หน้าหลัก / Rumah Tangga / GADIS / Jejak Langkah yang Tak Terarah

แชร์

Jejak Langkah yang Tak Terarah

ผู้เขียน: Zee
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2024-10-01 14:57:27

Seminggu berlalu sejak percakapan itu, dan tidak ada yang berubah. Arya tetap menjaga jarak, tenggelam dalam kesibukan kantornya dan Larissa. Aku? Aku terus melangkah di lorong kosong hidupku, tanpa tujuan jelas.

Hari-hari rasanya melebur menjadi satu, membentuk siklus yang monoton. Pagi-pagi sekali aku bangun, menyiapkan sarapan yang sering kali hanya kubuat untuk diriku sendiri, karena Arya lebih sering makan di luar. Setelah itu, aku menghabiskan waktu dengan hal-hal kecil, seperti membersihkan rumah meskipun sudah ada asisten rumah tangga. Aku merasa butuh sesuatu untuk kulakukan, agar tidak sepenuhnya merasa tak berguna.

Siang itu, di tengah heningnya rumah yang terasa begitu asing bagiku, ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk dari seorang teman lama, Shinta. Kami sudah lama tidak bertemu sejak aku pindah ke kota ini.

"Gadis, kapan kamu ada waktu? Aku kangen ngobrol bareng."

Aku menghela napas. Ajakan dari Shinta seharusnya bisa menjadi pelarian, setidaknya untuk sejenak melupakan kegelisahanku. Tapi aku ragu. Entah kenapa, sejak menikah dengan Arya, aku merasa seperti terasing dari dunia luar. Ada rasa malu yang terus membayangi, seolah-olah aku harus menyembunyikan pernikahanku ini karena takut orang lain tahu betapa berantakannya kehidupanku sekarang.

Namun, setelah merenung sebentar, aku memutuskan untuk membalas pesan itu.

"Aku bisa besok siang. Kita ketemu di tempat biasa, ya."

Shinta membalas cepat dengan emoji tersenyum. Aku tersenyum tipis, walau hatiku masih berdebar cemas. Mungkin pertemuan ini bisa memberikan sedikit warna dalam kehidupanku yang mulai memudar.

Keesokan harinya, aku pergi menemui Shinta di sebuah kafe yang biasa kami kunjungi dulu. Rasanya seperti nostalgia, tapi dengan suasana yang berbeda. Ketika aku sampai, Shinta sudah duduk di sana, melambaikan tangan dengan senyumnya yang cerah.

"Gadis! Kamu tambah cantik sekarang," serunya sambil memelukku. Aku hanya bisa tersenyum kaku, tidak merasa seceria yang dia lihat.

Kami duduk dan memesan minuman. Setelah obrolan ringan seputar pekerjaan dan teman-teman lama, akhirnya Shinta menanyakan sesuatu yang sudah kutebak akan muncul sejak awal.

"Jadi, bagaimana kehidupan pernikahanmu?"

Aku terdiam sesaat. Pertanyaan itu sederhana, tapi begitu berat untuk kujawab. Rasanya tidak mungkin bagiku menceritakan yang sebenarnya. Bagaimana aku bisa menjelaskan bahwa pernikahan yang diimpikan kebanyakan orang justru membuatku terjebak dalam kesepian dan kebingungan?

“Baik-baik saja,” jawabku akhirnya, dengan senyum tipis yang jelas-jelas palsu. “Kami masih beradaptasi, biasa lah... namanya juga pernikahan baru.”

Shinta menatapku sejenak, seolah mencoba membaca lebih dalam dari jawabanku yang singkat. "Gadis, kamu yakin baik-baik saja? Aku tahu kamu. Kamu bukan tipe orang yang bisa menyembunyikan sesuatu dari ekspresimu."

Aku tersentak. Shinta memang selalu bisa melihat apa yang tersembunyi. Dia bukan sekadar teman biasa, tapi seseorang yang bisa membaca diriku lebih dari orang lain.

“Aku…” Aku terdiam, menatap meja di depanku. Haruskah aku bercerita? Apa ini waktunya untuk membuka diri?

“Kamu tahu, Sin,” akhirnya aku berbicara, “pernikahan ini tidak seperti yang aku bayangkan. Arya... dia orang yang baik, tapi rasanya seperti kami tidak benar-benar bersama. Dia lebih sibuk dengan pekerjaannya, dan aku... aku hanya merasa seperti bagian dari rutinitasnya, bukan hidupnya.”

Shinta menatapku dengan penuh simpati. “Gadis, pernikahan memang tidak selalu mudah. Tapi jika kamu merasa seperti itu, apa kamu sudah bicara dengannya?”

Aku mengangguk. "Aku sudah mencoba. Tapi setiap kali aku membuka topik ini, dia seolah-olah tidak ingin melanjutkan pembicaraan. Katanya, dia menikah bukan karena cinta, dan dia tidak bisa memberikan lebih dari yang sekarang."

"Jadi, kalian seperti... hidup bersama tapi terpisah?" tanya Shinta, mencoba merangkai situasi yang kusampaikan.

"Ya," jawabku lirih. "Itulah yang kurasakan. Aku... aku hanya merasa sendirian, bahkan ketika dia ada di rumah. Aku ingin mencoba, tapi aku tidak tahu apakah ada gunanya."

Shinta menatapku dalam-dalam. "Gadis, kamu berhak bahagia. Kamu berhak untuk mendapatkan perhatian dan cinta dalam pernikahan ini. Jika Arya tidak bisa memberikannya, kamu harus memutuskan apa yang terbaik untukmu. Kamu tidak bisa terus seperti ini."

Aku terdiam, merenungkan kata-kata Shinta. Mungkin dia benar. Mungkin aku harus berhenti menunggu Arya untuk berubah, karena mungkin perubahan itu tidak akan pernah datang. Tapi di sisi lain, aku takut. Takut untuk menghadapi kenyataan bahwa mungkin pernikahan ini memang tidak akan pernah seperti yang kuharapkan.

Pertemuan kami berakhir dengan Shinta memberiku pelukan hangat, menyuruhku untuk tidak ragu-ragu menghubunginya jika aku butuh bicara. Aku pulang dengan pikiran yang bercampur aduk, merasa sedikit lebih ringan, namun tetap penuh keraguan.

Ketika aku sampai di rumah, Arya sudah ada di ruang tamu, duduk di sofa sambil bermain dengan Larissa. Pemandangan itu, meskipun menyenangkan, tidak bisa menghapus kegelisahanku. Arya memang ayah yang baik, tapi sebagai suami, dia jauh dari apa yang aku butuhkan.

Aku melepas sepatuku dan melangkah masuk, menatap Arya yang hanya melirik sebentar sebelum kembali fokus pada Larissa. Aku merasa seperti bayangan di rumah ini, ada tapi tidak benar-benar diperhatikan. Bagaimana aku bisa terus hidup seperti ini?

Malam itu, aku memutuskan untuk menulis di jurnal yang sudah lama kusimpan. Aku butuh tempat untuk melampiaskan semua perasaan yang terpendam ini, dan menulis adalah caraku bertahan. Dalam tulisan itu, aku mencurahkan segala rasa sakit, kebingungan, dan harapan yang mulai pudar. Aku menulis tentang mimpi-mimpi yang perlahan memudar sejak aku menikah. Tentang cinta yang tidak pernah hadir di antara kami.

Ketika aku menutup jurnal itu, aku merasa sedikit lebih lega. Tapi aku tahu, ini bukan solusi. Aku harus membuat keputusan, entah bagaimana caranya. Aku tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang, tanpa arah dan tujuan.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, aku mempertimbangkan kemungkinan yang selama ini selalu kutolak. Mungkin... mungkin aku harus mencari kebahagiaanku sendiri, meski itu berarti harus meninggalkan semuanya.

***

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • GADIS   Keretakan yang Tak Terelakkan

    Waktu terus berlalu, hampir tiga bulan sejak aku mulai bekerja. Hidupku mulai terbagi antara pekerjaan dan rutinitas di rumah, meski hati ini masih terus kosong. Arya tetap menjalani hari-harinya seperti biasa, sibuk dengan pekerjaannya dan sesekali menghabiskan waktu dengan Larissa, tapi interaksinya denganku tetap sebatas formalitas. Tidak ada percakapan mendalam, tidak ada kehangatan.Aku sadar bahwa pernikahan kami semakin renggang. Kadang, aku bertanya-tanya apakah Arya sadar atau memang dia tak peduli. Entahlah, mungkin dia merasa nyaman dengan pengaturan ini—aku menjalani hidupku, dia menjalani hidupnya. Tapi di dalam hatiku, aku merasa terjebak dalam pernikahan tanpa arah. Setiap hari rasanya semakin sulit untuk bertahan.Setelah Arya pergi kerja, aku berusaha menenangkan pikiranku yang kacau. Pikiran tentang perceraian, kehilangan Larissa, dan kenyataan pahit bahwa Arya tidak pernah mencintaiku terus menghantuiku. Tapi, ada satu hal yang lebih menyakitkan: perasaan tak berday

  • GADIS   Pertemuan dengan Realita

    Hari-hari setelah percakapan dengan Shinta terasa semakin berat. Setiap kali aku melihat Arya dan Larissa, hatiku semakin tenggelam dalam keraguan. Bukan karena aku membenci mereka, tapi lebih karena rasa terasing yang terus tumbuh di dalam diriku. Arya mungkin suami di atas kertas, namun nyatanya kami seperti dua orang asing yang hidup bersama tanpa ikatan emosional yang nyata.Suatu sore, setelah Arya pulang kerja, aku memberanikan diri untuk bicara dengannya. Larissa sudah tidur dan kami duduk di ruang tamu, suasananya hening, hanya suara jam dinding yang berdetak perlahan.“Arya, kita perlu bicara,” kataku, suaraku terdengar lebih gemetar dari yang kuharapkan.Dia mengangkat kepalanya dari ponsel dan menatapku dengan mata datar. “Tentang apa?”Aku menelan ludah, berusaha mengumpulkan keberanian. “Tentang kita. Tentang pernikahan ini.”Ekspresi Arya tidak berubah, tetapi aku bisa melihat sedikit kekesalan melintas di matanya. “Gadis, aku sudah bilang, pernikahan ini tidak didasarka

  • GADIS   Jejak Langkah yang Tak Terarah

    Seminggu berlalu sejak percakapan itu, dan tidak ada yang berubah. Arya tetap menjaga jarak, tenggelam dalam kesibukan kantornya dan Larissa. Aku? Aku terus melangkah di lorong kosong hidupku, tanpa tujuan jelas.Hari-hari rasanya melebur menjadi satu, membentuk siklus yang monoton. Pagi-pagi sekali aku bangun, menyiapkan sarapan yang sering kali hanya kubuat untuk diriku sendiri, karena Arya lebih sering makan di luar. Setelah itu, aku menghabiskan waktu dengan hal-hal kecil, seperti membersihkan rumah meskipun sudah ada asisten rumah tangga. Aku merasa butuh sesuatu untuk kulakukan, agar tidak sepenuhnya merasa tak berguna.Siang itu, di tengah heningnya rumah yang terasa begitu asing bagiku, ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk dari seorang teman lama, Shinta. Kami sudah lama tidak bertemu sejak aku pindah ke kota ini."Gadis, kapan kamu ada waktu? Aku kangen ngobrol bareng."Aku menghela napas. Ajakan dari Shinta seharusnya bisa menjadi pelarian, setidaknya untuk sejenak melupak

  • GADIS   Tak Dianggap

    Setelah perjalanan bulan madu yang tidak berkesan itu selesai, aku dan Arya kembali pulang ke kota kami, di sana aku tinggal di rumah Arya, dan putrinya yang bernama Larissa yang masih batita juga kini diasuh oleh ayah kandungnya sekarang, karena kini Arya sudah menikah jadi hak asuh putri semata wayangnya dengan mendiang istrinya itu kembali jatuh ke pelukannya. "Aku sangat berterimakasih padamu Gadis, sekarang putri kecilku ini kembali lagi padaku, aku sangat bahagia. Dan kamu gak usah khawatir, kamu tidak perlu capek-capek mengurus Larissa, aku sudah menyewa baby sitter, jadi kamu tidak perlu khawatir. Kamu bisa melakukan apapun yang kamu sukai, kembali bekerja atau bermain dengan teman-temanmu, terserah, kamu tidak perlu membebani dirimu sendiri dengan kewajiban sebagai istri maupun ibu, semuanya sudah kuatur, ada asisten rumah tangga dan baby sitter yang akan mengurus semuanya, jadi kamu tak perlu khawatir." ujar Arya padaku ketika berada di kamar. Karena aku tidak memiliki wew

  • GADIS   Bulan Madu

    Keesokkan harinya, aku dan Arya bersiap-siap untuk naik kereta menuju Yogyakarta untuk bulan madu. Aku memilih kursi dekat jendela sedangkan Arya duduk di sebelahku. Sudah lama aku tidak pernah naik kereta, terakhir kali aku naik kereta saat berusia 14 tahun, ketika melakukan perjalanan study tour ketika SMP. Perjalanannya cukup jauh, aku mencoba untuk tidur tapi tidak bisa, kulihat Arya tengah tertidur, kaca mata yang bertengger di matanya membuatnya semakin manis. Aku menatap wajah suamiku itu dengan lekat, tampan. Sebenarnya aku sudah jatuh cinta kepada Arya ketika dia melakukan ijab qobul dengan ayahku. Tapi aku mencoba memendamnya karena takut cintaku tidak berbalas seperti yang sudah-sudah. Kami tinggal di sebuah villa dengan dua kamar yang biasa disewakan, aku dan Arya tidur di kamar terpisah. Sebenarnya hatiku sedih, ternyata Arya tidak main-main, dia menikahiku hanya sebuah status di atas kertas itu benar dan tak dibuat-buat. Sedih sebenarnya namun aku tidak bisa melakukan p

  • GADIS   Pernikahan Tanpa Cinta

    Akhirnya aku menikah dengan Arya Dirgantara, seniorku ketika di SMP, aku sama sekali tiadk menyangka aku dan dia akan menikah, kulihat seorang anak perempuan berusia dua tahun yang digendong oleh ibunya Arya. Akhirnya aku kalah dengan sebuah konstruksi sosial yang membelenggu masyarakat bahwa seorang perempuan berusia kepala tiga tidak memiliki kuasa untuk menolak pinangan laki-laki yang hendak melamarnya, meskipun pilihan itu bertolak belakang dengan keinginanku. Sebagai perempuan tentunya aku ingin menikah dengan seseorang yang tulus mencintai dan menerimaku apa adanya. Aku melihat ayah dan ibuku berulangkali mengusap sudut matanya, mereka menangis? Aku tidak tahu mereka menangis karena sedih atau lega, akhirnya anak perempuannya yang perawan tua menikah juga dengan seorang laki-laki tampan dan mapan meskipun berstatus duda beranak satu. Ingin sekali aku berlari dari situasi ini, namun tidak bisa karena merasa aku dirantai oleh belenggu konstruksi sosial yang sudah melekat di masyar

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status