"Mas, udah dengar berita terbaru belum soal virus itu tuh yang lagi riweh mondar-mandir di berita?" tanyaku pada Mas Bryan ketika dia tengah asyik mengeringkan rambutnya dengan handuk.
Suamiku baru selesai mandi sepulang dari kerja. Mas Bryan bekerja di salah satu perusahaan Farmasi di kota ku tinggal, Kota Padang. Sedangkan aku mengurus minimarket yang ada di samping rumah kami. Sebelum menikah aku adalah seorang staff administrasi di perusahaan asuransi. Aku mengundurkan diri dari pekerjaan supaya bisa lebih fokus menjalani peranku sebagai istri, apalagi nantinya aku akan mempunyai keturunan."Oh itu, iya udah dengar tadi. Tapi aku nggak percaya Mon. Masa iya virus begitu nggak boleh sampai kontak fisik terus banyak bla bla nya juga." jawabnya santai seolah acuh tak acuh sama virus yang menggelegar ke penjuru dunia."Yaelah, Mas. Jangan gitu ngomongnya. Nih baca! Dunia saja udah dibikin heboh sama virus yang satu itu," kusodorkan gawai pipih pada Mas Bryan biar dia membaca berita yang jadi trending topik.Semenjak mendengar berita di televisi tentang Virus Corona yang masuk ke Indonesia aku jadi semakin kepo dan mencari informasi lewat Googl*. Dipikir-pikir memang nggak masuk akal juga, tapi dengan adanya korban yang sudah terkena dampaknya membuktikan bahwa virus yang dianggap aneh itu memang nyata adanya."Mana coba, sini Mas baca. Kamu siapin makan malam yah, Mas udah lapar." serayanya. Aku pun beranjak dari tempat tidur setelah memberikan gawai pada Mas Bryan lalu bertolak ke dapur.Ku biarkan Mas Bryan membaca sendiri selagi aku menyiapkan makan malam untuk suami tercinta. Aku dan Mas Bryan baru menikah enam bulan yang lalu setelah melewati masa pacaran selama 10 tahun. Kalau dihitung-hitung udah sama kayak kredit mobil yah, malah bisa dapat dua unit."Gimana, Mas? Udah jadi baca soal virus itu?" tanyaku saat Mas Bryan datang ketika aku masih menyiapkan hidangan makanan di meja makan."Iya, udah Mas baca kok. Tapi kok rasanya lucu aja nggak masuk diakal virusnya. Sampai-sampai nggak boleh ini lah itu lah," ujarnya sembari duduk di kursi meja makan."Ih, kamu Mas jangan ngomong gitu. Udah mendunia gitu lho, Mas." sergahku."Ah, udahlah Mon. Mending makan dulu, Mas udah lapar apalagi lihat ayam kecap masakan kamu.""Iya, Mas. Nih aku ambilin yah.""Eh, ngomong-ngomong Rara mana kok nggak gabung sama kita?" tanya Mas Bryan."Rara belum pulang dari kampus Mas. Tadi katanya masih ada kegiatan. Aku juga udah desak dia biar cepat pulang. Apalagi denger berita begituan." ocehku sambil menikmati suap demi suap ayam kecap sayur acar yang ku masak siang tadi.Rara adalah adik sepupuku, dia baru tinggal bersamaku dan Mas Bryan dua bulan yang lalu. Tante Mirna lah yang meminta ku untuk bersedia menerima Rara di rumah ini, karena kosan yang ditempati Rara sebelumnya sempat kemasukan maling."Ya ampun, Mon. Virus itu lagi? Kamu parno banget deh. Mas aja nggak percaya." tegasnya."Iya, aku juga awalnya nggak percaya Mas. Tapi setelah baca-baca berita dan nonton beritanya di televisi malah bikin aku yakin kalau memang itu virus benar adanya.""Udah, Mon. Makan dulu, nggak usah bahas-bahas virus." ucapnya udah mulai kesal.Namaku Monalisa Aliyana, panggilanku Mona, tapi orang terdekat sering memangilku dengan panggilan Momon, dan umurku 25 tahun. Menikah diusia muda memang keinginanku sejak dulu."Mas, aku mau check minimarket dulu ya, takutnya ramai nanti Rienna kewalahan," pamitku pada Mas Bryan yang masih asyik memainkan gawainya di dalam kamar.Bagiku tidak masalah Mas Bryan sibuk dengan gawainya memainkan game online ketimbang dia harus keluar bersama teman-temannya. Bukan semata mengekang tetapi aku takut banyak hal yang tidak diinginkan di luar sana yang berdampak negatif."Iya." jawabnya singkat.Kupakai hijab sebelum melenggang mengecek minimarket, pakaian ku biasa saja memakai daster stelan corak, walaupun ekonomi ku terbilang berada aku tetap ingin berpenampilan sederhana.Ternyata benar dugaanku kondisi minimarket cukup ramai, aku pun bergegas masuk takutnya Rienna kelabakan melayani pelanggan di bagian kasir.Pukul 22.00 malam minimarket ku tutup, kebetulan juga tidak ada pelanggan yang berbelanja."Assalamu'alaikum" ucapku sembari membuka pintu rumah, kulihat Rara sedang asyik di ruang tamu apalagi kalau bukan sibuk memainkan gadgetnya."Ya ampun Ra, salam kakak sampai nggak dijawab gara-gara sibuk dengan gadgetnya," sindirku lalu duduk di sampingnya."Hei, kamu dengerin kakak nggak sih?" ku senggol lengannya karena Rara masih saja tidak menyahut pertanyaan ku."Au, santai donk kak." sengitnya, "Abis kamu nggak jawab!" sibuk apaan sih?" tanyaku penasaran."Tadi kamu jam berapa pulangnya? Udah baca belum itu virus yang udah merajalela?" Saking sibuknya di minimarket aku sampai nggak tahu kalau Rara pulang."Udah sejam yang lalu aku pulang kak, idiiih kakak percaya sama begituan, itu mah bohong virusnya. Masa iya gegara virus nggak jelas begitu kita nggak boleh ini itu, lebay kali kesannya." jawabnya santai tanpa menatapku, dia masih asyik memainkan jarinya."Tuh 'kan? Rara saja nggak percaya, kamu nya saja yang berlebihan Mon," timpal Mas Bryan yang tetiba keluar dari kamar lalu duduk di samping Rara dengan gawai yang masih dalam genggaman tangannya. Jarak duduk mereka hanya sekitar 30cm, entah mengapa Mas Bryan memilih duduk di dekat Rara ketimbang duduk di sebelahku.Aku mencoba menepis pikiran buruk, seperti yang dipesankan Yuyul padaku, baru kemarin tadi pagi dia memberiku kabar jikalau dia sudah bercerai dengan suaminya karena pelakor yang mana adik kandungnya sendiri. "Kak, Momon. Kak. Kok malah ngelamun sih."Pukulan tangan Rara membuyarkan lamunan ku."Kamu lamunin apa? Virus itu lagi? Haaa? Hahaha Momon, Momon. Mas Bryan dan Rara serempak tertawa bersama. "Haaa, apa? Siapa juga melamun." Elakku. "Mas, kita masuk kamar yuk. Aku mau istirahat." ajakku. Daripada mataku semakin geli melihat pemandangan yang membuat ku nggak nyaman. Apalagi mengingat kisah rumah tangga Yuyul. Amit-amit jikalau terjadi di rumah tangga ku."Mas mau santai dulu di sini Mon," tolaknya."Di kamar juga bisa Mas," aku sontak berdiri dan menarik tangan Mas Bryan, "Yuk!" sekilas mataku menatap netra Rara, dia melihat tanpa kedipan."Lho, Mas kok jam segini sudah pulang?" tanyaku heran ketika Mas Bryan keluar dari mobil, aku yang tadi tengah mencuci baju sekesiap berlari ke depan karena mendengar deru mobil Mas Bryan. Betapa tidak heran sekarang masih menunjukkan pukul 10.00 pagi."Iya, seluruh karyawan di suruh pulang sama pimpinan." jawabnya sambil berlalu masuk ke dalam rumah dengan wajah kusut."Lho, lho kenapa? Kok bisa?" aku pun mengekor dari belakang."Monaa! Bisa diam nggak sih! Kamu jangan seperti Nenek lampir!" Mas Bryan membalikkan badannya dan membentakku. "Aku pusing, please jangan banyak tanya dulu." dia pun melanjutkan langkah memasuki kamar tak lupa dia membanting pintu."Astagfirullah, Mas. Salahku apa coba?" aku bergumam masih di posisi mematung, seumur kenal dari pendekatan, pacaran, hingga menikah baru kali ini Mas Bryan membentakku. Bulir bening tanpa permisi sudah berjatuhan membasahi pipiku.Memang dua minggu belakangan ini sejak Indonesia dilanda virus meresahkan itu aku agak protektif den
"Momon, Assalamu'alaikum, Mas pulang sayang, bukain pintunya." panggil Mas Bryan sembari terus mengetuk pintu."Kak, Kak Momon buka pintunya," sambung Rara.Aku yang tadinya sempat mengintip mereka lewat jendela langsung memasuki kamar bukan karena aku takut ketahuan mengintip, hanya saja aku berpura-pura tidak melihat sikap mereka yang tampak mencurigakan di pelupuk mataku."Kompak banget kalian sampai bergantian memanggilku, enak ya sambil berdiri dekat-dekatan di depan pintu memang tak punya malu, bisa tidak untuk menghargaiku," gerutu ku dalam hati. Aku menggerutu diujung bibir ranjang.Aku merasa semakin parno apalagi Yuyul menjelaskan secara detail perselingkuhan antara mantan suaminya dan adik kandungnya sendiri padaku. Dan sekarang, yang kulihat berbau hampir mirip dengan cerita Yuyul, belum lagi bentakan Mas Bryan tadi siang. Giliran sama Rara dia malah senyum-senyuman."Astagfirullah, Monalisa, istighfar. Semua belum tentu benar." aku mencoba menepis semua pikiran buruk yang
"Mon, Mas udah selesai nih bersih-bersih. Maafin Mas soal yang tadi siang ya. Lagi banyak kerjaan dan masalah aja di kantor." aku terbangun dari lamunan ketika Mas Bryan menepuk pundakku."Kalau banyak masalah dan kerjaan nggak harus segitunya juga kali, Mas!" serangku."Iya, Mas minta maaf." dia tampak mencoba merayu ku, dengan bertekuk lutut di hadapanku yang sedang duduk di bibir ranjang."Ini bukan sekedar minta maaf aja, Mas. Kalau di biarin jadi kebiasaan. Seumur kenal baru kemarin lho kamu bentak aku seperti itu. Apa mungkin itu sifat asli kamu?""Astagfirullah, tidak Mon.""Itu beneran masalah kantor atau kamu sedang bermain api di belakang ku, Mas?!" lebih baik ku tanyakan perihal kegundahan yang menyesakan dada."A-anu, enggak, hmm, iya masalah kerjaan dek." Mas Bryan yang tadinya bertekuk lutut sontak berdiri salah tingkah."Dek? Sejak kapan kamu manggilnya Dek ke aku, Mas? Biasa juga manggil Dek ke Rara." gumamku."Oh." aku pun beranjak lalu merebahkan tubuh penat ini di a
"Astagfirullah, Momoooooon." suara teriakan Mas Bryan membuat aku lari kejer dari dapur menuju kamar."Ada apa, Mas? Kok teriak-teriak gitu?" tanyaku, kulihat Mas Bryan tampak kusut di atas tempat tidur sambil menggenggam gawai pipihnya."Masih nanya, kamu! Lihat jam sekarang sudah pukul berapa!" bentaknya.Tanpa melirik pun aku sudah tahu pukul berapa sekarang, pukul 08.00 pagi, memang kenapa?" jawabku polos sembari membuka gorden dan jendela kamar."Kamu, tuh ya. Kan sudah ku bilang tadi bangunin jam tujuh, ini udah molor sejam jadinya." ketusnya, lalu menyambar handuk yang sedari tadi ku taruh di bibir ranjang lebih tepatnya di dekat kaki Mas Bryan.Aku menghela napas panjang dan berlalu meninggalkan kamar tanpa merespon apa yang dikatakan Mas Bryan. Percuma juga merespon bakalan nggak selesai-selesai nantinya berdebat. Padahal aku sudah membangunkannya lebih dari tiga kali, jangan kan beranjak duduk menggeliat saja dia tidak.Sekarang giliran udah pukul 08.00 pagi baru teriak-teri
Aku masih berkutat di dapur, sedangkan Mas Bryan baru dengan virtual dengan rekan kantornya. Sembari asyik menggoreng kentang, terdengar suara pintu kamar Rara sepertinya dia sudah bangun. Pintu kamar Rara memang agak mandet mungkin tukangnya kurang pas memasang pada saat rumah ini dibangun.Gegas aku menemui Rara, ku tarik dia sampai ke dapur. Tidak mungkin juga aku ngocehin Rara di depan pintu kamarnya, sedangkan Mas Bryan sedang melakukan virtual di depan laptop."Kak, apaan sih narik-narik? Sakit tau." Rara memijat-mijat pergelangan tangannya yanh ku pegang dengan sedikit erat, hingga ada bekas merah berbentuk jari-jariku.Aku sudah merasa gondok dengan dia, sikap Rara yang sudah mulai tidak sopan kalau dibiarkan akan membuat semuanya semakin parah, terparahnya aku bisa usir dia dari sini."Kenapa jam segini baru bangun, Ra?" bisikku pelan."Ooh, semalam aku begadang bikin tugas. Tidurnya udah subuh kak, lagian hari ini juga kuliahnya lewat virtual makanya aku bisa nyantai dikit."
"Mas, kok aku ngerasa hawa rumah tangga kita panas aja yah beberapa hari ini. Kamu sibuk, aku pun gitu. Gimana kalau ntar malam kita jalan-jalan keluar sambil nyari cemilan," ajakku pada Mas Bryan yang masih berlanjut berkutat di depan laptop. Ku lirik jam di dinding berbentuk hello kitty berwarna pink midle putih itu sudah menunjukkan pukul 17.00 sore."Berdua aja? Sepi Mon, ajak Rara lah, masa dia di tinggal sendiri." Tanpa menoleh aku yang tengah menyapu rumah langsung menghentikan aktivitas lalu di duduk berhadapan dengan Mas Bryan."Mas, kamu nggak lagi ada sesuatu yang ditutupin sama aku 'kan?" tanyaku penuh selidik."Eng-enggak, lah apa juga yang mesti di tutupin Mon, Mon." Daya tangkapku Mas Bryan seperti tak jujur, aku yakin ini pasti tidak ada yang beres."Terus kenapa nyebut sepi mulu? Dulu zaman pacaran malah kamu suka kita pergi berduaan, sekarang kok malah gitu?" "Ya, enggak kenapa-kenapa Mon. Kamu tuh aneh ya. Udahlah, nggak usah pergi. Malesin gayamu, kayak curigaan a
"Mas Bryan, Rara sedang apa kalian. Kelihatannya gurih kali pembicaraannya." Sindirku. Belum lagi netraku panas melihat mereka duduk berdekatan."Eh sayang, nggak ngomongin apa-apa, biasa seputar virtual aja," elak Mas Bryan dia tampak gugup dan salah tingkah. Begitupun dengan Rara."Kak, Mas, Rara ke kamar dulu ya. Mau lanjutin bikin tugas." dia berjalan setengah berlari memasuki kamarnya. Tingkahnya tak jauh berbeda dengan Mas Bryan."Sini duduk, Mon!" Mas Bryan menepuk-nepuk kursi sofa bekas didudukin Rara."Ngomongin virtual maksudnya gimana, Mas? Memang ada yang lucu sama virtualnya?" selidiki ketika baru mehenyakkan pantay di kursi sofa bekas pakai Rara."Iyaa, virtualnya lucu Mon. Lebih ribet dan parahnya lebih mengekang. Bikin makin mumet dan berasa kayak sedang dipatroli." jawab Mas Bryan dengan mengubah posisi duduknya."Bukannya lebih enak, Mas. Nggak perlu capek-capek ke area, bolak-balik ketemu klien. Sekarang follow up kliennya bisa via WA atau by phone kan lebih hemat t
Keesokan harinya..."Assalamu'alaikum," terdengar ucapan salam di luar sana dibarengi dengan ketukan pintu."Assalamu'alaikum, Monalisa," ucap sekali lagi, sungguh jelas ini suara perempuan."Waalaikumsalam, sebentar," sahutku di dalam rumah. Aku yang ketika itu sedang berkutat di dapur memasak untuk sarapan dan makan siang. Gegas bertolak ke depan untuk membukakan pintu."Mamaaa..." sorakku girang kucium punggung tangannya dengaj takzim lalu memeluk wanita yang sudah melahirkan Mas Bryan, Mama Merta adalah mertuaku."Momoon,""Kamu, apa kabar?" tanya Mama sembari melepaskan pelukanku."Alhamdulillah, aku sehat, Ma. Mari masuk, Ma." aku pun menggandeng tangan Mama dan membawa koper bawaan Mama. "Kok sepi Mon, mana Bryan dan Rara?" tanya Mama seraya duduk di sofa ruang tamu."Oooh, Mas Bryan lagi mandi, Ma. Rara lagi di kamarnya." Jelasku."Oh pantes sepi,""Astagfirullah, Ma. Maaf sebelumnya Mama kan abis perjalan jauh cuci dulu tangannya Ma. Buat ngejaga-jaga aja""Oh iya, Mama lupa