Share

BAB 3

Author: Ara Hakim
last update Last Updated: 2025-03-02 16:41:47

Jangan lupa klik “BERALANGGANAN”

“Dari mana malam-malam baru pulang, Bilqis?” Jam sebelas. Ibu masih menonton TV di ruang tamu. Azmi tampaknya belum pulang juga.

“Urusan kerjaan, Bu.”

“Haah. Pusing Ibu punya menantu kamu. Jangan-jangan kamu kerja gak bener, ya?” tuduh Ibu sambil menggoyang bahunya naik turun. Bibirnya mencebik.

“Terserah, deh, Bu. Aku juga pusing punya mertua kayak Ibu.”

“Uang belanja habis.”

“Terus?” tanyaku sambil mengangkat bahu dan dua tanganku, heran saja dengan pernyataan itu. Apa maksudnya aku yang harus mencukupi uang belanja? Memang selama tiga bulan ini kupenuhi, tetapi lihat saja setelah kusadap W******p Azmi dan kutahu mereka seperti itu, aku berhenti sekarang juga.

“Ya kamu pikirin, minyak goreng habis. Beras tinggal setengah. Stok mie di lemari tinggal dua. Telur di kulkas juga tinggal satu. Belum cabe, bawang, tomat ….” Ibu melanjutkan repetannya. Racauan yang merdu di tengah malam.

“Who cares. Gak peduli gue.” Aku bergumam.

“Apa? Rice cooker? Kamu malah mikirin beli rice cooker?” Lanjutnya.

Aku memutar bola mata dan menghentakkan kaki ke lantai. Kesal. Kumasuki kamar dengan membanting pintu, lalu menguncinya dari dalam. Kamar pribadiku. Azmi punya kamar sendiridan kami memang tidur terpisah sejak pertama kali menikah.

Ya. Kalian tak salah dengar. Aneh memang. Kami menikah, tetapi bukan layaknya suami istri.

***

“Ini desain baliho yang lu mau.” Berno menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan desain baliho itu. Kuraih ponsel itu.

“Ini bukan foto suami gue.” Kuletakkan lagi setengah melempar. Aku memutar kursi di ruanganku itu setengah berayun. Berno menggaruk kepala yang tidak gatal.

“Lalu ini siapa lu?”

“Tetangga gue. Ya gue gak tau lah, gitu aja gak ngerti lu.”

“Ini gue ambil dari akun I*-nya suami lu. Nama suami lu Azmi Fahrendi ‘kan?”

“Aduh, Berno. Ke mana aja lu selama ini. Aza Azmi, Berno. Nama suami gue Aza Azmi.”

“Berarti gue yang salah, dong.” Berno menepuk jidatnya. Percuma ia selalu memakai pakaian cerah yang menarik perhatian, isi kepalanya tak secerah pakaiannya.

“Desain brosur jasa ayam kampus adik ipar gue mana?”

“Ada.” Berno mengusap layar ponselnya lagi dan menyodorkannya padaku. “Ini, cakep ‘kan?”

Foto mita tersenyum menampakkan gigi putihnya dengan rambut terurai. Perfect! Hanya saja tulisannya masih terlihat biasa. Tak ada menariknya.

“Lu tambahin di bawah judulnya: Jasa ayam kampus, harga semurah kacang rebus. Tiga orang lima ribu doang. Bisa, No?”

“Astaga, Bilqis. Lu mau bunuh, nih, karakter adik lu? Kasihan hidupnya bisa hancur selamanya, Bil.”

“Lu gak lihat dia duluan bilang gue wanita panggilan seharga kacang rebus. Ya gue bales.”

“Emang lu beneran wanita panggilan?”

“Nggak lah.”

“Terus kenapa lu marah?”

Aku diam. Tak menemukan kalimat balasan untuk argument Berno.

“Tapi dia bener ayam kampus, ‘kan? Gue gak salah, ‘kan?” lanjutku..

“Dia hina lu di grup keluarga doang. Lah lu mau nyebarin ini ke seluruh mading kampus sama media sosial. Apa nggak kasihan lu?”

Aku menggeleng.

“Gak punya hati lu.” Berno berdiri lalu balik kanan. Langkah tak tegap, tetapi tetap maju jalan.

Pikiranku berkecamuk sendiri. Apa Berno benar? Apa kiranya aku berlebihan dengan membuat baliho dan brosur yang memalukan Azmi dan Mita? Aku memejamkan mata dan merebahkan tubuh di sandaran kursi putar itu. Masih tak tenang, aku membuka laci. Kuraih sebingkai foto dari dalam laci itu.

Foto seorang wanita sedang duduk dan pria yang berdiri di belakangnya kupandangi lekat-lekat. Kuelus pelan-pelan. Foto itu tak lain adalah Papa-Mama yang telah meninggalkanku sendiri. Tak terasa air mata menetes dari ujung mata. Kuseka. Menetes lagi. Kuseka lagi.

Suara pintu diketuk. Cepat kuusap air mataku dengan sapu tangan hingga tak terlihat seperti orang menangis.

“Masuk.”

Seorang wanita yang tak lain adalah sekretarisku masuk ke ruangan.

“Bu Bilqis ….”

Aku mengangkat tangan, menolak dokumen yang diberi oleh Sitra. Ia mengerti.

“Saya minta tolong boleh, Sit?”

“Sudah kewajiban saya untuk membantu Ibu.”

“Tapi ini bukan urusan pekerjaan.”

“Sekiranya saya bisa bantu, saya akan senang, Bu.”

“Tolong pesankan rangkaian bunga dan kirim ke makam Papa-Mama saya, Sit. Tagihannya bebankan ke kartu kredit saya.”

“Baik, Bu. Saya laksanakan hari ini juga. Ada lagi, Bu?”

Aku mengangkat tangan. Sitra mengangguk dan balik badan. Maju jalan.

Sementara group W******p keluarga semakin heboh karena aku tak meniggalkan sepeser pun uang untuk belanja di rumah. Ibu sudah ngomel-ngomel macam ayam mau bertelur. Romi, Mita, Azmi, dan Ayu memanas-manasi Ibu untuk mengusirku dari rumah. Aku menggeleng sambil tertawa. Yang ada mereka yang akan terusir karena sertifikat rumah itu sudah berbalik atas namaku.

“No, sertifikat rumah gue udah balik nama ‘kan?” Kutelepon Berno.

“Udah, atas nama Bilqis Elfath.”

“Good job.”

Kumatikan.

Iseng, kucari posisi Azmi dengan GPS. Mataku terbelalak ketika kutemukan ia berada di mal. Wait, mengapa dia pergi ke mal? Bukannya ini jam kerja. Aku melirik arloji di tangan kiriku. Oh, mungkinkah ia sedang jalan-jalan bersama Nera. Nah, kesempatan untuk memergokinya di tempat umum. Pasti seru melihatnya mati kutu.

“Berno!”

“Apa lagi, Bilqis Elfath yang cantik jelita harum mewangi sepanjang hari dari pagi sampai pagi lagi?”

“Dih. Panjang amat. Ayo ke mal, yuk temenin gue.”

“Gue lagi urus berkas-berkas lu, nih. Sama minta desainer edit desain baliho yang lu minta, kan, salah foto.”

“Tinggalin dulu. Gue butuh lu untuk jadi kameramen.”

“Hah, kameramen? Tukang kamera maksud lu?”

“Iya, pake hape aja. Kita rekam kelakuan suami gue lagi jalan sama cewek lain. kita live di I*. Seneng kan lu?”

“Iih, kalau gitu gue ikutan, ya. Gue jemput lagi ke kantor, ya. Lu tunggu di depan.”

***

Aku turun dan buru-buru masuk mal. GPS menunjukkan jarak kami sekitar lima puluh meter. Mungkin ia di lantai atas di cafétaria. Aku dan Berno segera naik lift, lalu menyusuri restoran di mal itu satu per satu.

“Ketemu?”

“Belum. Lu siapin aja kamera, ya.”

“Aman kalau itu.”

“Nah, udah sepuluh meter. Dia pasti deket, nih.” Aku berada tepat di sebuah tempat makan bernuansa ungu. “Masuk aja, No.”

Dan tepat di ujung sana, Azmi sedang duduk menyantap makanan dengan wanita berambut panjang dan pirang. Tepat sekali itu mungkin yang bernama Nera.

“Itu dia, No.” Aku menunjukkan posisi Azmi pada Berno.

“Oooh, aku siapin kamera, ya.”

“Oke.”

“Inilah gaes, kita akan menangkap buaya darat yang selingkuh sama pelakor. Kita lihat yuk, gaes,” kata Berno berbicara pada kamera ponselnya sendiri. Kami pun berjalan mendekati Azmi dan wanita itu.

“Hai, Mas?” sapaku ramah, tersenyum palsu.

“Bi-Bil-Bilqis?” tanggapnya.

“Iya, surprise!” teriakku sambil merentangkan tangan. “Tepuk tangan untuk seorang suami yang sedang makan dengan wanita lain!”

“Huuuuuu.” Berno berteriak. Seluruh pengunjung café menoleh heran.

“Apa yang kamu lakuin di sini, Bilqis?”

“Yaaah, baru aja aku mau tanya itu ke kamu, eh, kamu duluan yang tanya.”

Kamera ponsel Berno terus menyorot suamiku dan si Nera itu. Perempuan itu tampak tak senang. Menatapku tajam.

“Kenapa? Lu gak suka gue giniin?” tantangku ke wanita itu. “Lu mau suami gue? Ambil aja, ambil. Rongsokan gini gue juga gak mau. Ambil tuh sepah gue.”

“Bilqis!” Azmi membentak.

“Apa, Mas?”

“Kalau ngomong itu yang sopan. Jangan bilang suamimu sendiri seperti itu.”

“Mas, Mas. Kamu kayak beneran cinta aja sama aku. Minta ngomong sopanlah, dihormati lah. Kamu sendiri selama ini hanya nguras uangku aja, Mas. Apa lagi keluarga kamu, toxic semua.”

“Ohh, ternyata benar apa yang ada di foto itu.” Azmi mengeluarkan ponselnya. “Ini.” Layar ponselnya menunjukkan aku sedang berpeluk dengan lelaki di atas aspal. Kejadian semalam, memang ada orang yang mengambil gambarnya.

“Itu fitnah.”

“Ini kenapa kamu pulang malam. Kenapa kamu gak ngasih uang belanja ke Ibu lagi. Rupanya kamu main sama lelaki lain.”

Tanganku tak dapat kutahan. Melayang ke wajah Azmi, tetapi tangannya sudah menahan. Kutarik paksa lagi tanganku yang berada di genggamannya.

“Kamu mau apa? Mau usir aku dari rumah sekarang? Mau kita cerai?”

“Ya. Kita cerai. Mulai detik ini kamu bukan istriku lagi. Secara hukum agama, aku talak kamu. Surat cerai menyusul ke kantor agama. Aku gak mau punya istri murahan kayak kamu.”

Dadaku meletup-letup. "Murahan?"

"Aku udah lihat foto kamu, dengan cowok. Kamu ... keluar dari rumah malam ini juga."

“Kamu yang akan keluar dari rumahku, dan siap-siap jadi gelandangan sana. Hahaha.” Aku balik badan dan langkah tegap maju jalan.

“Bil, Bilqis! Tunggu!” Berno yang menikmati adegan itu sambil live di I*******m tak mau hiburannya berakhir dengan cepat. “Lu tampar aja dia lagi, Bil.”

“Males. Tangan suci gue gak pantes nyentuh muka najis dia.”

“Terus, gimana?”

“Lu pake kertu kredit gue, cetak lima baliho. Jangan satu, lima. Paham lu?”

“Pa-paham.”

“Lu pasang di tempat paling strategis, sewa sebulan penuh.”

“Oke, Bos.”

“Poster Mita lu cetak seribu lembar, lu suruh tempel ke seluruh kampus di kota ini. Paham, lu?”

“Berlebihan, Bil. Itu udah kelewatan kali.”

Aku menghentikan langkahku dan menatap Berno serius. “Lu mau lakuin atau gue pecat?”

“Aduh, lu mainnya pecat sih. Iya-iya.”

Aku berjalan cepat menuju depan mal itu dan membiarkan Berno mengambil mobil di parkiran. Teleponku berdering, dari Berno.

“Bil, ada mobil ngehalangin mobil kita. Gak bisa keluar ini.”

“Lu dorong, kek.”

“Gue gak kuat, Bil.”

“Lu sepak gitu. Lu hancurin kacanya. Atau lu buat penyok, deh, tu mobil. Tabrak aja kalau perlu biar minggir.” Aku esmosi, pemirsa.

“Tapi, Bil ….”

“Lu mau gue pecat? Cepetan gue lagi kesel, tau gak sih! Cepetlah, No. Sekarang atau lu angkat kaki dari hidup gue. Ngemis, deh, lu di jalan.”

“Udah gue tabrak. Karena itu gue hubungin lu. Soalnya ini mobil bagus, Bil. Mobil mahal banget kayanya. Lu sini dulu, deh.”

“A-apa?” Aku bergegas menuju parkiran. Tampak Berno berdiri dengan wajah cemas sambil mengacak-acak rambutnya yang hanya sesenti.

“Ada apa, No?” Aku mendekatinya, sekaligus terkagum melihat Ferrari Dino merah. Ferrari yang mirip dengan yang kulihat semalam. Persis.

“Lecet, Bil.” Berno menunjuk bemper belakang Ferrari itu, penuh goresan. Seperti tertabrak. Pun juga di bemper depan mobil putihku juga penuh goresan. Tampaknya Berno menabrak Ferrari itu. Dasar, tukang kacau.

“Hei!” teriak seorang lelaki dengan suara berat. “Apa yang kalian lakukan dengan mobilku?” tanyanya.

“Maaf, maaf. Kami gak sengaja menabraknya.” Aku menundukkan badan tak berani menatap wajahnya.

“Dasar. Kalian gak tahu ini mobil langka. Gak ada di Jambi mobil seperti ini. Ini satu-satunya, loh. Ganti!” lelaki berbadan tinggi dengan wajah tak lumayan tampan itu tampak kesal padaku dan Berno.

“Minta maaf, No.”

“Iya, Bil.”

“Bro, udahlah. Mungkin mereka gak sengaja.” Lelaki lain dengan suara yang pernah kudengar menghampiri. Kuangkat kepalaku dan menatap padanya. Dua lelaki itu memang tak mirip, tetapi postur tubuh sama.

“Kamu?” tegurku pada lelaki satunya. Dialah yang kutemui semalam. Lelaki super tampan bak Syah Rukh Khan, bersuara Chris Hemsworth dan memiliki tubuh seperti Steve Rogers.

“Hai?” sapanya dengan senyum di ujung bibir.

Gempa lagi 10 skala ritcher dan tsunami seribu meter di dadaku.

***

Bersambung…

Laki-laki mirip syakh rukh khan meresahkan hahaha

Pastikan sudah subscribe dan rate bintang limaaa

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • GAMBAR SUAMIKU DAN SELINGKUHANNYA DI BALIHO RAKSASA   Bab 24

    Mobil merah yang kami naiki sampai dengan elegan di sebuah café mewah di kota kami. De’Leon, begitu tulisan di depan café itu, dengan tampilan minimalis ala eropa dan gambar menu-menu Perancis di sebagian dinding.Harusnya ini adalah momen paling menyenangkan bagiku: menaiki mobil sport keren dengan orang tampan sejagad raya. Namun, hatiku tak begitu menyenangkan, menerka-nerka siapa gerangan orang yang akan kami temui.“Jei, siapa yang akan kita temui, ibu kamu?” Aku mencoba menghibur diriku sendiri. Ayo, Jei, jawab saja kalau itu ibumu. Jangan jawab hal yang kutakutkan.Jei membukakan pintu mobil.“Nanti kamu akan tahu sendiri, sebentar lagi. Aku mohon, Bil, tolong jelaskan sedetailnya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Aku gak mau dia salah paham. Kamu ngerti ‘kan maksudku, Bil?”Aku mengangguk. Jei kemudian mengajakku masuk ke café itu disambut oleh pelayan rapi. Aroma khas memanjakan hidung. Sedap sekali. Di meja nomor 27 itu kami duduk dan tiada sesiapa pun. Orang yang dimaksu

  • GAMBAR SUAMIKU DAN SELINGKUHANNYA DI BALIHO RAKSASA   BAB 23

    TANGAN Mita gemetar higga tampak kertas fotokopi itu bergetar pula. Matanya sibuk menggerayai permukaan kertas. Bu Saniah heran dan mengkerut keningnya. Suasana mendadak tegang dan sunyi, sayang tiada bunyi jangkrik yang berkerik-kerik.“Ini-ini ….” Mita berujar tapi tak kuat, tersekat.“Ada apa, Mit?” Bu Saniah bergabung dan ikut melihat fotokopi sertifikat itu.“Ini palsu, ‘kan? Ini buat-buatan kamu aja ‘kan Kak Bilqis? Segitunya kamu mau menghancurkan keluargaku, ini pasti palsu. Kak Azmi, katakan ini palsu, Kak. Katakan.” Mita beralih pada Azmi yang masih bersungut.Azmi tak menjawab. Bergeming.“Atau perlu kutunjukkan yang asli?” ancamku pelan saja. “Maksudmu apa, Kak?” Mita memelototkan mata.“Aku bisa buktikan dengan pengacara, saksi bahkan di bawah payung hukum yang sah. Pokoknya, Aku mau kalian pergi dari sini, itu aja. Aku udah gak mau lihat wajah kalian lagi. Dari pada aku selalu emosi dan terus buat dosa, mendingan kalian kuusir. Maaf, jangan tersinggung.” Aku mengangkat

  • GAMBAR SUAMIKU DAN SELINGKUHANNYA DI BALIHO RAKSASA   Bab 21

    Semua orang diam kecuali suara musik yang menggema kencang. Tegang.“Namanya … Lita.” Azmi menjawab pertanyaan Berno soal siapa wanita simpanannya itu. Seketika hadirin bersorak, riuh, bersiul-siul lalu reda kembali.Sementara Lita sudah salah tingkah. Tatapan kami bertemu dan ia langsung menundukkan kepala, sedikit merasa bersalah, tetapi lebih banyak rasa malunya. Aku mengangkat ujung bibir dan tetap menatapnya tajam. Ini saatnya semua terbongkar, Lita. Takkan ada yang tertutupi lagi.“Fitnah!” Lita berdiri. Kembali suara sorakan di sekeliling menggema. “Ini pasti settingan. Ini hanya dalam rangka hiburan, ‘kan? Jangan percaya ini semua hadirin.”Tak satu pun yang menghiraukan Lita.“Krik krik!” Seseorang menirukan suara jangkrik. Lelucon kalau ada orang berkata, tetapi tiada yang menghiraukan sama-sekali. Beberapa orang terkekeh.“Kayak ada yang ngomong, tapi siapa, ya?” sindir Berno sambil pura-pura celingukan dari tas panggung. Lita tampak semakin kesal dan menghentakkan kakin

  • GAMBAR SUAMIKU DAN SELINGKUHANNYA DI BALIHO RAKSASA   Bab 21

    Semua orang diam kecuali suara musik yang menggema kencang. Tegang.“Namanya … Lita.” Azmi menjawab pertanyaan Berno soal siapa wanita simpanannya itu. Seketika hadirin bersorak, riuh, bersiul-siul lalu reda kembali.Sementara Lita sudah salah tingkah. Tatapan kami bertemu dan ia langsung menundukkan kepala, sedikit merasa bersalah, tetapi lebih banyak rasa malunya. Aku mengangkat ujung bibir dan tetap menatapnya tajam. Ini saatnya semua terbongkar, Lita. Takkan ada yang tertutupi lagi.“Fitnah!” Lita berdiri. Kembali suara sorakan di sekeliling menggema. “Ini pasti settingan. Ini hanya dalam rangka hiburan, ‘kan? Jangan percaya ini semua hadirin.”Tak satu pun yang menghiraukan Lita.“Krik krik!” Seseorang menirukan suara jangkrik. Lelucon kalau ada orang berkata, tetapi tiada yang menghiraukan sama-sekali. Beberapa orang terkekeh.“Kayak ada yang ngomong, tapi siapa, ya?” sindir Berno sambil pura-pura celingukan dari tas panggung. Lita tampak semakin kesal dan menghentakkan kakin

  • GAMBAR SUAMIKU DAN SELINGKUHANNYA DI BALIHO RAKSASA   Bab 20

    PLAK!Sebuah tamparan mendarat di pipi Bu Saniah, keras sekali dan tak berbalas. Padahal tadinya Bu Saniah mantan mertuaku itu yang hampir menamparku. Namun, nyatanya tangan Lita yang menamparnya."Jangan sentuh sahabat saya, Bu." Lita menatap Bu Saniah dengan tajam, setajam silet, tetapi bukan acara gosip artis."Heh. Beraninya nampar saya kamu, ya!" ujar Bu Saniah memegangi pipinya. Puluhan pasang mata memperhatikan.Drama apa lagi?Sekonyong-konyong Bu Saniah melayangkan tangan ke pipi Lita. Lita mengelak dan hanya menyentuh dagunya. Beberapa lelaki bagian keamanan kemudian mendatangi mereka dan memisahkan. Bu Saniah diseret ke belakang."Mohon maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi." MC di panggung harus menenangkan kembali para undangan yang masih riuh."Lit, kamu kembali duduk aja. Aku gak apa-apa," pungkasku. Padahal dalam hatiku sedang bertanya-tanya."Oh, ya, dah, aku duduk lagi." Lita lalu kembali ke tempat duduk istimewanya. Sama seperti kursi para petinggi perusahaan. Tida

  • GAMBAR SUAMIKU DAN SELINGKUHANNYA DI BALIHO RAKSASA   Bab 19

    “Oom-oom.” Mita menyeret manajer keuangan perusahaanku, Samian Palupi. Lelaki yang diseret tampak risih dan tak senang. Sebentar-sebentar ia melepas tangan Mita yang memegangi lengannya.“Ada salah satu staf rendahan di perusahaan ini yang sering jahat sama aku, Oom,” adu Mita. Perempuan berambut lurus itu lantas menunjuk-nunjuk ke arahku.“Pecat aja dia, Oom!” Mita merengek macam anak kecil bibirnya mencebik sehingga kelihatan semakin ‘dower’.Aku menggelengkan kepala, tetapi bukan karena terbawa irama musik dari panggung, bukan! Pecat saja kalau berani. Malah sebaliknya, aku yang akan memberhentikan lelaki macam Samian dari perusahaanku.“Eeh, Mita, jangan pegang-pegang tangan Oom gini di tempat umum. Nanti kita ketahuan.” Lelaki bernama Samian itu berusaha melepas tangan Mita yang terus mengupil di hidungnya. Eh, maksudnya terus menarik lengannya.Sementara Mita terus berusaha menggandeng Samian dan menyeret ke arahku. Samian menolak, tentu saja karena tahu kalau wanita yang dimaks

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status