Share

Bab 4

Author: Siti_Rohmah21
last update Last Updated: 2022-12-27 22:43:33

Syakila masih tercengang, mendengar pertanyaan yang aku lontarkan tadi. Mungkin ia masih mencari alasan yang tepat kenapa belum mengenalkan calon suaminya. Sudah beberapa detik aku hitung, ia belum menjawab pertanyaan itu.

Aku memandang matanya dengan tatapan penuh, wanita itu sudah menikah sejak tahun 2018 silam. Seandainya ada bukti satu lagi yang akurat, ini lebih bagus untuk memperkuat tuduhan kepada mereka.

Hitungan detik sudah berubah ke menit, namun ia belum juga bersuara. Aku pun mengerutkan alis melihat Syakila diam membisu.

'Ayolah jawab Syakila, bukankah kamu tidak bisu? Bukankah kamu bisa mengeluarkan madu dari mulutmu yang sebenarnya pahit seperti empedu? Syakila, aku tidak akan pernah memaafkan kamu dan Mas Danu, kalau terbukti telah mempermainkan pernikahanku hanya untuk harta semata,' batinku kesal menunggu lama ia berbicara.

"Aku akan membawa calon suamiku kehadapanmu, Fika. Tapi, nanti setelah calon suamiku lulus dari kuliahnya di Jerman!" Akhirnya ku dengar sahutan dari mulut seorang wanita yang tega mempermainkan hati wanita lainnya. Syakila juga memperagakan dengan bahasa isyarat, mungkin supaya aku mudah paham dan mengerti. Padahal aku tahu jawabannya hanya bualan saja.

Lucunya, ia memberikan alasan yang sangat jauh dari perkiraan. 'Jerman kamu bilang? Sejauh itu kamu mencari alasan. Padahal bisa saja kamu memperkenalkan aku melalui video calling di ponsel. Tapi kamu tidak pernah melakukan itu. Sebab, wajah yang kamu bilang calon suamimu adalah suamiku dan juga suamimu. Ya, kan Syakila?' Aku hanya mampu bergerutu di dalam hati.

Makin gemas mendengar alasan dari Syakila. Tidak menutup kemungkinan setahun yang akan datang ia berniat memberikan kejutan untukku. Namun, belum waktunya terjadi. Rencananya sudah tercium olehku.

Aku mendadak ingin membalas rasa sakit hati ini sekarang. Ya, dengan menawarkan ia makan di rumah, sepertinya itu ide bagus. Mungkin sebagai pelajaran agar berhati-hati dalam memasukkan makanan ke mulutnya. Begitu pun dengan membuat masalah di keluarga Wijaya. Itu sama saja mengundang lebah untuk mengantup.

"Kamu sudah makan, Syakila?" tanyaku menyorot padanya. Bahasa isyarat yang sudah terbiasa ia lihat dariku. Membuat Syakila dengan mudah mencernanya.

"Belum, kebetulan aku lapar sekali!" ucap Syakila sembari memegang perutnya. Ya, aku akan sediakan makanan untuk Syakila. Sebagai awal dari rasa kesalku padanya.

"Baik, aku akan ambil makanan untukmu. Tunggu di sini ya, kita makan di ruang keluarga saja. Aku ambil dulu makanannya." Tanganku dengan cepatnya memberikan isyarat. Ia pun tampak senang sekali.

"Siap, Fika. Sayang!" teriaknya saat aku mulai melangkah ke arah dapur.

Sayang, ia selalu menyertakan kata itu kepadaku. Agar terdengar menyayangi. Syakila, ular kepala dua, di depan baik, di belakang siap menikam temannya sendiri.

Aku bergegas ke dapur, si mbok masak daging yang sudah diolah menjadi teriyaki. Masih hangat sekali, aku ambil garam dan lada di kitchen set. Lalu aku taburkan di dalam makanan yang aku hidangkan untuknya.

Ada dua piring, satu untuknya, satu lagi untukku. Ia akan segera lari ke dapur untuk mengambil minum jika merasakan makanan ini. Aku tidak akan membawa minum sekaligus. Biarkan ia berlarian ke arah dapur.

Dengan bahasa isyarat juga senyuman, aku pun membawa hidangannya.

"Ini untukmu, dan ini untukku!" Lalu aku segera makan agar ia pun menyegerakan menyantap makanan yang telah aku sajikan.

Satu, dua, tiga, dugaanku benar. Ia beranjak dari duduknya setelah mencicipi satu sendok dengan wajah yang memerah, karena rasa lada bubuk yang aku percikan ke dalamnya. Wajahnya pun tiba-tiba mengerenyit merasakan asinnya garam yang aku tumpahkan. 'Kena kamu Syakila, rasanya senang sekali melihat kamu tersiksa,' gumamku dalam hati.

Setelah ia mengambil segelas air, Syakila kembali lagi bersamaku. Menanyakan perihal rasa dari makanan yang aku hidangkan.

"Fika, makanan kamu tidak apa-apa? Kok yang aku makan rasanya aneh?" tanya Syakila dengan suara sedikit kencang.

"Aku, sengaja. Agar kamu tidak jadi makan!" Aku menggerakkan tangan ini padanya.

"Kenapa, begitu? Apa salahku?" Syakila mulai menanyakan maksudku. Lalu dengan soroton tajam. Aku menatapnya terus tanpa kedip. Ingin aku memakinya, tapi suara ini tidak mampu berkata. 'Tunggu waktunya tiba Syakila, saat itu aku akan menghardikmu dengan suara melengking. Agar kamu tidak lagi menyepelekan gadis bisu sepertiku,' batinku kesal sambil menatapnya tajam.

"Syakila, tubuhmu mulai gendut. Kamu mau makan nasi dan daging? Kan mau menikah, jadi harus jaga pola makan!" sahutku dengan suara yang hanya terdengar meraung. Selayaknya gadis bisu lainnya. Namun, ia mengerti dengan gerakan tangan ini yang menyertai saat bicara.

"Astaga, Fika. Kamu memang teman terbaikku. Mengingatkan perutku yang semakin hari semakin buncit ini!" ungkapnya sembari memelukku.

Jijik rasanya dipeluk oleh perempuan yang bermulut manis. Perut buncit Syakila, mungkin ada janin di dalamnya! Sebab sudah beberapa bulan ini, perutnya aku lihat makin membesar. Awalnya tidak pernah menyadarinya. Namun, setelah tahu sedikit rahasia itu, tidak menutup kemungkinan, Syakila tengah hamil saat ini.

Aku tertawa di depannya, kini aku ikut manjadi ular sepertinya. Mencoba baik di depan, dan tertawa atas segala candaannya.

Tertawa dalam tangisan di hati ini, itulah yang aku rasakan saat ini. Akan tetapi, puas rasanya melihat Syakila tergopoh-gopoh mencari air ke dapur. Masih terbayang di mataku wajah Syakila saat menyantap makanan tadi.

"Syakila, perutmu buncit jangan-jangan kamu hamil?" Syakila tampak terkejut, ia melepaskan pelukannya terhadapku.

"Itu tidak mungkin, aku belum menikah, masa hamil?" Syakila begitu meyakinkan aku.

'Andai kamu tau, aku sudah melihat foto prewedding yang kamu lakukan beberapa tahun silam. Pasti kamu tidak akan mengelak.' Aku terus membatin.

Ponselku tiba-tiba bergetar, saat kami sedang berbincang-bincang di ruang keluarga. Ternyata Papa yang mengirimkan pesan untukku.

[Sayang, maafkan Papa. Teman Papa yang tadi kita bicarakan sedang seminar ke luar negeri. Ia menyarankan untuk terapi ke luar negeri. Maukah kamu ke Singapura? Agar cepat kamu bisa bicara lagi!]

Begitu lihat isi pesan papa padaku. Jari ini diam sejenak memikirkan balasan yang akan aku kirim. Ini harus aku pikirkan matang-matang. Sebab meninggalkan Mas Danu bersama ular di sini, itu artinya malah memberikan ruang pada mereka.

"Fika, ada apa? Kok bengong?"

Syakila membuyarkan lamunanku seketika.

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Foto Prewedding di Laci Kerja Suamiku    Bab 54. Akhir Kebahagiaan Fika

    Seorang pria berhasil membawa maling tersebut bersama dengan Ari dan Haris. Mereka berdua diseret ke mobil dan diperintahkan masuk olehnya."Udah jebloskan aja ke penjara, kalau sudah berani kabur sih artinya sangat berani," ucap Haris.Kemudian, kami memutuskan untuk membuat laporan ke kantor polisi atas penjambretan tadi. Namun, sebelumnya, aku menghubungi papa melalui pesan singkat untuk sekadar memberikan informasi padanya.[Pah, aku ke kantor polisi ya. Ada jambret tadi.]Setelah mengirimkan pesan, aku duduk kembali ke mobil dan menuju kantor polisi.***Setibanya di kantor polisi dan selesai membuat laporan, pihak kepolisian pun sangat berterima kasih terhadap kami, sebab ternyata orang yang menjambret adalah buronan. Jadi ini justru sangat memudahkan kami juga dalam membuat laporan."Ayo, Fik, pulang!" ajak Haris. "Ri, kami pamit, terima kasih bantuannya, sudah membantu menangkap maling tadi.""Iya, sama-sama. Kalian hati-hati," ucap Ari sembari meninggalkan kami yang masih mem

  • Foto Prewedding di Laci Kerja Suamiku    Bab 53. Detik-detik Ending

    Kemudian Tante Siska membicarakan perihal dokter yang memanggil Mas Danu dan dirinya. Ia bilang bahwa Syakila menitip pesan pada dokter, bahwa akan mendonorkan matanya untukku.Lagi-lagi ini hal yang tidak masuk akal, Syakila tengah memperjuangkan hidupnya tapi ia malah ingin menyerahkan matanya untukku.Aku terharu mendengarnya, sekaligus ingin menolak apa yang menjadi niat baik Syakila."Maaf Tante aku tolak mentah-mentah, ini tidak adil jika aku menyetujuinya," ucapku dengan tegas.Aku pun meminta apa-apa untuk melarang Tante Siska membujukku. Ini semua demi kebaikan bersama, seharusnya Syakila juga sembuh, bukan malah ingin mendonorkan matanya untukku."Tante paham betul, tapi ini keinginan Syakila," jawab Tante Siska lagi."Aku tolak, Tante," ucapku lagi."Kenapa tolak?" tanya Tante Siska.Aku hanya menggelengkan kepala dan tidak berkomentar apa-apa lagi."Baiklah, tapi Syakila sudah meninggal dunia, Fika," ucap Tante Siska membuatku spontan melotot. Mata ini benar-benar membuka l

  • Foto Prewedding di Laci Kerja Suamiku    Bab 52

    Mereka semua berhamburan keluar. Hanya aku yang tersisa di dalam. Papa pun ikut karena aku yang menyuruhnya.Aku merebahkan tubuh sambil menunggu kedatangan mereka. Dalam hati kecil ini berharap ada kabar baik yang dokter katakan pada mereka semua.Kecemasan yang aku alami memang terbilang berlebihan, Syakila bukan siapa-siapa, hanya seorang sahabat yang pernah menghancurkan hidupku. Namun, justru saat ini aku menginginkan dia bisa bertahan hidup.Selang beberapa menit kemudian, papa datang bersama dengan Haris dan Ari. Namun, tidak dengan Tante Siska juga Mas Danu, ia masih menemani Syakila. Setidaknya bukan kabar buruk yang aku terima, sebab tidak ada yang papa ucapkan saat mereka masuk ke dalam ruangan."Kok cepat? Nggak ada sepuluh menit," tanyaku seakan menyecar."Iya, Syakila tadi sadar, dan dokter ingin bicara dengan Danu dan Siska," kata papa sambil menarik kursi lalu duduk di dekatku."Syukurlah, ternyata Syakila masih berjuang untuk hidup," timpalku dengan disertai helaan na

  • Foto Prewedding di Laci Kerja Suamiku    Bab 51

    Dikarenakan teriakan Kau sangat kencang, Papa yang tadi berada di luar pun panik dan masuk ke dalam.Begitu juga dengan Haris dan Ari yang masuk mengekor di belakang papa."Ada apa, Fika? Kenapa kamu teriak?" tanya papa."Tadi aku dengar di kamar mandi suara kran mengalir, Pah, Aku takut Coba lihat ke sana!" Aku ketakutan sambil memegang selimut dan meremasnya."Aku akan melihat!" Itu suara Haris ia yang bersedia memantau toilet.Berselang kemudian Haris pun datang. "Nggak ada siapa-siapa dan kran pun masih tertutup." Ucapannya membuatku terdiam.Telingaku ini sudah berfungsi kembali seperti orang normal. Tadi jelas-jelas aku mendengar suara air mengalir dari keran kamar mandi."Mungkin kamu lelah, Fika, lebih baik kamu tidur ya, jangan mikirin macam-macam. Apalagi halusinasi tentang Syakila lagi, doakan aja dia mendapatkan yang terbaik untuk kesembuhannya," pesan papa.Kemungkinan besar halusinasiku ini terjadi karena terlalu takut. Ya, aku merasa sebagai penyebab kehancuran Syakila.

  • Foto Prewedding di Laci Kerja Suamiku    Bab 50

    "Tapi, Syakila di ruangan ICU, Fik," ucap Haris."Iya, katanya kritis lagi," susul Ari."Jadi aku halusinasi?" Aku bertanya sambil menutup seluruh wajah dengan kedua telapak tangan."Fika, kamu istirahat ya, jangan sampai cemas berlebihan hingga membuat kamu jadi berpikiran tentang Syakila," tambah papa.Aku terdiam, bukankah ada suaranya tadi? Ya, suara raungan wanita bisu. Aku dapat mengetahuinya, sebab pernah berada di posisi Syakila dulu. "Aku yakin itu Syakila, apa dia ingin bicara denganku?" "Fika, biar aku dan Ari yang lihat kondisi Syakila ya," pesan Haris.Aku mengangguk senang, senyumku melebar ketika ia melakukan hal itu. Sebab, memang dari tadi aku menunggunya menawarkan diri setelah aku suruh.Setelah mereka pergi, aku pun ditemani papa. Ia duduk di sebelahku sambil mengusap lembut jari jemari ini."Kamu itu lelah, kepikiran sana sini, jadilah mikirin Syakila lagi, padahal sudah tidak ada yang perlu kamu cemaskan, dia sudah ditangani oleh dokter, Papa rasa dokter juga p

  • Foto Prewedding di Laci Kerja Suamiku    Bab 49

    Aku merasa ini semua tidak adil jika harus kehilangan indera yang sangat penting, yaitu penglihatan. Seandainya mata ini tak bisa melihat dunia, aku pasti merasa orang yang paling buruk sedunia. Sebab, musibah yang ku terima tidak ada ujungnya.Dokter mulai melepaskan perban yang mengelilingi kepala dan mata ini. Kemudian, setelah lilitan terakhir ia menyuruhku untuk membuka mata.Perlahan aku buka mata yang biasa memandang indahnya dunia. Namun, setelah membukanya, aku malah menelan pil pahit. Semua berbayang, bahkan samar-samar. Untuk mengenali wajah papa saja aku tak mampu."Pah, mataku kenapa begini?" Aku bertanya sambil berteriak. Sebab, aku takut salah apakah yang berdiri di sebelahku persis itu papa atau dokter?"Nak, kamu yang sabar. Kamu pasti kuat, dokter bilang masih ada harapan dengan donor mata," ungkap papa.Papa memelukku, kemudian mengelus rambut ini."Kenapa aku tidak pernah merasakan bahagia, Pah? Baru sembuh dan bisa bicara, kini harus menerima kenyataan bahwa matak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status