Setelah kepergian teman – temanku, aku naik kelantai atas. Rencananya mau melihat Awan terlebih dahulu, tapi baru kakiku menginjak tangga paling atas, kembali bel pintu depan kembali berbunyi. Loh, kok balik lagi, apa ada yang ketinggalan ya. pikirku heran, karena kukira teman – temanku kembali. "Loh, mamah ?", ucapku kaget begitu membuka pintu, ternyata mamah yang datang. "Hmnn anak gadis mamah", kata mamah sambil memelukku. Kami berpelukkan beberapa saat. "Loh, papah sama Ibu kok gak pulang mah ?", tanyaku heran. Baru kusadari hanya Mama yang datang seorang diri. "Hmnn, kebiasaan!. Mama datang bukannya di layani dulu, malah ditanya – tanya", kata Mama sambil melangkah ke dalam rumah. "Ihh mama mah gitu", kataku manja sambil mengikuti langkah Mama keruang tamu. Begitu duduk diruang tamu lama Mama menatapku lekat. "Kamu gak apa – apakan sayang ?", tanya Mama tiba – tiba, aku baru ingat kalau om Joe sudah menceritakan detail kejadian kemaren. "Iyah, gak apa – apa Mah", kata ku d
Hari kedua, beberapa sahabatku datang dengan teman – teman kelasnya Awan. "Kak Nataaa... " Sapa Karin dan Irene. Mereka ini juniorku di ekskul musik sekolah. Selanjutnya diikuti oleh teman – teman kelas Awan yang lainnya menyalamiku. "Maaf yah kak, baru kesini. Tadi kita kita ke Rumah Sakit dulu, menjenguk Radit. Itu loh yang ikut bantuin Awan nyelamatin kak Nata kemarin", kata Irene. Oh iya, aku baru ingat kalau kemarin Awan datang menyelelamatkanku dibantu oleh temannya. Karena terlalu fokus sama Awan aku sampai terlupa kalau ada teman Awan lainnya yang ikut membantunya waktu itu. "Astaga, terus gimana keadaannya sekarang dek ?", tanyaku cemas. "Udah agak apa – apa kok kak, Radit juga sudah sadar. Paling besok sudah bisa kembali masuk sekolah", jawab Irene lagi. "Beneran Awan tinggal bareng kak Renata ?" "Tapi mereka beneran pacaran kan ?" "Wuih gak nyangka yah, Awan tinggal serumah ma Kak Renata ?" "Atau jangan – jangan mereka..." Terdengar bisik – bisikan dari beberapa tem
POV Renata Aku sedikit heran dengan sikap Irene siang tadi, entah kenapa ia seperti menyembunyikan sesuatu dariku. "Irene, kamu gak masuk menjenguk Awan ?", tanyaku heran, karena melihatnya malah ikut ngumpul bareng aku dan yang lainnya di ruang tamu yang ada di bawah. Aku maklum kalau mereka teman – teman Awan, sehingga aku memberi waktu pada mereka tanpa mendampingi ke dalam kamar Awan, aku percaya sepenuhnya pada mereka, apalagi ada Irene yang ada disana, tapi karena Irene turun ke bawah bergabung bersama kami diruang tamu, jadi aku sedikit heran padanya. "Eh.. g.. gak!. Hmmnn.. maksudnya udah kak Nata. Sekarang biar yang lain dulu yang lihat Awan", katanya sedikit gugup. "Mang siapa yang masih di kamar Awan ?", tanyaku sedikit heran, karena kebanyakan teman – teman kelasnya Awan sudah pada turun setelah melihat Awan di kamarnya. "Itu kak, si Karin dan yang lainnya", katanya dengan senyum yang agak di paksakan. Ooh, aku jadi sedikit lega mendengarnya. Kupikir lima orang siswi
POV Author Hari keempat, saat sore hari menjelang waktu maghrib. Awan terlihat gelisah dalam ketidak sadarannya. Berulang kali ia memanggil ia berteriak tidak jelas serta nafas terlihat sesak dan berat, sepertinya di alam bawah sadarnya ia bermimpi buruk dan mengerikan. Renata terlihat cemas, karena tidak biasanya Awan mengigau seperti itu. Ia mendekati Awan sambil mencoba membangunkannya kembali. "Awan, ini aku, Ren", katanya berbisik sambil memegang telapak tangan Awan erat. Namun masih belum juga terlihat tanda – tanda kesadaran Awan, selanjutnya Awan mengigau tidak jelas kembali, dengan keringat bercucuran di keningnya. "Mbak Inaahh, Mbaakkk Surttiii", panggil Ren panik. Inah yang kebetulan berada diruang bawah, langsung menghampiri Renata yang ada di Kamar Awan. "Ada apa non ?", tanya Inah kaget melihat Renata yang memegangi tangan Awan, sementara tubuh Awan sudah basah oleh keringat. "Awan mbakk..", kata Renata panik. "Mas Awannya kenapa Non ?", tanya Inah yang ikutan pan
"Yah aku juga lah", kata Renata tersenyum jahil. "Eh serius ?", kata Awan agak panik membayangkan bagian paling pribadinya sudah di lihat dan dipegang – pegang oleh Renata, sulit rasanya membayangkannya. "Hihiiiii", terdengar tawa dari Inah yang berdiri di belakang Ren. "Masnya percaya aja di bohongin Non Ren begitu mah, hehehe", lanjut Inah sambil tertawa. "Jadi yang benar gimana toh ?", tanya Awan bingung. "Bagian 'itu'nya, pak Usman yang bersihin Mas", lanjut Inah lagi menambahkan. Oh syukurlah, gak kebayang bagi Awan jika Renata yang membersihkan 'anu'nya, mending kalau lagi sadar, ini pas dia lagi gak sadar, wkwkwk. "Kok lega begitu wajahnya! Mang gak suka yah kalau seandainya aku yang bersihin 'itu'nya ?", kata Ren sedikit jutek. Lalu memasukan handuk yang habis dipakai membersihkan keringat Awan ke dalam ember kecil. "Maunya sihh", kata Awan tersenyum nakal menggoda Ren. "Ih masnya nakal juga ternyata, hahaha", sela Inah. Anjiirr lupa kalau masih ada Inah disini, pikir
POV Awan "Sudah bangun toh ?", tanya seorang pria ketika aku bangun dari tidur. Aku ingat dia adalah orang yang bertarung denganku terakhir ketika menyelamatkan Ren tempo hari. Aku sedikit terkesiap, dan terbangun. "Tidak usah kaget begitu. Saya hanya memeriksa kondisi kamu kok", katanya tersenyum ramah padaku. Aku lihat, di bagian dadaku yang sebelumnya masih sedikit terasa sakit, ada olesan seperti cairan yang sangat familiar bagiku. Ini seperti obat yang dulu sering di kasih Angku (kakek) kalau aku terluka atau cidera. "ini...", kataku agak ragu sambil melirik tempat cairan obat yang di olehkan oleh orang tersebut di dadaku. "Jangan khawatir, itu obat penyembuh luka", katanya sambil duduk di sofa kamarku. Di dalam kamar hanya ada kami berdua, tidak kulihat Ren, ketika kulihat jam di meja samping tempat tidurku, ternyata sudah jam 8 pagi. Ada beberapa jam aku tertidur rupanya, mungkin karena baru bisa tertidur menjelang subuh sampai – sampai tidak kusadari ada orang lain yang m
POV AwanPagi ini ku terbangun dengan perasaan yang tidak enak, setelah apa yang terjadi kemarin membuat hubunganku dengan Ren menjadi serba canggung. Bahkan sejak semalam, Ren tidak menyapaku sama sekali. Yah, mungkin ini lah yang terbaik bagi kami berdua untuk saat ini. Aku harus belajar untuk introspeksi diri, bukan karena apa yang diucapkan Ren bersama teman – temannya tempo hari. Justru karena apa yang di ucapkan Ren waktu itu membuatku sadar akan suatu hal yang penting, Ren dan statusku!.Mungkin bisa saja Ren benar – benar tulus dengan perasaannya padaku, tapi apa yang akan dipikirkan oleh orang lain tentang dirinya. Seorang anak konglomerat berhubungan dengan seorang anak pembantu. Gila! Aku tidak sanggup membayangkan Ren yang akan menjadi malu karena statusku ini. Jika aku dan Ren memang ditakdirkan untuk berjodoh di kehidupan ini, paling tidak aku harus bisa memantaskan diri untuknya. Untuk itu, aku harus berhasil dulu agar statusku bisa sebanding dengannya kelak, agar orang
Rachel melihatku sebentar, mungkin dia heran melihat responku. Rasain dah tuh, kayaknya tipikal cewek cuek begini harus di hadapi dengan cuek juga. Tampak Rachel menarik napas dalam sebentar lalu menghembuskannya. "Gue heran aja, masih ada cowok bodoh kayak loe yang mau mengantar nyawa sia – sia masuk ke sarangnya geng motor hanya demi menyelamatkan seorang cewek", katanya dengan ekspresi yang susah kutebak. "Yah. Mungkin benar apa katamu. Karena aku bodoh", jawabku asal, sambil duduk di rumput taman dan meluruskan kakiku. Rachel seperti tidak menyangka jawabanku akan ngasal seperti itu, mulutnya sampe melongo dan jadi canggung mau melanjutkan kata – katanya kembali. "Apa semua itu pantas ?", tanyanya dengan menaikan alis matanya sebelah kanan menatapku. "Aku tidak tahu", jawabku datar. Rachel terlihat makin bingung dengan jawabanku, lalu ia ikutan duduk di sebelahku meluruskan kakinya kedepan, sambil menunggu jawabanku lebih lanjut. "Aku tidak tahu apa itu pantas. Tapi demi seo