Share

Bab 3

'Jika memang pernikahan yang kita jalani hanyalah sebuah skenario dari istrimu. Sungguh bodohnya kamu, Mas, dijadikan robot olehnya. Syakila yang mencoba mengendalikan kamu,' batinku masih mengeluh di hadapan Mas Danu yang mencekal pergelangan tangan ini.

Seandainya boleh memilih saat itu, aku lebih memilih menjadi perawan tua daripada harus berujung seperti ini. Kenyataan pahit harus ditelan disaat cinta yang sudah tumbuh menggunung.

Kemudian, aku melepaskan genggaman tangannya dan dengan bahasa isyarat aku pun berpamitan dengannya.

"Mas, aku mau pulang. Belum masak," ujarku sembari menggerakkan tangan ini. Rasanya air mataku yang sudah ditahan sejak menginjakkan kaki ke kantor, ingin tumpah ketika melihat wajahnya. Sebab terbayang-bayang foto prewedding yang telah aku temui di laci itu.

"Ya sudah, kamu hati-hati. Langsung pulang ke rumah ya!" pesan Mas Danu masih sama sikapnya seperti biasa. Tidak ada yang berbeda padanya. Itu yang membuatku muak. Kenapa ada laki-laki munafik seperti ini?

Aku mengalihkan pandangan, tanpa menimpali percakapan dengannya. Kemudian aku beranjak pergi. Khawatir air mata yang sudah mulai mengembun ini tumpah di hadapannya.

Aku langkahkan kaki ini dengan hentakan sangat cepat. Berharap ada yang bisa kulakukan kembali setelah ini. Setidaknya ada hal yang membuat hidupku kembali bersemangat.

Menyesali, itulah yang aku alami saat ini. Aku menyesal, karena tidak menuruti kemauan papa dulu. Kehilangan pita suara sampai sudah dewasa seperti ini, bukanlah karena cacat dari lahir. Namun, aku mengalami kecelakaan saat itu, bersama keluarga yang menewaskan almarhumah mama pada saat usiaku 7 tahun. Saat itu, aku mengalami benturan hebat hingga merusak pita suara. Itulah makanya papa sebegitu sayangnya padaku. Sebab aku kehilangan seorang ibu sekaligus kehilangan suara.

Penyesalan itu tidak lain karena papa pernah mengajakku untuk terapi bicara. Namun, aku selalu menolak permintaannya. Sebab merasa dengan kekurangan ini, masih ada laki-laki yang tulus mencintaiku.

'Sebaiknya, aku coba tanya pada papa. Di mana bisa terapi agar suaraku kembali normal seperti dulu,' ucapku dalam hati.

Aku ambil benda pipih yang berada dalam tas, bermodalkan nekat. Aku akan ikut arahan Papa yang dulu telah aku hiraukan, yaitu terapi suara agar kembali normal. Sebab bisu ini, bukan bisu sejak lahir.

[Pah, aku mau terapi agar bisa bicara. Aku harus ke mana? Tolong beritahu di mana tempatnya.] Seperti itu isi pesan yang aku kirim kepada papa.

[Nanti papa antar, ke rumah seorang dokter spesialis. Ia praktek di daerah Jakarta.]

Papa membalas chatku dengan cepat. Ia memang orang tua paling hebat yang aku punya.

[Baik, Pah. Aku akan terapi sampai bisa bicara kembali. Agar aku bisa mengungkapkan perasaan ini, pada mereka yang telah menyakitiku.]

Ketikan jari saling berbalas. Aku harap tidak mengganggunya.

[Kamu yang sabar, Fika. Anak papa yang paling pintar. Pasti tahu langkah apa yang harus kamu lakukan, jangan cengeng ya, kamu itu wanita kuat.]

Papa benar, aku memang kuat. Buktinya, bisa menjalani hidup sampai saat ini. Meskipun trauma saat kecelakaan itu selalu menghantuiku.

[Aku pulang dulu, ya Pah. Nanti segera beritahu di mana tempatnya.]

Kini semangatku berkobar untuk membalas perlakuan Mas Danu dan Syakila. Aku sangat menginginkan mereka mendapatkan balasannya atas perbuatan yang telah mereka lakukan selama ini.

Setibanya di rumah, aku lihat di parkiran sudah ada mobil Syakila terparkir di depan persis mobilku. Menyesal rasanya kalau ingat, telah memberikan ia sebuah mobil sebagai ucapan terima kasih padanya yang telah memperkenalkan laki-laki seperti Mas Danu.

Namun, ternyata ia sama seperti wanita lainnya, mengincar harta yang aku miliki. Tidak ada teman yang tulus menghampiri, selalu saja ada maunya di balik semuanya.

"Hai, Fika. Kamu dari mana?" tanya Syakila dengan suara kencang. Tangannya pun melambai-lambai ke arahku yang baru saja turun dari mobil.

Aku harus menggunakan bahasa isyarat padanya. Sebab, tidak ingin Syakila mencurigai bahwa aku telah mengetahui kebusukannya yang memanfaatkan Mas Danu sebagai bonekanya.

"Kamu baru sampai atau dari tadi?" tanyaku sambil menggerakkan tangan. Ia sudah paham bicara dengan bahasa isyarat. Sebab cukup lama sekali ia berteman denganku.

"Baru aja parkir mobil, kamu dari mana? Kata Mbok, habis ke kantor suamimu, ya?" ucapnya dengan senyuman. Seketika hatiku hancur mendengar apa yang ia ucapkan. Sandiwaranya sungguh luar biasa.

'Bukankah ini rencanamu? Kenapa bisa berpura-pura tidak tahu seperti itu. Aku heran, bisa-bisanya kamu melihat suami sendiri menikah dengan orang lain,' gerutuku di dalam hati.

Kalau bukan karena ingin memanfaatkan kekurangan ini, mungkin tidak akan bisa ia semudah itu melepaskan laki-laki yang mengikat janji sehidup semati denganku.

"Ayo, masuk!" ajakku menggandengnya. Map yang tadi aku bawa, sudah papa amankan supaya aku tidak terus menerus memandang foto tersebut.

Syakila terus bicara mengenai kegiatannya. Tiba-tiba di kepala muncul ide, aku mencoba menanyakan kepada ia tentang pernikahan. Kenapa ia sampai saat ini belum menikah, dan belum mengenalkan padaku sosok pria yang ia bilang akan menikahinya setahun lagi.

"Kamu belum mengenalkan padaku, calon suami yang kata kamu setahun lagi akan menyuntingmu?!" Syakila tampak terkejut melihat bahasa isyarat yang aku berikan padanya. Pertanyaan yang selama ini tidak pernah aku lontarkan. Sebab, khawatir akan menyinggungnya.

Mata Syakila membuka lebar saat pertanyaan itu terlontar. Ia belum menjawabnya, sepertinya Syakila tengah mencari alasan, sebab kelihatan dari bibirnya yang menganga.

'Aku ingin dengar alasanmu, Syakila,' gumamku dalam hati.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status