Hari yang sibuk dan melelahkan. Datang barang dan hari ini sang leader minta hasil penjualan selama sebulan untuk pencairan bonus. Serta merta semua harus selesai hari ini. Belum lagi pengunjung yang ramai di awal bulan.
Kesibukan ini membuat Sri tak sempat makan siang meski lapar mendera. Tapi semua tak dirasa karena omset hari ini sungguh luar biasa. Sudah mengisi sepertiga dari target sebulan. Sebelum pulang, ia langsung mengisi form permintaan barang.
“Kita makan dulu yuk!” ajaknya saat menemui Ali yang menunggu. “Dari siang belum makan.”
“Kok belum makan?” tanya Ali perhatian.
“Tadi datang barang dan rame pengunjung. Jadi deh ga sempet makan.”
“Ga boleh githu dong, Sayang.” Ali mulai membelai mesra rambut kekasihnya. “Meski sibuk kerja tapi harus disempetin makan. Takut kamu maag.”
“Makasih, ya!” ucap Sri langsung bergegas menuju restoran ayam cepat saji.
“Kamu mau apa?” tanya Sri saat antrian di depannya tingga satu orang.
“Terserah kamu.”
“Mbak, Paket Attack dua ya!” pesannya setelah dapat giliran.“Berapa harganya?” bisik Ali.
“Satu porsi sepuluh ribu.”
Tak berapa lama Ali mengulurkan uang pas sepuluh ribu. Bibir Sri mengatup serta tenggorokannya tercekat. Ini artinya makan bareng sama pacar tapi bayar sendiri-sendiri.
Mendadak perasaan Sri jadi ilfill sama kekasihnya. Mulai tak respek saat Ali bercerita dan bermanja-manja. Sri asyik saja makan tanpa bersuara.
“Ini nasinya buat kamu.” Ali meletakkan nasi di wadah Sri. “Takut kamu ga kenyang. Aku makan ayamnya saja. Tadi siang sudah makan banyak.”
Sri tak menggubris kalimat sang pacar. Ia asyik saja makan hingga tandas. Nasi pemberian Ali tak disentuh sama sekali. Sekali teguk, minuman soda yang tinggal setengah itu habis sudah.
“Pulang yuk!” ajak Sri tak ingin basa-basi.
“Kok pulang?” keluh Ali. “Ngobrol-ngobrol dulu yuk!”
“Aku capek. Ingin cepat mandi dan istirahat.” Sri beralasan.
Tanpa menunggu Ali mengiyakan, ia sudah bangkit dan ke luar dari tempat makan itu. Sepanjang jalan ia tak menghiraukan Ali yang terus bicara ini itu.
Ali mengambil helm. “Yang, aku ga punya receh. Uangku seratus ribuan semua,” ucapnya.
“Tolong bayarin parkir ya!” pintanya tanpa malu.Sri tidak menjawab ataupun tersenyum. Namun tangannya langsung merogoh saku celana dan menyiapkan uang receh.
Ali selalu mengendarai motornya super pelan jika bersama Sri. Ia ingin waktu berjalan lama jika sedang dengan kekasihnya itu. Bercerita ini itu tanpa tentu arah. Juga tentang masa depan hubungan mereka yang ia yakin akan menuju ke jenjang pernikahan.
“Nganternya sampai sini saja ya!” titah Sri yang langsung turun dari motor.
“Kok cuma sampai di sini?” protes Ali. “Aku kan masih mau ngobrol ma kamu, Sayang.”
“Kapan-kapan saja ngobrolnya!” bantah Sri.
“Badanku capek banget, mau istirahat.”“Mau aku pijitin!” tawar Ali dengan senang hati.
“Ga usah,” jawab Sri cepat.
Bisa urusannya melebar kemana-mana kalau Ali mijitin dia.
“Temen-temenku kalau masuk angin atau capek saling kerokan atau mijit di kosan,” ceritanya berharap Sri tertarik.
“Nanti minum obat terus tidur juga sembuh,” sahutnya sama sekali tak tertarik dengan kelakuan teman-teman Ali. “Udah ya!” pamitnya langsung melangkah masuk ke kosan.
Selesai mandi dan rapi, Sri membuka kamar kosan. Rencananya sebentar lagi ia akan cari makan di luar. Namun belum sempat niat itu terlaksana, Nur sudah masuk ke kamarnya dengan membawa Donut Jaco dan coffe latte dingin.
“Wulan belum pulang ya Sri?” tanyanya saat tak menemui sosok sahabatnya itu.
“Ngapain nyariin aku?” tanpa diduga Wulan datang.
“Mau ngajakin ngopi,” jawab Nur sambil membuka donat dan membagi minuman pada Sri dan Wulan. “Ayo, Sri!” tawarnya menyodorkan kotak donat.
“Makan bakso dulu nih!” sergah Wulan sambil mengeluarkan tiga kantong bakso dari kantong plastik. “Sri, mangkok di mana?”
Sri beranjak dan mengambil tiga perangkat alat makan. Mereka menuang bakso yang masih panas itu dan menaburinya dengan sambal dan saos.
“Bakso mana ini?” tanya Sri.
“Biasa, bakso depan apotik Cempaka Putih. Yang langganan para artis,” jawab Wulan.
“Wah, mantap ini!” Nur makin menggebu.
“Iya tadi Bang Somad buru-buru ga bisa nemenin aku makan. Ya sudah dibungkusin tiga untuk makan rame-rame,” jawab Wulan.“Wah, pacarmu royal sama teman-temanmu juga ya,” puji Nur.
“Ya bersyukur banget tiap punya pacar ga pernah ada yang pelit,” jawab Wulan.
“Sama, Bang Rohmad juga royal,” puji Nur. “Masih dibeliin kue padahal tadi kami habis nonton lho.
Cerita kedua sahabatnya membuat Sri menelan saliva. Nyesek dengan kisah cintanya dengan cowok pelit.
Membandingkan Ali dengan Somad dan Rohmad tentu bagaikan langit dan bumi. Ingatan makan paket hemat sepuluh ribu sore tadi membuatnya ngenes. Sepuluh ribu, bayar sendiri-sendiri.
“Kalau Ali, gimana Sri?” tanya Nur membuat cewek Solo itu tersedak. “Royal juga kan seperti pacar kita-kita? Secara mereka kan sama-sama asli Betawi.”
“Biasa saja,” jawab Sri sesudah meneguk es kopinya.
“Syukur kalau juga royal. Meski ada juga yang pelit ya orang sini.” Wulan menimpali.
“Jangan sampailah kita pacaran sama cowok pelit. Bisa-bisa makan ati mlulu kerjaannya.” Nur menambahkan.
Sri melanjutkan makannya. Bakso pedas itu lebih menggoda daripada sekedar menceritakan kisah cintanya yang ngenes dengan Ali. Belum lagi donut Jaco, si pencuci mulut, yang tentu lebih membuatnya berselera daripada membicarakan seorang Ali yang pelit.
Andai teman-temannya tahu jika kisah cintanya tak seindah mereka, tentu akan jadi bahan tertawaan. Baru pertama kali pacaran, eh dapet cowok pelit bin medit.
***************
Dengan setia Ali menunggu Sri di depan kos. Revonya langsung meluncur pelan ke tempat kerja. Sesampainya di parkiran, Sri langsung turun dan beranjak masuk. Namun langkahnya terhenti saat Ali menahan tangannya.
“Libur, kita ke Dufan yuk!” ajaknya. “ Lagi ada diskon lima puluh persen lho!”
“Boleh.” Sri mengiyakan ajakan pacarnya.
Sudah lama ia ga jalan-jalan. Hanya fokus tempat kerja, kosan dan omset penjualan susu serta mengejar bonus. Ga ada salahnya merefresh otak yang hampir penuh karena kerjaan. Apalagi jalannya bareng pacar. Tentu akan lebih berwarna dan romantis."Asyik, nanti di sana kita bisa puas-puasin pacaran ya, Sayang," ujar Ali sambil senyum-senyum membayangkan romantisme yang akan tercipta di Dufan nanti.
Sri mengernyitkan dahi. Angan-angan pacarnya harus membuatnya waspada. Ia tak boleh lengah. Jangan sampai laki-laki yang baru beberapa bulan jadi pacarnya itu macam-macam.
"Naik wahana berduaan itu pasti asyik," lanjut Ali.
Sri tak sabar menunggu hari libur tiba. Bayangan naik semua wahana di Dufan terbayang di depan mata. Ingin mencoba semuanya mulai dari Kora-Kora, Arum Jeram hingga Tornado. Pasti seru dan menantang adrenalin.
🌹🌹🌹🌹🌹
Hari yang dinanti tiba. Dari pagi Sri sudah siap berkemas. Membawa bekal untuk dibawa. Tepat jam sepuluh pagi Ali menjemput. Dengan suka cita dua sejoli itu melaju ke tempat wisata ibukota.Meski bukan weekend namun antrian panjang bak ular. Mungkin karena sedang diskon, banyak antusias dari warga untuk berkunjung. Setelah sekian lama menunggu, antrian Ali dan Sri tinggal satu orang.“Yang, mana uangnya?” Ali menadahkan tangan kanan sementara tangan kiri memegang uang seratus ribuan.Wajah Sri langsung cemberut kesal. Dikiranya Ali akan mentraktirnya masuk ke Dufan. Nyatanya seperti biasa, bayar sendiri-sendiri.Tiket sudah dicap di tangan. Sri langsung bahagia memasuki arena bermain. Tanpa pikir panjang, gadis itu langsung mencoba berbagai wahana. Dari yang kalem sampai memacu adrenalin.Karena kesal Sri sengaja naik ini itu sesuka hatinya tanpa minta persetujuan dulu pada Ali. Alhasil Ali mau tak mau ikut dengan kekasihn
Hari ini Sri dapat durian nomplok. Kakak lelakinya yang punya usaha bakso di Solo mengiriminya uang tanpa diminta. Uang itu, dia rencanakan untuk membeli tas. Maklum tas yang ia pakai sehari-hari sudah ketinggalan model.Hari libur yang cerah, Sri meminta Ali untuk mengantarnya ke Mall Arion karena jarah Sunter ke Rawamangun lumayan menguras tenaga jika naik angkutan umum. Harus tiga kali naik angkot.“Mau ngapain Yang, ke Arion?” tanya Ali saat di perjalanan.“Mau beli tas,” jawab Sri singkat.“Kenapa ga beli di Sunter Mall saja?”“Sekali-kali shoping yang jauh.”Satu jam kemudian mereka sampai.Sebenarnya jarak tempuh bisa dicapai empat puluh menitan memakai motor jika jalan motornya dengan kecepatan standart. Namun karena Ali hobi naik motor seperti keong, satu jam sudah sampai itu alhamdulillah.Ali memarkir motor dan menggandeng mesra Sri layaknya kekasih ya
Merantau seorang diri di Jakarta itu harus membuat Sri pinter-pinter ngatur keuangan. Karena jika nanti ia kehabisan uang tak ada yang bisa diandalkan kecuali kalau ia berani ngutang ke teman kerja atau teman kos.Makanya setiap gajian sudah cair, Sri selalu belanja bulanan untuk menghindari belanja ketengan di warung. Karena menurutnya belanja ketengan jauh mahal dan menguras kantong.“Aku mau belanja bulanan dulu,” ucap Sri saat menemui Ali yang sedang menunggu.“Ya udah, aku temenin ya!” sahut Ali langsung menggandeng kekasihnya masuk ke sawalayan di Sunter Mall.Denga sigap Sri mengambil keperluannya selama sebulan. Lalu membeli beberapa cemilan untuk teman nonton TV di kosan.Antrian kasir lumayan panjang. Maklum, mungkin efek tanggal muda, jadi banyak orang belanja.“Seratus lima puluh ribu,” ucap mbak kasir.Sri bersiap mengeluarkan dompet dari tas.“Ada uangnya?&
Meski tak hobi nonton namun Sri kadang kala menyambangi bioskop yang biasa terletak di lantai atas mall-mall. Kebetulan kali ini ada film yang diangkat dari novel laris sedang happening. Dia bergegas mengunci pintu kamar kosan. Liburan kali ini rencananya akan dia habiskan sendirian. Malas liburan bareng Ali jika hanya bikin bete.“Mau pergi, Yang?” tanya Ali yang tiba-tiba sudah muncul di depan gerbang.Sri menggigit bibir dengan dahi berkerut. Berbagai macam pertanyaan muncul kok Ali bisa di sini? Bukannya ia harus kerja.“Kamu ga kerja?” selidiknya.“Bagas minta tukeran off. Aku iyain aja karena aku ingat hari ini kamu libur,” jawab Ali tak lepas dari senyum. “Mau ke mana? Kok sudah cantik aja?” Ali menatap pacarnya dari ujung rambut hingga ujung kaki.“Mau nonton,” jawab Sri langsung tak berselera.“Ikut ya!” sahutnya langsung membuat Sri down. Perasaan
Swalayan masih sepi di pagi hari. Selesai beres-beres barang, nyetok dan menulis orderan, Sri ikut bergabung dengan beberapa SPG yang asyik ngobrol dengan satpam swalayan.“Eh Sri, gimana hubunganmu dengan Ali? Masih lanjut?” tanya Opik yang merupakan tetangga Ali.“Baik-baik saja,” jawab Sri bertanya-tanya. Kok tetangga Ali bertanya seperti itu. “Emang kenapa, Bang?” tanyanya sedikit penasaran.“Betah saja kamu pacaran sama cowok pelit,” celetuk Opik membuat Sri terkejut. Wajahnya memerah karena teman teman SPG langsung menatapnya.“Beneran Sri, Ali pelit?” tanya Hani.“Malas banget pacaran sama orang pelit,” tukas Dewi.“Makan ati mlulu tuh,” cibir Ratna sambil tertawa.Reaksi teman-temannya membuat Sri mati kutu. Bingung mau jawab apa karena yang diucapkan tema-temannya benar semua.“Pelit kan sama orang lain. Tapi sama pa
Hari berlanjut. Hubungan Sri dan Ali adem ayem saja. Sri yang santai dan tak pernah membahas apapun. Sedang Ali yang selalu menceritakan impiannya untuk menikah dan punya anak banyak dari Sri membuat hubungan mereka hambar bagi Sri. Namun tidak bagi Ali. Pemuda hitam manis itu betul-betul sudah jatuh hati.“Yang, main ke rumahku yuk!” ajak Ali sepulang kerja. “Ibu pingin ketemu dengan calon mantu,” godanya ditanggapi Sri dengan seulas senyum.Ketemu ibunya Ali? Kenapa takut? Toh ia juga ingin membuktikan ucapan Opik jika pacarmya itu satu keluarga memang pelit. Gadis itu juga penasaran dengan kontrakan yang selama ini digembar-gemborkan oleh pacarnya.“Boleh.” Sri mengiyakan.Keesokan harinya, selepas dzuhur Sri dijemput Ali dan menyambangi rumah Ali di kawasan Warakas. Gang sempit dan pemukiman padat merayap. Sebuah rumah besar dan indah memukau Sri. Pasalnya, Ali begitu pelan mengendarai motor saat di de
Pagi yang cerah. Hari ini Srikandi berencana akan mengunjungi teman masa sekolahnya yang baru saja married dan ikut tinggal bersama suami di Cikarang. Maklum, sang suami adalah buruh pabrik.Jam sepuluh Sri sudah rapi. Namun Ali belum juga menampakan hidungnya. Di bawah pohon rindang, gadis Solo itu celingak-celinguk menanti sang pacar. Tak berapa lama sang pacar datang dengan naik ojek.“Makasih ya, Bang,” ujar Ali sebelum ojek berlalu.“Kok naik ojek? Motor kamu mana?” tanya Sri bingung.“Di rumah,” jawab Ali enteng.“Lho, kita kan mau ke Cikarang?”“Tahu,” jawab Ali lagi.” Ke Cikarangnya kita naik bus saja.”“Lha, bukannya lebih cepat kalau naik motor?” seru Sri membuat cowoknya garuk-garuk kepala.“Aku ga tahu jalan, Sayang. Takut nyasar nanti,” aku Ali membuat Sri menepuk jidatnya.'Hari gini, laki-laki ga t
Ali bin Sabeni. Pemuda kelahiran Jakarta, dua puluh tiga tahun silam. Lahir sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara. Dan menjadi anak laki satu-satunya dari pasangan Sabeni dan Romlah. Tamatan SMA Negeri dan sekarang bekerja sebagai karyawan di Departemen Store.Sabeni adalah juragan kontrakan dan tanah. Ia jago sebagai makelar tanah, jadi tak heran jika tanahnya ada di mana-mana. Namun semua harta yang dikumpulkan dari hasil makelar kini tinggal kenangan. Habis untuk berobat saat ia divonis menderita diabetes hingga meninggal dunia.Rumah besar yang dulu mereka sekeluarga tinggalipun harus terjual. Tersisa rumah dan kontrakan yang sudah dibagi adil kepada ketiga anaknya. Belum lagi beberapa tanah yang dijual paksa oleh kedua mantu Romlah yang memang ternyata pengangguran.Kini hanya tersisa rumah yang bisa dibilang kontrakan petak dan sepuluh kontrakan yang hanya terisi lima kamar. Semua itu menjadi hak milik Ali alias Al dengan syarat dia dan is