Mobil mewah itu berhenti di depan mansion megah yang menjulang tinggi, terpencil dari dunia luar. Gerbang hitam raksasa perlahan terbuka, seolah menyambut kedatangan mereka dengan kesan dingin dan angkuh.
Di dalamnya, taman yang luas membentang, dihiasi dengan lampu-lampu taman berkilauan yang seharusnya terlihat indah, tetapi di mata Livia, tempat ini lebih menyerupai istana iblis yang mengerikan. Dia masih mengenakan gaun tidurnya, kaki telanjangnya menyentuh permukaan lantai mobil yang dingin. Air mata masih mengalir di pipinya, sesekali ia mengusapnya dengan lengan baju yang sudah basah karena tangisan yang tak kunjung berhenti sejak mereka meninggalkan rumah. “Aku ingin pulang…” suaranya lirih, hampir tak terdengar. Tidak ada jawaban. Pria di sebelahnya, Zayn Vanderbilt, tetap diam. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan simpati, apalagi rasa kasihan. Livia menggigit bibirnya, berusaha menahan isakan yang semakin memenuhi dadanya. “Tolong…” suara itu kembali keluar, lebih gemetar. “Aku nggak bisa di sini… Aku mau Mama…” Zayn akhirnya menoleh, alisnya sedikit terangkat. “Berhenti menangis.” Tapi justru ucapannya itu membuat tangis Livia semakin menjadi. Gadis itu langsung menutup wajahnya dengan kedua tangan dan mulai terisak keras. “Aku mau pulang! Aku mau Mama! Mamaaa!!” jeritnya. Zayn menghela napas panjang, lalu dengan gerakan cepat, ia mencengkeram pergelangan tangan Livia dan menariknya keluar dari mobil. Tapi bukannya menurut, Livia justru berontak seperti anak kecil yang dipaksa melakukan sesuatu yang tidak ia inginkan. Ia menggelengkan kepala dengan panik, tangannya mencoba mencengkeram pintu mobil, kakinya berusaha menahan diri di tanah. "TIDAK! Aku tidak mau!" Namun, usaha itu sia-sia. Zayn terlalu kuat untuk ditolak. Pria itu akhirnya mendesah kasar, lalu dengan satu gerakan cepat, ia membungkuk dan mengangkat Livia ke dalam gendongannya seperti membawa anak kecil yang sedang mengamuk. Livia menjerit. "Apa yang kau lakukan?! Aku bisa jalan sendiri!" Zayn tidak menggubrisnya. Livia mulai menendang-nendang dan memukul bahunya, tetapi sepertinya tubuhnya terlalu lemah dibandingkan pria itu. "Turunkan aku! Aku ingin pulang! Aku mau Mamaaa!" "Tutup mulutmu, Livia." "Ti-tidak mau! Aku mau pulang!" Zayn menarik napas panjang, lalu membisikkan sesuatu di telinganya dengan suara rendah yang dingin. "Diam, atau aku akan menyuruh seseorang membawakan mayat ayahmu ke sini sekarang juga." Livia langsung membeku. Tangisannya terhenti, tubuhnya menegang. Zayn merasakan itu dan menyeringai kecil. "Nah, sekarang lebih tenang, kan?" Gadis itu menggigit bibirnya, matanya kembali berkaca-kaca, tetapi kali ini bukan karena rengekan, melainkan ketakutan yang nyata. Setelah masuk ke dalam mansion, Zayn menurunkannya dengan kasar. "Tinggalah di sini dan jangan mencoba kabur," perintahnya datar. Livia memandang sekeliling dengan tubuh gemetar. Rumah ini dingin. Tidak seperti rumahnya yang selalu terasa hangat dan nyaman. "Besok kita akan bicara tentang kesepakatan kita," lanjut Zayn. "Untuk malam ini, jangan membuat keributan." Livia menundukkan kepala, bibirnya bergetar. Ia tahu tidak ada gunanya berontak sekarang. Tapi satu hal yang pasti… Ia tidak akan menyerah begitu saja. Ia harus menemukan cara untuk keluar dari sini. Ia harus kembali kepada Mama. ******** Livia duduk di tepi tempat tidur berukuran king yang terasa terlalu besar untuknya. Ruangan ini tampak begitu mewah dengan perabotan mahal, lampu gantung kristal, dan jendela besar yang memperlihatkan pemandangan kota dari ketinggian. Tapi bagi Livia, semua ini tidak lebih dari penjara emas yang dingin. Matanya masih sembab, pipinya merah karena terlalu banyak menangis. Ia menarik lututnya ke dada dan menyandarkan dagunya, bibirnya mengerucut seperti anak kecil yang sedang dihukum. "Aku tidak bisa tidur…" gumamnya, suaranya masih serak karena menangis. Matanya melirik pintu kamar yang tertutup rapat. Sejak tadi, ia berharap pintu itu terbuka dan Mama datang memeluknya, mengusap kepalanya, dan berkata bahwa semuanya hanya mimpi buruk. Tapi tidak ada siapa pun. Hanya dirinya… dan kesunyian. Perutnya mulai keroncongan. Ia menggigit bibirnya. Sudah sejak sore tadi dia tidak makan,makanan yang di antarkan oleh pelayan pun tidak di sentuhnya dan sekarang perutnya mulai memberontak. Namun, ada satu kebiasaannya sebelum tidur yang tidak bisa ia tinggalkan. Coklat panas. Sejak kecil, Mama selalu membuatkannya coklat panas sebelum tidur. Minuman itu membuatnya merasa nyaman, seolah semua masalah bisa menghilang begitu saja dalam satu tegukan. Dan sekarang, ia sangat membutuhkannya. Livia melirik sekeliling. Tidak ada siapa pun di sini, jadi mungkin dia bisa pergi ke dapur untuk membuatnya sendiri? Tanpa pikir panjang, ia melompat turun dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu. Dengan hati-hati, ia membukanya sedikit dan mengintip keluar. Lorongnya sepi. Bagus. Dengan langkah pelan, ia berjalan keluar, memastikan tidak ada yang melihatnya. Ketika hampir sampai di tangga, ia mendengar suara langkah kaki dari arah lain. Panik, Livia langsung berjongkok dan merangkak cepat ke balik sofa besar di dekat tangga. Ia menahan napas, menutup mulutnya dengan kedua tangan agar tidak mengeluarkan suara. Beberapa detik kemudian, suara langkah itu berlalu. Livia menghela napas lega. "Aku seperti mata-mata…" gumamnya bangga pada dirinya sendiri. Dengan hati-hati, ia melanjutkan perjalanan ke dapur. Begitu sampai, ia segera membuka lemari dan mencari bubuk coklat kesukaannya. "Nah! Ketemu!" ujarnya senang. Ia mengambil cangkir dan mulai menuangkan susu ke dalam panci kecil. Dengan penuh semangat, ia menyalakan kompor. Namun… Ia lupa satu hal. Ia tidak bisa memasak. Livia panik ketika susu mulai mendidih dan hampir meluap ke mana-mana. Ia buru-buru mematikan kompor, tapi tangannya malah menyenggol sendok dan menjatuhkannya ke lantai dengan suara keras. BRAK! Livia membeku. Astaga. Ia baru saja melakukan kejahatan besar. Dengan panik, ia meraih sendok itu dan mencoba merapikan kekacauan yang ia buat. Tapi sudah terlambat. Seseorang masuk ke dapur. "Apa yang kau lakukan?" Livia langsung menegang. Ia mengenali suara itu. Perlahan, ia berbalik dan mendapati Zayn berdiri di ambang pintu dengan ekspresi datarnya. Pria itu masih mengenakan kemeja hitamnya, dengan beberapa kancing terbuka, menunjukkan sebagian dadanya. Rambutnya sedikit berantakan, sepertinya ia baru bangun tidur. Tatapan dinginnya menelusuri ruangan, lalu beralih pada Livia yang masih memegang cangkir dengan tangan gemetar. "A-aku… aku cuma mau buat coklat panas…" jawabnya gugup. Zayn mengangkat alis. "Di jam segini?" Livia mengangguk cepat. "Aku tidak bisa tidur kalau belum meminum coklat panas," ujarnya dengan nada serius, seolah-olah itu adalah masalah paling penting di dunia. Zayn menatapnya lama, lalu mendekat. Livia langsung mundur, hampir tersandung karpet dapur. Namun, Zayn tidak berkata apa-apa. Ia hanya mengambil cangkir di tangan Livia, lalu dengan santai menuangkan coklat ke dalamnya. Livia hanya bisa terpana. "Aku tidak tahu kalau kau bisa membuat coklat panas…" gumamnya tanpa sadar. Zayn mendengus. "Aku juga tidak tahu kalau kau bisa membuat dapur berantakan dalam waktu kurang dari lima menit." Livia cemberut. "Itu bukan salahku!" Zayn tidak menanggapi. Ia hanya menyerahkan cangkir itu kepada Livia. "Minum dan kembali ke kamar." Livia menatapnya ragu-ragu. "Kau tidak memasukkan racun, kan?" Zayn menatapnya tajam, lalu dengan ekspresi tanpa dosa, ia berkata, "Kalau kau takut, kembalikan saja." Livia buru-buru meraih cangkirnya kembali. "Tidak! Ini milikku!" Zayn menggelengkan kepala, seolah tidak habis pikir dengan kelakuan gadis itu. Namun, ketika ia melihat Livia menyeruput coklat panasnya dengan mata berbinar dan ekspresi puas seperti anak kecil, entah kenapa ada sesuatu di dalam dirinya yang merasa aneh. Seolah… gadis ini membawa sesuatu yang berbeda dalam kehidupannya. Dan entah itu baik atau buruk… Dia belum tahu.Mobil hitam mewah itu akhirnya memasuki kawasan perumahan elit tempat tinggal Zayn. Setelah seharian menghabiskan waktu di pantai, senyap perlahan mengambil alih kabin mobil. Finnian yang semula ramai dan penuh celoteh kini tertidur pulas di pangkuan Serenity, dengan pipi merah merona karena terbakar matahari dan jemari mungilnya masih menggenggam ember kecil berisi kerang hasil tangkapannya.Livia duduk tenang di sebelah Zayn. Tidak banyak bicara, tapi dari raut wajahnya terpancar kepuasan dan ketenangan. Angin pantai masih terasa seolah membuntuti mereka, dan aroma laut entah mengapa masih menempel lembut di kulitnya.Zayn menoleh sekilas. Ia melihat Livia sedang menyandarkan kepala ke jendela, tersenyum kecil. “Kamu kelihatan puas banget,” gumamnya sambil menurunkan sedikit kaca jendela agar udara segar masuk.Livia menoleh, mengangguk pelan. “Hari ini kayak mimpi… kayak dunia itu cuma ada aku, kamu, Finnian, dan Serenity.”“Jangan lupa, Aisha juga sempat muncul seperti film horor,
Pagi merekah perlahan, menyusup masuk lewat celah tirai resort yang sedikit terbuka. Sinar matahari menyentuh lembut kulit Livia yang masih terlelap, membentuk pola cahaya hangat di pipinya yang merona. Di luar, ombak menyapa pasir pantai dengan suara tenang, seolah ikut menjaga tidur nyenyaknya.Zayn sudah lebih dulu bangun. Ia duduk bersandar di tepi ranjang, mengenakan jubah handuk yang menggantung santai di tubuhnya. Rambutnya masih sedikit basah, dan secangkir kopi hangat mengepul di tangan. Tatapannya tertuju pada Livia yang masih meringkuk seperti anak kucing dalam selimut, bibirnya sedikit terbuka, sesekali bergumam tak jelas dalam tidur.Senyum kecil mengembang di bibir Zayn. Entah sejak kapan gadis polos ini menjadi pusat gravitasi dalam hidupnya. Yang jelas, pagi itu terasa berbeda. Lebih ringan. Lebih hidup. Lebih... berarti.Perlahan, ia membungkuk dan menyibakkan sedikit anak rambut yang menutupi wajah Livia. “Bangun, sleepyhead,” bisiknya lembut di telinga gadis itu.Li
Malam menggulung langit dalam gelap yang pekat, hanya dihiasi bintang-bintang kecil yang bertaburan bagai serpihan kristal. Suara ombak masih terdengar dari kejauhan, namun kini terdengar lebih lembut seolah ikut meredakan badai di dada Livia dan Zayn. Mereka memasuki kamar resort yang hangat. Livia masih menggenggam tangan Zayn, namun langkahnya lambat, seolah masih ragu apakah suasana damai ini akan bertahan lama. Zayn tahu itu. Ia bisa merasakannya lewat sentuhan jari Livia yang gemetar halus, seolah masih menimbang apakah ia benar-benar aman bersandar padanya malam ini. Zayn menutup pintu perlahan, kemudian membimbing Livia duduk di tepi ranjang yang empuk. Lampu kamar redup, menciptakan bayangan lembut di dinding. Angin laut masih menyelinap masuk lewat jendela balkon yang sedikit terbuka, membawa aroma asin yang khas, bercampur dengan harum tubuh Livia yang baru mandi. “Aku mau kamu tidur nyenyak malam ini,” ucap Zayn, duduk di sebelah Livia dan menyentuh pelipis gadis itu
Senja di pantai telah berlalu. Langit mulai menggelap, dihiasi semburat jingga terakhir yang tergurat di cakrawala. Suara ombak terdengar lebih dalam, bergulung perlahan seolah bernyanyi pelan menyambut malam. Aroma garam dan pasir masih melekat di udara, menyatu dengan suara kicauan jangkrik yang mulai mengambil alih tugas burung-burung siang. duduk sendirian di balkon kamar resort yang menghadap langsung ke laut. Kakinya dilipat di kursi rotan panjang, dengan handuk yang masih tersampir di bahunya. Angin malam membelai rambutnya yang belum sepenuhnya kering, membuat helaian-helaian lembut itu berterbangan membingkai wajahnya yang murung.Pikirannya melayang entah ke mana. Tadi siang terlalu aneh. Kedatangan Aisha yang tiba-tiba, raut wajah Zayn yang terlihat tajam sesaat setelah itu, dan… pertengkaran kecil dengan Serenity di dapur barusan tentang kenapa Livia masih terus bersikap terlalu "baik" pada orang seperti Aisha.Tapi bukan itu yang paling menghantuinya.Yang membuat hatiny
Mentari pagi menyapa dengan sinar keemasan yang hangat, memantul lembut di sela tirai kamar Livia dan Zayn. Angin berembus pelan dari jendela yang sengaja dibuka setengah, membawa aroma laut yang samar-samar mulai terasa sejak malam sebelumnya. Hari ini bukan hari kerja, bukan pula hari kuliah. Hari ini adalah hari yang Livia tunggu-tunggu dengan hati berdebar dan wajah berseri—hari Minggu, hari libur yang telah dijanjikan oleh Zayn sejak pertengkaran terakhir mereka.Liburan kecil ini seperti penawar luka, cara Zayn menebus luka-luka kecil yang mungkin belum sembuh sepenuhnya di hati Livia. Dan gadis itu dengan pakaian pantai yang sudah ia siapkan sejak dua hari lalu, lengkap dengan topi bundar lebar dan sunblock yang dibelinya secara impulsif karena "biar mirip cewek-cewek drama Korea" bangun lebih pagi dari biasanya, penuh semangat dan… berisik, seperti biasa."Zayn! Bangun! Kita bisa kena macet kalau telat!" teriak Livia sambil mengguncang-guncang tubuh pria itu yang masih berseli
Cahaya lampu tidur yang temaram membuat bayangan wajah Zayn dan Livia membaur di dalam keheningan kamar. Livia menatap lelaki di hadapannya itu dengan sorot mata yang masih menyimpan luka, namun juga penuh keraguan dan harapan. Sementara Zayn, duduk di tepi ranjang seolah menahan jarak agar tak semakin menyakiti gadis yang telah diam-diam mencuri tempat dalam hidupnya."Aku gak ngerti, Zayn…" suara Livia pecah, pelan, nyaris seperti bisikan, namun penuh tekanan batin. "Kadang kamu manis banget, perhatian kayak yang benar-benar peduli… tapi tiba-tiba kamu bisa berubah jadi orang asing yang dingin banget. Aku gak ngerti harus gimana."Zayn terdiam, tak langsung menjawab. Ia menatap jemarinya sendiri, lalu dengan pelan mengusap wajahnya, seakan mencoba menghapus topeng keras yang biasa ia kenakan.“Aku… bukan orang baik, Liv,” katanya akhirnya. “Duniaku bukan tempat yang layak buat seseorang sepertimu. Bahkan kadang aku sendiri takut… takut kamu suatu hari sadar dan pergi…”Livia mendeng