Aku melajukan mobil sangat pelan menuju tempat dimana aku sudah berjanji untuk bertemu dengan Daniel. Satu jam yang lalu aku menghubunginya melalui pesan. [Bisa ketemu sepulang kantor di Cafe Red Bar?] [Setelah ini aku ke rumahmu, Sayang. Aku sudah hampir selesai. Tunggu ya?] [Tidak, Dan. Aku tunggu di Kafe saja. Satu jam lagi ya? Ada hal penting yang ingin kubicarakan.] [Baiklah, Sayang. Sampai nanti.] Aku tidak yakin apakah aku akan mendapatkan jawaban yang membuatku bisa mempercayainya atau tidak. Tapi yang jelas, sejak kedatangan Clarissa tadi ke rumah bapak, hatiku menjadi tidak tenang. Ada perasaan menyesal kenapa harus mempercayai wanita itu untuk kusaksikan video mes*mnya dengan mantan suaminya, yang juga adalah calon suamiku. Dan sekarang akhirnya kepercayaanku pada Daniel menjadi luntur karenanya. Video beberapa detik itu sungguh mengoyak jiwaku. Adegan demi adegan yang tergambar seolah tak mau pergi dari pelupuk mataku hingga membuatku su
"Clarissa! Heii!" Daniel memasuki halaman rumah berpagar besi yang nampak gersang itu dengan setengah berlari. Mengejar sang mantan istri yang memasuki halaman beberapa menit sebelum dia sampai di tempat itu. Daniel menarik tangan wanita itu hingga sontak mereka saling berhadapan di halaman rumah sekarang. "Daniel?" Clarissa terpana. Dia tidak tahu kapan Daniel tiba di tempat itu. Dia bahkan baru beberapa menit yang lalu mamarkirkan mobilnya di halaman rumahnya. Dan dia tidak tahu jika ada mobil yang mengikutinya di belakang. "Kapan kamu datang?" tanyanya mencoba basa basi. Senyumnya menyiratkan senang tapi juga was was. Dia sangat tahu Daniel tidak mungkin datang ke rumahnya jika tidak ada maksud dan tujuan yang penting. "Tidak penting! Ayo kita bicara!" kata Daniel sambil menyeret tangan wanita itu menuju ke dalam rumah. Clarissa mengikuti langkah panjang lelaki yang sedang marah itu dengan susah payah Karena heel sepatunya yang juga terlalu tinggi nyaris membuatnya t
"Yang ini bagus nggak, Kak?" Diva menunjukkan sebuah dress panjang berwarna salmon yang dipegangnya padaku. "Cantik, cobain gih. Pasti cocok banget di badan kamu," kataku dengan senyum manis ke arahnya. "Nggak terlalu simple kan, Kak?" "Enggak, Sayang. Kaka' juga nggak suka yang terlalu rame kok. Itu bagus banget ayo cobain deh." "Ya udah, Diva cobain dulu ya." Dengan senyum manisnya, Diva segera menuju ke fitting room. Aku yang sudah selesai dengan semua belanjaanku, menunggunya sambil duduk di sebuah kursi stainless tak jauh dari tempat Diva menjajal gaun barunya yang nanti rencananya akan dikenakannya di hari pernikahanku dengan Daniel. Meskipun aku dan Daniel hanya menyelenggarakan pernikahan sederhana yang hanya akan dihadiri oleh kerabat dan teman dekat saja, tapi Diva bersikeras harus tetap tampil paling cantik diantara semua tamu undangan. Itu selorohnya saat Daniel selalu menggodanya 'Kamu itu pakai baju dari karung goni juga udah cantik'. Beg
P.O.V Daniel Baru 1 jam yang lalu dia mengirimiku pesan. Dia menyuruhku untuk menelponnya. Aku terperangah saat telepon diangkatnya dan dia justru mengoceh sendiri tanpa mempedulikan aku bicara apa. Calon istriku itu terkadang memang aneh. Tapi aku selalu menganggap semua tingkahnya itu unik dan menggemaskan. Dia berpura-pura bahwa aku menelponnya agar dia bisa meninggalkan adik sepupuku berdua saja dengan Adam. Meskipun aku sering bingung dengan segala tingkahnya, tapi aku tahu dia selalu ingin melakukan segala sesuatu untuk membuat orang yang dia sayangi bahagia. Dan kali ini adalah untuk Adam. Aku tahu Hani sudah menganggap Adam seperti saudaranya sendiri, walaupun terkadang itu masih saja membuatku sedikit cemburu. Bahkan walaupun dia sudah memutuskan untuk memilihku. Untuk membuatnya bahagia, maka kuputuskan untuk menghentikan saja pertikaianku dengan sahabatku itu. Mulai memperbaiki hubunganku dengannya yang pernah sangat kacau. Dan akhirnya, semalam a
Ini bukan yang pertama kali buatku. Namun berdebarnya jantung saat dia mengucapkan janji suci ikatan pernikahan beberapa jam yang lalu tak ayal membuat air mataku meleleh juga. Entah dengan Daniel, tapi saat malam harinya, untuk pertama kali kita berada di dalam satu kamar yang sama hanya berdua saja, sepertinya aku lihat dia pun sedikit gugup. Aku sedang menunggunya di dalam kamar usai membersihkan diri dan bersiap dengan kedatangannya. Hati rasanya tak karuan setiap mendengar langkah kaki mendekat ke kamar. Dalam hati berharap itu bukan suamiku. Tidak, jangan, aku belum siap. Karena saat ini aku merasa bagai kembali menjadi gadis yang baru akan mengalami malam pertama saja. Tiba-tiba semua terasa belum sempurna dan ada saja yang kurang dalam penampilanku malam ini. Padahal aku sudah mengenakan pakaian malam terbagus yang aku punya. Dan berdandan mati matian untuk membuatnya terpesona. Namun saat semua ritual bersolekku beres, justru pangeranku itu tak juga menampakk
P.O.V Adam Kupikir awalnya menghadiri acara pernikahan Hani kali ini akan membuatku merasakan sedikit sakit. Tentu saja, rasa yang pernah ada selama bertahun tahun masih tetap membekas dalam hati. Tidak mungkin akan hilang hilang begitu saja. Meskipun saat ini aku sedang berusaha melupakan itu semua pelan pelan. Melupakan sosok Hani memang tak semudah yang kupikirkan. Tidak seperti saat aku mulai menyukainya belasan tahun yang lalu. Walaupun pada kenyataaanya aku tak pernah berani mengungkapkan perasaanku padanya hingga akhirnya dia memilih seseorang yang tak kukenal untuk menjadi suaminya. Rasa yang sebenarnya sudah lama terpendam selepas dia menikah dan hidup berbahagia bersama suami pertamanya ternyata bangkit kembali saat aku melihat adanya keretakan pada hubungan mereka. Secerca harapan lalu muncul, membuat cinta lama yang sudah nyaris tak tampak menyembul kembali dengan nakalnya. Kami menjadi dekat lagi dan menjalani hari-hari bersama layaknya sepasang remaj
"Ada apa, Bu? Bu Hani sakit?" Mbok Jum menghampiriku ke kamar mandi belakang saat mendengarku muntah-muntah disana pagi ini. Daniel baru saja ke kantor sekalian berangkat bersama Bi' Marni mengantar Tasya ke sekolah seperti biasanya. Sejak semalam badanku memang terasa tidak nyaman, pusing dan bawaan selalu ingin muntah. Mbok Jum memijit-mijit tengkukku dengan penuh perhatian hingga aku merasa sedikit lebih baik. "Simbok kerokin ya, Bu?" tawarnya. "Ga usah, Mbok. Minta tolong bikinkan aku teh hangat aja." "Ya, Bu. Ayo saya bantu duduk dulu," katanya sambil menggandengku menuju meja makan. "Keenan belum bangun, Mbok?" "Belum, Bu. Biasa, semalam maenan sama Non Tasya seru hingga larut sampai nggak mau disuruh tidur." Terdengar Mbok Jum terkekeh sambil sibuk membuatkanku teh hangat. Aku baru ingat. Aku mengeluh sakit kepala tadi malam hingga aku tidak tahu jam berapa suamiku pulang. Aku tidur sore karena tak kuat lagi menahan berat di ke
[Nanti pulang jam berapa?] Aku mengiriminya pesan siang itu setelah menghabiskan makan siangku yang hanya mampir sejenak di tenggorokan. Nafsu makanku mendadak hilang berganti kebahagiaan yang membuncah tiba-tiba hari ini. [Kalau nggak ada kerjaan yang mendadak, ya seperti biasa, Honey. Kenapa? Sudah kangen?] [Cuma tanya saja.] [Mau nitip sesuatu, Sayang?] [Enggak kok.] Kututup layar ponselku, lalu kuraih sebuah benda pipih kecil di samping tempatku duduk. Entah sudah berapa kali aku mengamati benda itu sejak keluar kamar mandi tadi. Ini pasti akan jadi kejutan paling special untuk Daniel. Bibirku mengembang sempurna. Aku pernah mengalami hal pertama yang seperti ini sebelumnya. Tapi akan segera memiliki anak dari suami yang sangat special seperti Daniel membuat kebahagiaan kali ini terasa berbeda. Berulang kali ku elus perutku yang sama sekali belum merasakan apapun. Hanya memang pusing sering melanda beberapa hari ini. Aku begitu yakin buah ci