Share

Pernikahan Tanpa Cinta

Akhirnya aku menikah dengan Arya Dirgantara, seniorku ketika di SMP, aku sama sekali tiadk menyangka aku dan dia akan menikah, kulihat seorang anak perempuan berusia dua tahun yang digendong oleh ibunya Arya. Akhirnya aku kalah dengan sebuah konstruksi sosial yang membelenggu masyarakat bahwa seorang perempuan berusia kepala tiga tidak memiliki kuasa untuk menolak pinangan laki-laki yang hendak melamarnya, meskipun pilihan itu bertolak belakang dengan keinginanku. Sebagai perempuan tentunya aku ingin menikah dengan seseorang yang tulus mencintai dan menerimaku apa adanya. Aku melihat ayah dan ibuku berulangkali mengusap sudut matanya, mereka menangis? Aku tidak tahu mereka menangis karena sedih atau lega, akhirnya anak perempuannya yang perawan tua menikah juga dengan seorang laki-laki tampan dan mapan meskipun berstatus duda beranak satu. Ingin sekali aku berlari dari situasi ini, namun tidak bisa karena merasa aku dirantai oleh belenggu konstruksi sosial yang sudah melekat di masyarakat. Usia segini harus punya ini itu, usia segitu harus sudah menikah, usia sekian harus punya anak dan tekanan-tekanan lain yang membuatku bahkan orang-orang diluaran sana juga rasakan. Aku menyerah pada status sosial yang dalam beberapa detik ini akan berubah menjadi seorang istri. 

"SAH!" orang-orang berteriak, banyak orang yang menyaksikan akad nikahku itu berdoa, aku menutup mata merasakan sakit di dalam hati, kini aku tidak bisa lari lagi, selamat tinggal masa lajang, selamat datang kehidupan baru yang entah seperti apa, aku tidak tahu bagaimana nasibku ke depannya. Aku merasa lelah, hatiku serasa terbakar, aku pasrah.

**

Setelah akad nikah dan resepsi, aku dibawa ke rumah Arya, sebuah rumah yang cukup besar untuk pengantin baru. Ah, pengantin baru, mungkin sebutan pengantin baru hanya akan menjadi sebuah status di masyarakat, aku tidak benar-benar menyandang gelar pengantin baru. Larissa, putri Arya masih tinggal di rumah mantan mertuanya. Apakah aku yang akan mengasuh Larissa? Apakah aku sanggup menjadi ibu tiri untuk putrinya Arya? Memikirkannya saja kepalaku sudah pusing.

"Istirahatlah di kamar utama, nanti barang-barangmu akan aku bawa ke sana." Ujar Arya setelah melihatku memegang kepala, mungkin dia pikir aku beneran sakit kepala. Aku hanya mengangguk dan segera menuju ke kamar utama untuk sekedar merebahkan diri di atas tempat tidur. Kulihat kamar bercat abu-abu itu dengan dekorasi modern dan kebarat-baratan dengan seksama. Aku berpikir kenapa Arya menyuruhku untuk menempati kamar utama? lalu kamarnya di mana? apakah kami tidur saru kamar? pikiranku sudah melanglangbuana ke mana-mana, aku segera mengenayahkan pikiran kotor itu. Tidak mungkin Arya mau tidur sekamar denganku, bukankah dalam perjanjian pranikah itu tertulis kalau kami tidur di kamar yang terpisah? ah, aku tidak tahu, toh tidak masalah buatku jika Arya menginginkan tidur sekamar denganku, bukannya aku sudah menjadi istri sahnya? 

Sebenarnya dalam lubuk hatiku, aku merasa senang sekaligus sedih, senang karena telah menjadi pengantin, dan sedih karena pernikahanku hanya sekedar di atas kertas, aku tidak benar-benar melakoni peran sebagai seorang istri. Mungkin ini adalah jalan takdirku, aku tidak tahu apakah pernikahanku akan menjadi pernikahan tanpa cinta selamanya? atau cinta akan benar-benar hadir di dalam pernikahan kami? Aku berbaring di atas kasur sambil menatap langit-langit. TIba-tiba Arya datang membawakan dua koper berisi pakaian dan barang-barangku ke kamar. Aku tidak mengindahkan Arya dan tetap berbaring sambil menatap langit-langit.

"Kalau kamu lapar ada beberapa cemilan di kulkas, aku akan pergi ke luar dulu membeli makanan, tidak akan lama kok." ujar Arya padaku, mendengar Arya akan keluar, aku refleks bangkit dari kasur.

"Aku ikut, aku tidak mau ditinggalkan sendirian di rumah ini." sergahku.

"Kenapa harus ikut? aku hanya akan pergi membeli nasi goreng ke depan, tidak akan lama kok."

"Enggak, pokoknya aku ikut, aku juga butuh udara segar."

"Oke, kalau begitu ayo!" aku segera memakai jaket, karena hari sudah petang dan mengikuti Arya ke luar, kami pergi menggunakan motor vespa maticnya yang unik dan catchy.

Hari sudah malam ketika kami sampai di tempat nasi goreng lesehan, setelah memesan nasi goreng, aku dan Arya segera pergi ke mesjid yang tak jauh dari tempat nasi goreng berada untuk melaksanakan sholat maghrib. 

"Bagaimana menurutmu? enak?" tanya Arya setelah kami kembali dari mesjid dan nasi gorengnya sudah ada. 

"Enak," jawabku singkat.

"Oke, kita akan membicarakan lagi tentang apa yang akan kita lakukan pasca menikah." uajr Arya, aku hanya mengangguk untuk yang kedua kalinya tanpa banyak bicara dan hanya menyantap nasi goreng.

"Agar pernikahan kita terasa seperti nyata, aku akan mengajakmu untuk pergi bulan madu ke Yogyakarta." Mendengar kata bulan madu, aku langsung tersedak, Arya dengan sigap segera mengambil air minum untukku.

"Bulan madu? sebelumnya kita tidak pernah membicarakannya,"

"Iya, ini mendadak, orangtuaku diam-diam memesankan tiket bulan madu ke gudeg itu, aku tidak bisa menolak, lagipula cuti kerjaku masih dua minggu lagi."

"Lalu, kita ngapain di sana?" giliran Arya yang tersedak, aku mengambil gelas air minum padanya.

"Di sana kita bisa melakukan apapun, jalan-jalan, melihat pantai, melihat candi, banyak. Kenapa kamu berpikir sempit? apa yang kamu pikirkan?"

"Aku tidak memikirkan apa-apa, hanya saja aku merasa canggung, pikiranku masih belum konek sampai detik ini, maaf."

"Oke, kita di sana hanya satu minggu kok, kita bisa pergi ke manapun yang kamu mau, atau mau belanja, terserah."

"Oke, aku setuju," mendengar kata belanja membuatku bersemangat lagi, aku segera menyantap nasi goreng spesial yang kupesan sampai habis.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status