Share

Bab 4

Syakila masih tercengang, mendengar pertanyaan yang aku lontarkan tadi. Mungkin ia masih mencari alasan yang tepat kenapa belum mengenalkan calon suaminya. Sudah beberapa detik aku hitung, ia belum menjawab pertanyaan itu.

Aku memandang matanya dengan tatapan penuh, wanita itu sudah menikah sejak tahun 2018 silam. Seandainya ada bukti satu lagi yang akurat, ini lebih bagus untuk memperkuat tuduhan kepada mereka.

Hitungan detik sudah berubah ke menit, namun ia belum juga bersuara. Aku pun mengerutkan alis melihat Syakila diam membisu.

'Ayolah jawab Syakila, bukankah kamu tidak bisu? Bukankah kamu bisa mengeluarkan madu dari mulutmu yang sebenarnya pahit seperti empedu? Syakila, aku tidak akan pernah memaafkan kamu dan Mas Danu, kalau terbukti telah mempermainkan pernikahanku hanya untuk harta semata,' batinku kesal menunggu lama ia berbicara.

"Aku akan membawa calon suamiku kehadapanmu, Fika. Tapi, nanti setelah calon suamiku lulus dari kuliahnya di Jerman!" Akhirnya ku dengar sahutan dari mulut seorang wanita yang tega mempermainkan hati wanita lainnya. Syakila juga memperagakan dengan bahasa isyarat, mungkin supaya aku mudah paham dan mengerti. Padahal aku tahu jawabannya hanya bualan saja.

Lucunya, ia memberikan alasan yang sangat jauh dari perkiraan. 'Jerman kamu bilang? Sejauh itu kamu mencari alasan. Padahal bisa saja kamu memperkenalkan aku melalui video calling di ponsel. Tapi kamu tidak pernah melakukan itu. Sebab, wajah yang kamu bilang calon suamimu adalah suamiku dan juga suamimu. Ya, kan Syakila?' Aku hanya mampu bergerutu di dalam hati.

Makin gemas mendengar alasan dari Syakila. Tidak menutup kemungkinan setahun yang akan datang ia berniat memberikan kejutan untukku. Namun, belum waktunya terjadi. Rencananya sudah tercium olehku.

Aku mendadak ingin membalas rasa sakit hati ini sekarang. Ya, dengan menawarkan ia makan di rumah, sepertinya itu ide bagus. Mungkin sebagai pelajaran agar berhati-hati dalam memasukkan makanan ke mulutnya. Begitu pun dengan membuat masalah di keluarga Wijaya. Itu sama saja mengundang lebah untuk mengantup.

"Kamu sudah makan, Syakila?" tanyaku menyorot padanya. Bahasa isyarat yang sudah terbiasa ia lihat dariku. Membuat Syakila dengan mudah mencernanya.

"Belum, kebetulan aku lapar sekali!" ucap Syakila sembari memegang perutnya. Ya, aku akan sediakan makanan untuk Syakila. Sebagai awal dari rasa kesalku padanya.

"Baik, aku akan ambil makanan untukmu. Tunggu di sini ya, kita makan di ruang keluarga saja. Aku ambil dulu makanannya." Tanganku dengan cepatnya memberikan isyarat. Ia pun tampak senang sekali.

"Siap, Fika. Sayang!" teriaknya saat aku mulai melangkah ke arah dapur.

Sayang, ia selalu menyertakan kata itu kepadaku. Agar terdengar menyayangi. Syakila, ular kepala dua, di depan baik, di belakang siap menikam temannya sendiri.

Aku bergegas ke dapur, si mbok masak daging yang sudah diolah menjadi teriyaki. Masih hangat sekali, aku ambil garam dan lada di kitchen set. Lalu aku taburkan di dalam makanan yang aku hidangkan untuknya.

Ada dua piring, satu untuknya, satu lagi untukku. Ia akan segera lari ke dapur untuk mengambil minum jika merasakan makanan ini. Aku tidak akan membawa minum sekaligus. Biarkan ia berlarian ke arah dapur.

Dengan bahasa isyarat juga senyuman, aku pun membawa hidangannya.

"Ini untukmu, dan ini untukku!" Lalu aku segera makan agar ia pun menyegerakan menyantap makanan yang telah aku sajikan.

Satu, dua, tiga, dugaanku benar. Ia beranjak dari duduknya setelah mencicipi satu sendok dengan wajah yang memerah, karena rasa lada bubuk yang aku percikan ke dalamnya. Wajahnya pun tiba-tiba mengerenyit merasakan asinnya garam yang aku tumpahkan. 'Kena kamu Syakila, rasanya senang sekali melihat kamu tersiksa,' gumamku dalam hati.

Setelah ia mengambil segelas air, Syakila kembali lagi bersamaku. Menanyakan perihal rasa dari makanan yang aku hidangkan.

"Fika, makanan kamu tidak apa-apa? Kok yang aku makan rasanya aneh?" tanya Syakila dengan suara sedikit kencang.

"Aku, sengaja. Agar kamu tidak jadi makan!" Aku menggerakkan tangan ini padanya.

"Kenapa, begitu? Apa salahku?" Syakila mulai menanyakan maksudku. Lalu dengan soroton tajam. Aku menatapnya terus tanpa kedip. Ingin aku memakinya, tapi suara ini tidak mampu berkata. 'Tunggu waktunya tiba Syakila, saat itu aku akan menghardikmu dengan suara melengking. Agar kamu tidak lagi menyepelekan gadis bisu sepertiku,' batinku kesal sambil menatapnya tajam.

"Syakila, tubuhmu mulai gendut. Kamu mau makan nasi dan daging? Kan mau menikah, jadi harus jaga pola makan!" sahutku dengan suara yang hanya terdengar meraung. Selayaknya gadis bisu lainnya. Namun, ia mengerti dengan gerakan tangan ini yang menyertai saat bicara.

"Astaga, Fika. Kamu memang teman terbaikku. Mengingatkan perutku yang semakin hari semakin buncit ini!" ungkapnya sembari memelukku.

Jijik rasanya dipeluk oleh perempuan yang bermulut manis. Perut buncit Syakila, mungkin ada janin di dalamnya! Sebab sudah beberapa bulan ini, perutnya aku lihat makin membesar. Awalnya tidak pernah menyadarinya. Namun, setelah tahu sedikit rahasia itu, tidak menutup kemungkinan, Syakila tengah hamil saat ini.

Aku tertawa di depannya, kini aku ikut manjadi ular sepertinya. Mencoba baik di depan, dan tertawa atas segala candaannya.

Tertawa dalam tangisan di hati ini, itulah yang aku rasakan saat ini. Akan tetapi, puas rasanya melihat Syakila tergopoh-gopoh mencari air ke dapur. Masih terbayang di mataku wajah Syakila saat menyantap makanan tadi.

"Syakila, perutmu buncit jangan-jangan kamu hamil?" Syakila tampak terkejut, ia melepaskan pelukannya terhadapku.

"Itu tidak mungkin, aku belum menikah, masa hamil?" Syakila begitu meyakinkan aku.

'Andai kamu tau, aku sudah melihat foto prewedding yang kamu lakukan beberapa tahun silam. Pasti kamu tidak akan mengelak.' Aku terus membatin.

Ponselku tiba-tiba bergetar, saat kami sedang berbincang-bincang di ruang keluarga. Ternyata Papa yang mengirimkan pesan untukku.

[Sayang, maafkan Papa. Teman Papa yang tadi kita bicarakan sedang seminar ke luar negeri. Ia menyarankan untuk terapi ke luar negeri. Maukah kamu ke Singapura? Agar cepat kamu bisa bicara lagi!]

Begitu lihat isi pesan papa padaku. Jari ini diam sejenak memikirkan balasan yang akan aku kirim. Ini harus aku pikirkan matang-matang. Sebab meninggalkan Mas Danu bersama ular di sini, itu artinya malah memberikan ruang pada mereka.

"Fika, ada apa? Kok bengong?"

Syakila membuyarkan lamunanku seketika.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status