Setelah drama panjang dan negosiasi yang melelahkan, akhirnya Zayn menyerah. Dengan langkah berat, dia berjalan menuju kamarnya, diikuti oleh Livia yang masih memeluk dua boneka kelinci kesayangannya.Begitu mereka masuk ke dalam kamar, Zayn melepas jam tangan dan meletakkannya di atas meja. Livia, di sisi lain, langsung melompat ke tempat tidur king-size dengan ekspresi puas."Kasurmu empuk sekali!" serunya sambil berguling-guling. "Aku seperti tidur di awan!"Zayn hanya menatapnya datar sebelum beralih ke lemari, menarik keluar kaus hitamnya dan melepaskan kemeja yang dikenakannya. Livia yang sedang asyik berguling tiba-tiba berhenti. Matanya membesar saat melihat punggung Zayn yang penuh dengan garis otot yang sempurna.Namun, yang paling menarik perhatiannya adalah tato dan beberapa bekas luka di tubuh pria itu.Dengan rasa ingin tahu yang besar, Livia bangkit dari tempat tidur dan berjalan pelan mendekat. "Zayn…?"Zayn yang sedang bersiap mengenakan kausnya menoleh sekilas. "Apa?
Pagi datang dengan lambat. Cahaya matahari menyelinap melalui celah tirai kamar yang masih tertutup rapat, menerangi ruangan dengan sinar keemasan. Namun, tidak ada kehangatan yang biasa terasa. Livia terbangun dengan mata yang masih berat. Dia menggeliat pelan, mencari kenyamanan di kasur empuk yang terasa begitu asing baginya. Butuh beberapa detik baginya untuk mengingat di mana dia berada dan siapa yang bersamanya semalam. Tapi yang dia temukan hanyalah tempat tidur kosong di sebelahnya. Tidak ada Zayn. Biasanya, setiap kali dia bangun, pria itu masih terlelap atau setidaknya ada di ruangan ini, sibuk dengan sesuatu. Tapi kali ini… kehadirannya seolah menghilang begitu saja. Livia mengerjapkan mata, duduk perlahan sambil memeluk boneka kelincinya, Caca. Suasana terasa lebih dingin dari biasanya. Perasaan aneh mulai mengusik hatinya. Kemarin malam… semuanya berakhir buruk. Zayn marah padanya. Sangat marah. Dia menghembuskan napas pelan, mencoba mengusir kecemasan yang mulai
Setelah pintu utama tertutup dengan cukup keras, menandakan kepergian Zayn, Livia masih berdiri di ruang tengah dengan tangan terlipat di dada. Bibirnya mengerucut, menatap pintu yang kini tak lagi terbuka untuknya mengejar pria itu dan mengomel lebih panjang. "Apa-apaan dia! Pergi begitu saja tanpa minta maaf!" gerutunya kesal.Dengan langkah gontai, Livia menyeret kakinya menuju sofa dan menjatuhkan tubuhnya di sana. Dia mendekap Caca, boneka kelinci kesayangannya, lalu menghela napas panjang. "Seharusnya aku marah lebih lama tadi," gumamnya, "atau setidaknya aku mengancamnya dengan sesuatu!" Tapi ancaman macam apa yang bisa menakuti seorang pria seperti Zayn Vanderbilt? Livia berpikir keras. Pria itu tidak peduli jika dia marah. Dia tidak takut dengan omelan atau rengekannya. Bahkan, Zayn sepertinya menikmati melihat Livia kesal. Livia mendesah panjang. Dia mengusap wajahnya dan menatap langit-langit. "Apa aku akan terus seperti ini?" Seketika, pikiran itu muncul begitu saja.
Suara deru mobil sport terdengar dari luar rumah, menandakan bahwa Zayn akhirnya pulang setelah seharian bekerja. Livia yang sejak tadi menunggu di ruang makan langsung bersemangat. Matanya berbinar, tangannya mengepal di depan dada. "Ini saatnya!" bisiknya penuh antusias. Begitu pintu utama terbuka, Zayn melangkah masuk dengan ekspresi dingin khasnya. Setelan jas hitamnya masih rapi, tapi wajahnya menunjukkan kelelahan. Dia melepaskan jasnya dan menyerahkannya kepada seorang pelayan sebelum menghela napas pelan. Namun, sebelum dia bisa bergerak lebih jauh… "Zayn!" Livia langsung berlari mendekat dengan senyum cerahnya. Zayn mengangkat alis. "Apa lagi?" "Ayo ke ruang makan dulu!" katanya sambil menarik pergelangan tangan pria itu tanpa memberikan kesempatan untuk menolak. Zayn sempat ingin melepaskan tangannya, tetapi melihat Livia yang tersenyum penuh harapan, dia malah membiarkan dirinya diseret ke ruang makan. Saat mereka tiba, Zayn langsung mengerutkan kening. Di atas me
Livia mengerjap, mencoba mencerna kata-kata Zayn. Layani aku?Oh! Maksudnya pasti seperti membantunya menyiapkan keperluan sehari-hari. Seperti menyiapkan pakaian, kopi di pagi hari, atau bahkan menyiapkan makanan seperti yang dia lakukan tadi!Livia menghapus air matanya dan tersenyum lega. "Ah, aku mengerti sekarang! Maksudmu aku harus melayanimu seperti membantumu mempersiapkan pakaian kerja, menyiapkan sarapan, dan merapikan tempat tidurmu, kan?" Zayn tidak menjawab. Dia hanya menatap Livia dengan ekspresi datar yang sulit dibaca. Livia, yang merasa idenya benar, mengangguk mantap. "Baiklah! Aku akan melakukan semuanya! Aku bisa melayani seperti pelayan profesional, aku akan bangun pagi-pagi, menyiapkan setelan kerja untukmu, bahkan—" Tiba-tiba, dalam satu gerakan cepat, Zayn menarik pergelangan tangan Livia, membuat tubuhnya terhuyung ke dalam pelukan pria itu. "Z-Zayn?" Napas Livia tercekat ketika Zayn menundukkan kepalanya, dan dalam sekejap, bibirnya yang dingin menyapu
Livia menggigit bibir, lalu masuk ke dalam kamar lagi, menggaruk tengkuknya dengan canggung. "Aku… aku benar-benar datang bulan…" Zayn diam. "Aku sudah tahu." "Aku lupa tanggalnya," lanjut Livia, semakin salah tingkah. Zayn hanya menatapnya datar. Livia memainkan ujung kaus tidurnya, lalu menatap Zayn dengan ragu. "Ehm… aku tidak bawa persediaan… d-dan…" Tatapan Zayn langsung berubah tajam. "Kau mau aku belikan?" Livia langsung menggeleng cepat. "T-tidak! Aku bisa minta pada pelayan!" Zayn mendesah pelan, lalu bangkit dari tempat tidur dan meraih rokok yang ada di meja samping ranjangnya. Ia menyalakannya dengan santai, lalu berjalan menuju balkon kamar dengan ekspresi gelap. Livia mengerutkan kening. "K-kau marah?" Zayn tidak menjawab. Ia hanya bersandar pada pagar balkon, menatap langit malam yang gelap dengan mata tajamnya. Livia menggigit bibirnya, merasa sedikit bersalah. "Aku tidak sengaja, sungguh… aku juga tidak mau kejadian ini terjadi malam ini…" "Aku tahu," jawab
Livia masih duduk di tempat tidur dengan pipi menggembung, kesal karena rencananya untuk membujuk Zayn agar mengizinkannya kuliah gagal total. Pria itu sudah menghilang ke dalam kamar mandi, meninggalkannya begitu saja tanpa memberi jawaban yang diinginkan. Livia menghela napas panjang, lalu berguling ke samping sambil memeluk boneka kelinci kesayangannya, Caca. “Apa aku memang terlihat terlalu kekanakan, Ca?” bisiknya pada boneka itu. Seolah-olah bonekanya bisa menjawab, Livia mengangguk sendiri, lalu mendesah. Mungkin memang benar, selama ini dia masih bertingkah seperti anak kecil. Tapi dia ingin berubah. Dia ingin menjadi wanita dewasa yang bisa berdiri sendiri, bukan hanya bergantung pada Zayn. Tiba-tiba, pintu kamar mandi terbuka, dan Zayn keluar dengan handuk melilit pinggangnya. Tubuhnya yang berotot masih sedikit basah, rambutnya acak-acakan, dan aura dinginnya begitu kentara. Livia langsung membalikkan badan dengan pipi yang memanas. “Kau kenapa?” suara Zay
Zayn berdiri tegak di hadapan pria yang selama ini hanya ia kenal sebagai luka dari masa lalunya. William Vanderbilt, pria yang seharusnya ia panggil ayah, kini berdiri di depan pintu rumahnya seolah dunia masih berputar seperti dulu—seolah semua yang pernah terjadi bisa dihapus begitu saja.Tatapan mata William tajam, penuh perhitungan. Senyum tipis yang menghiasi wajahnya terasa seperti racun yang siap menghancurkan segalanya. Zayn menatapnya tanpa ekspresi, tapi dalam dadanya, kebencian bergemuruh tanpa bisa dihentikan.“Sudah lama sekali sejak aku terakhir kali berdiri di rumah ini.” William mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, menyentuh tepi meja seakan sedang menilai segala sesuatu. “Kau benar-benar sudah mengubah banyak hal, Zayn.”Zayn mendengus sinis, kedua tangannya dikatupkan di depan dada. “Jangan berbasa-basi. Apa yang kau inginkan?”William menoleh, menatap Zayn dengan pandangan yang sulit ditebak. “Mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milikku.”Zayn
Di sudut kota tua Milan yang penuh arsitektur klasik, cahaya lampu malam menyinari bangunan kuno yang kini telah disulap menjadi sebuah aula pelelangan mewah. Di sinilah, di antara tamu-tamu berdasi dan gaun gemerlap, dunia bawah tanah bertemu dengan kemewahan permukaan.Zayn Vanderbilt berdiri tegak di antara kerumunan elite. Mengenakan setelan hitam Armani yang membentuk tubuh tegapnya dengan sempurna, tatapannya tajam menelusuri suasana. Di sampingnya, Axel berdiri dengan kedua tangan disilangkan di depan dada, waspada terhadap segala gerak-gerik mencurigakan.“Target kita adalah peti nomor 17,” bisik Axel, suaranya nyaris tak terdengar. “Isinya senjata prototipe yang hanya muncul sekali di pasar gelap dalam dua dekade.”Zayn mengangguk tanpa memalingkan wajah. Ia menyapu ruangan dengan matanya—dan saat itulah, langkah seorang wanita menarik perhatian banyak mata.Wanita itu melangkah anggun, dengan gaun merah menyala membelah ruangan yang dipenuhi dominasi hitam dan emas. Rambut p
Pintu gerbang rumah Vanderbilt terbuka perlahan, menampakkan halaman luas dan bangunan megah bercat putih bersih. Mobil merah mewah itu melaju pelan, seperti pangeran yang baru pulang dari medan perang—tapi isinya justru dua wanita cerewet dan satu bocah super heboh.Begitu mobil berhenti, Finnian langsung membuka pintu belakang.“Yesss! Aku duluan yang sampe!” serunya sambil berlari ke dalam rumah seperti sedang lomba lari estafet.“FINNIAN! Sepatunya lepas! Eh—YA AMPUN, dia bawa boneka kucingnya masuk juga!” Serenity turun dengan rambut sedikit berantakan karena tertiup AC mobil, lalu menoleh ke Livia yang masih tertawa di dalam mobil.“Welcome to my chaotic life, sayang,” ujarnya dramatis.Livia menutup pintu dan berjalan beriringan dengan Serenity.Begitu masuk, suasana rumah yang biasanya hening karena aura misterius Zayn, kini berubah. Suara tawa Finnian menggema, disusul dengan suara Serenity yang berteriak, “Jangan lompat di sofa, Nak! Itu harganya bisa bayar SPP kuliah kamu s
Sore itu, mentari mulai condong ke barat, membentuk bayangan panjang di sepanjang terminal penjemputan. Livia berdiri dengan ransel mungilnya, topi bulat berwarna pastel menutupi sebagian rambutnya yang terurai manis. Dia memandangi layar ponselnya yang, entah sudah berapa kali, dicek untuk melihat apakah ada kabar dari Zayn."Nggak ada juga… dia bener-bener lupa, ya?" gumam Livia sambil mengerucutkan bibir. Meski wajahnya tampak cemberut, ada seulas manis yang tetap membuat siapa pun yang melihatnya ingin menyubit pipinya. Ia berdiri kikuk, sendiri, seperti anak ayam kehilangan induk.Namun tiba-tiba—"BRAAAAK!" suara pintu mobil mewah yang terbuka dari arah jalan mengagetkannya. Mobil berwarna merah menyala, dengan velg hitam elegan dan jendela kaca gelap yang baru saja menepi, benar-benar menarik perhatian banyak pasang mata.Livia melongo. Matanya melebar.“Eh? Itu… Lamborghini?” gumamnya, ragu. Tapi sebelum sempat dia memastikan, jendela di bagian penumpang depan turun perlahan.
Setelah keluar dari kantin dengan perut kenyang dan hati riang, Livia berjalan sambil bersenandung kecil menuju taman kampus. Di sebelahnya, Aisha melangkah santai dengan tangan dimasukkan ke dalam saku jaket. Angin siang yang sejuk menyapu rambut mereka, sementara cahaya matahari menerobos sela dedaunan, menciptakan bayangan teduh di sepanjang jalur setapak.“Dosen nggak masuk, tumben banget ya,” ucap Livia riang, tangannya mengayun ke depan dan ke belakang seperti anak kecil.Aisha hanya mengangguk malas. “Mungkin beliau sakit kepala lihat tugas-tugasmu,” gumamnya pelan.Livia melotot pelan, tapi hanya beberapa detik sebelum ia tertawa. “Kau jahat, tahu nggak?”Ketika mereka tiba di taman, Livia langsung mengenali sosok yang sedang duduk di bangku panjang, tak jauh dari kolam. Mahasiswa itu tengah membuka novel dengan tatapan serius, namun senyumnya langsung muncul ketika melihat Livia datang.“Reyhan!” seru Livia sembari melambai, seperti anak TK yang baru melihat teman TK-nya juga
Langit siang di atas gedung Vanderbilt Corporation tampak mendung, seakan meramalkan badai yang tak hanya akan melanda kota, tetapi juga dunia bisnis kelam yang selama ini Zayn sembunyikan rapat-rapat di balik jas dan dasi mahalnya.Zayn Vanderbilt tengah duduk di ruang kerjanya yang luas dan minimalis. Layar laptop di depannya menampilkan laporan proyek dari salah satu anak perusahaan di luar negeri, namun pikirannya jelas tidak sepenuhnya tertambat pada angka-angka itu. Sejak pagi, rasa gelisah samar mengganggu fokusnya. Perasaan yang tak bisa ia jelaskan, tetapi cukup kuat untuk membuat alisnya terus berkerut.Tiba-tiba, pintu ruangannya terbuka tanpa ketukan. Zayn tak perlu menoleh untuk mengetahui siapa pelakunya. Hanya ada satu orang yang cukup berani dan cukup penting untuk melanggar etika formal seperti itu.Axel Reinhardt. Tangan kanan sekaligus sahabat lamanya, yang lebih banyak menghabiskan waktu di dunia bawah tanah dibanding ruang rapat."Sudah kuduga kau belum meninggalk
Finnian duduk di kursi dengan kaki yang belum menyentuh lantai, sibuk memindahkan telur ke atas pancake dan menyebutnya "roket makanan ke bulan."Livia duduk di sebelahnya, tertawa kecil sambil membantu Finnian mengoleskan madu. Ia terlihat lebih segar pagi ini. Luka di lengannya sudah mulai mengering, dan semangatnya mulai kembali setelah beberapa hari rehat dari kampus.Serenity duduk di seberang Zayn sambil menyeruput kopi, lalu membuka suara, “Jadi, hari ini aku mau nganter Finnian ke sekolah Montessori yang kamu rekomendasikan itu. Semoga anak ini bisa duduk tenang lebih dari dua menit.”Finnian langsung protes, “Aku bisa duduk! Tapi kalau kursinya empuk!”Semua tertawa.Zayn yang sejak tadi diam, akhirnya bicara, “Aku sudah kirim berkasnya ke kepala sekolah. Mereka akan bantu proses pendaftaran hari ini.”Serenity mengangkat dua jempol. “Good. Aku nggak tahu mesti mulai dari mana. Banyak sekolah lihat aku sebelah mata. Ya, you know… single mom dengan sejarah drama.”Livia yang d
Zayn memasuki rumahnya dengan langkah tegap dan ekspresi kaku yang sudah menjadi ciri khasnya. Setelah seharian dikejar rapat dan laporan dari jaringan bawah tanah yang mencurigakan, ia hanya ingin memeriksa kondisi Livia, memastikan luka gadis itu tidak kambuh dan pikirannya tetap aman.Namun baru saja membuka pintu utama, alisnya langsung bertaut saat mendengar…“TEMBAK DINO KUNINGNYA, FINN! TEMBAKKK!!”Suara Livia.“BUNYI SIRINEEE!! DINONYA LEMES!! AAAAKK!”Dan... suara kakaknya?Zayn mendecak pelan dan mempercepat langkahnya. Sampai akhirnya ia berhenti di ambang ruang keluarga.Pemandangan yang ia lihat sukses membuatnya nyaris kehilangan kata.Di tengah ruangan mewah bergaya modern itu, Livia duduk bersila di lantai, memakai bando kelinci, sambil memegang joystick mainan game dinosaurus yang diproyeksikan ke layar besar. Di sebelahnya, Finnian berdiri di atas meja kopi, berteriak heboh sambil menggenggam boneka t-rex yang matanya menyala.Dan di ujung sofa, Serenity—kakaknya yan
Pagi hari itu, matahari bersinar malu-malu dari balik tirai kamar yang setengah terbuka. Udara masih segar, sedikit dingin, dan aroma harum dari diffuser lavender masih melayang di udara. Namun, alih-alih disambut dengan ceria seperti biasa, pagi ini Livia terbangun dengan nyut-nyutan di pergelangan tangannya yang masih dibebat perban.“Ugh… kenapa rasanya kayak habis tinju sama Iron Man…” gumamnya pelan, memeluk guling dengan ekspresi meringis.Sebenarnya, lukanya tidak terlalu parah—cuma sedikit memar dan tergores karena kecelakaan kecil di lab praktek kemarin. Tapi tentu saja, bagi seorang Zayn Vanderbilt, itu sudah sama saja seperti Livia baru saja selamat dari kecelakaan pesawat.Belum sempat Livia bangkit dari tempat tidur, pintu kamarnya terbuka pelan. Zayn masuk, membawa nampan sarapan dengan ekspresi datar—yang artinya dia sedang menahan marah dalam kadar medium. Seperti biasa, gaya CEO-nya tetap terpancar dari rambut sampai ujung kaki, padahal cuma pakai kaus lengan panjang
Keesokan HarinyaLivia kembali menjalani rutinitasnya di kampus. Kali ini dengan dua pengawal tambahan yang dikirim oleh Zayn. Meski awalnya sempat protes, akhirnya ia menyerah karena takut Zayn benar-benar memasang CCTV di tiap sudut kampus.Di kampus, Aisha kembali muncul. Luka di bahunya tertutup perban, dan senyumnya sedikit dipaksakan.“Akudenger cowok kamu ngamuk ya kemarin?” tanya Aisha ketus saat menyusul Livia ke taman belakang kampus tempat mereka biasa duduk saat istirahat.Livia menggigit roti sandwich-nya perlahan, cengengesan. “Hehe... iya, agak serem sih... tapi dia baik kok. Kamu nggak apa-apa kan? Bahumu gimana?”Aisha menyipitkan mata.“Lucu ya kamu... masih bisa nanyain aku padahal udah jelas-jelas aku bikin kamu luka waktu praktik.”Livia langsung menegakkan duduknya. “Itu nggak sengaja kan? Aku tahu kok. Nggak usah merasa bersalah... aku juga sering jatuh sendiri, saking cerobohnya.”Aisha hanya mendecih kecil, kemudian menghela napas.“Kadang aku bingung deh... k