Aku menghambur pada Farel, memeluknya dengan erat. Tidak kugubris ucapannya yang mengundang air mata. Tangannya terus memberontak, aku tidak peduli, semakin dia memberontak semakin erat tanganku mendekapnya dalam pelukan, rasa rindu yang menyesakkan ini ingin sekali terobati.
"Lepaskan aku!" Kali ini ia benar-benar memberontak dan mendorongku kuat. Napasnya tersenggal-senggal, keringat bahkan bercucuran dari pelipis matanya, ia menahan amarah yang besar. Menatap dengan tajam, lalu berlari dengan kencang.Tubuhku yag terdorong ke tanah, dibantu bangun oleh Rina. Ia bahkan menepuk-nepuk tanah dan rurumputan kering yang ikut menempel pada pakaian."Kuatkan hatimu, Farel masih anak-anak. Dia butuh adaptasi, kamu sudah meninggalkannya cukup lama." Aku menatap kosong pada tubuhnya yang semakin menjauh, berlari tanpa menoleh. Farel benar-benar memendam kemarahan padaku selama ini."Kita bawa dulu barang-barangmu, kuantar kau pulang." Lagi, Rina menarik tangan. Tubuhku masih bergeming, mendengar semua ucapannya hanya saja tidak ada kekuatan untuk melakukan apapun. Sakit sekali rasanya diperlakukan seperti itu oleh anak sendiri.'Mama melakukan semua ini untukmu, Nak. Mama pun begitu tersiksa dengan keadaan ini, tapi apa boleh buat, ayahmu menipu kita, memanfaatkan Mama dan menyiksamu di sini.'"Ayoooo!" Rina yang sudah siap menarik gas motornya kembali menarik lenganku.Kami mengambil semua barang, lalu pulang menyusul Farel. Rina sudah wanti-wanti agar aku tidak membawa-bawa namanya dihadapan Mas Abas.Anak itu masih kulihat ada di bawah pohon, memandang rumahnya sendiri dengan tatapan enggan."Farel, kenapa tidak masuk, Nak?" Kusapa ia. Farel berbalik dan terkejut , ia kembali berlari dan membuka pintu dengan kasar."Hei!" Kudengar suara ibu yang kelabakan karena mendengar suara benturan."Apa ini hasilmu sekolah? Percuma kubiayai kau sekolah, kalau cuma anak pembantu tetap saja nggak ada pengaruhnya. Bangku sekolah malah membuatmu makin nggak sopan sama orang tua. Kalau dibilangin tuh ya dengerin!" Ibu menggedor-gedor pintu kamar Farel."Bagus ya, tidak ada jatah makanmu sampai besok!" Ibu menghentikan tangannya setelah mengedor pintu dengan sangat keras, amarahnya sudah sampai di ubun-ubun, ia bahkan meremas ujung kepalanya sendiri."Astagfirullah." Ibu melotot dan mengelus dadanya. "Bagaimana kamu bisa ada di sini, Gigi?""Aku pulang ke rumahku sendiri, Bu. Apa tidak boleh?" Kuredam amarah dan rasa benci, meraih tangan dan menciumnya takdzim."Bukan begitu, hanya saja Abas tidak mengatakan apapun pada ibu tentang kepulanganmu." Raut wajah tegangnya masih coba disembunyikan. Aku berpura-pura tidak tahu apapun, hanya karena Farel. Sebelum anak itu memaafkanku, aku tidak bisa datang dan membuat kekacauan baru yang akan membuatnya semakin bingung dan membeciku."Mas Abas memang tidak tahu, Bu. Gigi pulang untuk mengurus sesuatu.""Oh gitu. Kalau begitu biar Ibu beritahu Abas. Mungkin dia." Ibu berhenti sejenak, "dibengkelnya."Ibu nampak berlari ke luar, ia seperti melihat mayat hidup yang kembali pulang. Tidak ingin kupikirkan kelakuannya, habis ini ibu dan Mas Abas pasti langsung menyusun strategi baru untuk mengelabuiku.Aku lebih memilih menghampiri Farel, ia mengunci pintu kamarnya dan membiarkan aku memelas di luar."Sayang, Mama tahu kamu marah karena merasa ditelantarkan. Mama sungguh tidak bermaksud seperti itu, Nak. Mama pergi bekerja agar kamu bisa makan dan sekolah. Mempercayakan ayah dan nenek untuk mengurus keseharianmu. Tapi, ternyata ayah dan nenekmu seperti itu, Mama sungguh tidak tahu.Bukanlah sebentar saja, sayang." Aku terus mengiba, memohon padanya untuk mengerti, meski aku tahu, usia Farel tidak memungkinkan untuk memahami keadaanku. Ia hanya bisa menilai dari apa yang dilihatnya secara langsung."Gigi, kamu pulang sayang." Mas Abas menghambur dan memelukku."Bau, Mas." Kulerai pelukannya. Padahal, enggan sekali aku disentuh lagi pria itu, dia telah menipuku mentah-mentah."Oh ya, maaf, sayang. Mas habis dari bengkel. Kenapa?" Dia melihat aku yang berdiri di depan pintu Farel."Farel tidak mau keluar, Mas. Dia tidak mau menemuiku.""Apa? Anak itu memang suka keterlaluan!" Urat lehernya menegang."Jangan marahin dia, Mas.""Oh, nggak kok sayang. Mana berani Mas melakukan itu pada Farel. Dia anak kita satu-satunya. Biarkan saja dulu, mungkin dia lelah baru pulang dari sekolah. Mari duduk, kamu pasti cape banget 'kan?"Mas Abas membawaku duduk di kursi lapuk yang sudah berlubang."Kalau kamu bilang dulu, Mas kan bisa jemput di terminal."Mas Abas mengelus tubuhku, matanya jelalatan melihat apa yang kupakai. Jelas saja aku tidak memakai perhiasan sebiji pun, semua uang sudah kukirimkan padanya tiap bulan."Mana kursi yang Mas kirimkan fotonya itu, kenapa aku tidak melihatnya?""Apa?" Mas Abas melihat sekeliling, ia kelabakan karena semua barang yang dipotretnya tidak ada satu pun di rumah ini.Aku bahkan tidak melihat ibu, ia belum kembali setelah berkata akan memberitahu Mas Abas. Apakah dia lari karena takut aku tanyai?"Belum diantar sayang, Mas sengaja bilang pada penjualnya agar diantar pas kamu pulang saja. Biar tetep kelihatan baru dan kamu bahagia.""Abang pinter banget deh." Kuremas manja pipinya, hebat sekali dia mengelak, kalau saja aku belum tahu semuanya sudah pasti tertipu lagi."Kalau begitu, Gigi mau penjualnya mengantar sekarang, Mas. Gigi mau duduk di sofa baru, mencicipi air dingin dari kulkas dan mencuci pakai mesin cuci. Oh, ya. Gigi juga bawa pajangan buat disimpan di lemari tv. Gigi mau nonton TV sembari berselonjor santai menikmatinya.""Hah!" Mas Abas berpikir keras, urat dahinya bahkan sangat kentara. "Memangnya Mama tidak akan berangkat ke kota lagi?""Maulah, Mas. Gigi akan cari uang lebih banyak kalau sudah menikmati apa yang sudah Gigi beli denga jerih payah sendiri.""Oh, ya. Kalau begitu Mas segera memberi tahu penjualnya untuk mengantarkan semua barang-barang kita.""Sekarang, Mas?""Iya sayang, istirahatlah. Mas akan segera kembali."Mas Abas setengah berlari keluar dari rumah, disusul ibu yang sama repotnya seperti dikejar anjing, mereka terlihat saling berkedip saat berpapasan. Napas ngos-ngosan dengan tangan penuh menenteng belanjaan di dalam plastik hitam. Hanya melempar senyum saat melewatiku yang masih duduk termangu. Aku masih memikirkan bagaimana caranya merayu Farel agar memaafkanku.Saat ibu sibuk di dapur dan menyiapkan masakan, aku menulis pesan pada Farel dari bawah pintu, berharap anak itu sudah bisa membaca. Kuselipkan stiker kartun kesukaannya."Biarkan saja anak itu, Gi. Nanti biar ibu yang berbicara padanya. Istirahatlah, ibu masakan makanan yang lezat-lezat untukmu." Ibu menengok dari arah dapur."Tidak apa-apa, Bu."Cukup lama menunggu di depan pintu, akhirnya Farel membukanya juga. Hatiku berbunga dan sangat bahagia, apakah dia membaca semua surat yang kutuliskan?"Kita akan belanja, membeli semua mainanmu, membeli baju yang bagus-bagus, makan yang enak-enak dan membeli semua stiker kartun favoritmu. Mama janji." Aku berjongkok dan berbicara dengan antusias, mungkin karena itu ia akhirnya keluar dan memutuskan untuk memaafkanku.Farel memelukku setelah menelaahnya beberapa waktu, "Mama, Farel tidak ingin belanja baju baru, mainan baru, makan makanan yang enak atau pun membeli stiker kartun favorit Farel. Farel hanya ingin bersama Mama setiap hari, berjanjilah untuk tidak meninggalkan Farel lagi."Runtuh sudah pertahananku sebagai seorang ibu, aku banting tulang siang dan malam, meninggalkan kenyamanan dan menahan rindu yang tiada pernah surut adalah semata hanya untuk mencukupi semua kebutuhan fisiknya saja. Aku berpikir itulah yang diinginkan Farel, memiliki semua hal yang dimiliki teman-temanya, sekolah di SD paling bagus, memakai baju yang bagus, dan memiliki semua mainan kesukaannya. Ternyata aku salah, anakku hanya ingin dibersamai, bukan semua hal yang bersifat materi seperti itu. Pikirannya sederhana hanya saja aku sebagai orangtua yang terlalu banyak kekhawatiran dan tidak memahaminya."Mama janji tidak akan meninggalkan Farel lagi, kita akan pergi dari sini. Tapi, Farel harus janji tidak memberitahu pada siapa pun termasuk pada ayah dan nenek." Aku berbisik di telinganya, Farel mengangguk. Hidup susah membuatnya lebih terlihat dewasa dari usianya.Kuhujani wajahnya dengan ciuman, memeluknya dengan erat, garis senyum kini terlihat mengembang dari bibir kecilnya yang tipis.Aku membongkar semua mainan, pakaian yang dibeli sebelumnya, meminta Farel untuk bermain di kamar saja. Sedangkan aku harus mengurus dua manusia bermuka ular dulu.[Gi, lihat istri muda suamimu.]Rina mengirimkan foto keadaan rumahnya. Ternyata benar, semua barang-barang yang aku beli dengan uangnya ada di rumah wanita itu, dan sekarang Mas Abas sedang mengeluarkannya untuk dibawa ke rumah ini.Wanita itu duduk dipojokan teras rumah, memandang tak berdaya pada mobil truk yang mengangkut semua barang yang sudah beberapa tahun dinikmatinya.[Tanda merah di pipi itu adalah bekas gampar tangan suamimu. Dia melawan dan berteriak-teriak seperti orang gila.] Rina mengirimkan potongan foto wanita itu lagi. Di pipinya benar-benar terlihat lima jari Mas Abas yang sebesar jempol.[Enak benar mau makan keringat orang! Digampar-gampar deh lu! Hahahaha.]Rina tertawa puas begitu pun aku.Baru sebagian, dia lupa kalau di rumah itu pun ada uangku. Siap-siap saja kalian jadi gelandangan!Bersambung ...."Papa udah kaya supir aja sih." Gerutu bapak sembari mengintip di kaca spion. Mata yang tidak sengaja melihatnya segera kupalingkan, berpura-pura sibuk sendiri di kursi paling belakang.Aku memilih duduk di kursi pojok, mengisolasi diri sendiri, berharap bapak tidak mencium bau pesing yang ternyata lebih sedap baunya pas mau kering kaya gini dari pada tadi. "Udah deh jangan lihat-lihat Mama begitu," ucapku ketus menghindar tatapan matanya yang terus mencuri-curi."Papa sakit hampir setahun ya, Ma?""Iya," jawabku seadanya. Nggak semangat bicara, pengennya cepat sampai saja."Papa lumpuh, mandi dianterin, makan di suapin, bahkan mandi sore di lapin. Papa ingat sesekali, saat malam Papa pipis di celana karena sulit untuk ke kamar mandi, intinya nggak mau usaha. Betul begitu 'kan, Ma?""Iya, Pak. Kenapa bahas itu sekarang sih? Mama lagi nggak mood." Tolakku halus."Setiap kali itu terjadi, Papa selalu memperhatikan Mama. Selama itu, tidak pernah sekali pun Papa melihat Mama jijik atau m
"Apa semua sudah selesai?""Sudah, Pa. Hari ini kantor baru kita sudah beroperasi.""Papa akan melihat ke sana setelah mengambil beberapa berkas yang masih diperlukan di kantor lama.""Kantor itu sedang diliburkan dua hari kerja oleh Tante Sarah."Sesekali sembari menata sarapan aku menoleh pada mereka yang sedang berbicara di sofa menunggu semuanya siap."Ma.""Pagi sayang." Farel mencium pipiku, menoleh sebentar pada dua pria di sana, lalu dengan lemas duduk di kursi makan. Wajahnya semakin menunduk lesu saat bapak dan Aaraf berjalan ke arah kami.Bapak melirikku saat melihat Farel hilang semangat, dunia ceria saat kakak adik itu bersama seolah sirna begitu saja. Tidak ada kata, panggilan apalagi guyonan, keduanya hanya menunduk menatap semangkuk salad buah. Aku dan bapak pun sepakat untuk tidak mencampuri urusan mereka, membiarkan semuanya menjadi sunyi. Sarapan kelam sepanjang sejarah aku menjadi nyonya. Menghadapi dua anak sekaligus dengan usia yang terpaut sangat jauh."Biarkan
Mobil ambulans yang dipesan bapak sudah tiba di depan rumah. Aku dan Mbok Pati mengepak beberapa pakaian yang akan digunakan Om Haris.Tim kesehatan membawa tandu untuk membopong tubuhnya, kurus kering tinggal tulang, begitu lemas tak berdaya."Mungkin Papa akan seperti ini kalau bukan Mama yang merawatnya," ucap bapak sendu menelukupkan tangan di atas pundakku. "Terimakasih." Aku menoleh untuk menatapnya, pria itu masih memandang lurus, memperhatikan Om Haris yang sedang dibenahi agar nyaman saat dibawa berkendara untuk jarak yang cukup jauh."Semua tidak terlepas dari kebaikan bapak, Tuhan mengirimkan Mama untuk menjaga," jawabku lembut, bapak mengulas senyum saat mendengarnya.Mobil ambulans berangkat lebih dulu, aku dan bapak bersiap mengikutinya."Mbok, jika ada yang tanya, katakan saja jika saya membawa Om Haris untuk berobat." Pesan bapak pada Mbok Pati sebelum menaiki mobil. Wanita setengah baya itu berlinang air mata."Den, jika bapak lama di sana, mbok pun ingin pulang saja
"Pa, Ma."Aaraf turun dari kamarnya, ia menghampiri kami yang masih saja cekikikan. Plak! Aku memukul tangan bapak yang nakal, modus aja emang ni aki-aki."Aku mengganggu? Harusnya sih tidak." Pertanyaan yang Aaraf jawab sendiri sembari memutar mata malas saat melihat kami. Maklum selama aku di sini, sekali pun tidak pernah melihat Aaraf dan Laras tertawa bersama atau sekedar bercanda. Mungkin benar kata bapak, pernikahan tanpa cinta hanya sebatas menjalankan kewajiban saja, rasanya tetap hambar, bahkan sering terlihat kecanggungan di antara keduanya saat duduk bersama."Ada apa?" Aku menarik kaki dan duduk dengan benar, seperti Aaraf akan berbicara serius."Bagaimana kabar persidanganmu?" Bapak bertanya lebih dulu, karena Aaraf terlihat sulit untuk memulai."Persidangan banding yang diajukan Laras sepertinya akan ditunda atau mungkin dicabut kembali." Aku dan bapak memandanginya dengan serius. "Aaraf melaporkan Laras balik atas aborsi janin yang dilakukannya, dengan bukti-bukti yan
"Sayang, cobain ini." Bapak menyuapiku dengan salah satu hidangan terfavorit di resto kami."Enak?""Enak banget, Pak. Lumer ini, ada sensai pecah dalam mulut. Mau lagi ...," ucapku nyengir.Bapak tersenyum sembari menyuapiku dengan makanan yang terhidang, beliau pun menunjukkan beberapa makanan yang menjadi favoritnya, dan memintaku untuk mencoba."Pak.""Ya.""Kemarin kan kita kesini juga, Mama makan makanan ini loh, tapi rasanya beda.""Bedanya?" Tangan bapak yang awalnya sibuk menyiduk, berhenti sebentar untuk memperhatikanku."Rasanya lebih manis karena bapak yang nyuapi.""Masa sih?""Heum." Bapak kembali menyuapiku dengan sesendok salad."Kalau gitu Papa akan menyuapi Mama setiap hari.""Beneran?""Iya." Satu ciuman mendarat di keningku."Pak. Ini tempat umum." Aku sedikit kaget dengan ciuman itu, "Kita bukan ABG, Pak," bisikku bersembunyi di dada bidangnya."Emang bukan, tapi pasangan bucin.""Iih, bapak kok tahu yang begituan?" Aku bergidik di depannya."Hahaha ... sejak sama
"Nyaaah ....""Iya, Nah. Sebentar. Papa sih, udah tahu siang bolong juga." Aku beringsut dari kasur, sedangkan tubuh kekarnya menyelusup mirip siput masuk selimut."Apa?" tanyaku mengintip di celah pintu."Ini Nyah, sisa uangnya, kebanyakan." "Oh, iya.""Nyaah.""Apa, Nah?""Kamar Nyonya kok gelap sih, matahari kan masih ada, tuh." Tunjuk Minah keluar."Kita beda planet, Nah. Kamu di planet bumi, aku baru saja naik pesawat ke Antariksa.""Masa sih, Nyah, di Antariksa gelap? Minah jadi pengen nyobain." Sebelah kaki Minah yang cukup panjang sudah menjegal pada celah pintu yang sedikit terbuka."Belum waktunya, Minaaah ...." Aku sedikit mendorong tubuhnya agar mundur. Lalu, menutup pintu. Menapakkan kaki beberapa langkah untuk kembali ke peraduan."Nyaaah ...." Ya, ampun Minah. Apalagi sih?!"Apalagi, Nah?" Aku berjalan cepat dan membuka pintu, suara Minah kaya petasan renteng, nggak bisa berhenti kalau nggak disamperin."Mau disisain nggak, Nyah?"Aku menggeleng, "Enggak, Nah. Buat kamu