공유

DUFAN

작가: ENI SUPADMI
last update 최신 업데이트: 2021-10-09 15:13:11

Hari yang dinanti tiba. Dari pagi Sri sudah siap berkemas. Membawa bekal untuk dibawa. Tepat jam sepuluh pagi Ali menjemput. Dengan suka cita dua sejoli itu melaju ke tempat wisata ibukota.

Meski bukan weekend namun antrian panjang bak ular. Mungkin karena sedang diskon, banyak antusias dari warga untuk berkunjung. Setelah sekian lama menunggu, antrian Ali dan Sri tinggal satu orang.

“Yang, mana uangnya?” Ali menadahkan tangan kanan sementara tangan kiri memegang uang seratus ribuan.

Wajah Sri langsung cemberut kesal. Dikiranya Ali akan mentraktirnya masuk ke Dufan. Nyatanya seperti biasa, bayar sendiri-sendiri.

Tiket sudah dicap di tangan. Sri langsung bahagia memasuki arena bermain. Tanpa pikir panjang, gadis itu langsung mencoba berbagai wahana. Dari yang kalem sampai memacu adrenalin.

Karena kesal Sri sengaja naik ini itu sesuka hatinya tanpa minta persetujuan dulu pada Ali. Alhasil Ali mau tak mau ikut dengan kekasihnya tanpa banyak bicara.

“Udah Yang, kepalaku pusing,” keluh Ali setelah turun dari wahana halilintar.

“Ya sudah minum dulu!” Sri menyodorkan teh botol.

Dengan cepat Ali meneguknya. Lalu ikut menikmati cemilan yang dibawa oleh pacarnya. Dirasa sudah cukup istirahat, Sri beranjak menikmati wahana lainnya.

“Ayo!”

“Aduh sayang, perutku masih mual-mual begini.” Ali masih mengeluh sambil memegangi perut. Wajahnya mulai pucat. Rupanya pacar Sri mabuk wahana dufan.

“Ya sudah, gosokin dulu sama minyak kayu putih .” Sri duduk kembali dan mengambil botol minyak kayu putih.

“Gosokin!” pinta Ali manja.

Dengan terpaksa tangan gadis itu menggosok punggung dan leher Ali dengan minyak. Lalu memijit-mijitnya sebentar. Rasa kantuk tiba-tiba menjalari Ali. Namun mual-mual belum jua reda.

“Gimana, enakan?” tanya Sri.

“Lumayan,” jawab Ali masih mabuk wahana.

“Mau naik ga?” tawar Sri.

“Kita pulang aja yuk!” pinta Ali dengan wajah pasinya.

“Pulang?” Sri memastikan. Baru juga dua jam ia di sini. Semua wahana juga belum dicoba.

 Masa iya mau pulang? Rugi dong bayar mahal tapi ga nyobain semua wahana.

“Iya, kepalaku pusing banget,” keluh Ali lagi.

"Nih kamu minum obat pusing dulu!” Sri mengambil obat sakit kepala yang biasa ia minum. Biasanya dalam hitungan menit sakitnya langsung reda.

Ali langsung meminumnya. “Ya sudah, aku tiduran dulu ya!” Ali langsung berbaring di meja panjang.

Lima menit, sepuluh menit, Sri masih sabar menunggu Ali yang terlelap tidur. Namun lama-lama bosan mendera. Daripada ia kesal sendiri, gadis itu melangkah menikmati wahana. Meski sendiri tapi seru juga tanpa Ali. Setidaknya, ia bebas tanpa digandeng.

Antrian kora-kora mengular. Namun dengan sabar Sri mengantri. Tanpa sadar sapu tangan cowok di depannya jatuh. Sedikit ragu, ia menepuk pundak si cowok sehingga sang cowok menoleh.

“Sapu tangannya jatuh!” tunjuk Sri pada sapu tangan di depannya.

Segera si cowok memungutnya sedang Sri mundur selangkah.

“Makasih ya , Mbak,” ucap si cowok sembari terus menatap lekat padanya. “Kamu Srikandi kan?” tanya cowok itu memastikan.

“Iya.” Mata Sri mengerling seperti sedang mengingat wajah di depanya yang tidak asing.

 “Saka?” tebaknya saat mampu mengingat.

“Alhamdulillah kalau masih ingat,” jawab Saka senang.

“Kok bisa sampai Dufan?” tanya Sri penasaran karena setahu Sri, kakak kelasnya semasa SMP itu tinggal dan bekerja di Karawang.

“Lagi Family Day dari pabrik.” Saka menunjukkan beberapa temannya  yang berseragam sama dengannya.

“Enak ya, jalan-jalan dibayarin pabrik.”

“Hadiah dong buat karyawannya. Biar otaknya fresh lagi nanti pas kerja,” seloroh Saka menanggapi ucapan teman satu kampungnya.

“Kamu sendiri, kesini ma siapa?”

Belum sempat Sri menjawab, penumpang wahana turun. Giliran ia dan Saka naik. Mereka duduk berdampingan. Berteriak bersama, tertawa bersama.

Kebersamaan mereka berlanjut dengan menaiki beberapa wahana yang lainnya. Saka sengaja lepas dari rombongan demi bisa bersama gadis yang sudah bertahun-tahun tak ia jumpa.

Tak terasa waktu begulir begitu cepat. Kebersamaannya dengan Saka membuat Sri lupa dengan Ali. Higga dering ponsel terdengar.

“Yang, kamu di mana?” tanya Ali.

“Kamu sudah bangun?” tanya Sri setelah menjauh beberapa langkah dari Saka.

“Sudah. Dari tadi aku nyariin kamu tapi ga ketemu.”

“Ya sudah, kamu di mana? Aku ke sana!”

“Aku di dekat wahana Tornado.”

“Oke.” Sri memutus telepon dan kembali menghampiri Saka. “Aku duluan ya! Senang ketemu tetangga kampung.”

“Boleh minta nomernya!” pinta Saka tho the poin. “Untuk kirim kabar.”

“Boleh,” jawab Sri antusias. Kini nomer mereka tertera di ponsel satu sama lain.

Sri berlari mencari sosok pacarnya dengan hati berbunga-bunga. Pertemuan tak terduga dengan Saka membuatnya makin terhibur hari ini. Tampak dari kejauhan Sri melihat wajah ditekuk Ali.

“Kamu dari mana saja sih, Yang!” protes Ali saat Sri datang.

“Ya main wahana,” jawab Sri tanpa rasa bersalah. “Sudah enakan badannya?”

“Sudah.” Ali mulai bersikap romantis. “Pulang yuk, udah lapar nih!”

Sri memandang ke atas. Tampak langit mulai redup dan terlihat lukisan senja. Dilirik jam tangan yang sudah menunjukkan jam lima sore.

“Ayo,” jawabnya riang. Dengan mesra Ali menggandeng kekasihnya.

********

Sebelum ke kosan Sri, Ali memarkir motor di tempat kuliner sekitar kosan Sri. Ia menggandeng mesra kekasihnya.

“Dibungkus saja ya, Yang! Nanti makannya di kosan saja,” ujar Ali yang diiyakan Sri.

“Kamu mau makan apa?” tawar Ali membuat Sri sumringah. Maklum seharian mencoba wahana, lapar mendera.

“Terserah,” jawan Sri lembut.

“Ya sudah kamu tunggu di sini ya! Biar aku yang cari makan.” Dengan mesra  punAli menepukdak kekasihnya kemudian berlalu. Tak berselang lama, ia sudah kembali dengan membawa kantong hitam.

“Yuk, pulang!”

Motor melaju ke kosan Sri. Karena sudah lapar, Sri dan Ali langsung duduk dan bersiap makan. Ali mengeluarkan sebungkus makanan dan sebotol air mineral.

“Belinya satu doang?” tanya Sri memastikan.

“Iya, makan sebungkus berdua lebih romatis,” jawab Ali sembari membuka bungkusan.

Mata Sri terbelalak. Gadis Solo itu menelan saliva. Nasi warteg berlauk tumis kangkung, capcay sayuran dan sepotong tahu, tempe itu tak membuatnya berselera sama sekali.

“Ayo Yang, makan!” titah Ali setelah mengunyah nasi.

Lagi-lagi Sri hanya bisa menelan saliva pahit. Melihat cara makan Ali saja sudah membuat ia geli apalagi makan sebungkus berdua. Pacarnya itu langsung meneguk air dengan mulut menempel di botol. Seumur-umur belum pernah ia makan dan minum dari wadah yang sama jika bukan dari anggota keluarga.

“Ayo Yang, makan!” tawar Ali lagi saat pacarnya hanya terdiam sedang nasi tinggal setengah.

“Iya,” jawab Sri ragu. Dengan tangan ia mencomot nasi di pinggir yang belum tersentuh sendok Ali.

“Aku sudah,” ucap Sri kemudian daripada ga ketelan jika dipaksakan.

“Sedikit banget?” selidik Ali.

“Iya, sudah kenyang.”

“Aku habisin ya!” ucap Ali tanpa peka dengan bahasa tubuh kekasihnya.

Untung Ali cepat pulang. Sakit kepala yang mendera, memaksasnya untuk ingin cepat tidur terlelap. Selepas sang pacar pulang, Sri langsung bergegas membeli ayam bakar kesukaan.

“Laper euy.”

🌹🌹🌹🌹

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • GANTENG-GANTENG PELIT   PEMBANTU

    Munaroh memakai jasa pembantu untuk pekerjaan rumah tangga. Ia hanya ingin fokus merawat Billar saja. Hal itu justru memicu kemarahan Romlah. Ia menganggap mantunya itu males dan buang-buang duit saja. Ia mulai cari celah untuk menjatuhkan Munaroh. Sebelum magrib sang pembantu pulang.“Enak banget ya, kerjaannya cuma tiduran dan mainan handpone,” usik Romlah saat mantunya sedang tiduran dengan sang cucu.“Kan semua sudah dikerjain sama Bibi, Nyak,” jawab Munaroh yang kemudian meletakkan hapenya di bantal.“Loe itu malas banget jadi orang!” Romlah mulai meninggi karena ucapannya berani dijawab. “Jadi bnii tuh jangan Cuma tiduran, main hape tapi harus masak, beres-beres rumah.”“Aku kan punya bayi, Nyak,” sanggah Munaroh lagi membuat mata mertuanya melotot.“Bayi jangan dijadikan alasan buat malas-malasan!” sentak Romlah. “Dulu Enyak kalau punya bayi, juga mas

  • GANTENG-GANTENG PELIT   BUKAN MALAIKAT

    “Ali, Ali!” teriak Romlah di sela isak tangisnya menggegerkan rumah Munaroh yang mulai sepi. Hanya ada Rojali dan beberapa kerabat yang masih membereskan sisa aqiqah.“Ali, Ali!” Romlah terus berteriak saat anaknya belum jua menampakkan batang hidungnya. Suaranya mulai parau karena habis menangis meraung-raung.“Ada apa, Nyak?” Tanya Ali yang tergopoh-gopoh menghampirinya yang disusul oleh Rojali dan Munaroh.“Rumah Enyak, Al,” sahut Romlah dengan isak tangis.“Kenapa dengan rumah Enyak?” Ali mulai panik yang kemudian menatap Atun dan Karyo bergantian.“Rumah Enyak, Al,” kalimat Romlah tertahan. Kalah dengan tangisannya yang kencang.Tiba-tiba Romlah merasakan tubuhnya terasa lemas. Berita duka ini membuat kakinya tak mampu menopang tubuhnya yang mulai kurus semenjak ditinggal Ali. Ali menuntun tubuh ibunya duduk di kursi. Seorang kerabat Munaroh memb

  • GANTENG-GANTENG PELIT   MANTU KERE

    Sepeninggalan Rohaye dan Malih, Romlah memanggil Atun dan Karyo. Setali dua uang dengan mantunya yang pertama, mantu kedua inipun tak bisa diandalkan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Karyo bukan tak mau menyenangkan mertuanya, tapi hasil jualan cilok hanya cukup untuk makan dan sekolah anak-anaknya saja.“Tempe lagi, tempe lagi,” gerutu Romlah saat Atun hanya menyajikan tumis kangkung dengan tempe goreng di atas meja makan.“Ikan kek, daging kek,” imbuh Romlah melirik menantunya yang taku-takut menatapnya.“Rezekinya ini, Nyak,” sahut Atun bijak.“Masa tiap hari ini doang makannya!” umpat Romlah. “Bisa-bisa stroke lagi gue makan makanan tak bergizi seperti ini.” Tunjuknya pada menu yang dimasak Atun.“Ya, udah, Enyak mau makan apa?” tanya Karyo akhirnya.“Nasi padang,” sahut Romlah.“Aku ayam goreng, Pak!” pinta kedua anakn

  • GANTENG-GANTENG PELIT   MANTU BENALU

    Karena lelah hati dengan ucapan Romlah yang setiap hari menyindirnya, Ali malah kepikiran ucapan Dadang. Dia ingat kembali kata-kata sahabatnya itu.‘Apa iya ya, aku sudah dzolim sama Munaroh selama ini?’‘Apa Munaroh marah karena aku tak pernah memberi nafkah meski dia punya uang banyak?’‘Apa aku pertahanin Munaroh demi kebahagiaan anakku kelak?’‘Tapi kalau aku milih Munaroh, Enyak pasti marah dan aku jadi anak durhaka?’Perang batin Ali dimulai. Ingin rasanya kembali memperbaiki hubungan dengan sang istri. Namun ia takut jika sang ibu marah. Tapi jika terus hidup seperti ini, diapun tak mau. Dia laki-laki normal, ingin dicinta dan diperhatikan oleh seorang wanita.“Udah gajian belum, Al?” Tiba-tiba suara Romlah membangunan anaknya dari lamunan.“Udah, Nyak,” sahut Ali yang langsung mengeluarkan uang dari dompetnya.“Kok cuma segini?&

  • GANTENG-GANTENG PELIT   SI PAHIT LIDAH

    Rencana perceraiannya dengan Munaroh membuat beban pikiran Ali. Ga tahu harus berbuat apa karena Munaroh sudah menutup pintu damainya dengan Romlah.“Kenapa loe, Al?" tanya Dadang saat sahabatnya itu mampir ke warungnya.“Gue lagi pusing nih, Dang?” keluh Ali. “Gue disuruh cerai sama Enyak.”“Apa?” pekik Dadang. “Enyak loe suruh loe cerai?”“Iya.” Ali mengangguk lemah. “Padahal Munaroh lagi hamil.”“Emang apa masalahnya?” Dadang mencoba tenang.“Enyak marah gara-gara Munarih gam au pinjemin uang buat modal usaha Mpok Rohaye.” Zuki membuka cerita.“Emang berapa?” Dadang penasaran.“Lima puluh juta.”“Jelaslah ga mau,” sahut Dadang santai. “Uang segithu banyak, belum tentu usaha kakak loe berhasil.”“Iya juga sih.” Ali setuju. “Munaroh j

  • GANTENG-GANTENG PELIT   PERANG DUNIA KEDUA

    Menjelang sore toko tampak rame. Banyak pemilik warung yang berbelanja di toko grosir milik Munaroh. Selain harganya miring, Munaroh termasuk ramah kepada pelanggannya. Tak ada satupun langganan yang ia sepelekan meski cuma belanja dalam porsi kecil.Namun di tengah kesibukannya di belakang meja kasir, mendadak perut Munaroh terasa mual-mual. Ali, yang kebetulan baru datang segera menghampiri istrinya dengan wajah cemas.“Kamu sakit, Yang?” tanyanya yang memapah tubuh Munaroh yang hampir saja jatuh karena hilang keseimbangan.“Ga tahu ini, Bang, perutnya mual-mual, pingin muntah,” sahut Munaroh dengan keringat dingin.“Kamu sakit, Yang, wajahmu pucat.” Ali makin khawatir. “Kita periksa, yuk!”“Iya, Bang.” Munaroh menurut. Ia memang tipikal wanita yang ga mau sakit berlama-lama.Beberapa menit setelah diperiksa, pasutri itu duduk di depan dokter.“Sakit apa,

  • GANTENG-GANTENG PELIT   MESIN UANG

    “Bang, besok kan Enyak kontrol dan terapi,” ucap Munaroh di depan meja hias.“Iya,” sahut Ali datar. “Aku besok juga ambil off kok biar bisa ngantein Enyak.”“Besok, biaya rumah sakitnya pakai uang Enyak sendiri ya!” ucapan Munaroh membuat mata suaminya terbeliak.“Kok githu?”“Ya kan setahun ini semua pakai uang Munaroh dari makan, listrik, terapi Enyak dan biaya operasi,” beber Munaroh. “Dan semua itu banyak keluar uang.”“Tapi kalau nanti Enyak suruh bayar sendiri takutnya Enyak marah dan tekanan darahnya tinggi, masuk ke rumah sakit, bagaimana?” Ali mengurai ketakutannya.“Ya, kalau gini terus ya berat di aku dong, Bang!” keluh Munaroh. Palagi semua gaji dan uang kontrakan diminta Enyak.”“Kok kamu itung-itungan sih sama, Enyak!” hardik Ali kesal. “Durhaka tahu.”“Ada

  • GANTENG-GANTENG PELIT   BIAYA RUMAH SAKIT

    Uang makin menipis, sedang hubungannya dengan Munaroh makin memanas membuat kepala Romlah cenat cenut tak karuan. Belum lagi dirasa badan sedang tak bersahabat.“Urut enak kali ya?” ucapnya sambil memijit-mijit kakinya yang kesemutan. “Duh, mules lagi.”Panggilan alam membuat Romlah bangkit ke kamar mandi. Dengan santai ia masuk ke dalam yang tak ia sadari jika lantai kamar mandi licin. Tak ayal ia langsung terpelet.“Auww!” pekiknya keras membuat Ali dan Munaroh tergopoh-gopoh menghampirinya.“Enyak!” teriak histeris Ali yang langsung membantu Romlah bangkit.“Sakit Al!” teriak Romlah saat kakinya tak bisa digerakkan.“Bang, langsung bawa ke rumah sakit saja!” titah Munaroh yang diiyakan suaminya.Romlah tampak kesakitan sepanjang jalan ke rumah sakit. Di tengah perjalanan Ali menghubungi kedua saudaranya jika Romlah jatuh di kamar mandi dan dilarik

  • GANTENG-GANTENG PELIT   GENCATAN SENJATA

    “Enak saja loe minta uang kontrakan!” bentak Romlah yang sudah di depan mata menantunya sambil berkacak pinggang.“Kontrakan ini dibangun di tanah gue ya, kenapa loe yang mau duitnya?” tunjuknya ke muka sang menantu. “Matre banget sih jadi bini.”“Kalau gaji Bang Ali semua Enyak minta, uang kontrakan Enyak minta, lalu Bang Ali nafkahin Munaroh pakai apa?” jawab Munaroh nambah bikin kesel mertuanya.“Kan loe banyak duit, pakai aja duit loe sendiri!” sanggah Romlah. “Kalau sudah rumah tangga itu, uang istri ya uang suami.” Romlah mencari pembenaran atas ucapanya.“Ga kebalik, uang suami itu uang istri,” tukas Munaroh ketus.“Uang anak laki ya uang emaknya karena surge ada di telapak kaki ibu,” sahut Romlah masih tak mau kalah.“Denger tuh Bang, kata Enyak.” Munaroh menatap suaminya sebagai pelampiasan kesal. &ld

좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status