Wanita bergaya elegan itu, pasti merasa marah, karena nyatanya kehidupan kami, perlahan mulai membaik. Sejak aku menikah, aku hampir tak pernah mengulah lagi. Bahkan suara Papa tak pernah lagi terdengar keras saat berbicara, apalagi sampai memukulku.
Entah aku, atau pun dia yang berubah, aku sama sekali tak peduli. Yang jelas pernikahanku dengan Kahfi, membawa hal positif bagi keluarga kami.
"Kenapa, Mom? Bukankah hal itu tidak penting buat Mama?" Giliranku yang mentertawakannya.
"Kau sudah kelewatan, Key. Seharusnya ini kesempatanmu untuk menyingkirkan keluarga parasit itu. Mereka hanya ingin mengeruk harta Papamu saja. Kau tidak menyadari itu?"
"Sudah kubilang aku tak peduli. Aku hanya mementingkan kebahagiaanku saja saat ini. Mama sudah selesai? Mama sudah membuang banyak waktuku!" Aku bangkit, dan mengambil tas genggamku di atas meja.
"Mama belum selesai, Key." Wanita yang mengenakan blazer navy itu terlihat semakin bera
"No, Kahfi. I'm fine. Kau tidak perlu khawatir tentang hal itu." Aku berusaha menghilangkan rasa cemas di wajahnya."Benarkah?" Matanya masih mencari-cari di setiap inci wajahku."Kau bisa lihat sendiri, kan?" Aku meyakinkan. Lalu membingkai wajahnya dengan kedua telapak tanganku."Lain kali kalau ingin bertemu, kau bisa mengajakku." Kami masih dalam posisi saling memandang. Dan itu cukup membuatku bergairah."Kupikir kau tak mau lagi bertemu dengan Mama.""Aku akan mengawasimu dari jauh. Kau keberatan?""Course not. Kurasa aku juga harus berpikir ulang untuk menemuinya." Aku mengusap pipinya dengan ibu jariku."Baguslah! Jangan lagi menemuinya tanpa seizinku, kau bisa?""Sure. Itu hal yang mudah." Aku menarik wajahnya, lalu melepaskannya setelah basah. Dia tersenyum puas."Baguslah," ucapnya kemudian. "Lalu bagaimana dengan perkembangan kasus Elena?"Oh, shit. Meski
"Apa yang kau lakukan?" Aku langsung berang, karena nyatanya dia tak menepati janji."Sebentar saja. Aku ingin bicara padamu.""Tak ada lagi yang harus dibicarakan. Urusan kita sudah selesai."Dia tak lagi menjawab, malah semakin menyeretku ke sebuah ruangan. Apa ini? Gudang? Aku bahkan tak tahu ada ruangan seperti ini di hotel milik Papa. Apa tadi dia sengaja, menekan tombol ke lantai ini untuk menjebakku?Oh, shit! Seharusnya aku tahu dimana kantornya berada. Kenapa aku tidak menghindar sebelumnya, untuk menepati janjiku pada Kahfi."Kau mau apa lagi? Tidakkah kau merasa sedang menghianati Kahfi dari belakang?" rutukku, saat ia melepaskanku dari tangannya. "Dia bahkan sudah menganggapmu sebagai temannya. Tidakkah sedikit saja kau bisa menghargainya sebagai laki-laki yang sudah menikahiku?" Aku berteriak histeris.Dia terlihat gusar, sembari mengusap rambutnya yang di sisir rapi ke belakang."Maafkan aku, Key. Aku tidak b
"Elena tidak bersalah, Erik. Dia diperkosa dan hampir gila. Kau ingin aku bernasib sama seperti itu? Kau ingin balas dendam padaku?" Aku masih berusaha untuk membebaskan diri.Dia melepaskan wajahnya dari tubuhku, lalu memandangku dengan tatapan tak menentu. Tangan besar itu masih setia menggenggamku dengan tekanan, tak memberiku ruang gerak lagi tuk melepaskan diri."Apa maksudmu?""Laki-laki yang menghamili Elena, aku tahu siapa dia. Kau bisa lepaskan aku sekarang?" Aku menarik tanganku sekuat tenaga."Siapa?" Kulihat dia menelan salivanya, masih dengan napas yang memburu."Lepaskan saja aku. Akan kukatakan semuanya padamu.""Pembohong!" Dia kembali menghentakkan tubuhku. "Kau hanya beralasan.""Kalau begitu bunuh saja aku, Erik. Aku lebih baik mati, daripada menerima perlakuan kejimu seperti ini. Itu yang kau inginkan, kan?""Keji? Kau dulu menikmatinya, Key. Kita begitu saling mencintai.""Sem
Aku membenahi diri di toilet. Merapikan pakaian dan juga rambutku yang acak-acakan karena ulah Erik. Dia melepaskan dan membiarkanku pergi setelah tak mampu lagi meyakinkan hatiku."Kau akan mengadu pada Kahfi?" tanyanya saat duduk bersandar pada dinding pintu. Menghalangi aku yang ingin buru-buru keluar dari ruangan itu.Aku terpaksa ikut duduk bersamanya. Menjauh ke sudut ruangan, agar terhindar dari sentuhannya lagi. Dia bersedia menjaga jarak, begitu mata pena itu kuarahkan ke leherku, dan melaksanakan ancamanku tadi."Kau sudah bersiap untuk mati?" Aku berdecih, menjawab pertanyaannya. Dia sedikit tertawa."Kau punya rokok?" Dia menatapku, sembari mengulurkan tangannya."Aku sudah berhenti.""Kahfi melarangmu?""Itu bentuk rasa cinta kami," sinisku kemudian. Dia ikut berdecih."Kalian tidur bersama?""Hampir setiap malam." Raut wajahnya berubah kecewa."Kau ingin aku percay
Kahfi melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Berusaha bersikap tenang agar situasi di jalanan aman dan terkendali. Tak ingin tergesa-gesa atau membuatku semakin gugup.Sesekali ia menoleh ke arahku yang merasa ketakutan. Begitu cemas dengan berita yang baru saja kami dengar. Aku dan Kahfi bergegas berangkat, begitu menjawab panggilan dari Erik. Suaranya terdengar gelisah."Elena kritis. Overdosis obat tidur!" serunya, memberi tahu kami.Elena sampai tak sadarkan diri. Apa yang dia lakukan? Mencoba bunuh diri? Apa dia sudah merasa tak sanggup lagi? Dasar bodoh. Seharusnya dia minum alkohol saja, lalu melupakan semuanya. Aku bahkan bisa membelikannya sebungkus rokok setiap hari.Kenapa harus berpura-pura suci, dan bersikap bak malaikat di hadapan semua orang. Apa dengan begitu, dia merasa semua orang menyayanginya? Lalu kemudian membenci, dan membanding-bandingkan hidupnya dengan hidupku? Brengsek! Dasar jalang sialan. Bisa
"Terima kasih, Key. Kau baik sekali mau datang menjenguknya." Bibir pucat itu kembali bergetar, lalu menatapku.Apa? Kenapa menatapku? Berharap aku peluk? Oh, shit! Kini tanganku bergerak sendiri dan meraih bahunya. Membawanya dalam setengah pelukan dan menepuk-nepuk pundaknya."Terima kasih, Key...." Tangisnya semakin pecah di pelukanku.Oh, my God! Semudah itu menjadi orang baik? Dia sungguh-sungguh mengatakannya? Dia sama sekali tak menganggap kalau ini hanya sebuah pencitraan? Tidak. Aku benar-benar tulus. Dan kali ini aku benar-benar akan membantu Elena.Oh, astaga! Apa semua orang melihat kelakuan anehku saat ini? Apa Erik dan yang lainnya akan mentertawakanku karena memeluk wanita ini?Whatever!Bajingan tua itu! Kau akan segera membusuk di penjara. Atau di neraka sekalian."Aku butuh mobil." Kuulurkan telapak tangan pada Kahfi yang juga terlihat cemas."Mau kemana?" tanyanya kem
Aku tak menyangka bisa meninggalkan Kahfi begitu saja. Duduk bersandar di sofa empuk apartemen, tempat Soraya tinggal. Menyeruput segelas air sirup berwarna merah, dan tentunya... sebatang rokok kini terselip di antara bibirku."Elena benar-benar nekat." Soraya ikut syok mendengar berita dariku."Dan bodoh!" umpatku kesal. Jariku ikut bergetar memegangi batang nikotin yang baru saja kuhisap tadi."Bagaimana jika dia tak kembali sadar?"Aku terdiam. Membayangkannya saja sungguh membuatku merasa ngeri. Apa ini? Sebuah kematian? Di rumahku?Oh, no. Ini lebih menyedihkan ketimbang kepergian Mama, dan masuknya keluarga mereka ke rumah itu. Apa nanti arwahnya akan gentayangan?"Hentikan itu, Soraya! Dia pasti selamat. Itu hanya obat tidur. Aku bahkan sudah minum ratusan liter alkohol, dan aku merasa sangat sehat sekarang ini," gerutuku. Soraya tergelak, sembari memainkan ponselnya.Sudah ham
Aku mengemudikan mobil, menuju tempat yang dijanjikan Soraya. Masih kulihat motor besar Kahfi terparkir di bagian samping rumah. Ada apa dengannya? Marah, tapi masih saja menuruti keinginanku, untuk tak naik motor dengan setelan jasnya."Hai," sapaku, saat sampai di sebuah rumah yang cukup luas. Ada banyak orang di segala area."Keyra?" Dia membalas sapaanku dengan sangat ramah."Yes, i am. Satya, kan?""Ya." Dia mengulurkan tangannya, dan dengan penuh senyum aku menyambutnya.Soraya sialan! Menjebakku dengan drama konyol seperti ini. Konten youtube? Riset tentang psikologis anak? Kenapa tak langsung saja pada duduk persoalan. Apa harus menunggu Elena mati dulu?"Terima kasih untuk waktunya. Aku pikir kau setiap hari berada di sini.""Tidak. Hanya saat senggang saja.""Kau tidak keberatan aku mengambil gambar di tempat ini? Tidak merasa, bahwa ini ranah pribadi?""Tidak apa-apa