangan

    "Bagi seorang wanita, melihat orang yang dicintai mencintai wanita lain, sama saja membangunkan serigala dalam dirinya," ucap Tania dengan wajah datar. Sorot matanya tajam dan terlihat tidak ada keraguan sama sekali dalam ucapannya.Aku menggeleng tak percaya mendengar itu. Tania benar-benar tidak seperti Tania yang aku kenal selama ini.Aku memang menangkap sinyal-sinyal cinta dari Wildan, tetapi sampai saat ini aku masih berpikir untuk menjodohkan pengacara itu dengan Tania. Karena aku memang belum tertarik untuk memulai hubungan baru. Perceraianku dengan Ibram saja masih belum beres, bagaimana mungkin aku bisa memulai hubungan baru."Kamu bisa bayangin gimana rasanya jadi aku, Vi?" tanya Tania sembari tersenyum miris. "Bertahun-tahun aku memendam rasa ini. Lalu kamu pura-pura buta, dan di depan mataku seolah kamu ingin menunjukkan bahwa kamulah pemenangnya. Kamulah yang bisa mencairkan hati bekunya!" Terlihat ada luka dari kilat mata Tania. Ha

  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Tania

    "Kita tunggu saja penyidikan polisi," ujar Wildan."Benar," sahut Papa. "Kita fokus ke sidang saja."Setelah sarapan dan membicarakan teknik-teknik untuk menghadapi persidangan nanti, pukul sembilan kami berangkat ke pengadilan negeri bersama. Wildan juga sudah mengonfirmasi orang KUA dan juga Rian. Mereka sudah bersiap juga.Pukul sepuluh, persidangan dimulai. Hakim memulai dengan membacakan agenda sidang hari ini dan menanyakan kehadiran pihak-pihak terkait. Ibram hadir dengan pengacaranya. Lelaki itu tampak mengibarkan bendera perang kepadaku.Kesaksian Papa, bisa dibantah oleh pihak Ibram, karena tidak didukung bukti. Namun, kesaksian orang KUA dan Rian, ditambah percakapan Ibram dengan Rena di ponsel Ibram, menjadi bukti tak terbantahkan. Sehingga pihak Ibram tidak bisa mengelak lagi. Sidang dilanjutkan dua minggu yang akan datang.Saat kami berjalan menuju tempat

  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Perkiraan Pelaku

    "Ada apa, Vi?" tanya Papa.Sementara Wildan tak jadi memasuki mobilnya. Lelaki itu kembali ke teras rumah, kemudian memungut ponselku yang jatuh di lantai."Ada apa?" tanya Wildan sembari menyerahkan ponsel itu padaku.Aku masih mematung dengan tatapan kosong. Aku benar-benar shock. Di saat besok persidangan dengan agenda penting, hal besar terjadi kepada kami. Seolah, ini dirancang untuk membuyarkan konsentrasi kami ke persidangan."Ada apa?" tanya Papa lagi. Kali ini lelaki itu mengguncang sebelah bahuku.Aku pun menoleh padanya. "Mini market kita kebakaran, Pa.""Apa?" Mendengar itu, kedua bola mata Papa seperti hendak keluar dari kelopaknya.Mama pun tak kalah shock. Wajah wanita berusia senja itu terlihat sangat tegang."Gimana ini, Pa?" tanya Mama."Tenang, Tante!" Kali ini Wildan yang bicara. "Aku akan pastikan pelakunya tertangkap. Aku akan segera ke

  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Kebakaran

    "Aya di depan sama Nyonya, Bu," ucap Mbak Susi yang sedang membereskan kamar Cahaya. Padahal aku belum sempat bertanya kepadanya. Aku terlalu takut melihat Cahaya tidak ada di tempat yang seharusnya.Segera aku ke depan. Ternyata mereka masih bercengkrama dengan Rian. Lelaki itu bahkan melawak di depan Cahaya. Hal yang dulu sangat aku suka dari Rian. Dia lelaki yang pintar sekali mencairkan suasana. Dulu, aku tak bisa berlama-lama marah dengannya."Tuh, Vionanya datang," ucap Mama.Rian menatapku lekat. Kemudian berkata, "Maaf, ya, aku telat."Aku tersenyum simpul sembari duduk di sofa dekat Mama. Kemudian menjawab, "Enggak apa-apa. Aya sama papanya, kok.""Ya, udah. Silahkan kalian ngobrol dulu!" ucap Mama sembari beranjak dari duduknya. Kemudian wanita berdaster kelelawar itu masuk ke dalam bersama Cahaya."Tadi kamu sama pengacara itu?" tanya Rian."Ya," jawa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status