Hari ini Sri dapat durian nomplok. Kakak lelakinya yang punya usaha bakso di Solo mengiriminya uang tanpa diminta. Uang itu, dia rencanakan untuk membeli tas. Maklum tas yang ia pakai sehari-hari sudah ketinggalan model.
Hari libur yang cerah, Sri meminta Ali untuk mengantarnya ke Mall Arion karena jarah Sunter ke Rawamangun lumayan menguras tenaga jika naik angkutan umum. Harus tiga kali naik angkot.
“Mau ngapain Yang, ke Arion?” tanya Ali saat di perjalanan.
“Mau beli tas,” jawab Sri singkat.
“Kenapa ga beli di Sunter Mall saja?”
“Sekali-kali shoping yang jauh.”
Satu jam kemudian mereka sampai.
Sebenarnya jarak tempuh bisa dicapai empat puluh menitan memakai motor jika jalan motornya dengan kecepatan standart. Namun karena Ali hobi naik motor seperti keong, satu jam sudah sampai itu alhamdulillah.Ali memarkir motor dan menggandeng mesra Sri layaknya kekasih ya
Merantau seorang diri di Jakarta itu harus membuat Sri pinter-pinter ngatur keuangan. Karena jika nanti ia kehabisan uang tak ada yang bisa diandalkan kecuali kalau ia berani ngutang ke teman kerja atau teman kos.Makanya setiap gajian sudah cair, Sri selalu belanja bulanan untuk menghindari belanja ketengan di warung. Karena menurutnya belanja ketengan jauh mahal dan menguras kantong.“Aku mau belanja bulanan dulu,” ucap Sri saat menemui Ali yang sedang menunggu.“Ya udah, aku temenin ya!” sahut Ali langsung menggandeng kekasihnya masuk ke sawalayan di Sunter Mall.Denga sigap Sri mengambil keperluannya selama sebulan. Lalu membeli beberapa cemilan untuk teman nonton TV di kosan.Antrian kasir lumayan panjang. Maklum, mungkin efek tanggal muda, jadi banyak orang belanja.“Seratus lima puluh ribu,” ucap mbak kasir.Sri bersiap mengeluarkan dompet dari tas.“Ada uangnya?&
Meski tak hobi nonton namun Sri kadang kala menyambangi bioskop yang biasa terletak di lantai atas mall-mall. Kebetulan kali ini ada film yang diangkat dari novel laris sedang happening. Dia bergegas mengunci pintu kamar kosan. Liburan kali ini rencananya akan dia habiskan sendirian. Malas liburan bareng Ali jika hanya bikin bete.“Mau pergi, Yang?” tanya Ali yang tiba-tiba sudah muncul di depan gerbang.Sri menggigit bibir dengan dahi berkerut. Berbagai macam pertanyaan muncul kok Ali bisa di sini? Bukannya ia harus kerja.“Kamu ga kerja?” selidiknya.“Bagas minta tukeran off. Aku iyain aja karena aku ingat hari ini kamu libur,” jawab Ali tak lepas dari senyum. “Mau ke mana? Kok sudah cantik aja?” Ali menatap pacarnya dari ujung rambut hingga ujung kaki.“Mau nonton,” jawab Sri langsung tak berselera.“Ikut ya!” sahutnya langsung membuat Sri down. Perasaan
Swalayan masih sepi di pagi hari. Selesai beres-beres barang, nyetok dan menulis orderan, Sri ikut bergabung dengan beberapa SPG yang asyik ngobrol dengan satpam swalayan.“Eh Sri, gimana hubunganmu dengan Ali? Masih lanjut?” tanya Opik yang merupakan tetangga Ali.“Baik-baik saja,” jawab Sri bertanya-tanya. Kok tetangga Ali bertanya seperti itu. “Emang kenapa, Bang?” tanyanya sedikit penasaran.“Betah saja kamu pacaran sama cowok pelit,” celetuk Opik membuat Sri terkejut. Wajahnya memerah karena teman teman SPG langsung menatapnya.“Beneran Sri, Ali pelit?” tanya Hani.“Malas banget pacaran sama orang pelit,” tukas Dewi.“Makan ati mlulu tuh,” cibir Ratna sambil tertawa.Reaksi teman-temannya membuat Sri mati kutu. Bingung mau jawab apa karena yang diucapkan tema-temannya benar semua.“Pelit kan sama orang lain. Tapi sama pa
Hari berlanjut. Hubungan Sri dan Ali adem ayem saja. Sri yang santai dan tak pernah membahas apapun. Sedang Ali yang selalu menceritakan impiannya untuk menikah dan punya anak banyak dari Sri membuat hubungan mereka hambar bagi Sri. Namun tidak bagi Ali. Pemuda hitam manis itu betul-betul sudah jatuh hati.“Yang, main ke rumahku yuk!” ajak Ali sepulang kerja. “Ibu pingin ketemu dengan calon mantu,” godanya ditanggapi Sri dengan seulas senyum.Ketemu ibunya Ali? Kenapa takut? Toh ia juga ingin membuktikan ucapan Opik jika pacarmya itu satu keluarga memang pelit. Gadis itu juga penasaran dengan kontrakan yang selama ini digembar-gemborkan oleh pacarnya.“Boleh.” Sri mengiyakan.Keesokan harinya, selepas dzuhur Sri dijemput Ali dan menyambangi rumah Ali di kawasan Warakas. Gang sempit dan pemukiman padat merayap. Sebuah rumah besar dan indah memukau Sri. Pasalnya, Ali begitu pelan mengendarai motor saat di de
Pagi yang cerah. Hari ini Srikandi berencana akan mengunjungi teman masa sekolahnya yang baru saja married dan ikut tinggal bersama suami di Cikarang. Maklum, sang suami adalah buruh pabrik.Jam sepuluh Sri sudah rapi. Namun Ali belum juga menampakan hidungnya. Di bawah pohon rindang, gadis Solo itu celingak-celinguk menanti sang pacar. Tak berapa lama sang pacar datang dengan naik ojek.“Makasih ya, Bang,” ujar Ali sebelum ojek berlalu.“Kok naik ojek? Motor kamu mana?” tanya Sri bingung.“Di rumah,” jawab Ali enteng.“Lho, kita kan mau ke Cikarang?”“Tahu,” jawab Ali lagi.” Ke Cikarangnya kita naik bus saja.”“Lha, bukannya lebih cepat kalau naik motor?” seru Sri membuat cowoknya garuk-garuk kepala.“Aku ga tahu jalan, Sayang. Takut nyasar nanti,” aku Ali membuat Sri menepuk jidatnya.'Hari gini, laki-laki ga t
Ali bin Sabeni. Pemuda kelahiran Jakarta, dua puluh tiga tahun silam. Lahir sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara. Dan menjadi anak laki satu-satunya dari pasangan Sabeni dan Romlah. Tamatan SMA Negeri dan sekarang bekerja sebagai karyawan di Departemen Store.Sabeni adalah juragan kontrakan dan tanah. Ia jago sebagai makelar tanah, jadi tak heran jika tanahnya ada di mana-mana. Namun semua harta yang dikumpulkan dari hasil makelar kini tinggal kenangan. Habis untuk berobat saat ia divonis menderita diabetes hingga meninggal dunia.Rumah besar yang dulu mereka sekeluarga tinggalipun harus terjual. Tersisa rumah dan kontrakan yang sudah dibagi adil kepada ketiga anaknya. Belum lagi beberapa tanah yang dijual paksa oleh kedua mantu Romlah yang memang ternyata pengangguran.Kini hanya tersisa rumah yang bisa dibilang kontrakan petak dan sepuluh kontrakan yang hanya terisi lima kamar. Semua itu menjadi hak milik Ali alias Al dengan syarat dia dan is
Hari ini Nur mentraktir kedua sahabatnya di Bebek Kaleyo. Sepertinya ada hal yang ingin disampaikan gadis keturunan Jawa-Sunda ini.“Ada apa sih? Sepertinya senang banget?” tanya Wulan sudah tak sabar menunggu.Yang ditanya hanya senyam-senyum tanpa kata. Makin membuat penasaran kedua sahabatnya.“Kasih tahu dong! Jangan cuma senyam-senyum doang,” gerutu Sri.“Aku dilamar,” seru Nur sambil memamerkan cincin indah di jemari manisnya.“Beneran Nur?” Wulan memastikan dengan wajah berbinar. Sedang Sri mulutnya terbuka, tak bisa menutupi rasa bahagianya.“Iya, bener,” jawab Nur mengangguk dan terus tersenyum."Selamat ya!” Wulan dan Sri memeluk erat sahabatnya yang sebentar lagi jadi istri orang.“Kalian nanti datang ya!” pinta Nur.“Pasti,” jawab Wulan langsung. “Nanti aku ke sana bareng Sri pakai mobil Bang Somad.&r
Wajah Ali terlihat kusut saat mampir ke warung milik Dadang. Tampak warung itu sepi. Biasanya jadi tempat mangkal teman-temannya bareng sang pacar.“Yang lainnya pada ke mana?” tanya Ali sesudah meneguk minuman dingin dari show cash warung.“Pada main ke kos pacarnya,” jawab Dadang. “Mungkin lagi pada indehoy kali.”“Terus cewek loe mana?”“Gue baru saja putus,” jawab Dadang lesu.“Kok bisa?” tanya Ali penasaran.“Dia dijodohkan sama orang tuanya.” Jawaban Dadang membuat tawa Ali meledak-ledak.“Nasib kita sama dong, Bro.” Ali menepuk-nepuk pundak temannya. “Sama-sama ditinggal married sama pacar.”“Emang Sri nikah juga sama orang lain?” Dadang menebak karena penasaran.“Bukan.” Ali mengibaskan tangan. “Dulu, Amoy kan ninggalin gue nikah sama cowok lain,” ujar