Share

Sepeda untuk Farel

Sebuah mobil truk parkir di depan teras, aku melonjak senang melihat semua barang-barang yang dibeli dengan uangku sebelumnya sudah berada di depan mata.

Mas Abas loncat dari mobil dengan senyum yang begitu lebar.

"Turunin semua, Bang," selorohnya. Menggandeng bahuku untuk masuk.

"Mau disimpan di mana saja, sayang?"

Aku melihat keadaan rumah sebentar, meski dimasuki furniture yang bagus, dalam rumah sudah ancur begini mana bisa terlihat bagus, tetep saja jelek.

"Sofa di sini, lemari tv di sini, kulkas di sini, mesin cuci di sini, dan kipas angin di sini." Aku menunjuk sembarang tempat untuk dimasuki barang-barang, sementara saja sebelum kulelang semua barang itu agar menjadi lembaran uang.

Terlihat sangat jelas semua barang-barang ini sudah dipakai, tapi aku menunjukkan wajah kegirangan hingga dianggap lupa menanyakan itu semua pada Mas Abas. Untuk apa ditanyakan? aku sudah kenyang makan bualannnya.

"Kamu sedang nyari apa, Ma?"

"Ini loh Mas. Kok Mama nggak lihat sepeda Farel yang harga 2 juta itu? Apa mungkin masih di tokonya juga?"

"Hah!" Mas Abas garuk-garuk kepala.

"Kalau Farel sudah bisa naik sepeda, nanti Mama mau beliin motor buat dia, Mas."

"Motor?" Hijau langsung mata Mas Abas.

"Iya, Mas. Makanya Mama mau mastiin dulu, Farel bisa pake sepeda apa enggak?."

"Bisa-bisa, pasti bisa kok, Ma."

"Iya sih, harusnya bisa, makanya Mama mau lihat sendiri "

"Oh begitu."

"Di mana ya, Mas? Kok di rumah nggak ada."

"Iya Ma, masih di tempat penjualnya, kemarin ada yang kurang apanya gitu, jadi Mas balikin lagi. Sekarang mau ditanyakan dulu. Mama duduk aja. Masakan Ibu kayanya sudah matang."

"Bu," teriak Mas Abas.

"Iya, Bas?"

"Makanannya sudah matang?"

"Sebentar lagi."

"Mama duduk dulu aja, nikmati sofa sama siaran tv barunya. Nanti makan masakan ibu. Mas ngambil dulu sepeda."

Mas Abas menepuk-nepuk pundakku, wajahnya terlihat bingung. Jelas saja, sepeda yang dibelinya adalah sepeda anak balita umur 2 tahun, mana muat dipake Farel. Aku nggak mau tahu, Mas. Sepeda itu harus ada!

Aku berselonjor kaki di atas sofa, menikmati siaran tv sembari mengunyah makanan yang sempat dibeli, untung saja aku tidak lupa membelinya, membayangkan tidak ada apapun yang bisa dimakan di rumah ini, bisa-bisa pulang ke rumah Bapak, badanku kurus kering.

"Hahahaha". Sesekali aku tertawa, berlaga bak ratu di rumah ini, ibu masih sibuk di dapur, malas sekali menghampirinya. Dia pasti membual telah melakukan banyak hal untuk Farel.

"Gigi, makanannya sudah siap."

Ibu menghampiriku di ruang tamu, ruangan bersantai satu-satunya di rumah ini.

"Gigi sudah kenyang, Bu. Nanti malam saja."

Ibu melirik pada kantong kosong yang berserakan di meja, menelan ludah dengan cepat.

"Bawa dari kota, Gi?"

"Iya, Bu. Tadi kebetulan mampir Mall. Gigi beli makanan seperlunya saja. Bekal Gigi selama di rumah, takutnya makanan di sini sudah tidak cocok di lidah."

"Oh begitu." Ibu meraih salah satu kantong kemasan, wangi aroma pandannya masih tercium.

"Yang begini masih ada, Gi?"

"Masih, Bu. Tapi hanya cukup buat Gigi saja. Gigi malah lupa beli makanan untuk ibu."

Tubuh ibu langsung beranjak dari duduk, Bibirnya sudah menyeng ke kanan-kiri. Mengumpatku dalam hati, kentara sekali dari bibirnya yang mulai kedutan.

Farel keluar dari kamar, "Sayang kemarilah. Heum bau acem." Aku memeluk Farel, tubuhnya yang jarang tersentuh sabun dan tidak terurus sangat jelas terlihat.

"Ibu, air panas untuk Farel sudah siap?"

"Untuk apa pakai ....

Oh iya. Tunggu sebentar."

Hampir saja dia lupa pada ucapannya sendiri, memasakan air hangat setiap pagi, memandikannya tiap sore. Halah! orang buta aja bisa cium kalau Farel jarang mandi.

"Ma, kok Nenek jadi baik sih kalau ada Mama di rumah?"

Aku mengangkat tubuh kecil itu di atas pangkuan, ringan dan melayang. Kasihan sekali kamu, Nak. Batinku meratap perih.

"Farel sayang, air nya sudah matang, mau dimandiin Nenek, apa sendirian aja?"

Duh, manis sekali bahasa ibu. Andai dia benar-benar memperlakukan anakku seperti itu.

"Biar Gigi saja yang mandikan, Bu."

Aku masuk ke dalam kamar mandi. Atap sebelah kiri sudah turun dan bolong, sekali hujan besar banjirlah WC ini.

Wajar saja, aku dan Mas Abas membeli rumah ini dengan harga yang sangat murah. Mas Abas terus mendorongku untuk bekerja di kota agar bisa memperbaiki rumah, dan membiayai bengkel motornya. Eh, pas uangnya sudah ada malah dipake renovasi rumah wanita lain. Memang keterlaluan itu laki! Dipikir cari duit gampang? Biar kuajari dia bagaimana sulitnya jadi kuli dan wajah yang selalu ada di depan telunjuk orang.

'Kring! Kring! Kring!'

Farel yang sudah rapi dengan pakaian baru melonjak-lonjak senang saat melihat sepeda baru yang dibawa ayahnya. Masih mulus dan berbungkus, entah dari mana laki-laki itu mendapatkan lagi uangnya.

"Mama, Farel mau keliling kampung pake sepeda baru," teriak Farel melambaikan tangan dari kejauhan. Hatiku begitu bahagia melihat pemandangan itu. Sungguh, harusnya itu dia dapatkan lebih dulu tanpa harus kepanasan dan lelah mendorong sepeda rongsokan.

"Bagus kan Ma, sepedanya?"

"Bagus banget, Mas. Farel pun terlihat sangat bahagia."

"Jadi, kapan Mama berencana membelikannya motor?"

"Secepatnya, Mas. Nanti Mama kirim uangnya ya." Kucubit lagi pipinya yang lebih besar dari sebelumnya. Dia makan enak sendirian, sedangkan Farel hanya tinggal tulang. Sungguh tidak pantas kamu menjadi ayah, Mas!

Baru saja aku kembali ke dalam rumah, suara tangisan seorang anak terdengar begitu nyaring. Aku menengok istri muda Mas Abas dan anaknya datang menyusul.

"Mas, kamu bawa kemana sepeda, Rian?"

"Hus! Kenapa kamu datang ke sini!?"

Mas Abas menarik kasar istrinya ke samping rumah.

"Diamkan anakmu!" sentaknya.

"Bagaimana dia bisa diam, Mas. Dari tadi nyari sepedanya. Farel malah datang ke rumah pamer sepeda baru. Ya jelas tangis Rian tambah kejer."

"Sudah pulang saja, dulu. Nanti kalau Gigi sudah berangkat lagi. Akan kubelikan sepeda yang lebih bagus."

"Jangan bilang kalau sepeda Rian dituker sama sepeda Farel, Mas?"

"Iyalah gimana lagi. Mana masih nombok uang lagi."

"Mas kamu tega banget sama anak sendiri! Sudah semua barang di rumah kamu angkut ke sini, sepeda Rian pun masih kamu bawa."

"Kecilin suaramu, Tia! Gigi bisa dengar."

"Biarkan saja, sekalian dia dengar! Gayanya sudah kaya ratu, semua hal harus dituruti! Dia cuma pembantu, Mas. Di mana-mana pun tetep akan jadi pembantu, nggak lebih!"

"Diam kamu, Tia! Lupa kamu, kalau rumah bagus dan furniture itu semua milik Gigi?! Dia cuma mau menikmatinya saat pulang saja. Sebentar lagi aku akan menyuruhnya kembali ke kota. Dia akan mengirimi kita uang lebih banyak, akan membelikan Mas motor baru. Jadi, sebaiknya kamu pulang dan jangan ganggu aku untuk beberapa hari ke depan. Paham!"

Aku masih mengintip di balik jendela, Mas Abas mendorong kasar istrinya yang bernama Tia.

Tia masih melotot ke arah rumah, segera kututup gorden sebelum dia melihatnya. Amarah Tia masih menggelora, sepertinya ia sangat ingin memaki saat ini.

Benar-benar wanita tak tahu malu! Udah makan dari hasil keringatku, waktunya begini merasa terdzolimi. Tak mengerti aku. Kugeleng-gelengkan kepala melihat air matanya yang berurai, namun terus didorong kasar oleh Mas Abas.

Sudah kukatakan, tidak akan kusisakan apapun yang dibeli dengan keringatku! Meski cuma sepotong sendok.

Bersambung ....

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
ngebacot aja nih babu. buktikan ucapan mu
goodnovel comment avatar
Daanii Irsyad Aufa
pembalasan yg setimpal buat lelaki laknat kata Abas
goodnovel comment avatar
engracia cabral
aduhh kenapa kok tidak bisa ya... bab berikutnya hemmm
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status