"Apa aku dulunya bisu karena Mas Danu, Pah? Lalu dia kena karma," ucapku ngasal. Hilangnya ingatan membuatku seperti orang bodoh. Selalu banyak tanya di setiap apa yang aku cerna."Bukan begitu ceritanya, Fika," ucap papa."Jadi aku ini benar istrinya Mas Danu, dan shakila juga istrinya Mas Danu? Laki-laki itu membohongi kita berdua gitu kan, Pah?" Mungkin pertanyaanku membuat Papa bingung menjelaskannya. Sebab matanya hanya berkeliling ke ruangan."Papa doakan ingatanmu cepat pulih, biar kamu bisa ingat kembali siapa Danu sebenarnya, dia memang suamimu, tapi tidak pantas disebut suami. Foto prewedding yang kamu temukan di laci kerja suamimu, itu adalah awal dari bencana," papar papa.Tiba-tiba kepalaku mendadak sakit kembali. Setelah Papa menyebutkan foto prewedding di laci kerja suamiku. Ia sebut itu awal dari bencana."Awal bencana atau awal terkuaknya, Pah?" tanyaku padanya."Iya itu suatu awal terkuak dan kita seharusnya bersyukur. Bencana itu datang untuk mereka yang sudah menya
"Kamu serius, Fika? Jadi kamu benar-benar sudah pulih ingatannya?" Papa masih meragukan apa yang aku katakan."Sudah, Pah, aku ingat Syakila dan Mas Danu yang sangat jahat padaku.""Kalau begitu permintaanmu, Papa akan urus pengacara, Hendra akan urus semua bukti dulu, setelah kita kembali ke Indonesia, barulah memberikan pelajaran dengan melayangkan surat penangkapan," ungkap papa.Papa menghubungi pengacaranya sekitar lima belas menit. Ia bicara panjang lebar di hadapanku. Salah satunya meminta pengacara untuk menyita semua yang telah mereka kuras dariku.Setelah selesai bicara, papa kembali duduk dekat denganku. Ia menggenggam erat tangan ini dan mengecup keningku.Benar kata orang, suami itu ada bekasnya. Sedangkan orang tua tidak akan ada bekasnya. Mata ini tidak kuat menahan air mata, jadi kami berdua menangis sejadinya karena kebahagiaan ini. Tidak pernah dipungkiri, Mas Danu telah hadir di kehidupanku dan masa lalu. Tapi Mas Danu juga lah yang membuatku bersemangat untuk kemb
Haris tidak mengetahui masa lalu ku dengan Mas Danu. Makanya ia tidak tega terhadapnya. Kalau tahu keburukannya Mas Danu, mungkin ia bisa tega juga terhadapnya."Mas Haris, jadi Mas Danu dan Syakila itu suami istri. Mereka sengaja membohongi aku dengan berharap mereka bisa menguasai harta Papa. Untungnya sudah tertangkap basah saat aku menemukan foto mereka. Biarkan mereka menerima ganjarannya, Mas," jelasku menjelaskan pada Haris.Aku jadi terbiasa memanggilnya dengan sebutan Mas pada Haris. Sebab, awal mula aku sadar yang dikenalkan oleh papa adalah dirinya."Oh, kasusnya ia menipu dengan cara memalsukan identitas. Lalu bagaimana tentang pencurian mobil, Pak Wijaya? Apa berniat balas dendam?" tanya Haris penasaran. Sepertinya Haris tidak suka dengan balas membalas keburukan."Ya, awalnya ingin memberikan mereka pelajaran agar tidak sembarangan mempermainkan hati orang lain!" sahut papa."Anda seorang Ayah yang hebat, Pak Wijaya. Saya salut pada Pak Wijaya. Kalau begitu, saya akan ba
Aku muak mendengar Syakila bicara, jadi lebih baik aku matikan saja sambungan teleponnya. Daripada kesehatanku yang jadi imbasnya. Ya, aku harus mengingat kembali kesehatan yang sudah hampir pulih ini.Kuletakkan ponsel milik papaku kembali, lalu berbaring ke arah kanan. Kemudian, Papa datang bersama Haris."Papa," sapaku setelah melihat papa melangkah."Laki-laki itu masih beruntung diberikan kesempatan untuk bicara. Seharusnya Tuhan azab saja dia!" Papa nampak kesal saat baru saja datang."Mungkin kasihan Pah, Syakila pun berniat meninggalkannya," jawabku."Biar tahu rasa Danu itu. Biar melek mata, salah sendiri menipu wanita demi perempuan brengsek kayak Syakila. Coba setelah ini dia sadar nggak!" Papa semakin emosi ketika membicarakan Syakila dan Mas Danu."Pak, sabar. Jangan emosi ya," pesan Haris menasehati. Papa terlihat menghela napas kasar, ia berdecak kesal juga sambil mengambil kursi dan mendudukinya."Kata Rasul memang gitu, Pah. Jika kita marah, maka duduklah untuk mered
"Gimana kondisimu?" Aku bertanya hanya sekadar basa-basi."Ya begini, tenggorokan masih ada rasa serat-serat gitu." Ada saja kelakuannya, menenggak alkohol untuk membersihkan luka. Mas Danu aneh."Bagus masih bisa bicara, Mas. Kalau tiba-tiba kami bisu seperti aku dulu, bagaimana? Apa Syakila akan menemani kamu?" Pertanyaan yang aku lontarkan sedikit mengejutkannya. Itu terlihat dari caranya menelan ludahnya."Iya, maafkan aku ya, Dek." Dia menggunakan nama panggilan saat masih bersama dulu. Mungkin berusaha mengingatkan masa lalu."Rasanya sudah tidak pantas, kamu memanggilku seperti itu. Mas, aku harap kamu segera urus perceraian, dan jangan memelas lagi!" ancamku ketus."Iya Dek, padahal Mas sudah memiliki keputusan sebelumnya, untuk lebih memilihmu dibandingkan Syakila," timpalnya membuatku terkekeh. Rupanya urat malunya sudah putus, sampai berani bicara seperti itu."Aku bukan pilihan, Mas. Laki-laki memang berhak memilih, tapi tidak untuk laki-laki yang mau dijadikan robot oleh
"Iya, apa Siska ada hubungannya dengan Danu dan Syakila?" Papa malah bertanya balik. "Alah, sudah mendingan kita pulang, daripada urusin yang nggak penting," tambah papa sambil mengibaskan tangannya dan mengajakku untuk naik ke mobil.Akhirnya kami telah sampai di rumah, rasanya rindu sekali dengan suasana rumah ini. Si Mbok yang tidak mengetahui bahwa aku telah bisa bicara, pun menghampiri dengan mengajakku bicara memakai bahasa isyarat."Non, alhamdulilah Non sehat ya sekarang? Mbok kaget, dengar Non Fika kecelakaan! Cuma bisa nangis di sini," ungkap Mbok memakai bahasa isyarat. Papa yang melihatnya hanya bisa tersenyum. Aku apalagi, rindu dengan Mbok. Akhirnya aku peluk tubuh wanita setengah tua itu. Lalu mengatakan sesuatu di telinganya."Terima kasih, Mbok. Ini berkat do'a Mbok juga," bisikku membuat Mbok melepaskan pelukannya. Ia tampak terkejut dan bahagia."Non, alhamdulilah ya Allah. Non Fika sudah bisa bicara!" Mbok bicara dengan setengah berteriak, raut wajahnya tampak baha
Tok ... tok ... tok .... Aku buru-buru keluar dari aplikasi berwarna hijau. Sebab, ada suara ketukan pintu dari arah luar kamar. Pasti itu papa, sebaiknya aku buka pintu dulu. Papa harus kembali ke kantor, mengurus semuanya yang pernah terbengkalai. Lalu aku buka pintu lebar-lebar."Fika, papa berangkat ke kantor ya. Terus, papa pulang ke rumah papa! Gak mampir lagi. Kamu di sini sama Mbok, gak apa-apa kan?" tanyanya sambil menyodorkan tangan.Aku pun mengecup punggung tangan papa. Kemudian menyodorkan kening seperti biasanya.Papaku sudah lama meninggalkan kantor dan rumahnya, pasti sudah rindu dengan rumah peninggalan mama. "Pah, hati-hati ya! Aku dan Mbok pindah ke sana ya, besok?" tanyaku sambil merangkul lengannya. Lengan yang selalu sigap dalam menghadapi semua yang menyakiti anaknya."Iya, itu ide bagus. Papa jalan dulu ya, jangan pernah terima tamu dari orang yang tak dikenal, sampai kamu resmi bercerai dari Danu, ingat pesan Papa!" Itu pesan papa saat ini, ia khawatir Syaki
"Jangan, Tante, aku rasa tidak perlu. Nanti kalau sudah saatnya kenalan, pasti ketemu kok," sahutku melarangnya."Untung Tante izin dulu. Ya udah next time semoga kita ketemu ya, Fika." Aku menutup sambungan telepon saat kami sudah memutuskan mengakhiri pembicaraan.Kemudian, rencana untuk mengantarkan barang papa yang tertinggal pun aku urungkan. Sebab, tiba-tiba teringat ingin pindah ke rumah papa."Daripada buang waktu ke kantor cuma mau cerita doang, mendingan aku kemas-kemas," ucapku bicara sendirian.Akhirnya aku putuskan untuk meminta tolong taksi online mengantarkan barangnya saja. Ia aku berikan uang lebih supaya amanah dan barang yang papa butuhkan cepat sampai di tangannya.Tak lupa aku mengirimkan pesan untuk papa bahwa aku tidak jadi mengantarkan ke kantor. Ia pun setuju dengan keputusanku yang lebih baik berkemas-kemas.***[Pah, aku sama Mbok mau jalan ke rumah Papa ya. Sudah siap-siap nih!]Terbiasa dengan chat sewaktu bisu, beliau pun tak keberatan. [Iya Fika, keuan