Livia menyesap coklat panasnya dengan penuh kebahagiaan, seolah dunia di sekitarnya tidak lagi penting. Aroma manis yang menguar dari cangkir di tangannya langsung membawa kehangatan ke dalam tubuhnya yang lelah.
Ia menatap Zayn yang masih berdiri dengan ekspresi datar di seberang meja dapur. Pria itu tampak tidak terganggu dengan keberadaannya, meskipun sebenarnya dialah penyebab utama Livia ada di tempat ini sekarang. Merasa cukup puas, Livia menghela napas panjang dan berbalik, siap kembali ke kamar dan mencoba tidur. Namun… "GROOOOK!" Livia membeku. Zayn juga ikut membeku. Suasana yang semula tenang berubah hening total. Livia menunduk perlahan dan menatap perutnya sendiri yang baru saja mengeluarkan suara memalukan itu. Tidak… tidak mungkin! Muka Livia langsung memerah. Ia menggigit bibirnya, berharap bumi bisa membelah diri dan menelannya sekarang juga. Zayn, yang menyaksikan semuanya, menatapnya tanpa ekspresi. Namun, sudut bibir pria itu tampak sedikit terangkat. "Perutmu baru saja memprotes keras," ujar Zayn dengan nada datar. Livia ingin menangis. "T-tidak! Itu hanya… suara ilusi!" katanya panik, mencoba menyangkal kenyataan. Zayn menyilangkan tangan di dada. "Oh, jadi aku baru saja mengalami halusinasi?" Livia mengangguk cepat. "I-iya! Itu hanya imajinasi liar yang kau ciptakan sendiri. Kau terlalu lelah, jadi otakmu mulai bermain-main." Zayn menatapnya lama, lalu menghela napas. "Duduk." Livia berkedip. "Hah?" "Duduk," ulang Zayn, kali ini dengan nada yang lebih tegas. Livia ragu-ragu. "Tapi aku—" "Tidak ada tapi. Aku tidak mau ada manusia kelaparan berkeliaran di rumahku," potong Zayn sambil berjalan ke arah lemari es. Livia ingin protes, tapi perutnya kembali berbunyi. "GRROOK!" Astaga, ini benar-benar penghinaan. Dengan pasrah, ia akhirnya duduk di kursi dapur sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Tak lama kemudian, Zayn menaruh sepiring roti panggang dan telur orak-arik di depannya. Livia mengangkat wajah dan menatap makanan itu dengan mata berbinar. "Untukku?" tanyanya polos. "Tidak, itu untuk hantu di sudut ruangan," jawab Zayn sarkastik. Livia langsung menoleh ke belakang dengan panik. "H-hantu?!" Zayn menatapnya dengan tatapan tidak percaya. Astaga. Gadis ini benar-benar polos atau hanya bodoh? "Sudahlah, makan," ujarnya akhirnya. Tanpa pikir panjang, Livia meraih garpu dan mulai menyantap makanannya dengan lahap. Zayn memperhatikannya dengan ekspresi tak terbaca. Selama ini, ia tidak pernah membiarkan wanita mana pun tinggal di rumahnya, apalagi menyajikan makanan untuk seseorang. Tapi melihat Livia yang begitu bahagia hanya karena sepotong roti dan telur… Entah kenapa, itu terasa aneh. Seolah gadis ini berasal dari dunia yang berbeda darinya dunia yang masih dipenuhi warna dan kepolosan, sementara dunianya sendiri hanya terdiri dari kegelapan dan kekejaman. Livia menelan suapan terakhirnya dan mengusap perutnya dengan puas. "Aku kenyang!" serunya dengan ceria. Zayn mendengus. "Bagus. Sekarang, kembali ke kamarmu dan jangan berkeliaran lagi." Livia mengangguk patuh, lalu berdiri. Tapi sebelum pergi, ia menatap Zayn dengan senyum kecil. "Terima kasih, Zayn," ucapnya pelan. Untuk pertama kalinya, Zayn tidak punya jawaban. Ia hanya menatap punggung gadis itu yang perlahan menghilang di balik lorong. Dan tanpa sadar, sesuatu di dalam dirinya terasa bergeser sedikit. ********** Matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai, membelai wajah Livia yang masih terlelap di ranjang empuk. Matanya yang tertutup sedikit bergerak, sebelum akhirnya perlahan terbuka. Livia menggeliat malas, meregangkan tubuhnya seperti kucing yang baru bangun tidur. Dengan mata setengah tertutup, ia berguling ke samping, menghirup udara pagi dengan damai. "Ahh… rumahku memang nyaman sekali," gumamnya sambil mengubur wajahnya ke bantal. Ia menarik selimut, menggulung dirinya seperti burrito, dan memejamkan mata lagi. Tapi… Tunggu. Ada yang aneh. Livia mengernyit, lalu mencium bantalnya. Aromanya… beda? Biasanya bantalnya wangi bunga melati, tapi yang ini lebih… maskulin? Ia mengendus lebih dalam. Ada aroma mint, kayu cedar, dan sesuatu yang tajam—sesuatu yang… mengingatkannya pada seseorang. Seketika, mata Livia terbuka lebar. DEG! Perlahan, ia mengangkat kepalanya dan mengedarkan pandangan ke sekitar. Dinding abu-abu. Perabotan mewah. Ruangan yang asing. Bukan kamarnya. INI BUKAN RUMAHNYA! Livia langsung terduduk dengan mata membulat. "ASTAGAAAA!" Ia memegang kepalanya yang mendadak pusing. Apa yang terjadi?! Kenapa dia ada di sini?! Apa dia diculik alien semalam?! Atau jangan-jangan… Ia melirik tubuhnya sendiri yang masih berpakaian lengkap. Oke. Tidak ada tanda-tanda dirinya dijadikan eksperimen oleh alien. Lalu… "OH!" Livia menepuk dahinya sendiri. "Aku pasti masih bermimpi!" Ya, itu pasti! Ini hanya mimpi aneh setelah makan tengah malam! Dengan percaya diri, Livia kembali berbaring dan menarik selimut. "Baiklah, aku tinggal tidur lagi dan nanti pasti akan terbangun di kamarku sendiri," katanya sambil menutup mata. Lima detik. Sepuluh detik. Dua puluh detik. ... Tidak terjadi apa-apa. Livia mengintip dari balik selimut, lalu mengerutkan kening. "Kenapa aku masih di sini?" gumamnya bingung. Ia kembali mencubit pipinya sendiri. "AWWW!" Oke. Ini nyata. Bukan mimpi. Tiba-tiba, suara pintu terbuka. BRAK! "Bangun," suara dingin itu terdengar. Livia menoleh dan langsung membeku. Zayn Vanderbilt berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja putih yang lengannya digulung, dengan ekspresi sangat tidak sabar. Jantung Livia nyaris copot. Otaknya langsung berputar mencoba mengingat kejadian semalam. Dan ketika ingatan itu kembali… "Oh, iya… aku dijadikan jaminan," gumamnya pelan. Ia kembali menatap Zayn yang masih menunggunya di pintu dengan wajah tidak terkesan. Livia berkedip beberapa kali. Lalu tanpa sadar… "Apa aku boleh tidur lima menit lagi?" tanyanya polos. Zayn menatapnya seolah Livia baru saja meminta izin untuk mencuri bank. "Tidak," jawabnya datar. Livia merengek. "Tapi aku masih ngantuk…" Zayn menghela napas. "Masalahmu, bukan masalahku." Livia mengerucutkan bibirnya. Kenapa CEO ini begitu kejam? Bahkan tidak membiarkannya tidur lima menit saja! Sambil merajuk, Livia akhirnya turun dari tempat tidur dengan langkah gontai seperti zombie. Zayn hanya menatapnya dengan ekspresi malas. Hari ini pasti akan panjang.Setelah selesai mandi, Livia berjalan ke ruang makan dengan langkah ringan. Rambutnya yang masih sedikit basah menjuntai di punggung, dan wajahnya terlihat lebih segar setelah air hangat membasuh kantuknya.Begitu sampai di ruang makan, matanya langsung berbinar melihat meja yang penuh dengan makanan. Ada roti panggang, telur, bacon, sosis, jus jeruk, dan berbagai menu sarapan mewah lainnya.Dan tentu saja, di ujung meja duduk seorang pria dengan ekspresi dingin dan tajam Zayn Vanderbilt.Livia mendengus dalam hati.Kenapa pria ini selalu terlihat seperti ingin membunuh seseorang?Tapi ah, itu bukan urusannya.Yang lebih penting sekarang adalah makan!Dengan semangat, Livia duduk di kursi di seberang Zayn dan mengambil piringnya sendiri. Matanya berbinar melihat makanan yang tampak lezat di depannya.Tapi saat ia hendak meraih sendok, tiba-tiba matanya menangkap sesuatu yang aneh.Atau lebih tepatnya… tidak menangkap sesuatu.Livia mengerutkan kening dan mulai mencari-cari ke sekelili
Livia menempelkan ponsel Zayn ke telinganya dengan penuh semangat, jari kakinya berjinjit-jinjit tak sabar menunggu suara Eleanor di ujung sana.Tuuut… Tuuut…Tak lama kemudian, suara seorang wanita terdengar."Halo?""MAMA!" Livia langsung berteriak seperti anak hilang yang baru ketemu orang tuanya. "INI LIVIA! AKU BAIK-BAIK SAJA! JANGAN KHAWATIR!"Di seberang sana, Eleanor jelas hampir kena serangan jantung."Livia?! Sayang, kamu di mana?! Kamu kenapa pakai nomor orang lain?!"Livia menoleh ke Zayn dengan ekspresi dramatis. "Mama bertanya kenapa aku pakai nomor orang lain," bisiknya pelan, seolah sedang membisikkan rahasia negara.Zayn menatapnya malas. "Bilang saja ponselmu aku sita."Livia menempelkan ponsel lagi. "Mama, HP Livi disita!"Zayn nyaris tersedak napasnya sendiri."APA?! SIAPA YANG BERANI MENYITA PONSEL ANAKKU?! BIAR MAMA GUGAT!"Livia menoleh lagi ke Zayn. "Mama nanya siapa yang berani nyita HP-ku," katanya dengan wajah super polos.Zayn memijit pelipisnya. "Sialan, b
Zayn menghela napas panjang saat duduk di dalam mobilnya. Ia pikir setelah meninggalkan rumah, ia bisa mendapatkan kedamaian sementara. Tapi ternyata tidak. Karena bahkan saat mobilnya melaju di jalanan kota, suara gadis polos itu masih terngiang di kepalanya. "Zayn! Aku mau HP-ku balik!" "Aku harus kirim emoji peluk!" "Kenapa kau tidak punya nomor Mamaku?!" Zayn memijat pelipisnya dengan frustrasi. Baru satu hari bersama Livia, dan ia sudah ingin menyerah. Ketika akhirnya sampai di gedung kantornya, para karyawan yang melihatnya langsung merasakan hawa dingin. Tuan Vanderbilt tampak lebih mengerikan dari biasanya. Tanpa sepatah kata pun, Zayn berjalan menuju ruangannya dengan langkah panjang. Namun, baru saja ia duduk dan membuka laptop, ponselnya bergetar. Melihat nama yang muncul di layar, Zayn langsung menegang. Eleanor Everleigh. Ibunya Livia. Astaga. Dengan sedikit enggan, Zayn mengangkat panggilan itu. "Ya?" Dan detik berikutnya.... "ZAYN VANDERBILT! DI MANA
Langit malam tampak kelam, tanpa bintang yang berani menampakkan diri. Di sebuah gudang tua di pinggiran kota, suasana begitu mencekam. Bau besi dari darah yang mengering memenuhi udara. Sebuah kursi di tengah ruangan menjadi saksi bisu dari permainan kematian yang akan segera dimulai. Seseorang duduk di sana terikat, tubuhnya penuh luka, wajahnya lebam hingga sulit dikenali. Vincent Morelli. Pria yang cukup gila untuk menantang seorang Zayn Vanderbilt. Vincent pernah berpikir bahwa dia bisa menjatuhkan Zayn, mengambil bisnisnya, dan menguasai yang menjadi milik Zayn tapi sekarang? Dia hanya seseorang yang menunggu ajalnya datang. Pintu gudang terbuka. Zayn masuk. Dibalut setelan hitam sempurna, wajahnya tanpa ekspresi, matanya kosong seperti iblis tanpa hati. Di belakangnya, dua pria bertubuh besar mengikutinya, salah satunya membawa pisau kecil, yang lainnya membawa pistol. Vincent mendongak dengan sisa tenaga yang ia miliki, menatap Zayn dengan kebencian. "Bajingan..." sua
Zayn menatap Livia yang masih duduk di lantai dengan wajah penuh harapan, matanya yang berbinar seperti anak kecil yang baru saja dijanjikan permen. Dia benar-benar tidak habis pikir. Dari semua masalah yang bisa terjadi dalam hidupnya, kini dia harus menangani seorang gadis dewasa yang menangis hanya karena boneka kelinci bernama Caca.Ponsel masih melekat di telinganya saat ia menghela napas panjang. "Ambil boneka kelinci di rumah keluarga Everleigh. Jangan ada yang melihatmu," ucapnya kepada orang di seberang telepon.Livia langsung bertepuk tangan girang. "Yay! Caca akan kembali!" Zayn menutup teleponnya lalu menatap Livia dengan tatapan datar. "Tapi semalam kau tidur baik-baik saja tanpa Caca sialanmu itu."Seharusnya itu pernyataan biasa. Seharusnya Livia hanya akan mengangguk atau mengucapkan terima kasih. Tapi tidak.Sebaliknya, Livia malah terdiam sesaat, sebelum wajahnya berubah merah padam seperti kepiting rebus. "A-Aku tidak tidur!" Livia buru-buru bangkit dari lantai,
Zayn Vanderbilt selalu menganggap dirinya pria yang memiliki kendali penuh atas segala hal. Bisnisnya berjalan lancar, musuh-musuhnya berakhir di bawah kakinya, dan hidupnya terorganisir tanpa cela.Tapi sejak kedatangan Livia Everleigh, semua prinsip itu seolah ditampar lalu dilempar keluar jendela.Seperti pagi ini.Alih-alih menikmati ketenangan sebelum bekerja, dia justru harus berhadapan dengan suara berisik yang menggema di seluruh rumah.BRAK!Zayn yang sedang mengenakan jasnya berhenti sejenak. Alisnya bertaut. Suara itu datang dari lantai bawah.BRAK!Lagi. Dan kali ini diikuti oleh suara seorang gadis yang memekik panik."Oh, tidak! Tidak! Kenapa bisa begini?!"Zayn menutup matanya sesaat, menarik napas panjang sebelum akhirnya berjalan keluar kamar dengan langkah penuh ketidaksabaran. Begitu mencapai ruang tengah, matanya langsung menangkap pemandangan yang hampir membuatnya kehilangan kesabaran.Livia.Gadis itu berdiri di tengah ruangan dengan ekspresi bersalah.Dan di se
Livia melangkah ringan di belakang Zayn, memasuki gedung Vanderbilt Corp. yang megah. Matanya berbinar saat melihat sekeliling. Dinding kaca yang tinggi, lantai marmer yang licin berkilau, dan para karyawan yang berpakaian rapi membuat tempat ini terlihat seperti dunia yang berbeda bagi Livia. Ia berjalan dengan lincah, mengamati segala sesuatu dengan penuh rasa ingin tahu, sampai tiba-tiba matanya tertuju pada seorang wanita yang baru keluar dari lift. Wanita itu mengenakan gaun ketat berwarna merah mencolok dengan sepatu hak tinggi yang berbunyi setiap kali melangkah. Riasannya begitu tebal hingga wajahnya hampir seperti boneka porselen yang dipoles berlebihan. Livia berhenti dan menatapnya dengan mulut sedikit terbuka. Matanya berkedip beberapa kali, memastikan apa yang ia lihat benar-benar nyata. Kemudian, ia menyenggol lengan Zayn yang berjalan di sampingnya. "Zayn..." bisiknya pelan, tapi suaranya cukup terdengar. Zayn hanya melirik sekilas tanpa mengurangi kecepatannya.
Belum juga jantung Livia kembali berdetak normal setelah adegan barusan, tiba-tiba pintu ruangan terbuka dengan kasar. BRUK! Seorang pria bertubuh tinggi besar melangkah masuk. Kulitnya hitam pekat, otot-otot lengannya terlihat kokoh di balik kemeja hitam yang dikenakannya. Wajahnya penuh garis tegas dengan ekspresi datar yang dingin. Matanya tajam, nyaris tanpa emosi, membuat auranya terasa begitu mengintimidasi. Livia yang masih berdiri di depan meja Zayn langsung meloncat kecil dan bersembunyi di belakang kursi sang CEO. Tangannya mencengkram sandaran kursi dengan erat, sementara matanya menatap pria sangar itu dengan penuh ketakutan. “Bos,” suara pria itu berat dan dalam. “Saya sudah mengurus laporan yang Anda minta.” Zayn mendongak dengan santai, “Letakkan di meja.” Pria itu melangkah lebih dekat, meletakkan map tebal di atas meja kerja Zayn dengan gerakan yang begitu terukur dan tegas. Livia menelan ludah. Ia benar-benar terlihat seperti pembunuh bayaran yang baru pulang
Di sudut kota tua Milan yang penuh arsitektur klasik, cahaya lampu malam menyinari bangunan kuno yang kini telah disulap menjadi sebuah aula pelelangan mewah. Di sinilah, di antara tamu-tamu berdasi dan gaun gemerlap, dunia bawah tanah bertemu dengan kemewahan permukaan.Zayn Vanderbilt berdiri tegak di antara kerumunan elite. Mengenakan setelan hitam Armani yang membentuk tubuh tegapnya dengan sempurna, tatapannya tajam menelusuri suasana. Di sampingnya, Axel berdiri dengan kedua tangan disilangkan di depan dada, waspada terhadap segala gerak-gerik mencurigakan.“Target kita adalah peti nomor 17,” bisik Axel, suaranya nyaris tak terdengar. “Isinya senjata prototipe yang hanya muncul sekali di pasar gelap dalam dua dekade.”Zayn mengangguk tanpa memalingkan wajah. Ia menyapu ruangan dengan matanya—dan saat itulah, langkah seorang wanita menarik perhatian banyak mata.Wanita itu melangkah anggun, dengan gaun merah menyala membelah ruangan yang dipenuhi dominasi hitam dan emas. Rambut p
Pintu gerbang rumah Vanderbilt terbuka perlahan, menampakkan halaman luas dan bangunan megah bercat putih bersih. Mobil merah mewah itu melaju pelan, seperti pangeran yang baru pulang dari medan perang—tapi isinya justru dua wanita cerewet dan satu bocah super heboh.Begitu mobil berhenti, Finnian langsung membuka pintu belakang.“Yesss! Aku duluan yang sampe!” serunya sambil berlari ke dalam rumah seperti sedang lomba lari estafet.“FINNIAN! Sepatunya lepas! Eh—YA AMPUN, dia bawa boneka kucingnya masuk juga!” Serenity turun dengan rambut sedikit berantakan karena tertiup AC mobil, lalu menoleh ke Livia yang masih tertawa di dalam mobil.“Welcome to my chaotic life, sayang,” ujarnya dramatis.Livia menutup pintu dan berjalan beriringan dengan Serenity.Begitu masuk, suasana rumah yang biasanya hening karena aura misterius Zayn, kini berubah. Suara tawa Finnian menggema, disusul dengan suara Serenity yang berteriak, “Jangan lompat di sofa, Nak! Itu harganya bisa bayar SPP kuliah kamu s
Sore itu, mentari mulai condong ke barat, membentuk bayangan panjang di sepanjang terminal penjemputan. Livia berdiri dengan ransel mungilnya, topi bulat berwarna pastel menutupi sebagian rambutnya yang terurai manis. Dia memandangi layar ponselnya yang, entah sudah berapa kali, dicek untuk melihat apakah ada kabar dari Zayn."Nggak ada juga… dia bener-bener lupa, ya?" gumam Livia sambil mengerucutkan bibir. Meski wajahnya tampak cemberut, ada seulas manis yang tetap membuat siapa pun yang melihatnya ingin menyubit pipinya. Ia berdiri kikuk, sendiri, seperti anak ayam kehilangan induk.Namun tiba-tiba—"BRAAAAK!" suara pintu mobil mewah yang terbuka dari arah jalan mengagetkannya. Mobil berwarna merah menyala, dengan velg hitam elegan dan jendela kaca gelap yang baru saja menepi, benar-benar menarik perhatian banyak pasang mata.Livia melongo. Matanya melebar.“Eh? Itu… Lamborghini?” gumamnya, ragu. Tapi sebelum sempat dia memastikan, jendela di bagian penumpang depan turun perlahan.
Setelah keluar dari kantin dengan perut kenyang dan hati riang, Livia berjalan sambil bersenandung kecil menuju taman kampus. Di sebelahnya, Aisha melangkah santai dengan tangan dimasukkan ke dalam saku jaket. Angin siang yang sejuk menyapu rambut mereka, sementara cahaya matahari menerobos sela dedaunan, menciptakan bayangan teduh di sepanjang jalur setapak.“Dosen nggak masuk, tumben banget ya,” ucap Livia riang, tangannya mengayun ke depan dan ke belakang seperti anak kecil.Aisha hanya mengangguk malas. “Mungkin beliau sakit kepala lihat tugas-tugasmu,” gumamnya pelan.Livia melotot pelan, tapi hanya beberapa detik sebelum ia tertawa. “Kau jahat, tahu nggak?”Ketika mereka tiba di taman, Livia langsung mengenali sosok yang sedang duduk di bangku panjang, tak jauh dari kolam. Mahasiswa itu tengah membuka novel dengan tatapan serius, namun senyumnya langsung muncul ketika melihat Livia datang.“Reyhan!” seru Livia sembari melambai, seperti anak TK yang baru melihat teman TK-nya juga
Langit siang di atas gedung Vanderbilt Corporation tampak mendung, seakan meramalkan badai yang tak hanya akan melanda kota, tetapi juga dunia bisnis kelam yang selama ini Zayn sembunyikan rapat-rapat di balik jas dan dasi mahalnya.Zayn Vanderbilt tengah duduk di ruang kerjanya yang luas dan minimalis. Layar laptop di depannya menampilkan laporan proyek dari salah satu anak perusahaan di luar negeri, namun pikirannya jelas tidak sepenuhnya tertambat pada angka-angka itu. Sejak pagi, rasa gelisah samar mengganggu fokusnya. Perasaan yang tak bisa ia jelaskan, tetapi cukup kuat untuk membuat alisnya terus berkerut.Tiba-tiba, pintu ruangannya terbuka tanpa ketukan. Zayn tak perlu menoleh untuk mengetahui siapa pelakunya. Hanya ada satu orang yang cukup berani dan cukup penting untuk melanggar etika formal seperti itu.Axel Reinhardt. Tangan kanan sekaligus sahabat lamanya, yang lebih banyak menghabiskan waktu di dunia bawah tanah dibanding ruang rapat."Sudah kuduga kau belum meninggalk
Finnian duduk di kursi dengan kaki yang belum menyentuh lantai, sibuk memindahkan telur ke atas pancake dan menyebutnya "roket makanan ke bulan."Livia duduk di sebelahnya, tertawa kecil sambil membantu Finnian mengoleskan madu. Ia terlihat lebih segar pagi ini. Luka di lengannya sudah mulai mengering, dan semangatnya mulai kembali setelah beberapa hari rehat dari kampus.Serenity duduk di seberang Zayn sambil menyeruput kopi, lalu membuka suara, “Jadi, hari ini aku mau nganter Finnian ke sekolah Montessori yang kamu rekomendasikan itu. Semoga anak ini bisa duduk tenang lebih dari dua menit.”Finnian langsung protes, “Aku bisa duduk! Tapi kalau kursinya empuk!”Semua tertawa.Zayn yang sejak tadi diam, akhirnya bicara, “Aku sudah kirim berkasnya ke kepala sekolah. Mereka akan bantu proses pendaftaran hari ini.”Serenity mengangkat dua jempol. “Good. Aku nggak tahu mesti mulai dari mana. Banyak sekolah lihat aku sebelah mata. Ya, you know… single mom dengan sejarah drama.”Livia yang d
Zayn memasuki rumahnya dengan langkah tegap dan ekspresi kaku yang sudah menjadi ciri khasnya. Setelah seharian dikejar rapat dan laporan dari jaringan bawah tanah yang mencurigakan, ia hanya ingin memeriksa kondisi Livia, memastikan luka gadis itu tidak kambuh dan pikirannya tetap aman.Namun baru saja membuka pintu utama, alisnya langsung bertaut saat mendengar…“TEMBAK DINO KUNINGNYA, FINN! TEMBAKKK!!”Suara Livia.“BUNYI SIRINEEE!! DINONYA LEMES!! AAAAKK!”Dan... suara kakaknya?Zayn mendecak pelan dan mempercepat langkahnya. Sampai akhirnya ia berhenti di ambang ruang keluarga.Pemandangan yang ia lihat sukses membuatnya nyaris kehilangan kata.Di tengah ruangan mewah bergaya modern itu, Livia duduk bersila di lantai, memakai bando kelinci, sambil memegang joystick mainan game dinosaurus yang diproyeksikan ke layar besar. Di sebelahnya, Finnian berdiri di atas meja kopi, berteriak heboh sambil menggenggam boneka t-rex yang matanya menyala.Dan di ujung sofa, Serenity—kakaknya yan
Pagi hari itu, matahari bersinar malu-malu dari balik tirai kamar yang setengah terbuka. Udara masih segar, sedikit dingin, dan aroma harum dari diffuser lavender masih melayang di udara. Namun, alih-alih disambut dengan ceria seperti biasa, pagi ini Livia terbangun dengan nyut-nyutan di pergelangan tangannya yang masih dibebat perban.“Ugh… kenapa rasanya kayak habis tinju sama Iron Man…” gumamnya pelan, memeluk guling dengan ekspresi meringis.Sebenarnya, lukanya tidak terlalu parah—cuma sedikit memar dan tergores karena kecelakaan kecil di lab praktek kemarin. Tapi tentu saja, bagi seorang Zayn Vanderbilt, itu sudah sama saja seperti Livia baru saja selamat dari kecelakaan pesawat.Belum sempat Livia bangkit dari tempat tidur, pintu kamarnya terbuka pelan. Zayn masuk, membawa nampan sarapan dengan ekspresi datar—yang artinya dia sedang menahan marah dalam kadar medium. Seperti biasa, gaya CEO-nya tetap terpancar dari rambut sampai ujung kaki, padahal cuma pakai kaus lengan panjang
Keesokan HarinyaLivia kembali menjalani rutinitasnya di kampus. Kali ini dengan dua pengawal tambahan yang dikirim oleh Zayn. Meski awalnya sempat protes, akhirnya ia menyerah karena takut Zayn benar-benar memasang CCTV di tiap sudut kampus.Di kampus, Aisha kembali muncul. Luka di bahunya tertutup perban, dan senyumnya sedikit dipaksakan.“Akudenger cowok kamu ngamuk ya kemarin?” tanya Aisha ketus saat menyusul Livia ke taman belakang kampus tempat mereka biasa duduk saat istirahat.Livia menggigit roti sandwich-nya perlahan, cengengesan. “Hehe... iya, agak serem sih... tapi dia baik kok. Kamu nggak apa-apa kan? Bahumu gimana?”Aisha menyipitkan mata.“Lucu ya kamu... masih bisa nanyain aku padahal udah jelas-jelas aku bikin kamu luka waktu praktik.”Livia langsung menegakkan duduknya. “Itu nggak sengaja kan? Aku tahu kok. Nggak usah merasa bersalah... aku juga sering jatuh sendiri, saking cerobohnya.”Aisha hanya mendecih kecil, kemudian menghela napas.“Kadang aku bingung deh... k