GAIRAH CINTA TERLARANG
PART 5
Tidak terasa umur Arisya sudah lima bulan. Kesehatanku sudah kembali normal. Semua pekerjaan sudah bisa aku lakukan sendiri. Namun, Mas Satria memintaku untuk fokus dengan anak-anak.
Mas Satria menyewa dua orang babysitter untuk membantu mengurus anak-anak. Dia memang lelaki idaman semua wanita. Selalu memperlakukanku dengan sempurna tanpa cacat.Hidup yang sangat indah, memiliki keluarga yang penuh dengan cinta dan kasih sayang. Orangtua yang menyayangiku sepenuh hati. Serta mertua yang baik hati, selalu memperlakukanku layaknya anak sendiri."Ma, Papa minta izin ada tugas keluar kota selama tiga hari," ujar Mas Satria saat sarapan pagi.Aku terkesiap. Terkesan mendadak, tidak seperti biasanya. Mencoba menetralkan suasana. Menepis segala praduga yang kembali datang dengan tiba-tiba.
"Kenapa baru bilang sekarang, Pa? maunya kan semalam biar mama masukin koper baju Papa," jawabku cepat.
"Semua sudah siap, sayang," balasnya dengan senyum indah.Mas Satria lelaki Mandiri. Banyak pekerjaan dia lakukan sendiri. Tidak mau merepotkanku yang mengurus tiga buah hatinya. Walau tak jarang protes kulayangkan kepadanya. Tugas utamaku melayani suami. Namun, Mas Satria menginginkanku memprioritaskan anak-anak.
Mas Satria menyelesaikan sarapannya. Aku berlalu menuju kamar. Tujuanku mengambil koper Mas Satria.
Beberapa menit kemudian, turun dari lantai dua dengan sebuah koper besar yang kuseret perlahan. Mas Satria tidak berada lagi di meja makan. Bayangnya sempat terlihat menuju pintu utama.
Segera berjalan mencari keberadaannya. Mas Satria berdiri diambang pintu dalam balutan jas hitam kesukaannya. Dasi biru muda melingkar sempurna di lehernya.
"Pergi sama siapa, Pa? tanyaku pelan."Sama Roby, Ma," jawab Mas Satria. Dia sibuk memainkan ponselnya."Belum nampak batang hidungnya tu anak." Netraku menatap ke arah mobil yang masih terparkir di garasi, sosok Roby tidak aku temui."Palingan masih di kamar, Ma," ujar Mas Satria santai.Sepuluh menit kemudian, Roby terlihat berjalan menuju mobil. Tidak seperti biasanya, lebih dulu menghampiri dan menyeret koper tuannya.
"Papa berangkat, jaga anak-anak kita ya, sayang!" pinta mas Satria. Dia memelukku erat.
"Papa hati-hati, ya! Sampai sana kabarin Mama." Aku memeluk dan menciumnya bertubi-tubi.Aku mengantarnya sampai garasi ternyata, Roby sudah standbay di balik kemudi. Sudah satu bulan dia kembali tinggal di paviliun belakang rumah. Aku berdiri melihat kepergian suamiku untuk mencari nafkah untukku dan anak-anak. Hingga mobil yang Mas Satria naiki hilang dari pengamatan netraku."Ya Allah, mudahkanlah jalan suamiku dalam mencari rezeki yang halal untuk keluarga kami." Do'a yang selalu kulantunkan dalam hati.Rezeki seorang suami tergantung dari bagaimana caranya dia memperlakukan istri dan orang tuanya. Doa seorang istri sangat mempegaruhi rezeki suami. Maka dari itu, sebagai istri solehah harus senantiasa mendoakan yang terbaik untuk suamiku.
****Hari ini, aku memiliki jadwal belanja keperluan anak-anak. Setelah memastikan semua keperluan anak-anak terpenuhi. Aku menitipkan mereka pada kedua babysitter yang setia membantuku.
"Mbak, titip anak-anak sebentar, saya mau belanja keperluan anak-anak," ujarku pada Imah dan Ani, dua gadis yang membantuku merawat Rangga, Adiba dan Arisya.
"Baik, Bu," jawab mereka sigap.Aku melangkah keluar menuju garasi. Mengeluarkan salah satu mobil mewah koleksi Mas Satria.
Aku memacu mobilku dengan kecepatan sedang. Niatku ingin belanja keperluan susu dan pamper untuk Arisya. Namun, di tengah perjalanan terbesit di hatiku untuk membeli baju baru untuk mereka bertiga.
Akhirnya mall terkenal di kotaku menjadi pilihan terakhirku. Meskipun tempatnya agak jauh dari rumahk. Hal itu tidak akan menjadi rintangan untukku. Menyalakan musik ringan kesukaanku dan Mas Satria menambah indah perjalananku hari ini.Sesampaiku di depan Mall, aku parkir mobil di tempat yang aman. Mulai memasuki Mall yang dipadati pengunjung. Suara bising menjadi ciri khas tempat ramai seperti ini.
Saat, aku hendak menuju lantai tiga dengan menaiki escalator netraku menangkap sosok yang tidak asing bagiku. Dia sedang bersama seorang wanita muda, mereka terlihat sangat akrab. Senyum bahagia merekah di wajah mereka berdua."Dia ... kenapa masih berada di kota ini, bukankah mereka mau keluar kota?" tanyaku dalam hati.
Mempercepat langkah untuk menghampiri lelaki yang selama ini sangat aku percaya dalam hidupku. Hari ini, kepercayaan seakan hilang melihat dia masih berada di kota yang sama denganku.
"Pa!" Panggilku saat aku dekat dengan meja yang mereka duduki."Mama." Kata yang terucap dari mulutnya."Ini siapa, Pa?" Tunjukku ke arah wanita muda yang berada disamping Mas Satria."Dia ini ... ini Talitha, Ma." Terlihat wajah mas Satria berkerut seperti memikirkan sesuatu."Katanya mau keluar kota, kok, masih ketawa-ketiwi di sini, Pa?" tanyaku ketus. Tidak mampu menyimpan kekesalan di hati."Duduk dulu Mbak!" Pinta Talitha lembut.Aku menuruti keinginan wanita muda di hadapanku. Tidak mungkin, aku langsung marah-marah tidak jelas kepada mereka. Bisa hancur reputasi kami bertiga di hadapan umum."Dia siapa, Pa?" tanyaku lagi."Saya teman dekat Roby, perkenalkan saya Talitha." Wanita muda itu tersenyum ke arahku seraya menjulurkan tanganya ke hadapanku."Saya Tania," balasku singkat dan menyambut uluran tangannya."Roby mana, Pa?" selidikku."Roby di bawah, Mbak. Barusan turun sebentar, ada keperluan," sahut Talitha santai."Sebentar ya, Ma. Papa telpon Roby dulu," ujarnya seraya menjauh dari tempatku dan Talitha."Mbak istrinya Pak Satria, ya?" tanya Talitha Ramah."Iya," jawabku singkat."Dasar wanita, jelas-jelas aku panggil Mas Satria "Papa" masih pake acara nanya lagi!" Dongkolku dalam hati."Beruntung sekali Mbak punya suami seperti Pak Satria yang sangat mencintai Mbak," ujarnya dengan wajah sumringah."Oh ya! Tau dari mana, kamu?" Aku menatapnya tajam."Roby yang cerita Mbak, Pak Satria juga sering cerita Mbak," tandasnya."Sering, kamu sering bertemu suami saya, ya?" tanyaku cepat."Hemmm ... nggak juga mbak, palingan kalau saya jumpa Roby," kilah Talitha."Berarti saat kalian bertemu selalu ngomongin saya, gitu maksudnya kamu, ya?" Cerocosku berusaha menahan emosi."Nggak gitu juga Mbak ....""Kalau nggak gitu, gimana juga, hah?" Entah kenapa aku tersulut emosi jika berhadapan dengan wanita yang dekat dengan Mas Satria."Heum ... gini lho Mbak, intinya, Mbak beruntung punya suami yang tampan, mapan dan sayang sekali sama Mbak, dah itu sajalah!" Talitha menatapku dengan tatapan yang tidak mampu aku artikan."Kemarin Karmila, hari ini Talitha, kenapa dua wanita ini seakan mengenal kehidupan sangat dalam, ya Allah, ada apa ini?" Batinku."Kamu pacarnya Roby, ya?" tanyaku memastikan."Hemmm, bisa dikatakan seperti itu Mbak." Talitha membuang nafas kasar, ada keraguan dari nada bicaranya."Roby tidak pernah cerita tentang kamu, sejak kapan kamu berhubungan dengan Roby?" tanyaku lagi."Kalau itu ... satu tahun, ya satu tahun, Mbak," katanya setelah terdiam beberapa detik."Maaf, Papa tadi sekalian ke toilet sebentar." Suara Mas Satria menghentikan pembicaraanku dengan Talitha."Kenapa Roby lama sekali, Pa?" tanyaku seraya melirik tajam ke arahnya."Maaf, Pak! Saya tinggal terlalu lama," ujar Roby dengan nafas ngos-ngosan."Dari mana kamu, Rob?" selidikku dengan menatap Roby dari ujung rambut hingga ujung kaki."Jumpa teman, Bu," dalih Roby tanpa berani menatapku."Kamu antar Talitha pulang, agar kita melanjutkan perjalanan kita," perintah Mas Satria berwibawa."Baik, Pak!" Sahut RobyTalitha diam tanpa kata, sesekali melirik ke arah Mas Satria. Aku bisa merasakan ada yang lain dalam diri Talitha. "Talitha pulang dulu, ya," pamitnya pada mas Satriaku."Iya, hati-hati di jalan," jawab mas Satria diiringi senyum khasnya yang sering dia sunggingkan kepadaku."Aku cemburu ya Allah, aku cemburu," lirihku dalam hati."Mbak, Talitha pamit, ya, Talitha harap kita akan berjumpa lagi," ujarnya dengan kedipan mata genitnya ke arahku."Iya," jawabku singkat, aku tidak suka dengan Talitha, gaya berpakaianya yang ketat dan tanpa hijab menambah ketidaksukaanku padanya.Aku tidak berhak menghakimi seseorang, aku juga bukan manusia sempurna. Apa lagi, Talitha yang baru saja aku kenali. Akan tetapi, dengan cara berpakaiannya yang tidak menutup auratnya membuatku risau dengan Mas Satriaku. Aku takut imannya tergoda melihat Thalita yang seksi dan mempesona.Part 143"Pak Revan, Bu Marsya perlu penanganan kejiwaaan," suara yang terdengar dari ponsel Revan."Baik, sebentar lagi kami ke sana," ujar Revan dengan helaan nafas.Awalnya Revan melarangku. Namun, setelah aku membujuknya , lelaki tampanku mengizinkanku ikut bersamanya."Apa mungkin Marsya gila?" tanyaku pada Revan, saat kami berada di dalam mobil."Mungkin saja, kita belum tahu kejelasannya."Kasian Marsya," lirihku."Nggak usah kasihan sama orang seperti Marsya. Dia pantas mendapatkannya," sahut Revan cepat.Setengah jam perjalanan, mobil Revan memasuki halaman kantor polisi di daerah rumah Ayah. Untuk kesekian kalinya menginjakkan kaki di tempat ini. Dalam situasi yang berbeda.Pihak kepolisian mengajak kami menuju ruangan sel Marsya. Kondisinya sangat menyedihkan. Dia meringkuk di sudut ruangan, tubuhnya terlihat lebih kurus dari biasanya. Langkah kaki kami yang semakin mendekat mengusik alam khayalnya."Tania, akhirnya kau datang menemuiku, apa kabar Kakak Iparku yang paling bo
Part 142 Air mata ini mengalir, bukan karena takut atau kecewa. Akan tetapi, karena bahagia melihat semangat Revan untuk mengukir senyum di wajahku."Kalian lihat istriku, wanita tegar dan hebat. Dia masih bisa berdiri tegar, setelah beragam prahara menguncang jiwanya. Saya mendengar ada beberapa yang berbicara miring tentang istri saya. Perlu kalian ketahui yang kalian katakan itu semuanya benar. Dia ....""Cukup, Van!" teriakku seraya melangkah menaiki panggung utama.Semua mata menatapku dengan berbagai tatapan yang tidak mampu aku definisikan. Kuberanikan diri meraih mikrofon di tangan Revan. Awalnya Revan ragu memberikannya padaku. Namun, aku meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja."Tentunya kalian bertanya-tanya dalam benak kalian, mengapa seorang Revan Adiwiguna menikah seorang janda sepertiku. Ya ... aku seorang janda dengan tiga orang anak, yang dua anakku meninggal karena polemik yang tercipta oleh suamiku terdahulu. Dan wanita tadi, dia adalah adik iparku "Marsya". Adiknya
Part 141Brruuuukk!Tubuh Revan terjatuh, ujung sepatunya menyentuh sisi karpet merah yang terbentang antara pintu keluar sampai ke depan panggung utama."Tania, awas!" teriak Revan seraya mencabut pistol di pinggangnya.Aku mencoba berlari menjauh, tapi gaun yang kukenakan menghalangi langkahku.Dor!Aaaaaaaa!Suara letusan senjata, di ikuti teriakan wanita di belakangku. Belati di tanganya terjatuh ke atas rumput, terlihat kilatan cahaya yang menandakan ketajamannya. Suara riuh para tamu undangan mengema memekakkan telinga. Revan bangkit, berlari merengkuh tubuhku yang kaku."Sayang, kamu tidak apa-apa, 'Kan?" tanyanya panik seraya meraba setiap inci tubuhku. Aku mengeleng pelan, wajah panik tergambar nyata di wajahku.Beberapa anggota polisi yang berjaga-jaga berlarian menerobos kerumunan para tamu undangan. Revan beranjak mendekati wanita yang sedang meringgis kesakitan akibat terkena pelurunya. Wanita itu berusaha bangkit, tangannya meraih belati yang tergeletak di atas rumput."
Part 140Seiring berjalannya waktu, cinta tidak kunjung saya utarakan. Tania bersikap layaknya sahabat sejati untuk saya, membantu biayai kuliah, membuatkan makanan kesukaan saya. Semua dia lakukan yang terbaik untuk saya, begitu juga saya selalu pasang badan untuk membuatnya bahagia. Namun kembali ke awal, label sahabat yang tercipta. Semakin hari, cinta saya semakin dalam untuknya. Akan tetapi rasa tidak pantas terus saja mendera hati. Hingga, jantung saya seperti berhenti berdetak tatkala Tania mengenalkan lelaki yang dulu menjadi suaminya. Dunia saya hancur, terpuruk dalam.Tegar ... sikap itulah yang saya tunjukkan padanya. Saya sempat percaya akan kalimat "AKU JUGA BAHAGIA ASAL DIA BAHAGIA" , tapi kenyataanya saya kalah, kalah pada perasaan sendiri. Memilih lari dari pada mati melihatnya menjadi milik orang lain." Revan menjeda ucapannya. Dia menatapku penuh cinta, para tamu diam tanpa bicara, acara begitu terasa sakral."Terima kasih," bisikku pelan."Boleh kah saya melanjutkan
Part 139Kami bergerak menuju ruangan CCTV, degup jantungku tidak tenang. Kenapa masih ada yang mengangguku? Padahal aku tidak pernah menganggu orang.Suami tampanku mengotak-atik isi di dalam layar monitor, mata awasku mengamati setiap pegerakan gambar yang tertera di layar monitor. Beberapa menit melihat secara rinci, tapi tidak ada yang terlihat membawa gaunku."Aaaaarrrrggghhh! Kenapa Tuhan terus mengujiku dengan begitu banyak masalah? Salah aku apa, hah?!" teriakku histeris. Kepalaku tidak sanggup memikirkan beban berat yang menyerang otakku.Mama memelukku erat, keringat dingin memabasahi tubuhku. Ini masih pagi, tapi hawa panas menyelimutiku. Tubuhku gemetar, wajahku mendadak pias, bermacam pikiran mengitari kepalaku."Van, gimana, ni?" tanya mama saat melihatku tersungkur dilantai.Terlihat Revan mengusap wajahnya kasar, menarik nafas dalam lalu membuangnya. Dia mondar-mandir di hadapanku, wajahnya panik, terlihat kekecewaan di wajahnya."Mama jaga Tania, Revan mau ke bawah se
Part 138Malam ini semua orang di rumah di sibukkan dengan berbagai pekerjaan untuk menyambut acara besok pagi. Rumah Ayah sudah di sulap bak negeri dongeng, dekorasi sungguh sangat sempurna. Melihat semua yang Revan persiapkan untukku membuatku takjub.Bersujud syukur kepada Allah menganugerahi lelaki yang mampu menjadi imam yang baik untukku. Suasana hati tidak mampu dilukiskan dengan kata-kata. Bahagia yang tiada duanya, meski ini bukan yang pertama."Tidak lama lagi kalian akan jauh dari kami," ujar Mama dengan raut wajah sedih."Ma ... kita 'kan bisa VC, telpon-telponan, lagian belum tentu kami selamanya di sana," ujarku lembut seraya membelai pundaknya Mama yang mulai terisak."Mama cuma sedih jauh dari kalian, tapi ... mama bisa apa, ini yang terbaik untuk kehidupan kalian, biarkan mama menanggung rindu ini seorang diri sampai waktu mempertemukan kita lagi," ujar mama seraya menyeka air mata di wajah senjanya."Maafkan Tania, Ma. Kehadiran Tania membuat Revan menjauh dari Mama