Share

DUFAN

Hari yang dinanti tiba. Dari pagi Sri sudah siap berkemas. Membawa bekal untuk dibawa. Tepat jam sepuluh pagi Ali menjemput. Dengan suka cita dua sejoli itu melaju ke tempat wisata ibukota.

Meski bukan weekend namun antrian panjang bak ular. Mungkin karena sedang diskon, banyak antusias dari warga untuk berkunjung. Setelah sekian lama menunggu, antrian Ali dan Sri tinggal satu orang.

“Yang, mana uangnya?” Ali menadahkan tangan kanan sementara tangan kiri memegang uang seratus ribuan.

Wajah Sri langsung cemberut kesal. Dikiranya Ali akan mentraktirnya masuk ke Dufan. Nyatanya seperti biasa, bayar sendiri-sendiri.

Tiket sudah dicap di tangan. Sri langsung bahagia memasuki arena bermain. Tanpa pikir panjang, gadis itu langsung mencoba berbagai wahana. Dari yang kalem sampai memacu adrenalin.

Karena kesal Sri sengaja naik ini itu sesuka hatinya tanpa minta persetujuan dulu pada Ali. Alhasil Ali mau tak mau ikut dengan kekasihnya tanpa banyak bicara.

“Udah Yang, kepalaku pusing,” keluh Ali setelah turun dari wahana halilintar.

“Ya sudah minum dulu!” Sri menyodorkan teh botol.

Dengan cepat Ali meneguknya. Lalu ikut menikmati cemilan yang dibawa oleh pacarnya. Dirasa sudah cukup istirahat, Sri beranjak menikmati wahana lainnya.

“Ayo!”

“Aduh sayang, perutku masih mual-mual begini.” Ali masih mengeluh sambil memegangi perut. Wajahnya mulai pucat. Rupanya pacar Sri mabuk wahana dufan.

“Ya sudah, gosokin dulu sama minyak kayu putih .” Sri duduk kembali dan mengambil botol minyak kayu putih.

“Gosokin!” pinta Ali manja.

Dengan terpaksa tangan gadis itu menggosok punggung dan leher Ali dengan minyak. Lalu memijit-mijitnya sebentar. Rasa kantuk tiba-tiba menjalari Ali. Namun mual-mual belum jua reda.

“Gimana, enakan?” tanya Sri.

“Lumayan,” jawab Ali masih mabuk wahana.

“Mau naik ga?” tawar Sri.

“Kita pulang aja yuk!” pinta Ali dengan wajah pasinya.

“Pulang?” Sri memastikan. Baru juga dua jam ia di sini. Semua wahana juga belum dicoba.

 Masa iya mau pulang? Rugi dong bayar mahal tapi ga nyobain semua wahana.

“Iya, kepalaku pusing banget,” keluh Ali lagi.

"Nih kamu minum obat pusing dulu!” Sri mengambil obat sakit kepala yang biasa ia minum. Biasanya dalam hitungan menit sakitnya langsung reda.

Ali langsung meminumnya. “Ya sudah, aku tiduran dulu ya!” Ali langsung berbaring di meja panjang.

Lima menit, sepuluh menit, Sri masih sabar menunggu Ali yang terlelap tidur. Namun lama-lama bosan mendera. Daripada ia kesal sendiri, gadis itu melangkah menikmati wahana. Meski sendiri tapi seru juga tanpa Ali. Setidaknya, ia bebas tanpa digandeng.

Antrian kora-kora mengular. Namun dengan sabar Sri mengantri. Tanpa sadar sapu tangan cowok di depannya jatuh. Sedikit ragu, ia menepuk pundak si cowok sehingga sang cowok menoleh.

“Sapu tangannya jatuh!” tunjuk Sri pada sapu tangan di depannya.

Segera si cowok memungutnya sedang Sri mundur selangkah.

“Makasih ya , Mbak,” ucap si cowok sembari terus menatap lekat padanya. “Kamu Srikandi kan?” tanya cowok itu memastikan.

“Iya.” Mata Sri mengerling seperti sedang mengingat wajah di depanya yang tidak asing.

 “Saka?” tebaknya saat mampu mengingat.

“Alhamdulillah kalau masih ingat,” jawab Saka senang.

“Kok bisa sampai Dufan?” tanya Sri penasaran karena setahu Sri, kakak kelasnya semasa SMP itu tinggal dan bekerja di Karawang.

“Lagi Family Day dari pabrik.” Saka menunjukkan beberapa temannya  yang berseragam sama dengannya.

“Enak ya, jalan-jalan dibayarin pabrik.”

“Hadiah dong buat karyawannya. Biar otaknya fresh lagi nanti pas kerja,” seloroh Saka menanggapi ucapan teman satu kampungnya.

“Kamu sendiri, kesini ma siapa?”

Belum sempat Sri menjawab, penumpang wahana turun. Giliran ia dan Saka naik. Mereka duduk berdampingan. Berteriak bersama, tertawa bersama.

Kebersamaan mereka berlanjut dengan menaiki beberapa wahana yang lainnya. Saka sengaja lepas dari rombongan demi bisa bersama gadis yang sudah bertahun-tahun tak ia jumpa.

Tak terasa waktu begulir begitu cepat. Kebersamaannya dengan Saka membuat Sri lupa dengan Ali. Higga dering ponsel terdengar.

“Yang, kamu di mana?” tanya Ali.

“Kamu sudah bangun?” tanya Sri setelah menjauh beberapa langkah dari Saka.

“Sudah. Dari tadi aku nyariin kamu tapi ga ketemu.”

“Ya sudah, kamu di mana? Aku ke sana!”

“Aku di dekat wahana Tornado.”

“Oke.” Sri memutus telepon dan kembali menghampiri Saka. “Aku duluan ya! Senang ketemu tetangga kampung.”

“Boleh minta nomernya!” pinta Saka tho the poin. “Untuk kirim kabar.”

“Boleh,” jawab Sri antusias. Kini nomer mereka tertera di ponsel satu sama lain.

Sri berlari mencari sosok pacarnya dengan hati berbunga-bunga. Pertemuan tak terduga dengan Saka membuatnya makin terhibur hari ini. Tampak dari kejauhan Sri melihat wajah ditekuk Ali.

“Kamu dari mana saja sih, Yang!” protes Ali saat Sri datang.

“Ya main wahana,” jawab Sri tanpa rasa bersalah. “Sudah enakan badannya?”

“Sudah.” Ali mulai bersikap romantis. “Pulang yuk, udah lapar nih!”

Sri memandang ke atas. Tampak langit mulai redup dan terlihat lukisan senja. Dilirik jam tangan yang sudah menunjukkan jam lima sore.

“Ayo,” jawabnya riang. Dengan mesra Ali menggandeng kekasihnya.

********

Sebelum ke kosan Sri, Ali memarkir motor di tempat kuliner sekitar kosan Sri. Ia menggandeng mesra kekasihnya.

“Dibungkus saja ya, Yang! Nanti makannya di kosan saja,” ujar Ali yang diiyakan Sri.

“Kamu mau makan apa?” tawar Ali membuat Sri sumringah. Maklum seharian mencoba wahana, lapar mendera.

“Terserah,” jawan Sri lembut.

“Ya sudah kamu tunggu di sini ya! Biar aku yang cari makan.” Dengan mesra  punAli menepukdak kekasihnya kemudian berlalu. Tak berselang lama, ia sudah kembali dengan membawa kantong hitam.

“Yuk, pulang!”

Motor melaju ke kosan Sri. Karena sudah lapar, Sri dan Ali langsung duduk dan bersiap makan. Ali mengeluarkan sebungkus makanan dan sebotol air mineral.

“Belinya satu doang?” tanya Sri memastikan.

“Iya, makan sebungkus berdua lebih romatis,” jawab Ali sembari membuka bungkusan.

Mata Sri terbelalak. Gadis Solo itu menelan saliva. Nasi warteg berlauk tumis kangkung, capcay sayuran dan sepotong tahu, tempe itu tak membuatnya berselera sama sekali.

“Ayo Yang, makan!” titah Ali setelah mengunyah nasi.

Lagi-lagi Sri hanya bisa menelan saliva pahit. Melihat cara makan Ali saja sudah membuat ia geli apalagi makan sebungkus berdua. Pacarnya itu langsung meneguk air dengan mulut menempel di botol. Seumur-umur belum pernah ia makan dan minum dari wadah yang sama jika bukan dari anggota keluarga.

“Ayo Yang, makan!” tawar Ali lagi saat pacarnya hanya terdiam sedang nasi tinggal setengah.

“Iya,” jawab Sri ragu. Dengan tangan ia mencomot nasi di pinggir yang belum tersentuh sendok Ali.

“Aku sudah,” ucap Sri kemudian daripada ga ketelan jika dipaksakan.

“Sedikit banget?” selidik Ali.

“Iya, sudah kenyang.”

“Aku habisin ya!” ucap Ali tanpa peka dengan bahasa tubuh kekasihnya.

Untung Ali cepat pulang. Sakit kepala yang mendera, memaksasnya untuk ingin cepat tidur terlelap. Selepas sang pacar pulang, Sri langsung bergegas membeli ayam bakar kesukaan.

“Laper euy.”

🌹🌹🌹🌹

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status