MasukAku menatap Dira dengan rasa penasaran yang tak bisa kutahan. Wanita yang pernah mengisi banyak ruang dalam pikiranku ini kini berdiri di depanku, mengenakan masker hitam dan kacamata hitam, serta selendang merah yang menutupi kepalanya. Aku tahu seharusnya aku merasa senang bisa bertemu dengannya, tetapi ada sesuatu yang membuat suasana ini terasa sangat janggal.
"Dira?" suaraku keluar pelan, hampir seperti sebuah bisikan. Dira menurunkan kacamata hitamnya sedikit, tetapi tak cukup untuk memperlihatkan wajahnya sepenuhnya. Matanya yang indah itu menatapku dengan tajam, namun ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang dingin, yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. "Kamu kenapa, Dira?" Aku merasa tak nyaman dengan jarak di antara kami yang semakin besar. Kenapa dia tiba-tiba seperti ini? Kenapa dia menutup wajahnya dengan masker dan kacamata? Seolah-olah dia takut aku melihat wajahnya. Dira hanya terdiam, tak memberi jawaban. Aku merasakan suasana yang semakin tegang di antara kami. Perasaanku bergejolak, aku ingin tahu lebih banyak, ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan dia. Tapi, setiap kali aku mencoba mendekat, entah kenapa Dira selalu menjauhkan dirinya. "Panji," katanya, suaranya pelan, tetapi penuh dengan ketegangan. "Aku ... aku tidak siap untuk kamu melihatku." Suaranya terdengar tak asing di telingaku. Aku seperti pernah mendengar suaranya itu, tapi entah dimana. Aku terkejut mendengar ucapannya barusan. "Apa maksudmu, Dira? Kenapa kamu nggak siap?" tanyaku, semakin bingung. "Kenapa kamu pakai masker dan kacamata hitam? Apa ada yang salah dengan wajahmu?" Dira menghela napas panjang, seolah berusaha mengatur kata-kata sebelum melanjutkan. "Kamu nggak akan mengerti, Panji," jawabnya, nada suaranya penuh keputusasaan. Aku merasa ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini. Ternyata Dira begitu tertutup. Tapi kenapa dia merasa takut jika aku melihat wajahnya? Namun, sebelum aku sempat bertanya lebih lanjut, Dira melangkah maju dan, dengan gerakan yang cepat, memelukku. Aku terkejut. Pelukan itu terasa singkat, tetapi intens. Ada kehangatan yang begitu nyata di antara kami, seperti ada sesuatu yang ingin dia sampaikan, namun ia terlalu takut untuk mengatakannya. Aku terdiam dan membalas pelukannya, tetapi aku tahu ini bukan pelukan biasa. Aku bahkan merasa tak nyaman dengan pelukan ini. "Panji ...." suara Dira terdengar begitu lirih, seolah dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi akhirnya hanya bisa terdiam. "Ya, Dira." "Aku butuh uang. Kamu bisa pakai jasaku sekarang kalau kamu mau," ucapnya lirih, dan masih tetap memelukku. Setelah beberapa detik yang terasa seperti seabad, aku segera melepaskan pelukannya dari tubuhku dengan cepat. "Dira, A ... Aku ...." Aku berkata dengan gugup. Entah kenapa aku masih tak bisa untuk menggunakan jasanya sekarang. "Aku belum bisa menggunakan jasamu sekarang. Aku juga sedang kesulitan karena aku baru saja di PHK," ujarku dengan gugup. Bisa-bisanya aku mengatakan problema hidupku pada orang lain, dan malah merahasiakannya dari istriku. "Baiklah, kalau begitu aku harus pergi," katanya dengan suara yang sedikit gemetar. "Aku nggak bisa di sini lebih lama lagi." "Dira, tapi ...." Aku hanya bisa terpaku, dan tak tahu harus berkata apa. Aku masih belum paham apa yang sebenarnya terjadi, tetapi yang pasti, Dira tampak semakin menjauh dari diriku. Sesuatu yang aku tak mengerti. Sesuatu yang membuat hatiku terasa berat. Dia segera berbalik meninggalkanku dan berjalan menuju pintu dengan langkah cepat. Tanpa kata-kata lain, dia keluar dari kamar hotel itu begitu saja, meninggalkanku seorang diri di sana. Aku hanya bisa menatapnya pergi, perasaanku campur aduk. Aku ingin menghentikannya dan bertanya lebih banyak, tapi mulutku terasa terkunci. Apa yang sebenarnya terjadi pada Dira? Kenapa dia begitu terburu-buru pergi tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut? Pintu kamar hotel tertutup dengan suara pelan. Aku berdiri di sana, masih terkejut dengan semua yang baru saja terjadi. Waktu seakan berhenti, dan aku hanya bisa mencerna apa yang baru saja aku alami. Pertemuan pertama ini sangat singkat, tapi rasanya sangat membekas di hatiku. Kupandangi pintu yang sudah tertutup rapat itu. Pikiranku masih saja terfokus pada Dira seorang. "Dira! Dira! Kenapa kamu membuat aku jadi seperti ini sih?" ujarku frustasi, seraya mengacak-acak rambut dengan kasar. Ketika aku masih memikirkan tentang Dira, tak sengaja aku menoleh ke meja. Dan di sana, aku melihat sehelai selendang merah milik Dira yang tak sengaja tertinggal. Selendang itu tergeletak begitu saja di atas meja, seperti sebuah petunjuk yang tak bisa kutangkap. Tanpa pikir panjang, aku mengambil selendang itu dan menyentuhnya perlahan. Bau khas Dira masih menempel di kainnya, namun ada sesuatu yang aneh. Rasanya seperti ada banyak misteri yang belum terpecahkan. "Kenapa dia meninggalkan selendangnya di sini? Apa ini memang ketinggalan?" Aku memasukkan selendang itu ke dalam tas dan menghela napas panjang, lalu memutuskan untuk kembali pulang. Mungkin aku bisa berpikir lebih jernih jika aku berada di rumah. --- Setibanya di rumah, aku memasuki ruang tamu dengan langkah pelan, hati masih dipenuhi kebingungan yang tak terucapkan. Shira menyambutku dengan senyuman cerah, seakan tak ada yang berubah. "Tumben Mas Panji sudah pulang di siang hari begini?” tanyanya, suara penuh keingintahuan. Aku terpaksa tersenyum canggung. “Di kantor sedang gak ada kerjaan, jadi aku pulang lebih awal,” jawabku, berharap suaraku terdengar meyakinkan. Shira hanya mengangguk, seolah tidak ada yang aneh, lalu segera pergi ke dapur untuk menyiapkan makan siang. Aku merasa lega sejenak, tapi tetap ada sesuatu yang mengganggu. Segera aku menuju kamar untuk mengganti pakaian, berusaha mengusir kecemasan yang mulai menggulung di dada. Namun, saat membuka lemari pakaian, mataku terhenti pada satu benda yang tidak bisa kupercaya. Bruk! Benda itu terjatuh ke lantai dan aku segera memungutnya. Sebuah kain berwarna merah kini ada di dalam genggamanku, dan kugenggam kuat-kuat. Kini di tanganku, terdapat sebuah selendang merah yang sama persis dengan yang ditinggalkan Dira di hotel. Aku terdiam, tubuhku terasa kaku seketika. "Selendang ini kan ...?"Entah itu mimpi atau bukan, aku tak bisa membedakannya. Tapi yang aku tahu, tubuhku terasa sangat berat saat aku terbangun. Mataku yang terpejam membuka secara perlahan, dan saat itu juga aku langsung disambut oleh wajah cantik yang sangat familiar.Dira.Dia sedang berada di atas tubuhku dan mengguncang tempat tidurku. Rambut panjangnya tergerai indah, dan matanya yang kecoklatan itu tampak menatapku dengan intens."Dira, ini ... Ini benar kamu?" tanyaku dengan suara terbata-bata.Mataku tak berkedip menatap sosok wanita cantik yang kini sedang berada di atas tubuhku itu."Panji." Suaranya lembut, memanggil namaku seperti sebuah bisikan yang menenangkan, namun membuat jantungku berdebar tak karuan.Dia sangat cantik, jauh lebih cantik dibandingkan foto-fotonya di aplikasi hijau yang sering aku kunjungi hanya untuk berkirim pesan padanya. Wangi tubuhnya menyusup ke indera penciumanku, membuatku merasa seolah-olah aku hanyut dalam lautan aroma yang begitu menenangkan."Dira, apa yang k
Begitu pintu hotel terbuka dengan suara berderit, aku menoleh dengan cepat, berharap jika itu adalah Dira yang akhirnya datang. Namun, yang kulihat justru membuatku semakin terkejut bukan main.Sosok yang datang ke kamar itu bukanlah Dira, dan malah Bowo, sahabatku. Sama halnya seperti aku, dia juga tampak bingung saat melihat keberadaanku di sini. Ia berdiri di sana dengan ekspresi yang tak kalah terkejut. Aku pun buru-buru berdiri dengan raut wajah kebingungan."Loh, Bowo! Kenapa lo bisa ada di sini?" tanyaku kaget, suaraku tak bisa menyembunyikan rasa heran.Bowo tampak terkejut, matanya membelalak, seolah tidak percaya dengan apa yang dia lihat."Gue ... gue juga yang seharusnya nanya! Kenapa lo ada di sini, Panji?" tanyanya terbata-bata.Aku merasa ada yang aneh. Aku berjalan mendekatinya dengan mata memicing."Gue kesini karena mau ketemu sama Dira, di kamar ini. Jadi lebih baik Lo keluar aja sekarang, Bowo. Sepertinya Lo salah masuk masuk." Aku berkata dengan baik-baik padanya
Aku masih terdiam, mataku terkunci pada foto model cantik dan seksi yang menghiasi sampul majalah dewasa di layar ponsel Bowo. Foto itu begitu mencolok dengan pose menggoda dan gaya yang luar biasa. Namun, semakin lama aku menatapnya, semakin aku yakin bahwa ini adalah foto Shira, istriku."Itu ... Itu kan foto Shira?" tanyaku, suaraku sedikit bergetar, tidak bisa menyembunyikan kegelisahanku.Bowo yang tadinya tertawa terhenti mendengar ucapanku. Dia menatapku dengan mata terbuka lebar, tampak kaget. Lalu dia melirik layar ponselnya dan mengernyitkan dahi."Lo serius? Gue kira ini foto Dira," jawabnya dengan nada yang agak menyesal, kemudian tertawa canggung.Aku makin tercengang. Foto itu jelas wajah Shira, dan aku tidak bisa salah. Tapi kenapa ada gaya dan aura yang berbeda? Kulitnya yang glowing dan pose menggoda itu lebih mirip Dira. Ah! Aku semakin bingung.Bagaimana bisa Dira dan Shira begitu mirip? Perasaan campur aduk muncul di dadaku. Aku harus tahu lebih banyak."Lo yakin i
Aku tercengang di ruang tamu, dan menatap pada Bowo yang masih tiduran di sofa. Aku berusaha mencerna apa yang baru saja dikatakan Bowo."Apa? Dira? Dia datang kesini dan melayani Lo?" Pertanyaan itu terus berputar di kepalaku.Aku merasa seolah ada batu besar yang menghempaskan dadaku. Perasaan cemburu dan marah datang begitu cepat, tak terkendali. Bagaimana bisa, Dira-wanita yang selama ini kurindukan-melakukan hal itu dengan Bowo?Bowo, yang tampaknya tak melihat ekspresi kesalku, malah tersenyum lebar dan berdiri dari sofa. Dengan santai dia mengenakan kaos hitamnya, lalu menepuk bahuku pelan."Lo nggak usah panik gitu, Panji. Dira itu bukan milik Lo! Dia itu emang jualan di aplikasi Michat itu. Jadi dia milik siapa aja yang mampu beli dia. Lo nggak perlu merasa tersakiti," katanya sambil terkekeh, seolah ini cuma masalah sepele.Aku hanya bisa diam. Pikiranku bergejolak, rasa cemburu membakar hatiku, tapi di sisi lain, aku tahu apa yang dikatakannya ada benarnya. Dira bukan siapa
Dari kejauhan, aku masih mengamati Shira yang tampak mengenakan selendang merah di kepalanya. Angin sore menyapu rambutnya, memberi kesan anggun saat ia melangkah di jalan rayat itu dan kembali naik ojol. Aku merasa jantungku berdetak lebih cepat, ada rasa penasaran yang mendalam menggigit setiap detik. Dengan hati-hati, aku mengikuti langkahnya. Tak ingin dia tahu, aku memastikan bahwa jarak kami tidak terlalu dekat.Shira naik motor ojek online itu dengan tenang, hingga akhirnya ia berhenti di sebuah minimarket yang tampaknya tidak terlalu ramai. Ia turun dan masuk ke dalam minimarket, dan aku memutuskan untuk mengikutinya.Begitu aku masuk ke dalam minimarket, Shira tampak sedang memilih beberapa bahan makanan di rak. Aku merasa sedikit canggung dan segera menyembunyikan diri di balik deretan barang-barang yang dijual, memastikan bahwa dia tidak melihatku.Setelah beberapa menit, Shira selesai berbelanja dan menuju kasir. Aku melihatnya membayar dengan uang tunai, tidak ada yang me
"Selendang ini ... Kenapa bisa ada di sini?Aku berdiri terdiam di depan lemari pakaian, menggenggam selendang merah yang baru saja jatuh dari tumpukan baju. Jantungku berdebar kencang.Ini … ini persis selendang milik Dira. Selendang yang tadi aku lihat di kamar hotelnya, yang sempat tertinggal saat dia keluar meninggalkan aku. Kenapa sekarang selendang itu bisa ada di sini, di rumahku?Aku berusaha menenangkan diri. Mungkin hanya kebetulan, pikirku. Tapi, semakin lama aku memandangi selendang itu, semakin banyak pertanyaan yang muncul di kepalaku."Apakah Dira dan Shira punya hubungan? Apakah mereka saling kenal?"Lagipula foto profil Dira di aplikasi Michat itu ... sangat mirip dengan Shira. Mungkin terlalu mirip. Meskipun aku belum melihat wajah Dira dengan jelas, tapi aku yakin jika mereka berdua memang sangat mirip.Hanya saja, Dira jauh lebih cantik, glowing, seksi, dan berkelas. Berbeda dengan Shira yang kumal, dekil, dan hanya mengenakan daster usangnya sebagai fashion sehari







