Share

DIA ITU KAN ...

Aku kembali ke rumah dengan perasaan tak menentu. Kembali kuingat-ingat lagi pesan Adam sebelum aku meninggalkan cafe tadi. Dia bilang, aku tidak boleh gugup, bersikap tenang seolah tak tau apa-apa. Jangan sampai membicarakan masalah ponsel itu. karena jika mas Reyfan tahu ponsel itu aku yang bawa, maka rencana untuk melaporkan kasus itu bisa jadi berantakan. 

    Sebelum aku memarkirkan mobilku di garasi, sempat kulihat mobil mas Reyfan terparkir di jalan depan rumah kami. 

    Dengan tenang, kuayunkan langkah menuju ke dalam. Di ruang tengah, Mas Reyfan sedang berdiri mondar-mandir dengan gelisah di depan mbok Jum yang sedang duduk di sofa memangku Keenan.

    "Ada apa, Mas?" tanyaku saat akhirnya aku mencapai tempatnya berdiri. Mimik mukaku kubuat senatural mungkin.

    "Han, kamu nggak buka mobilku semalam kan?" Mas Reyfan menatapku tajam.

Sudah kuduga, sepertinya dia sudah tahu bahwa ponselnya hilang. Dan sekarang dia sedang kebingungan mencarinya. 

    "Buka mobil? Memangnya ada apa, Mas?" tanyaku pura-pura tidak mengerti sama sekali dengan apa yang dia bicarakan. 

    "Aku serius, Han. Kamu nggak ngambil sesuatu dari mobilku kan?"

    "Sebentar, Sebentar. Mas ini sedang ngomongin apa sih sebenarnya? Aku kok bingung," kataku mengubah ekspresi dari bingung menjadi heran, lalu mencoba mendudukkan diri di sofa dengan tenang.

    "Ada yang nyuri barang di mobilku. Mbok Jum bilang nggak tau. Lalu siapa?"

    "Barang? Barang apa, Mas?"

    Kulihat wajahnya nampak sangat frustasi. Berkali-kali dia ingin mengatakan sesuatu tapi sepertinya urung dilakukannya setelah menatapku. Mungkinkah dia tidak berani mengatakan bahwa dia kehilangan ponselnya? Apa dia takut aku justru akan marah padanya? 

    Oh, baguslah, ternyata ini lebih mudah dari yang kubayangkan. Aku menarik nafas lega. Nampaknya raut wajahku pun sudah kembali normal.

    "Mas, ada apa sih ini?" Karena dia tak juga bersuara, aku terus saja mendesaknya, mencoba membuatnya lebih kebingungan dan putus asa. 

    "Ah sudahlah. Nanti aku cari sendiri. Aku mau balik ke kantor," katanya akhirnya. 

    Hmmm Mas Reyfan, jadi cuma segini saja nyalimu berhadapan dengan istrimu? Aku tersenyum puas saat akhirnya dia meninggalkan rumah lagi. 

    "Bapak kenapa sih tadi, Mbok?" tanyaku pada Mbok Jum karena masih penasaran seperti apa paniknya Mas Reyfan saat pulang.

    "Nggak tau, Bu. Datang-datang teriak-teriak sambil marah-marah. Katanya handphone nya hilang. Mas Keenan sampai ketakutan," jelas Mbok Jum.

    Brengs*k sekali lelaki itu beraninya marah-marah, giliran di hadapanku malah melempem. Sepertinya aku memang harus bertindak cepat sebelum semuanya terlambat. Memikirkan hal itu, aku segera menghubungi nomer kontak Adam.

    "Ya, Hani? Gimana, kamu baik-baik saja 'kan?" sahutnya dari seberang dengan cepat tanpa aku harus menunggu nada sambung berdering cukup lama. 

    "Aku baik, Dam. Aku sudah putuskan. Aku akan buat laporan," kataku pasti.

   

"Sudah yakin?" tanyanya.

    "Iya."

    "Oke baiklah. Tunggu kabar dariku. Aku hubungi temanku dulu, Han."

.

.

.

    Aku rasa mungkin aku akan gila jika terus-terusan hidup dengan suami model seperti Mas Reyfan ini. Awalnya kukira dia hanya berselingkuh. Tapi ternyata, justru lebih parah dari itu. Aku bergidik ngeri saat teringat sudah berapa lama dia melakukan hal itu di belakangku? 

    Yang jelas, setahun yang lalu, rumah Mbak Ratri masih belum menjadi rumah kost para gadis kampus itu. Jadi, apakah mereka sebenarnya belum lama melakukan perbuatan bejat itu? Dan apapun itu, yang lebih parahnya adalah bahwa selama ini aku ternyata tidur dengan lelaki yang entah sudah dengan siapa saja dia berhubungan s*ks. 

    Memikirkan hal itu mendadak aku jadi lemas. Bagaimana jika ternyata mas Reyfan banyak berhubungan dengan para pekerja s*ks itu dan nantinya akan berdampak pada kesehatanku? Ya Tuhan, aku begitu ngeri membayangkan semua itu. Mungkin aku harus segera memeriksakan diriku ke dokter setelah ini. Dan takkan kubiarkan lagi suami bejat itu menyentuhku lagi.

    [Hani, aku tunggu di kantorku 2 jam lagi.]

    Pesan yang kuterima dari Adam. Lalu dia mengirimiku denah lokasi dengan g****e maps via pesan w******p-nya. Aku pun bergegas menghampiri mbok Jum.

    "Mbok, tolong jaga rumah ya? Keenan mau aku ajak ke rumah bapak. Nanti kalau Pak Reyfan pulang, Simbok bilang aku pergi ke rumah ibu. Ya, Mbok?" jelasku pada Mbok Jum. Dan wanita tua yang sudah beberapa tahun bekerja bersamaku itupun mengangguk mengerti.

    Terburu-buru ke kamar menyiapkan beberapa bajuku dan Keenan. Lalu mengambil berkas-berkas penting dari dalam lemariku, surat-surat kendaraan, perhiasan serta buku tabunganku. Semuanya yang aku anggap penting kumasukkan ke dalam tas. Ini adalah caraku berjaga-jaga seandainya aku harus menginap di tempat ibu nanti jika situasinya menjadi buruk.

.

.

.

    Bapak dan ibu yang mendengarkan ceritaku terlihat sangat terpukul. Tentu saja mereka tidak menyangka menantu kebanggaan mereka itu ternyata mempunyai sisi gelap yang tak pernah terbayangkan oleh mereka sebelumnya. 

    Berkali-kali ibu menangis memeluk bahuku. Aku tahu bagaimana sedihnya dia membayangkan sebentar lagi aku akan menjadi janda dari mas Reyfan. Setelah mengetahui kebusukan mas Reyfan dan kakaknya itu, tidak mungkin orang tuaku akan membiarkanku hidup bersamanya lagi.

    "Aku nitip Keenan dulu ya, Bu. Aku mau menemui Adam," pamitku pada orang tuaku saat jam sudah mendekati waktu pertemuan yang sudah direncanakan Adam. 

.

.

.

    Kantor Adam memang bukan perusahaan besar. Dia membeli salah satu ruko tiga lantai yang berada di pusat kota. Letaknya sangat strategis karena itu merupakan deretan perkantoran dan pusat perbelanjaan. 

    Kuedarkan pandanganku ke sekeliling sambil melajukan mobilku pelan. Padatnya mobil yang sedang terparkir membuatku kebingungan. Mataku mencari-cari petugas parkir yang tak kulihat satupun di sekitar situ. Hingga saat pandanganku tertumbuk pada area kosong yang letaknya cukup jauh dari kantor Adam, segera kulajukan mobilku ke arah sana. 

    Kurapikan sejenak pakaianku sebelum turun dari mobil. Kulirik arloji di tangan, dan aku ternyata sudah terlambat sekitar 10 menit. Adam pasti sudah menungguku. 

    Setengah berlari aku menuju ke deretan ruko dimana kantor Adam berada, melewati banyaknya mobil yang terparkir sangat padat di sekitar area itu. 

    Tapi oh, sial. Aku kaget saat langkahku tiba-tiba menjadi berat seperti ada yang menarikku dari belakang. Aku menoleh dan sialnya slingbag ku ternyata tersangkut di kaca spion salah satu mobil yang terparkir. 

    Aku mundur lagi, mencoba membebaskan tali slingbagku yang tersangkut itu. Tapi, aduh ... besi di tali tasku justru menggesek badan mobil hingga menimbulkan bunyi khas gesekan besi yang cukup berisik. Dan wajahku pun pucat seketika saat tiba-tiba kaca samping jok depan mobil perlahan turun.

    Ya ampun, matilah aku, ternyata ada orang di dalam mobil ini.

    "Kalau jalan liat-liat makanya," kata orang itu dengan nada dingin. Aku menoleh ke arahnya setelah berhasil membebaskan tali slingbagku yang terjerat di spion. 

    Seorang lelaki berkaca mata hitam. Aku tak tahu bagimana cara matanya menatapku, tapi bibirnya sama sekali tidak menampakkan sedikitpun senyuman. Benar-benar terkesan sangat angkuh.

    "Maaf, Pak," ucapku penuh sesal. Namun nampaknya dia tak menggubrisku. Mengingat bahwa Adam sudah menungguku, akhirnya aku putuskan untuk segera pergi dari tempat itu, namun tiba-tiba dia membuka pintu mobilnya hingga menutup jalanku. 

    Saat lelaki itu keluar dari mobil SUV warna hitamnya. Nyaliku sedikit menciut melihat ukuran tubuhnya yang jauh lebih besar dan lebih tinggi dariku. Dan tubuh berotot itu nampak lebih jelas lagi karena dia mengenakan blue jeans dan kaos stretch yang menonjolkan bentuk badannya yang sangat kokoh. 

    Ish!!! Kenapa aku malah jadi memikirkan tubuh lelaki di depanku ini? Segera saja aku beringsut kesamping, mencari jalan untuk melanjutkan langkahku. Tapi mendadak dia menggeser tubuhnya juga ke samping, hingga jalanku tertutup lagi. 

    "Permisi, saya mau lewat," kataku dengan sopan. Dia tak bergeming, pun juga tak menjawab atau tersenyum. Matanya masih saja tertutup dengan kaca mata hitamnya hingga saat aku mendongak, aku sama sekali tak tau apa ekspresi wajah di baliknya. 

    Tiba-tiba aku mendelik ke arahnya. Entah keberanian dari mana aku bisa melakukan hal itu. Tetapi lelaki ini benar-benar sangat mengganggu, dan aku harus segera menyingkirkannya. 

    "Minggir!" kataku sedikit membentak sambil mendorong tubuh besarnya. Dan sedetik kemudian dia pun menggeser tubuhnya ke samping, memberiku jalan.

    Sambil melangkah, aku tersenyum dalam hati. Ternyata jika aku galak, aku bisa juga membuat ciut seorang laki-laki tinggi besar seperti itu. Jelas badan mas Reyfan yang hobi berolah raga itu kalah berotot dibanding dengan lelaki tadi. Jadi harusnya aku tidak takut lagi sekarang melawannya. 

.

.

.

    Adam menyambutku di lobby dengan senyum sumringahnya. 

    "Maaf, Dam. Aku telat." Aku mengulurkan tangan menyalaminya. Tersenyum penuh penyesalan.

    "Enggak. Kayak sekolah aja telat. Yuk masuk, Han." Adam mengajakku menuju ke lantai atas setelah berpesan pada resepsionisnya.

    "Desy, minta pak Parjo siapkan kopi untuk 3 orang ya nanti kalau Pak Daniel sudah datang," katanya.

     "Baik, Pak," jawab gadis cantik berseragam batik itu dengan patuh.

    Sampai di lantai atas, Adam menghentikan langkahnya di sebuah pintu yang di atasnya tertulis nama panjangnya disana. Adam Satria Renggana, S.E (Executive Director).

    Sejenak aku berdecak kagum usai membaca papan nama itu. Meskipun kantor ini tidak besar, tapi Adam adalah pemilik tunggal dari perusahaan rintisannya ini. Dia benar-benar lelaki yang mandiri. Heran dengan diriku sendiri, kenapa dulu aku tak pernah sedikitpun memperhatikan lelaki ini?

    "Duduk dulu, Han." Dia menyuruhku duduk di sofa yang terletak di tengah-tengah ruangan. Tepat di depannya, terdapat meja kerja kebesarannya yang juga ada papan nama bertuliskan 'Director' disana. 

    "Kita tunggu sebentar lagi ya?" Dia menempatkan diri duduk di sofa seberangku. Dan di atas meja, sudah tergeletak ponsel Mas Reyfan yang tadi pagi sempat dibawa olehnya.

    "Aku sudah bicarakan semuanya ke teman aku, Han. Dia yang akan bantu, kamu tidak perlu khawatir. Semuanya pasti akan baik-baik saja. Hanya saja, kamu harus sudah siap untuk berpisah dari suamimu. Karena ini nanti pasti akan membuatnya berakhir di penjara." Adam mengatakan itu dengan wajah penuh penyesalan. Mungkin saja dia sedang memikirkan nasibku setelah ini.

    "Menurutmu apa aku masih mau bersamanya setelah tau semua ini, Dam?" Aku mengeleng-gelengkan kepalaku. "Aku tidak akan sanggup, Dam. Bahkan aku sudah putuskan untuk bercerai dengannya." 

    Mulut Adam membulat mendengarku mengucapkan kata cerai. Entahlah apakah dia sedih atau justru bahagia. Tapi dia tidak berkata apapun setelah itu, kecuali hanya menyemangatiku.

    "Ya sudah, baik. Apapun yang kamu putuskan, aku selalu mendukungmu, Han," katanya. Meskipun hanya begitu, itu terasa sangat menyejukkan hatiku.

    Hening sejenak sebelum semudian pintu ruangan terbuka dan si resepsionis dengan pakaian batik tadi menyembul dari baliknya.

    "Pak Daniel sudah datang, Pak," kata gadis itu. Sekilas kulihat Adam mengangguk.

    "Persilahkan masuk, Des," katanya.

    Dan tak berapa lama, alangkah terkejutnya aku saat seorang lelaki berbadan tinggi besar muncul dari luar pintu ruang kerja Adam.

"Dia itu kan ...?"

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Irawati Irawati
mahal bingit
goodnovel comment avatar
Bunda Nirwana Dns
koinnya mehong nian.. mending beli bukunya😒
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status