Share

Bab 5

Author: Adelia tpn
last update Last Updated: 2025-03-24 01:09:15

Livia menyesap coklat panasnya dengan penuh kebahagiaan, seolah dunia di sekitarnya tidak lagi penting. Aroma manis yang menguar dari cangkir di tangannya langsung membawa kehangatan ke dalam tubuhnya yang lelah.

Ia menatap Zayn yang masih berdiri dengan ekspresi datar di seberang meja dapur. Pria itu tampak tidak terganggu dengan keberadaannya, meskipun sebenarnya dialah penyebab utama Livia ada di tempat ini sekarang.

Merasa cukup puas, Livia menghela napas panjang dan berbalik, siap kembali ke kamar dan mencoba tidur.

Namun…

"GROOOOK!"

Livia membeku.

Zayn juga ikut membeku.

Suasana yang semula tenang berubah hening total.

Livia menunduk perlahan dan menatap perutnya sendiri yang baru saja mengeluarkan suara memalukan itu.

Tidak… tidak mungkin!

Muka Livia langsung memerah. Ia menggigit bibirnya, berharap bumi bisa membelah diri dan menelannya sekarang juga.

Zayn, yang menyaksikan semuanya, menatapnya tanpa ekspresi. Namun, sudut bibir pria itu tampak sedikit terangkat.

"Perutmu baru saja memprotes keras," ujar Zayn dengan nada datar.

Livia ingin menangis.

"T-tidak! Itu hanya… suara ilusi!" katanya panik, mencoba menyangkal kenyataan.

Zayn menyilangkan tangan di dada. "Oh, jadi aku baru saja mengalami halusinasi?"

Livia mengangguk cepat. "I-iya! Itu hanya imajinasi liar yang kau ciptakan sendiri. Kau terlalu lelah, jadi otakmu mulai bermain-main."

Zayn menatapnya lama, lalu menghela napas.

"Duduk."

Livia berkedip. "Hah?"

"Duduk," ulang Zayn, kali ini dengan nada yang lebih tegas.

Livia ragu-ragu. "Tapi aku—"

"Tidak ada tapi. Aku tidak mau ada manusia kelaparan berkeliaran di rumahku," potong Zayn sambil berjalan ke arah lemari es.

Livia ingin protes, tapi perutnya kembali berbunyi.

"GRROOK!"

Astaga, ini benar-benar penghinaan.

Dengan pasrah, ia akhirnya duduk di kursi dapur sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan.

Tak lama kemudian, Zayn menaruh sepiring roti panggang dan telur orak-arik di depannya.

Livia mengangkat wajah dan menatap makanan itu dengan mata berbinar.

"Untukku?" tanyanya polos.

"Tidak, itu untuk hantu di sudut ruangan," jawab Zayn sarkastik.

Livia langsung menoleh ke belakang dengan panik. "H-hantu?!"

Zayn menatapnya dengan tatapan tidak percaya.

Astaga. Gadis ini benar-benar polos atau hanya bodoh?

"Sudahlah, makan," ujarnya akhirnya.

Tanpa pikir panjang, Livia meraih garpu dan mulai menyantap makanannya dengan lahap.

Zayn memperhatikannya dengan ekspresi tak terbaca.

Selama ini, ia tidak pernah membiarkan wanita mana pun tinggal di rumahnya, apalagi menyajikan makanan untuk seseorang. Tapi melihat Livia yang begitu bahagia hanya karena sepotong roti dan telur…

Entah kenapa, itu terasa aneh.

Seolah gadis ini berasal dari dunia yang berbeda darinya dunia yang masih dipenuhi warna dan kepolosan, sementara dunianya sendiri hanya terdiri dari kegelapan dan kekejaman.

Livia menelan suapan terakhirnya dan mengusap perutnya dengan puas.

"Aku kenyang!" serunya dengan ceria.

Zayn mendengus. "Bagus. Sekarang, kembali ke kamarmu dan jangan berkeliaran lagi."

Livia mengangguk patuh, lalu berdiri. Tapi sebelum pergi, ia menatap Zayn dengan senyum kecil.

"Terima kasih, Zayn," ucapnya pelan.

Untuk pertama kalinya, Zayn tidak punya jawaban.

Ia hanya menatap punggung gadis itu yang perlahan menghilang di balik lorong.

Dan tanpa sadar, sesuatu di dalam dirinya terasa bergeser sedikit.

**********

Matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai, membelai wajah Livia yang masih terlelap di ranjang empuk. Matanya yang tertutup sedikit bergerak, sebelum akhirnya perlahan terbuka.

Livia menggeliat malas, meregangkan tubuhnya seperti kucing yang baru bangun tidur. Dengan mata setengah tertutup, ia berguling ke samping, menghirup udara pagi dengan damai.

"Ahh… rumahku memang nyaman sekali," gumamnya sambil mengubur wajahnya ke bantal.

Ia menarik selimut, menggulung dirinya seperti burrito, dan memejamkan mata lagi.

Tapi…

Tunggu.

Ada yang aneh.

Livia mengernyit, lalu mencium bantalnya.

Aromanya… beda?

Biasanya bantalnya wangi bunga melati, tapi yang ini lebih… maskulin?

Ia mengendus lebih dalam. Ada aroma mint, kayu cedar, dan sesuatu yang tajam—sesuatu yang… mengingatkannya pada seseorang.

Seketika, mata Livia terbuka lebar.

DEG!

Perlahan, ia mengangkat kepalanya dan mengedarkan pandangan ke sekitar.

Dinding abu-abu. Perabotan mewah. Ruangan yang asing.

Bukan kamarnya.

INI BUKAN RUMAHNYA!

Livia langsung terduduk dengan mata membulat.

"ASTAGAAAA!"

Ia memegang kepalanya yang mendadak pusing.

Apa yang terjadi?! Kenapa dia ada di sini?!

Apa dia diculik alien semalam?!

Atau jangan-jangan…

Ia melirik tubuhnya sendiri yang masih berpakaian lengkap.

Oke. Tidak ada tanda-tanda dirinya dijadikan eksperimen oleh alien.

Lalu…

"OH!" Livia menepuk dahinya sendiri. "Aku pasti masih bermimpi!"

Ya, itu pasti!

Ini hanya mimpi aneh setelah makan tengah malam!

Dengan percaya diri, Livia kembali berbaring dan menarik selimut.

"Baiklah, aku tinggal tidur lagi dan nanti pasti akan terbangun di kamarku sendiri," katanya sambil menutup mata.

Lima detik.

Sepuluh detik.

Dua puluh detik.

...

Tidak terjadi apa-apa.

Livia mengintip dari balik selimut, lalu mengerutkan kening.

"Kenapa aku masih di sini?" gumamnya bingung.

Ia kembali mencubit pipinya sendiri.

"AWWW!"

Oke. Ini nyata.

Bukan mimpi.

Tiba-tiba, suara pintu terbuka.

BRAK!

"Bangun," suara dingin itu terdengar.

Livia menoleh dan langsung membeku.

Zayn Vanderbilt berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja putih yang lengannya digulung, dengan ekspresi sangat tidak sabar.

Jantung Livia nyaris copot.

Otaknya langsung berputar mencoba mengingat kejadian semalam.

Dan ketika ingatan itu kembali…

"Oh, iya… aku dijadikan jaminan," gumamnya pelan.

Ia kembali menatap Zayn yang masih menunggunya di pintu dengan wajah tidak terkesan.

Livia berkedip beberapa kali.

Lalu tanpa sadar…

"Apa aku boleh tidur lima menit lagi?" tanyanya polos.

Zayn menatapnya seolah Livia baru saja meminta izin untuk mencuri bank.

"Tidak," jawabnya datar.

Livia merengek. "Tapi aku masih ngantuk…"

Zayn menghela napas. "Masalahmu, bukan masalahku."

Livia mengerucutkan bibirnya.

Kenapa CEO ini begitu kejam? Bahkan tidak membiarkannya tidur lima menit saja!

Sambil merajuk, Livia akhirnya turun dari tempat tidur dengan langkah gontai seperti zombie.

Zayn hanya menatapnya dengan ekspresi malas.

Hari ini pasti akan panjang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • GADIS POLOS MILIK CEO KEJAM   Bab 97

    Mobil hitam mewah itu akhirnya memasuki kawasan perumahan elit tempat tinggal Zayn. Setelah seharian menghabiskan waktu di pantai, senyap perlahan mengambil alih kabin mobil. Finnian yang semula ramai dan penuh celoteh kini tertidur pulas di pangkuan Serenity, dengan pipi merah merona karena terbakar matahari dan jemari mungilnya masih menggenggam ember kecil berisi kerang hasil tangkapannya.Livia duduk tenang di sebelah Zayn. Tidak banyak bicara, tapi dari raut wajahnya terpancar kepuasan dan ketenangan. Angin pantai masih terasa seolah membuntuti mereka, dan aroma laut entah mengapa masih menempel lembut di kulitnya.Zayn menoleh sekilas. Ia melihat Livia sedang menyandarkan kepala ke jendela, tersenyum kecil. “Kamu kelihatan puas banget,” gumamnya sambil menurunkan sedikit kaca jendela agar udara segar masuk.Livia menoleh, mengangguk pelan. “Hari ini kayak mimpi… kayak dunia itu cuma ada aku, kamu, Finnian, dan Serenity.”“Jangan lupa, Aisha juga sempat muncul seperti film horor,

  • GADIS POLOS MILIK CEO KEJAM   Bab 96

    Pagi merekah perlahan, menyusup masuk lewat celah tirai resort yang sedikit terbuka. Sinar matahari menyentuh lembut kulit Livia yang masih terlelap, membentuk pola cahaya hangat di pipinya yang merona. Di luar, ombak menyapa pasir pantai dengan suara tenang, seolah ikut menjaga tidur nyenyaknya.Zayn sudah lebih dulu bangun. Ia duduk bersandar di tepi ranjang, mengenakan jubah handuk yang menggantung santai di tubuhnya. Rambutnya masih sedikit basah, dan secangkir kopi hangat mengepul di tangan. Tatapannya tertuju pada Livia yang masih meringkuk seperti anak kucing dalam selimut, bibirnya sedikit terbuka, sesekali bergumam tak jelas dalam tidur.Senyum kecil mengembang di bibir Zayn. Entah sejak kapan gadis polos ini menjadi pusat gravitasi dalam hidupnya. Yang jelas, pagi itu terasa berbeda. Lebih ringan. Lebih hidup. Lebih... berarti.Perlahan, ia membungkuk dan menyibakkan sedikit anak rambut yang menutupi wajah Livia. “Bangun, sleepyhead,” bisiknya lembut di telinga gadis itu.Li

  • GADIS POLOS MILIK CEO KEJAM   Bab 95

    Malam menggulung langit dalam gelap yang pekat, hanya dihiasi bintang-bintang kecil yang bertaburan bagai serpihan kristal. Suara ombak masih terdengar dari kejauhan, namun kini terdengar lebih lembut seolah ikut meredakan badai di dada Livia dan Zayn. Mereka memasuki kamar resort yang hangat. Livia masih menggenggam tangan Zayn, namun langkahnya lambat, seolah masih ragu apakah suasana damai ini akan bertahan lama. Zayn tahu itu. Ia bisa merasakannya lewat sentuhan jari Livia yang gemetar halus, seolah masih menimbang apakah ia benar-benar aman bersandar padanya malam ini. Zayn menutup pintu perlahan, kemudian membimbing Livia duduk di tepi ranjang yang empuk. Lampu kamar redup, menciptakan bayangan lembut di dinding. Angin laut masih menyelinap masuk lewat jendela balkon yang sedikit terbuka, membawa aroma asin yang khas, bercampur dengan harum tubuh Livia yang baru mandi. “Aku mau kamu tidur nyenyak malam ini,” ucap Zayn, duduk di sebelah Livia dan menyentuh pelipis gadis itu

  • GADIS POLOS MILIK CEO KEJAM   Bab 94

    Senja di pantai telah berlalu. Langit mulai menggelap, dihiasi semburat jingga terakhir yang tergurat di cakrawala. Suara ombak terdengar lebih dalam, bergulung perlahan seolah bernyanyi pelan menyambut malam. Aroma garam dan pasir masih melekat di udara, menyatu dengan suara kicauan jangkrik yang mulai mengambil alih tugas burung-burung siang. duduk sendirian di balkon kamar resort yang menghadap langsung ke laut. Kakinya dilipat di kursi rotan panjang, dengan handuk yang masih tersampir di bahunya. Angin malam membelai rambutnya yang belum sepenuhnya kering, membuat helaian-helaian lembut itu berterbangan membingkai wajahnya yang murung.Pikirannya melayang entah ke mana. Tadi siang terlalu aneh. Kedatangan Aisha yang tiba-tiba, raut wajah Zayn yang terlihat tajam sesaat setelah itu, dan… pertengkaran kecil dengan Serenity di dapur barusan tentang kenapa Livia masih terus bersikap terlalu "baik" pada orang seperti Aisha.Tapi bukan itu yang paling menghantuinya.Yang membuat hatiny

  • GADIS POLOS MILIK CEO KEJAM   Bab 93

    Mentari pagi menyapa dengan sinar keemasan yang hangat, memantul lembut di sela tirai kamar Livia dan Zayn. Angin berembus pelan dari jendela yang sengaja dibuka setengah, membawa aroma laut yang samar-samar mulai terasa sejak malam sebelumnya. Hari ini bukan hari kerja, bukan pula hari kuliah. Hari ini adalah hari yang Livia tunggu-tunggu dengan hati berdebar dan wajah berseri—hari Minggu, hari libur yang telah dijanjikan oleh Zayn sejak pertengkaran terakhir mereka.Liburan kecil ini seperti penawar luka, cara Zayn menebus luka-luka kecil yang mungkin belum sembuh sepenuhnya di hati Livia. Dan gadis itu dengan pakaian pantai yang sudah ia siapkan sejak dua hari lalu, lengkap dengan topi bundar lebar dan sunblock yang dibelinya secara impulsif karena "biar mirip cewek-cewek drama Korea" bangun lebih pagi dari biasanya, penuh semangat dan… berisik, seperti biasa."Zayn! Bangun! Kita bisa kena macet kalau telat!" teriak Livia sambil mengguncang-guncang tubuh pria itu yang masih berseli

  • GADIS POLOS MILIK CEO KEJAM   Bab 92

    Cahaya lampu tidur yang temaram membuat bayangan wajah Zayn dan Livia membaur di dalam keheningan kamar. Livia menatap lelaki di hadapannya itu dengan sorot mata yang masih menyimpan luka, namun juga penuh keraguan dan harapan. Sementara Zayn, duduk di tepi ranjang seolah menahan jarak agar tak semakin menyakiti gadis yang telah diam-diam mencuri tempat dalam hidupnya."Aku gak ngerti, Zayn…" suara Livia pecah, pelan, nyaris seperti bisikan, namun penuh tekanan batin. "Kadang kamu manis banget, perhatian kayak yang benar-benar peduli… tapi tiba-tiba kamu bisa berubah jadi orang asing yang dingin banget. Aku gak ngerti harus gimana."Zayn terdiam, tak langsung menjawab. Ia menatap jemarinya sendiri, lalu dengan pelan mengusap wajahnya, seakan mencoba menghapus topeng keras yang biasa ia kenakan.“Aku… bukan orang baik, Liv,” katanya akhirnya. “Duniaku bukan tempat yang layak buat seseorang sepertimu. Bahkan kadang aku sendiri takut… takut kamu suatu hari sadar dan pergi…”Livia mendeng

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status