Share

Perjanjian Pranikah

"Apa sebenarnya maksudnya ini?" tanyaku pada Arya keesokan harinya di kedai kopi Sakko pilihannya untuk membicarakan detil maksud yang Arya sampaikan pada kedua orangtuaku kemarin.

"Aku melamarmu," jawab Arya singkat.

"Kenapa kamu memilihku?" 

"Karena aku mengenalmu."

"Sejak kapan kamu menyukaiku sehingga kamu melamarku?"

"Apa kamu ingin aku jujur?"

"Tentu, kejujuran itu sangat penting bagiku."

"Baik, tapi kamu tidak boleh baper dengan perkataanku, aku tidak menyukaimu, aku hanya ingin menikahimu dan memiliki status sebagai seorang suami agar keluargaku tidak lagi menjodohkanku dengan wanita-wanita yang tidak kukenal dan juga agar aku bisa tinggal bersama lagi dengan Larissa, putriku." Aku terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh mantan kakak kelasku itu, dan aku sedikit kecewa dengan jawabannya.

"Kenapa kamu diam? apa kamu kecewa dengan jawabanku? apa jangan-jangan kamu berpikir aku melamarmu karena menyukaimu? haha, kamu lucu, di usia kita perasaan-perasaan seperti itu tidak terlalu penting lagi, yang kita kejar sekarang adalah status pernikahan, karena hal itulah yang dibutuhkan oleh masyarakat termasuk keluarga kita masing-masing." Lanjut Arya lagi, namun aku masih belum mengatakan sepatah katapun, aku membiarkan Arya mengutarakan pendapat dan tujuannya hendak menikahiku itu. 

Aku dikagetkan oleh seorang pelayan kedai kopi yang ternyata aku mengenalnya, Ayas. Dia adalah teman SMAku meski kami berbeda kelas namun kami sama-sama bergabung di ekstrakurikuler Paskibra. Kami mengobrol banyak mengenai aktivitas masing-masing, kulihat Arya hanya diam tak senang ketika kami mengobrol.

"Siapa dia?" tanya Arya setelah Ayas pergi ke meja barista untuk kembali bekerja.

"Teman SMA," jawabku singkat.

"Oh, lalu bagaimana dengan urusan kita berdua? lusa aku akan membawa keluargaku untuk melamarmu secara resmi sekaligus menentukan tanggal pernikahan kita."

"Haha, kamu itu lucu sekali, apa kamu yakin kalau kita akan menikah?"

"Orangtuamu sudah setuju, mau bagaimana lagi?"

"Yang menikah itu aku, bukan orangtuaku."

"Tapi dalam agama kita, anak perempuan itu milik ayahnya."

"Aku tidak bisa menerimamu jika tujuan pernikahan hanya untuk mendapatkan validasi dari masyarakat atau mendapatkan kembali putrimu."

"Gadis, hidup ini tidak harus sesuai dengan apa yang kamu mau, adakalanya sesuatu di luar kontrol itu terjadi, dan aku yakin, kamu juga lelah dengan keadaanmu yang kerap kali gagal membina hubungan. Sekarang apa lagi yang kamu mau? ada seorang laki-laki yang hendak menikahimu, dan setelah itu kamu mendapatkan kebebasan yang kamu mau. Kamu salah jika aku menikahimu untuk menjadi istri dan ibu yang baik, tapi aku menikahimu untuk memberikanmu kebebasan dari belenggu konstruksi sosial, kita gak bisa melawan itu." Aku hanya terdiam dengan penuturannya, memang benar aku sudah lelah dengan hidup monoton yang kujalani ini, dalam hati kecilku, aku sangat mendambakan validasi, status di masyarakat. Aku capek mendengar ketika banyak orang membicarakanku di belakang karena aku belum menikah, dan aku muak dengan semua laki-laki yang menolakku dengan berbagai alasan. Aku benci dengan semua itu, aku ingin hidup normal seperti yang lain, meskipun nantinya aku akan mengalami pasang surut kehidupan, namun itu jauh lebih baik daripada menjalani hidup yang monoton seolah tidak bergerak.

"Baiklah, aku bersedia menjadi istrimu, lalu apa kita akan menjadi pasangan suami istri seperti halnya pasangan normal lainnya?"

"Hahaha, tidak, kita akan menjalani hidup yang berbeda dengan pasangan lain, mungkin di luar kita akan berpura-pura menjadi pasangan ideal, tapi sebenarnya kita menjalani kehidupan kita masing-masing, kamu dengan jalan hidupmu dan aku dengan jalan hidupku."

"Maksudmu? kita akan menjalani kehidupan masing-masing setelah menikah? lalu kita tidak akan melakukan hubungan seksual layaknya pasangan suami istri begitu?"

"Pertanyaanmu terlalu ekstrim, aku sampai tersedak mendengarnya, bagaimana kita akan melakukan hubungan seksual kalau rasa cinta saja tidak ada? tapi sebagai suami di atas kertas yang baik, aku akan tetap menafkahimu, kamu tenang saja."

"Apa kamu yakin kalau kamu tidak akan jatuh cinta padaku? lalu, kehidupan macam apa yang akan aku bangun nanti? bagaimana kalau aku ingin memiliki anak? apa kamu akan membina hubungan dengan wanita lain setelah kita menikah?"

"Aku tidak akan membina hubungan dengan wanita lain selagi kamu masih jadi istriku, jatuh cinta padamu? aku tidak tahu kalau itu, tapi kamu bukan kriteriaku. Seperti yang sudah kukatakan kalau kita akan menjalani kehidupan masing-masing, asal tidak melanggar norma."

"Melanggar norma, aku ingin tertawa mendengarnya, bukankah pembicaraan kita sudah melawan norma?" Kulihat Arya hanya tersenyum mendengarnya, kemudian dia mengambil selembar kertas dan bolpoint, dia menyerahkannya padaku. Saat kubaca, kertas itu berisi beberapa poin seperti layaknya perjanjian pranikah dan harus kami berdua sepakati. Aku membaca poin-poin seperti boleh dan tidak boleh dilakukan baik olehku maupun Arya. Dia sendiri seperti sudah mempersiapkan segalanya, di kertas itu Arya sudah menandatangani surat perjanjian pranikah yang dibuatnya sendiri, aku pun menandatangani kertas itu, aku merasa telah menodai kesakralan sebuah pernikahan, tapi aku tidak bisa melawan pahitnya sebuah sistem di masyarakat.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status