HARI yang tidak diinginkan oleh Farah dan Hongjoong akhirnya tiba juga. Semua karyawan yang mengikuti program tersebut sudah berkumpul di depan gedung kantor mereka, menunggu bus yang akan membawa mereka ke dermaga feri. Di antara semua karyawan itu, hanya Hongjoong yang belum terlihat.
Farah mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencari sosok pria yang sering membuatnya kesal. Namun, bayang dan keberadaan Hongjoong tidak terlihat di mana-mana. Sebuah senyum puas muncul di wajah Farah. Dia berasumsi Hongjoong tidak akan ikut program ini, dan hatinya langsung melonjak kegirangan. Begitu bus tiba, dengan penuh semangat Farah memasukkan tasnya ke bagasi bus. Bahkan, dia membantu Shina menyimpan tasnya. "Semangat banget, ya? Ada apa nih, kok happy banget?" tanya Shina ketika Farah selesai memasukkan tas mereka. "Aku senang banget karena nggak perlu lihat muka orang yang paling aku nggak suka selama program ini berlangsung," jawab Farah, tersenyum lebar. Shina tersenyum penuh arti, sudah sangat paham maksud ucapan Farah. Namun, senyum Shina semakin melebar ketika sosok yang dimaksud Farah tiba-tiba muncul di belakang gadis itu. Hongjoong berdiri di dekat pintu bus, bersandar santai sambil melipat tangan. "Wah, seru banget kau, ya? Kau kira aku bakal kalah dari kau?" ucap Hongjoong dengan nada mengejek. Mata Farah langsung membelalak begitu mendengar suara yang dia pikir tidak akan muncul hari itu. "Huh!" Farah memutar tubuh dengan ekspresi sebal. Dia mendengus kesal, terutama saat Hongjoong tersenyum sinis sebelum berjalan melewatinya untuk meletakkan ranselnya di bagasi. Shina cepat-cepat naik ke dalam bus, meninggalkan dua orang itu yang sudah seperti kucing dan anjing setiap kali bertemu. "Aku pikir kau tadi sudah menangis nggak keruan sebelum sampai ke sini," ejek Farah, ingin membalas dengan nada sinis. Hongjoong hanya melirik sekilas. "Aku bukan seperti kau, pendendam." Mata Farah semakin membesar mendengar sindiran itu. "Eh, kau!" Baru saja dia mengacungkan jari telunjuk, tapi Hongjoong menepisnya pelan dan langsung naik ke bus tanpa menggubrisnya lebih lanjut. Farah mendengus kesal, lalu mengikuti Hongjoong ke dalam bus. Dengan sengaja, dia menyenggol bahu pria itu saat menaiki tangga bus. Sesampainya di dalam, Farah segera memilih tempat duduk kosong dan mengalihkan pandangannya ke jendela, mencoba mengabaikan orang di sekitarnya. Tapi diam-diam, dia tahu ucapan Hongjoong tadi pasti menarik perhatian rekan-rekannya, membuatnya semakin kesal. Namun, baru saja Farah merasa tenang, tiba-tiba Hongjoong duduk di kursi di sebelahnya. "Eh! Kenapa kau duduk di sini?" Farah hampir berteriak. Dia benar-benar tidak menyangka pria itu memilih duduk di sebelahnya. "Ini satu-satunya tempat yang kosong," jawab Hongjoong santai tanpa melihat ke arah Farah. "Tidak, masih banyak tempat lain! Pergi sana!" Farah semakin gusar, tidak terima harus duduk berdampingan dengan Hongjoong sepanjang perjalanan. "Kalau tidak percaya, lihat sendiri!" balas Hongjoong, nadanya sedikit naik karena mulai terganggu dengan sikap Farah. Farah pun berdiri, melihat sekeliling. Tapi dia terpaksa mengakui bahwa memang tidak ada tempat kosong lain. Dia menoleh ke arah Shina dengan tatapan meminta tolong. "Maaf, Farah. Aku dan Gain ada pembahasan penting," jawab Shina dengan ekspresi menyesal. Farah akhirnya kembali duduk, membalikkan badan menghadap jendela, mencoba menghindari kontak lebih jauh dengan Hongjoong. Dia benar-benar tidak habis pikir kenapa nasibnya begitu sial hari itu. Hongjoong di sisinya benar-benar membuat suasana hati Farah semakin kacau. "Kau nggak usah khawatir. Aku juga nggak ada selera sama perempuan kayak kamu." Hongjoong membuka topinya, lalu merapikan rambut beberapa kali sebelum memakainya lagi dengan santai. "Kau pikir aku apa?" Farah mengomel sendiri, matanya melirik ke samping dengan hati penuh rasa kesal. "Nggak usah ngomel pakai bahasa ibumu deh. Kalau bukan karena tempat duduknya udah penuh, aku juga ogah duduk di sebelah kamu," balas Hongjoong dengan nada sinis seperti biasanya. Farah langsung menutup telinganya dengan kedua tangan, malas mendengar ocehan menyebalkan dari mulut pria itu. Melihat reaksi Farah, Hongjoong malah tersenyum mengejek. Tingkah gadis itu benar-benar membuatnya geli. Dia tahu betul Farah sangat membencinya. Tapi jujur saja, dia juga nggak punya niat untuk berbaik-baik dengan gadis itu. Kalau bukan karena Taejoong yang memaksanya bangun pagi dan ikut rombongan naik bus, Hongjoong pasti lebih memilih naik mobil sendiri ke bandara. Namun, Taejoong, kakaknya, punya alasan lain. Dia nggak mau ada kesan diskriminasi meskipun Hongjoong adalah calon manajer besar di perusahaan mereka. Arahan tegas dari Taejoong itulah yang membuat Hongjoong terpaksa bersabar menghadapi drama yang terus terjadi sepanjang perjalanan. Dalam hatinya, Hongjoong juga bertanya-tanya, kenapa setiap kali dia bersama Farah, perasaan kesal dan marah selalu muncul tanpa alasan yang jelas. SENGAJA pihak perusahaan memesan tiket feri untuk semua peserta yang mengikuti program itu. Alasan Taejoong, mereka ingin menanamkan semangat kesabaran yang tinggi pada setiap peserta sebelum mencapai tujuan. Namun, sejak awal pertemuan Farah dan Hongjoong saja sudah menimbulkan tekanan besar bagi rekan-rekan kerja mereka. Kini, kedua insan itu tengah berebut turun dari tangga bus. Supir yang melihat tingkah mereka hampir terkejut. Sementara itu, Shina yang berada di belakang Hongjoong hanya tersenyum kepada si supir. Sesampainya di tempat bagasi, Farah sengaja menyenggol bahu pria itu dan segera meraih tasnya lebih dulu. Hongjoong menatap dengan mata menyipit. Kecil besar, kecil besar saja matanya memandangi Farah yang masih enggan mengalah dalam perlombaan siapa yang akan lebih dulu tiba di dermaga dan naik ke feri. "Kalaupun kamu terburu-buru, jalannya lihat kiri kanan juga. Kalau jatuh seperti nangka busuk nanti, baru tahu rasa!" ucap Hongjoong sengaja dengan nada menyindir sambil mempercepat langkahnya untuk masuk ke feri lebih dulu. Langkah Farah mendadak terhenti. Ia menatap langit yang cerah, matahari tepat di atas kepala. Panas teriknya mentari tak sebanding dengan panasnya emosi yang berkobar dalam hati Farah. "Dasar nggak guna!" gumam Farah, bibirnya mengerucut sebelum berjalan cepat menuju feri. Dalam langkahnya, ia sempat melihat pria itu tersenyum sinis padanya. Setelah semua peserta dan penumpang lain naik ke feri, mereka pun mulai menyeberangi lautan menuju dermaga Pulau Jeju. Di sana, kata manajer, sudah ada bus yang menunggu untuk membawa mereka ke tempat penginapan. Untuk pertama kalinya dalam hidup Farah, semua biaya liburannya kali ini ditanggung dan disponsori sepenuhnya oleh perusahaan. Tak heran, Doojoon, kepala bagian pemasaran, merekomendasikan namanya untuk ikut serta dalam program ini. Akhirnya, Farah dapat menikmati sedikit ketenangan dari rutinitas menghadapi tumpukan pekerjaan, presentasi, dan klien yang terus datang ke kantor untuk mempromosikan produk baru. Meski rasa syukur terlintas di hati, Farah tetap merasa jengkel. Di tengah asyiknya ia menikmati udara segar yang menerpa wajah, tiba-tiba terdengar suara Hongjoong, pria yang paling tidak ia sukai. Farah merasa terganggu oleh suara itu. Meski mereka tidak berdiri berdekatan, suara Hongjoong yang berbicara dengan beberapa penumpang lain begitu mengganggu telinganya. Pria itu tampak ramah dan maskulin, terlihat dari caranya berbicara yang lancar, seperti yang selalu ia lakukan sejak zaman kuliah dulu. Karena kepribadiannya yang seperti itu, Hongjoong selalu mendapat dukungan penuh dari anggota klub musik untuk menjadi ketua. Bahkan, ia membiarkan para penggemarnya yang mayoritas wanita menyabotase kampanye Farah yang saat itu juga mencalonkan diri sebagai ketua. Jika Farah mengingat masa-masa itu, hatinya benar-benar terasa sakit. Bibirnya mengerucut, matanya terpejam. Ia berusaha menikmati suasana damai sambil meredakan perasaan yang entah senang atau sedih. Tanpa Farah sadari, sejak tadi Hongjoong tidak melepaskan pandangan darinya. Meski sedang berbicara dan tertawa bersama penumpang lain karena obrolan ringan yang diselingi candaan, perhatian Hongjoong tetap tertuju pada Farah. Melihat sisi tenang Farah yang jarang ia saksikan, menimbulkan perasaan aneh di hati Hongjoong. Gadis itu tak pernah memperlihatkan sisi feminin atau ketenangan saat mereka bertatap muka. Wajah Farah selalu berkerut, cemberut, dan menjengkelkan. Namun kali ini berbeda. Saat gadis itu sedang sendiri, ada aura kesedihan yang terpancar sesuatu yang sulit bagi Hongjoong untuk pahami.Langkah kaki menuruni sebuah taksi.Suasana di Itaewon terasa sedikit berbeda bagi Farah hari ini karena ia datang ke sini dengan satu tujuan saja. Sudah lama sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di sebuah bangunan berwarna putih dengan tangga di depannya seperti yang ada di hadapannya sekarang.Tampak banyak orang keluar-masuk dari bangunan itu, ada juga yang sedang duduk-duduk di bagian anak tangga. Jantung Farah berdebar saat melihat situasi yang terasa begitu asing baginya kini.Ia menarik napas sedalam mungkin sebelum melangkah mendekati tangga berwarna putih itu. Kebanyakan orang di sekitar tidak memperdulikan kehadirannya yang sedang menaiki anak tangga satu per satu. Tapi entah kenapa, ia merasa jantungnya memompa darah begitu cepat hingga rasa gugup mulai menguasai dirinya.Ia panik! Tapi ia mencoba menahan perasaan itu. Meski tangga itu tidak setinggi tangga di Batu Caves, Kuala Lumpur, yang harus dipanjat hingga ke puncak, tapi Farah merasa langkahnya sangat lambat dan
Hari terasa begitu lambat berlalu, meskipun sekilas melihat jam di tangan sudah menunjukkan pukul enam petang.Enam petang di Korea Selatan tidak sama dengan waktu di Malaysia. Jika di tanah airnya, saat itu masih terlihat cahaya jingga di luar sana, tetapi di Korea, warna jingga sudah terganti dengan gelapnya senja.Farah merasa tidak nyaman ketika diperhatikan oleh Nyonya Hongju. Sejak tadi, wanita bergaya kebaratan itu tidak mengucapkan sepatah kata pun selama mereka berada di meja makan.Hongjoong juga tidak betah dengan situasi tersebut. Selera makannya sudah hilang sejak awal.“Hmm... kenapa kamu memilih perempuan ini?” tiba-tiba Nyonya Hongju bertanya sambil mengangkat gelas berisi minuman anggur.Farah menoleh ke arah Hongjoong di sampingnya. Dalam hatinya turut timbul rasa ingin tahu — kenapa lelaki itu memilih dirinya untuk menjadi pasangan palsu di depan wanita itu?Misteri dan pertanyaan itu masih belum terjawab dalam
Sebuah rumah banglo yang memadukan ukiran klasik dan sentuhan modern menyambut pandangan dari kejauhan. Hanya rumah itulah yang berhasil menarik perhatian Farah ketika mobil perlahan-lahan mendekati gerbang yang masih tertutup rapat.Jantung Farah berdetak semakin kencang saat mobil yang dipandu Hongjoong berhenti di depan pagar, menunggu penjaga membukakan pintu untuk mereka.Tangannya spontan meraih sabuk pengaman sambil menengok-nengok ke luar jendela. Keresahan mulai menyesakkan dada. Bagaimana rupa dan sikap Nyonya Hongju? Farah benar-benar tidak tahu. Selama bekerja di Radiance Marketing, belum pernah sekalipun dia bertemu atau bahkan berselisih jalan dengan wanita itu.Yang sering dia lihat hanyalah Taejoong dan Hongjoong. Tuan Besar Kim pun hanya beberapa kali muncul, itu pun saat pemilik perusahaan itu datang sekadar ingin menikmati suasana kantor yang katanya sangat ia rindukan. Itulah satu-satunya informasi yang dimiliki Farah tentang keluarga H
Akhir pekan yang tidak dinantikan akhirnya tiba juga.Kalau bisa, Farah ingin hari ini cepat-cepat berlalu agar dia tak perlu menghadapi seorang pria yang sejak tadi malam terus terbayang di pikirannya.Untuk pertama kalinya dalam "pertempuran" mereka, pria itu bersedia mengalah dan membiarkan Farah menang dalam persaingan mereka untuk hari-hari mendatang—dengan syarat dia harus setuju pada kontrak yang sudah dibacanya berulang kali!Hatinya bimbang dengan setiap syarat yang tertulis di atas kertas putih itu. Terlalu banyak hal yang harus diakuinya—Hongjoong terlalu teliti dalam setiap permintaannya.Sebagai seorang gadis yang tinggal di negara asing, dia sebenarnya tidak terlalu terdesak untuk menikah, meskipun kesepian sering kali terasa dalam menjalani hidup di negeri orang.Sejak menginjakkan kaki di Korea Selatan, dia sudah terbiasa dengan berbagai macam perangai manusia. Ada yang menusuk dari belakang, ada yang bermusuhan dengannya. Ada pula yang suka membully, bahkan ada saja p
"FARAH..." Shina menyentuh-nyentuh tangan Farah dengan lembut. Dia tahu, seharusnya dia tidak ikut campur dalam urusan gadis itu. Tapi, hatinya benar-benar dipenuhi rasa ingin tahu tentang apa yang sedang terjadi.Kontrak pernikahan yang dia lihat tadi pagi. Benarkah Farah dan Hongjoong akan menikah? Bukankah mereka musuhan? Muslihat dan rencana apa yang sedang mereka susun bersama?Farah yang sedang menunduk menatap meja makan di kafetaria perusahaan mereka perlahan-lahan mengangkat kepala.“Kamu baik-baik saja?” Lain yang ingin dia tanyakan, lain pula yang keluar dari mulutnya saat melihat wajah Farah yang tampak linglung.“Entahlah, Shina… Kepalaku kacau. Nggak bisa fokus kerja. Semua gara-gara laki-laki nggak berguna itu.” Ucapan Farah terdengar pelan di akhir kalimat, dan Shina langsung paham siapa yang dimaksud oleh gadis itu.“Aku masih nggak ngerti…” Shina mencoba membuka pembicaraan sambil menyeruput minuman jeruk segarnya.“Kalau kamu nggak ngerti, aku lebih nggak ngerti!” N
DUA hari telah berlalu, kesehatan Farah sudah pulih dan hari ini dia sangat bersemangat untuk kembali bekerja seperti biasa. Setelah selesai membersihkan diri dengan air hangat, terlintas di hatinya untuk merias sedikit wajahnya dengan lipstik yang sudah lama dibeli namun jarang sekali dipakai di bibirnya.Maklumlah, dia memang tidak suka merias wajah terlalu tebal. Cukup dengan cushion dan lip balm saja. Padahal, di negara metropolitan ini terkenal dengan berbagai produk skincare dan kecantikan wajah. Farah berbeda, dia tidak tertarik dengan semua itu. Bahkan, jika wanita lain suka berbelanja dan shopping sepuasnya, dia lebih senang menonton film atau hanya diam di rumah. Gaji yang diperoleh lebih banyak disimpan dan digunakan hanya saat diperlukan.Padahal sebenarnya dia bisa saja menggunakan uang yang dimilikinya untuk berbelanja karena dia tidak punya keluarga, tidak punya saudara kandung. Dia hanya perlu menanggung dirinya sendiri saja. Namun, sikap hemat itu sudah tertanam dalam