P.O.V Daniel Baru 1 jam yang lalu dia mengirimiku pesan. Dia menyuruhku untuk menelponnya. Aku terperangah saat telepon diangkatnya dan dia justru mengoceh sendiri tanpa mempedulikan aku bicara apa. Calon istriku itu terkadang memang aneh. Tapi aku selalu menganggap semua tingkahnya itu unik dan menggemaskan. Dia berpura-pura bahwa aku menelponnya agar dia bisa meninggalkan adik sepupuku berdua saja dengan Adam. Meskipun aku sering bingung dengan segala tingkahnya, tapi aku tahu dia selalu ingin melakukan segala sesuatu untuk membuat orang yang dia sayangi bahagia. Dan kali ini adalah untuk Adam. Aku tahu Hani sudah menganggap Adam seperti saudaranya sendiri, walaupun terkadang itu masih saja membuatku sedikit cemburu. Bahkan walaupun dia sudah memutuskan untuk memilihku. Untuk membuatnya bahagia, maka kuputuskan untuk menghentikan saja pertikaianku dengan sahabatku itu. Mulai memperbaiki hubunganku dengannya yang pernah sangat kacau. Dan akhirnya, semalam a
Ini bukan yang pertama kali buatku. Namun berdebarnya jantung saat dia mengucapkan janji suci ikatan pernikahan beberapa jam yang lalu tak ayal membuat air mataku meleleh juga. Entah dengan Daniel, tapi saat malam harinya, untuk pertama kali kita berada di dalam satu kamar yang sama hanya berdua saja, sepertinya aku lihat dia pun sedikit gugup. Aku sedang menunggunya di dalam kamar usai membersihkan diri dan bersiap dengan kedatangannya. Hati rasanya tak karuan setiap mendengar langkah kaki mendekat ke kamar. Dalam hati berharap itu bukan suamiku. Tidak, jangan, aku belum siap. Karena saat ini aku merasa bagai kembali menjadi gadis yang baru akan mengalami malam pertama saja. Tiba-tiba semua terasa belum sempurna dan ada saja yang kurang dalam penampilanku malam ini. Padahal aku sudah mengenakan pakaian malam terbagus yang aku punya. Dan berdandan mati matian untuk membuatnya terpesona. Namun saat semua ritual bersolekku beres, justru pangeranku itu tak juga menampakk
P.O.V Adam Kupikir awalnya menghadiri acara pernikahan Hani kali ini akan membuatku merasakan sedikit sakit. Tentu saja, rasa yang pernah ada selama bertahun tahun masih tetap membekas dalam hati. Tidak mungkin akan hilang hilang begitu saja. Meskipun saat ini aku sedang berusaha melupakan itu semua pelan pelan. Melupakan sosok Hani memang tak semudah yang kupikirkan. Tidak seperti saat aku mulai menyukainya belasan tahun yang lalu. Walaupun pada kenyataaanya aku tak pernah berani mengungkapkan perasaanku padanya hingga akhirnya dia memilih seseorang yang tak kukenal untuk menjadi suaminya. Rasa yang sebenarnya sudah lama terpendam selepas dia menikah dan hidup berbahagia bersama suami pertamanya ternyata bangkit kembali saat aku melihat adanya keretakan pada hubungan mereka. Secerca harapan lalu muncul, membuat cinta lama yang sudah nyaris tak tampak menyembul kembali dengan nakalnya. Kami menjadi dekat lagi dan menjalani hari-hari bersama layaknya sepasang remaj
"Ada apa, Bu? Bu Hani sakit?" Mbok Jum menghampiriku ke kamar mandi belakang saat mendengarku muntah-muntah disana pagi ini. Daniel baru saja ke kantor sekalian berangkat bersama Bi' Marni mengantar Tasya ke sekolah seperti biasanya. Sejak semalam badanku memang terasa tidak nyaman, pusing dan bawaan selalu ingin muntah. Mbok Jum memijit-mijit tengkukku dengan penuh perhatian hingga aku merasa sedikit lebih baik. "Simbok kerokin ya, Bu?" tawarnya. "Ga usah, Mbok. Minta tolong bikinkan aku teh hangat aja." "Ya, Bu. Ayo saya bantu duduk dulu," katanya sambil menggandengku menuju meja makan. "Keenan belum bangun, Mbok?" "Belum, Bu. Biasa, semalam maenan sama Non Tasya seru hingga larut sampai nggak mau disuruh tidur." Terdengar Mbok Jum terkekeh sambil sibuk membuatkanku teh hangat. Aku baru ingat. Aku mengeluh sakit kepala tadi malam hingga aku tidak tahu jam berapa suamiku pulang. Aku tidur sore karena tak kuat lagi menahan berat di ke
[Nanti pulang jam berapa?] Aku mengiriminya pesan siang itu setelah menghabiskan makan siangku yang hanya mampir sejenak di tenggorokan. Nafsu makanku mendadak hilang berganti kebahagiaan yang membuncah tiba-tiba hari ini. [Kalau nggak ada kerjaan yang mendadak, ya seperti biasa, Honey. Kenapa? Sudah kangen?] [Cuma tanya saja.] [Mau nitip sesuatu, Sayang?] [Enggak kok.] Kututup layar ponselku, lalu kuraih sebuah benda pipih kecil di samping tempatku duduk. Entah sudah berapa kali aku mengamati benda itu sejak keluar kamar mandi tadi. Ini pasti akan jadi kejutan paling special untuk Daniel. Bibirku mengembang sempurna. Aku pernah mengalami hal pertama yang seperti ini sebelumnya. Tapi akan segera memiliki anak dari suami yang sangat special seperti Daniel membuat kebahagiaan kali ini terasa berbeda. Berulang kali ku elus perutku yang sama sekali belum merasakan apapun. Hanya memang pusing sering melanda beberapa hari ini. Aku begitu yakin buah ci
Daniel sengaja pulang cepat hari ini karena kebetulan pekerjaannya juga tidak begitu banyak. Dia ingat semalan istrinya merengek minta dibelikan es kelapa muda tengah malam buta. Lelaki itu sampai pusing dibuatnya. Hingga akhirnya dia harus rela meluncur ke minimarket 24 jam sekedar untuk membeli minuman kaleng dingin rasa kelapa muda. Hal konyol yang baru pertama kali dia lakukan seumur hidup. Jam 2 malam pergi ke minimarket hanya buat minuman kaleng. Dan itu pun masih kena omel juga sama istrinya. "Rasanya kok aneh sih. Nggak ada kelapa mudanya." Hani cemberut. "Namanya juga cuma minuman instan, Sayang," protes Daniel. "Nggak mau pokoknya beliin yang asli. Bukan yang kayak gini," rengeknya lagi. "Iyaaa. Tapi besok yaa? Ini udah malem. Nggak ada yang jualan, Sayang." "Ya udah besok. Tapi inget, kelapa mudanya yang setengah mateng, yang banyak, pokoknya," omelnya. Kelapa muda setengah mateng? Yang kayak gimana sih? Daniel menggaruk-garuk kepalanya bi
Entah berapa lama aku terlelap setelah sebelumnya kurasakan hangat tangan kokohnya yang terus mengelus-elus perutku yang sudah terlihat mulai membuncit. Kebiasaan lainnya yang kini menjadi ritual wajib suamiku tiap malam. Memanjakan istrinya dengan elusan di perut, karena kehamilan keduaku ini entah kenapa membuatku menjadi sangat rewel dan manja pada suamiku itu. Belum mau tidur jika perutku belum disentuh olehnya. Saat aku mulai membuka mata lagi karena kekeringan yang tiba-tiba menyerang tenggorokanku, tak lagi kurasakan tubuhnya berbaring di sisiku. Kemana Daniel? Perlahan aku bangkit dari pembaringan dan berjalan keluar kamar. Suasana sudah nampak lengang. Hanya terdengar sayup-sayup alunan merdu musik dari sebuah kamar yang saat ini sedang ditempati Diva. Ya, Diva sudah kembali beberapa hari yang lalu dari Australia seperti janjinya sebelumnya. Dan hari ini wajahnya nampak begitu berbinar saat mengatakan pada kami bahwa Adam berniat ingin melamarnya. Aku la
Tak pernah ada raut selembut itu kulihat di wajah Daniel sebelumnya. Tidak pernah selembut seperti saat ini. Saat ada seorang bayi mungil di dalam dekapan tangannya yang kekar dan kokoh itu. Senyumnya tak putus dari sejak perawat mengulurkan bayi kami itu ke tangannya. Matanya seperti tak henti mengagumi dengan mata takjub melihat pemandangan yang ada di depannya kali ini. Ya, hari ini aku melahirkan seorang bayi laki-laki. Buah cinta pertamaku dan Daniel. Wajah panik yang diperlihatkannya saat dia dengan terburu-buru pulang ke rumah karena Bi' Marni menelponnya dan mengabarkan bahwa aku akan segera melahirkan, kini sudah menghilang berganti dengan raut muka kebahagiaan yang kurasakan juga saat ini. Entah bagaimana dulu dengan istri pertamanya, tapi aku melihatnya begitu panik saat tadi dia menyetir mobilnya tanpa berkata sepatah kata pun. Bahkan tanpa menengokku dan Mbok Jum yang berada di jok belakang. Dan dua jam proses persalinan keduaku pun, dia sama sekali